14. Genderuwo

1351 Kata
Menjelang maghrib aku dan Mas Yanto berboncengan pulang setelah berkunjung ke rumah Kang Ghani. Salah satu warga yang membantu suamiku panen. Tujuan kami berkunjung menyerahkan upah kerja selama membantu di kebun. Tidak banyak hanya sekitar lima ratus ribuan umtuk pekerjaan memanen kedelai selama satu minggu. Menurut Mas Yanto, upah segitu sudah banyak karena petani lain belum tentu sanggup memberi segitu. Aku yang tidak paham dunia per-upahan di sawah atau kebun hanya mengangguk, mengiyakan semuanya. Upah yang tidak seberapa itu ruapanya sangat dinanti Kang Ghani dan keluarga, terlihat dari sorot mata pria itu yang begitu bersinar begitu Mas Yanto menyerahkan amplop putih dari sakunya. Ucapan terima kasih bertubi-tubi Kang Ghani ucapkan, aku sampai tidak enak hati mendengarnya. Padahal bagiku sudah wajar jika pekerjaan selesai, buruh mendapat upah. Ternyata, di desa tidak demikian. Meskipun, pekerjaan selesai selama petani si empunya lahan belum dapat uang dari pembeli mereka tidak mendapat apapun. Sedangkan, bagi Mas Yanto kedelai entah kedelai sudah angkut atau belum warga yang membantu ia bayar menggunakan uang yang ada dulu. Bukan hanya Kang Ghani, saat mendatangi Pak Sumitra juga begitu. Wajah pria paruh baya itu tampak bahagia. Sebelumnya kami kesulitan mencari warga yang bersedia membantu mas Yanto panen. Entah bagaimana anggapan mereka kepada kami? Apa karena Mas Yanto dukun? Atau karena kehidupan kami tidak semewah para pemilik sawah yang luasnya berhektar-hektar. Kami tidak pernah tahu. Mungkin juga mereka beranggapan suamiku tidak mampu membayar mereka? Bagi penduduk desa, bentuk rumah juga menjadi penilaian seberapa mampu orang tersebut. Tahu sendirilah rumah kami semi permanen. Tidak ada harta mewah. Tidak salah jika warga tidak mempercayai kemampuan kami. Hingga, muncullah Kang Ghani dan Pak Sumitra. Mereka berdua bersedia membantu Mas Yanto. Kehidupan mereka jika aku amati tidak jauh beda dengan kami. Rumah dengan dinding gedeg, berlantai semen dan beratap genteng tanah liat. Tidak ada perkakas mahal dan mewah di sana. Bisa jadi mereka menerima karena benar-benar membutuhkan uang. Namun, aku sangat mengapresiasi mereka berdua yang tidak peduli dengan omongan orang lain. Iseng-iseng aku sempat menanyakan pada mereka, tentang pekerjaan memanen. Jawaban mereka adalah kerja dengan siapapun sama saja, yang penting bisa menempatkan diri. Luar biasa. Aku sampai terharu mendengarnya. Motor kami membelah jalan setapak dengan kanan kiri sawah dan lading penduduk. Jalan besar sudah terlewati di ujung gapura pembatas antara pemukiman dan persawahan. Hawa dingin khas sore menembus kulitku yang sudah tertutup jaket tebal. Luar biasa temperature hari ini dengan tidak sopannya menembus jaket berbahan tebalku. Kueratkan peganganku di pinggang Mas Yanto. Dari spion sempat kulihat senyum suamiku mengembang sedikit. Entah apa yang ia pikirkan, yang penting bagiku saat ini adalah mempertahankan kehangatan agar tidak menggigil di tengah jalan. Di atas kami langit memperlihatkan warna jingga kemerah-merahannya dengan gagah. Awan-awan putih yang menggantung semakin memperjelas keindahan ciptaan Yang Maha Kuasa. Cahaya matahari membulat siap kembali ke peraduannya. Tak lama lagi cahaya terang ini akan bergnati dengan kegelapan. Meskipun, ada rembulan yang konon mendapatkan sinarnya dari pantulan sang surya. Kawanan burung terbang membentuk huruf V dengan kompaknya menuju sarang. Isyarat kegelapan semakin dekat. Entah dimana sarang mereka, sampai segede ini aku tidak pernah tahu. Nama dan jenisnya pun aku tidak pernah tahu. Yang ini plis, aku jangan diketawain. Yang aku tahu saat sunset adalah mengagumi kuasa pemilik langit dan bumi. Namun, saat masih kecil aku sangat membenci sore. Aku tidak menyukai malam yang gelap. Mengapa? Karena saat cahaya matahari semakin redup telingaku akan dipenuhi perintah mandi, belajar, mengaji dari kedua orang tuaku, padahal aku masih ingin bermain bersama teman-temanku di komplek. Nasib teman-temanku tidak berbeda denganku. Mama-mama mereka dengan kompak memerintahkan pulang dengan setumpuk agenda yang membosankan. Begitulah, masa yang tidak pernah aku lupakan. Masa yang membentuk karakter kami saat dewasa. Tujuan mereka sebetulnya baik, hanya saja terkadang mereka melupakan kami anak kecil juga memiliki hak bersuara. Ah, sudahlah. Masa itu sudah terlewatkan. Aku hanya berjanji kelak jika memiliki anak tidak ingin memperlakukan mereka seperti orang tuaku memperlakukan aku. Balik, yuk ke perjalanan soreku bersama ayangku. Hehehe, ciyee aku tertular virus kata kekinian. Jalanan yang kami lewati semakin menggelap seiring cahaya surya yang memudar digantikan keremangan. Semakin kueratkan tanganku memeluk pinggang Mas Angga. Kurasakan Mas Angga mengelus punggung tanganku dengan lembut seolah membalas dan meyakinkan bahwa semua baik-baik saja. “Mas, apa di sekitar sini ada rumah penduduk?” tanyaku disela-sela perjalanan. “Tidak ada,” jawab Mas Angga singkat. “Aku mencium singkong bakar.” Kurasakan kecepatan motor suamiku sedikit melambat saat mendengarku. Namun, sedetik kemudian Mas Angga menambah kecepatannya. Aku yang belum siap hampir terpekik saking kagetnya. “Maaf, Dek. Lebih baik kita percepat perjalanan. Lain waktu aku ajak keliling desa lagi,” seru Mas Angga tanpa mengurangi kecepatannya. ** Mas Yanto terlihat buru-buru menarik tanganku ke dalam begitu tiba di rumah. Ada beberapa spekulasi yang mengganjal. “Mas, ada apa?” tanyaku tanpa bisa menahan perlakuannya. “Duduklah!” titah suamiku dengan lembut. Aku yakin tidak ada niatan buruk darinya saat menarik tanganku tadi. Mas Yanto masih melakukannya dengan lembut meski terkesan buru-buru. Mas Yanto kulihat menatapku tajam bukan menjawab pertanyaanku. tangannya yang kokoh menyentuh pundakku. “Lain kali kalo mencium bau seperti tadi, jangan diucapkan terlalu keras,” ucapnya. “Memangnya kenapa?” tanyaku penasaran. “Ada yang ngeliatin kita tadi.” Mas yanto menatapku serius. “Siapa? Aku gak liat siapa-siapa tadi,” kataku polos. Mas Yanto kulihat mengerutkan dahinya, aneh pikirku. Memangnya ada yang salah dengan pertanyaanku. “kamu gak akan bisa lihat, Dek,” jawab Mas Yanto masih terlihat bingung. “Loh, kenapa Mas?” kepoku. “Aduuh.” Mas Yanto menepuk jidatnya. “Dia bukan manusia, Dek,” lanjut Mas Yanto masih menatapku serius. “Terus kalau bukan manusia, siapa? Apa ada binatang yang sedang makan?” aku masih mengejar suamiku dengan pertanyaan. “Dia genderuwo, Dek. Kamu tahu genderuwo, kan?” ucap Mas Yanto. “Enggak,” jawabku jujur karena memang aku belum pernah bertemu genderuwu apalagi berkenalan. Aku baru sadar jika yang diucapkan suamiku tidak akan jauh-jauh dari hal-hal astral. “Dek, jangan konyol dan guyonan terus,” seru Mas Yanto, sepertinya suamiku ini kesal padaku. “Memangnya aku salah, Mas? Kan, memang aku belum pernah liat genderuwo. Makhluk macam apa dia itu,” seruku masih dengan lugunya. Secara sadar aku pernah mendengar nama makhluk astral itu, tetapi tidak ingat betul seperti apa cerita nenek moyang dulu. Orang tuaku tidak pernah menanamkan cerita tentang makhluk gaib selain malaikat, jin dan setan. Mas Yanto kulihat menggeleng sebelum kembali menatapku lembut. “Genderuwo itu makhluk dengan tubuh yang dipenuhi bulu-bulu lebat. Memiliki kemampuan meniru seseorang. Pernah juga diceritakan suka menculik anak kecil dan menyembunyikannya,” cerita Mas Yanto detail tentang makhluk bernama genderuwo tadi. Darahku berdesir ngeri mendengar ciri-ciri yang disebutkan suamiku. Berharap tidak akan pernah bertemu makhluk seperti itu. “Udah tutup pintunya!” titah Mas Yanto. “Karena itu juga orang tua zaman dulu gak ngebolehin anaknya keluar menjelang maghrib. Banyak jin berkeliaran pada waktu itu,” lanjut Mas Yanto seusai aku menutup seluruh pintu dna jendela. “Mas, aku siapin makan malam, ya,” kataku mengalihkan seluruh rasa takut yang menyerang karena cerita tentang makhluk gaib. Makhluk yang katanya tadi ada di persawahan yang kami lewati. Makhluk yang terdeteksi lewat indera penciumanku. Sungguh tidak masuk akal dan aneh menurutku, tetapi bagi Mas Yanto itu wajar. Lalu apa tujuan mereka memberi signal tersebut padaku? Biarlah jadi rahasia mereka. Aku pun beralih ke dapur setelah diiyakan oleh suamiku. Bukan memasak, hanya sekedar menghangatkan makanan yang sudah aku masak tadi siang. ** “Mas, apa kamu gak takut tadi?” tanyaku penasaran sebelum kami memejamkan mata. “Enggak. Cuma khawatir sama kamu aja,” jawab Mas Yanto memiringkan tubuhnya menghadapku. “Lain kali kalo ada orang aneh atau asing ke sini hati-hati,” pesannya sebelum melingkarkan tangan ke perutku. Aku hanya menyimak tanpa bisa menjawab karena kedua netra suamiku tampaknya sudah menutup rapat. Ia seperti begitu kelelahan setelah seminggu bekerja di kebuh tanpa jeda. Di gudang atau ruangan apapun di belakang menumpuk kedelai hasil panen yang siap diadopsi pedagang kota. Kata Mas Yanto besok pagi orangnya datang. Dalam hati aku hanya bisa bersyukur disela-sela pekerjaannya sebagai dukun, Mas yanto masih bisa menghasilkan sesuatu yang sudah dipastikan kehalalannya. ** bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN