“Mas Yanto, Mbak Mega,” panggil seorang wanita di depan pintu dengan suara lantang. Segera kutengok dan kuhampiri tamu tersebut. Karena, tidak biasanya tamu Mas Yanto menyebut namaku juga.
“Loh, Bu Siti,” jawabku terkejut dengan kedatangan Bu Siti dan Nanda yang kutemui di Balai Desa tempo hari.
“Masuk, Bu!” ajakku.
Aku masuk ke dalam sebentar mengeluarkan suguhan untuk kedua tamuku dan Mas Yanto, setelah memastikan kedua sudah duduk di ruang tamu.
“Dicicipi Bu, Nanda,” ucapku menwarkan suguhan yang kutata di atas meja ruang tamu.
“Makasih, Mbak,” jawab Bu Siti ramah.
“Bagaimana dengan terapi Nanda, Mbak?” tanya Bu Siti langsung ke inti tujuannya.
“Sebentar, saya panggilkan Mas Yanto ya, Bu,” pamitku menemui Mas Yanto di ruangan prakteknya.
“Mas, ada Bu Siti,” panggilku lembut begitu ada di hadapannya.
“Bu Siti yang waktu itu ketemu di Balai Desa?” tanyanya.
Aku mengangguk, menjawab pertanyaannya.
“Ya udah kita temui dia!” ajak Mas Yanto yang memang sudah aku ceritakan permasalahan Bu Siti tentang anaknya, Nanda yang mengalami slow learner dan butuh terapi berupa pijatan.
Saat berbicara dengan Mas Yanto, aku menyampaikan bahwa selain terapi secara psikis Nanda juga membutuhkan terapi pijat untuk daerah tertentu untuk merangsang perkembangannnya, khususnya terapi wicara.
Bu Siti pernah menceritakan kalau nanda juga mengalami speek delay atau keterlambatan bicara. Ketika di balai desa sempat juga aku tes Nanda dengan sedikit kemampuan yang masih melekat di otak. Hasilnya dia mengalami beberapa gejala keterlambatan perkembangan.
Aku pun menjelaskan area pijatan kepada suamiku. Menurutku, kemampuan Mas Yanto lebih mumpuni dalam melakukan terapi pijat tersebut. Mengingat, suamiku pernah mengikuti pelatihan pijat professional.
Penjelasanku rupanya menarik perhatian Mas Yanto dan langsung menyetujuinya. Bahkan, aku tidak perlu repot-repot meyakinkannya. Mas Yanto menyetujuinya tanpa syarat apa pun.
“Bu Siti,” sapa Mas Yanto begitu kami sudah duduk di ruang tamu.
“Mas Yanto,” balas Mas Yanto ramah.
“Hai, Nanda!” sapa Mas Yanto mengalihkan pandangannya ke Nanda yang sedang sibuk dengan dirinya sendiri tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Bahkan, kehadiranku dan Mas Yanto tidak menarik perhatiannya sama sekali.
Aku dan Mas Yanto saling bertatapan menyaksikan aksinya.
Segera aku lakukan apa yang harus kulakukan. Aku yang sudah mempersiapkan beberapa alat tes deteksi tumbuh kembang anak, segera mengeluarkan dan mengujikannya pada Nanda. Melalui interview yang aku sampaikan pada Bu Siti karena sebelumnya hanya berupa rekaan saja tanpa alat tes sesungguhnya.
Syukurlah, Bu Siti bisa menjawab dengan lancar. Sehingga memudahkanku memberikan hipotesa tentang Nanda.
“Bu Siti, sesuai hasil pemeriksaan saya. Nanda tidak hanya mengalami slow learner, ada gejala autis membersamainya,” ucapku sedikit gugup saking lamanya tidak melakukan deteksi dan kegiatan yang berhubungan dengan bidang keilmuanku.
“Lalu, saya harus bagaimana?” tanya Bu Siti bingung.
“Kita harus bekerjasama untuk mengendalikan Nanda,” ucapku ramah.
Dengan perlahan dan lembut aku menjelaskan apa saja yang harus dilakukan Bu Siti selaku orang tua dan upaya apa saja yang akan aku dan Mas Yanto lakukan sebagai langkah terapi.
Aku juga menyampaikan beberapa pantangan makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi Nanda.
Bu Siti tidak keberatan dengan permintaanku. Bahkan, ia sudah tidak sabar untuk segera melakukan terapi pada Nanda.
Aku dan Mas Yanto kali ini tersenyum mendengar permintaan sang ibu. Karena, tidak mudah juga melakukan terapi seketika itu. kami harus mempersiapkan alat terapi Nanda. Walaupun sederhana.
Untuk mengurangi rasa kecewa Bu Siti. Aku meminta Mas Yanto memulainya dengan terapi pijat.
Ketenaran Mas Yanto meluluhkan kekecewaaan Bu Siti. Dengan senang hati, Bu Siti menemani anaknya diterapi Mas Yanto.
Ah, beneren deh. Suamiku ini luar biasa. Profesi remehnya, ternyata bukanlah hal yang patut diremehkan. Aneh gak sih. Awalnya aku sendiri meragukan profesi Mas Yanto. Namun, semakin ke sini semakin aku menyadari dan yakin apa yang lakukan Mas Yanto tidak bisa aku remehkan begitu saja.
Mengingat kondisi masyarakat sekitar yang tergolong masih primitif dan terbelakang. Masyarakat yang masih mempercayai tentang kekuatan dan ilmu gaib. Ilmu yang tidak pernah aku percaya sebelumnya. Namun, sejak pindah ke sini aku mulai mempercayai hal-hal aneh dan gaib tersebut.
***
Tiga hari, setelah kedatangan Bu Siti dan Nanda. Adam menemuiku di rumah. Kebetulan sore itu, anak-anak sedang tidak ada yang datang untuk menumpang belajar. Karena beberapa dari mereka sudah ada yang mulai sekolah tatap muka.
Aku turut bersyukur dengan perkembangan saat ini. Perlahan per level-an akibat virus C-19 mulai menurun. Masyarakat mulai beraktifitas dengan baik, meskipun belum 100 persen normal.
“Mbak Mega ada, Mas?” tanya Adam begitu melihat Mas Yanto menyambutnya. Aku hanya mendengar tanpa berani beranjak dari
dapur, menyiapkan menu makan malam kami.
“Ada perlu apa sama istri saya?” kudengar Mas Yanto bertanya pada Adam dengan ketus. Masih seperti sebelumnya, ia masih tidak
bersahabat dengan Adam. Kecemburuan masih menyelimuti hatinya.
“Cuma mau menanyakan tawaran saya waktu itu,” jawab Adam kudengar merendah.
“Tawaran yang mana?” tanya Mas Yanto sepertinya bingung.
“Waduh.” Kutepuk dahiku sendiri.
“Aku lupa belum ngomong lagi sama Mas Yanto soal tawaran Adam,” gumamku pada sendiri lirih.
“Mega …,” teriak Mas Yanto dari arah ruang tamu memanggilku.
Dengan tergesa, aku mematikan kompor dan segera menghampiri Mas Yanto. Pasti ada sesuatu yang tidak mengenakkan hatinya, mendengar Mas Yanto memanggilku dengan nama tanpa gelar Dek.
“Ada apa?” tanyaku dengan napas tersenggal, meskipun jarak dapaur dan ruang tamu tidak seberapa jauh. Namun, karena merasa bersalah aku jadi gugup.
“Ada Adam, nih!” tunjuk Mas Yanto pada tetangga penghuni rumah depan kami.
“Mbak,” sapa Adam ramah.
“I-iya, Dam,” balasku sambil duduk di samping Mas Yanto yang sudah memberiku akses.
“Gimana, Mbak? Apa Mbak Mega sudah ada jawaban soal tawaran saya?” tanya Adam langsung padaku.
Aku menggeleng lirih, ada rasa bersalah. Karena melupakannya begitu saja. Adam terlihat kecewa, dapat kulihat dari sorot matanya.
“Kira-kira kapan Mbak Mega kasih jawaban ke aku?” tanya Adam.
“Besok ya, Dam,” jawabku memberinya kepastian.
“Besok saya yang akan ke Balai Desa,” sambungku menggantikan rasa bersalahku padanya.
****
“Kamu janjiin apa sama Adam?” tanya Mas Yanto menatapku tajam. Seolah-olah aku santapannya. Setelah Adam pamit pulang.
“Aku gak janjiin apa-apa?” jawabku.
“Terus, apa yang bikin cowok itu selalu ada di sekitar kamu? Apa dia suka sama kamu?” kata Mas Yanto masih dengan nada ketus.
“Enggak, Mas. Gak ada suka-suka atau apa pun sama Adam,” jawabku meyakinkan Mas Yanto.
“Lalu? Ngapain dia sering nyamperin kamu terus?” Mas Yanto seolah-olah belum puas dengan jawabanku.
“Mas Yanto lupa?” tanyaku mencoba mengingatkan ucapanku beberapa hari lalu di Balai Desa.
“Yang waktu itu aku cerita soal Adam nawarin gabung ke programnya. Mereka belum dapat tenaga ahli professional di desa ini. Jadi, pas tahu aku lulusan psikologi mereka langsung nembak. Ngajak aku gabung dengan antusias,” jelasku memperjelas keadaan waktu itu.
Aku mencoba meyakinkan Mas Yanto tentang kedekatanku dengan Adam. Sebatas mana hubungan kami.agar tidak lagi terjadi kesalahpahaman diantara kami.
Bagaimanapun Mas Yanto suamiku, sedangkan Adam bukan siapa-siapa, hanya sebatas tetangga. Meskipun kuakui, pesonanya mampu menghipnotis siapa saja. Namun, bagiku pria tampan di hati cukup Mas Yanto.
Astaga, ngegombal pemirsa.
Jangan diketawain, ya! Karena seorang suami adalah dewanya para istri.
***
Bersambung