“Mereka sedang panik,” kata Bu Nana setelah duduk kembali.
“Ada apa? Kok sampai panik?” tanyaku kepo, meskipun tadi Sherly sudah menjelaskan dengan tenang, tetapi Bu Nana sepertinya datang membawa kabar lain.
Wanita itu terdiam menatap jendela dengan tatapan hampa. Entah apa yang kini ia rasakan.
Apakah ia ikut panik juga? Atau Bu Nana hanya sekedar ingin tahu?
Mana aja, deh yang benar. Lagian ada hubungan apa Bu Nana dengan tetangga sebelah?
Hanya bertetangga bukan? Atau mereka masih ada pertalian saudara?
Wajah Bu Nana terlihat bingung seolah terdesak situasi, tetapi tidak tahu harus melakukan apa.
"Dukun yang dipanggil sedang membantu persalinan wanita lain di desa tetangga," jawab Bu Nana suaranya terdengar parau.
Kentara sekali jika sedang tidak fokus dengan kami.
"Kan, tingggal tunggu aja. selesai membantu dari desa sebelah, ia bisa datang ke sini," kataku dengan entengnya.
"Keburu mbrojol bayinya, Mbak," seru Bu Nana menertawakanku, akhirnya wanita itu sedikit terhibur dengan kalimat garingku.
Mas Yanto kulihat menatap tajam ke arahku. Kali ini aku tidak faham maksudnya. Entah karena aku terlalu nyaman di rumah Bu Nana yang ramah atau konsentrasiku sedang buyar?
Buyar dan ambyar karena tiba-tiba suasana berubah menjadi panik.
Kembali kudengar suara erangan yang lebih keras dari sebelumnya.
Terdengar begitu menyayat dan menyedihkan. Tak lama kemudian terdengar kembali suara derap langkah seperti orang kebingungan.
Aku yang hendak menyampaikan informasi kembali tidak konsentrasi dan hampir melupakan semua kalimat yang sudah kususun rapi.
suara-suara berisik di luar sangat mengangguku. Bukan hanya aku, sepertinya seluruh timku juga merasakan hal yang sama.
Mereka tampak tidak nyaman dengan teriakan-teriakan diluar. Menganggu dan membuat resah.
"Informasi apa yang akan kalian sampaikan kepada saya?" tanya Bu Nana.
Aku menatap Bu Nana bersiap menyampaikan info untuk putrinya yang terkena slow learner.
"Bu, mulai Minggu ...."
"Setelah ini kalian segeralah pulang karena saat ini kalian pasti merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini," Belum juga aku menyelesaiakan kalimatku Bu Nana sudah memotongnya.
Duh, hilang lagi kalimat-kalimat indahku yang tadi karena berbicara dengan waraga di sini memerlukan bahasa sederhana.
Aku khawatir jika aku asal berbicara dengan bahasaku, mereka malah tidak faham karena itu aku selalu menyusun kalimatku sebelum tempur.
Mas Yanto sepertinya paham situasiku, ia memberi kode agar aku diam.
Suamiku itu berinisiatif mengatakan inti kedatangan kami. Semoga bisa benar-benar membantu.
Aku yakin semua timku berharap bisa segera kembali ke rumah masing-masing setelah info tersampaikan
Ada rasa tidak tega mendengar suara teriakan di sebelah. Namun, kami ini siapa?
Kami hanya warga biasa yang tidak mengenal dunia permedisan. Apalagi perdukunan yang menyangkut soal kelahiran, aku benar-benar baru tahu, jika di kota ini jika melahirkan masih percaya pada dukun beranak.
"Pulang ya, Mbak setelah ini," bisik Sherly.
"Iya," jawabku.
Ya, langsung pulang ke rumah masing-masing sebab jika kembali ke balai desa tanggung sudah terlalu sore.
Bahkan sudah lewat jam kerja kami. Tak apalah demi kemajuan desa aku rela dan ikhlas bekerja overtime tanpa ada uang lembur.
Bentuk loyalitas kalau di perusahaan sedangkan di sini adalah bentuk pengabdian pada bumi yang dipijak.
Setelah menyampiakan informasi penting kepada Bu Nana kami segera pamit untuk pulang.
Aku yakin semua yang bersamaku juga ingin segera tiba di rumah.
Suara teriakan dari tetangga Bu Nana masih terdengar memilukan. Namun, suaraku semakin rendah dan rendah. Entah apa yang terjadi di sebelah?
Baru juga berjalan keluar pintu dua langkah. Tanpa sengaja aku menoleh ke arah berisik yang sejak tadi membuatku tidak fokus.
Tampak wajah-wajah bingung yang terpancar dari tiga wanita yang berdiri di halaman tersebut. Jarak yang tidak terlalu jauh membuatku bisa melihat dahi mereka yang sesekali berkerut lalu kembali menatap ke dalam.
Napas mereka tampak tersenggal-senggal, wajah mereka pucat. Salah satu dari mereka terlihat mulai sesenggukan.
Yang lebih muda menenangkan dan satunya semakin panik. Dipegangi dan ditariknya rambut dengan kasar tanpa berani berteriak.
"Mas Yanto!" Tiba-tiba ada suara yang memanggil suamiku, padahal aku sudah naik ke atas motor dan bersiap pulang ke rumah.
Mendengar suara tersebut, Mas Yanto mematikan mesin motor dan menoleh ke arah yang memanggilnya.
"Mas, bener Mas Yanto, kan?" Ternyata dia wanita yang tadi kulihat menangis.
Entah sejak kapan ia berdiri di belakang kami. Padahal aku memperhatikannya sejak tadi.
"Iya, betul. Ada apa?" tanya Mas Yanto.
"Tolong bantu Dahlia!" ucap wanita di depan kami itu dengan memelas.
"Apa yang bisa saya bantu?" Mas Yanto menatap wanita paruh baya itu lalu beralih padaku.
Aku hanya mengedikkan bahu, pertanda semua terserah pada Mas Yanto.
"Sini, Mas!" Tanpa izin wanita itu menarik paksa tangan Mas Yanto.
Aku yang terhenyak dengan kejadian kilat itu, menyusul langkah Mas Yanto.
"Ada apa, Mbak?" bisik Adam.
"Gak tahu," jawabku.
Ternyata bukan hanya aku, Adam dan Sherly juga menyusul langkah Mas Yanto.
"Si Nana itu kenapa dari tadi gak ngomong kalo ada Mas Yanto di rumahnya." Kudengar wanita itu terus mengomel sembari menarik tangan Mas Yanto.
Mas Yanto yang menjadi korban penculikan itu hanya terdiam dan terlihat pasrah dengan perlakuan ibu-ibu yang aku perkirakan berusia tiga puluhan itu.
Ternyata suamiku diseret ke sebuah kamar. Kulihat di dalam kamar itu terbaring seorang wanita muda memegangi perutnya sambil meringis menahan sakit.
"Mas, bantu anakku melahirkan!" titahnya dengan memaksa dan nada tinggi karena panik.
Aku, Adam dan Sherly menutup mulut bersamaan karena tanpa sengaja terbuka lebar saking kagetnya.
"Mas tolonglah! Saya sudah bingung harus minta bantuan ke siapa?" ucap wanita itu dengan lemah.
"Sebentar." Mas Yanto meraih sebuah kain panjang bermotif batik lalu menutupi tubuh wanita yang terbaring.
Mas Yanto kulihat menekuk kedua kaki wanita itu seperti posisi orang melahirkan. Tangan dan kepalanya kulihat menengok ke dalam kain tersebut.
Kedua tangannya memeriksa perut wanita yang disebut bernama Dahlia.
"Aman dan memang sudah waktunya," kata mas Yanto.
"Tahan, ya Mbak. Sepertinya masih lima belas menit lagi," ucap Mas Yanto kembali menengok ke arah bagian jalan lahir.
"What? Apa maksudnya ini?" gumamku dalam hati.
Kutatap Mas Yanto, mencari penjelasan melalui bahasa tubuhnya. Perasaanku mendadak menjadi tidak enak.
"Bu, dapur di sebelah mana?" tanya suamiku kepada Bu Ida, ibu dari wanita yang akan melahirkan ini.
Ia tadi sempat menyebutkan nama pada kami karena itu Mas Yanto bisa memanggil namanya dengan baik.
"Di belakang," tunjuk Bu Ida.
"Dam, Sher, tolong rebuskan air!" titah Mas Yanto.
"Bu Ida, tolong disiapkan handuk dan perlengkapan bayinya!" Mas Yanto berseru kepada Bu Ida yang bengong menghadapi situasi paniknya.
"Apa ibu punya alkohol?" tanya Mas Yanto.
Bu Ida menggeleng sembari mengeluarkan pakaian bayi milik Dahlia.
Kutatap Mas Yanto, kembali meyakinkan hati bahwa suamiku tidak sedang main-main. Kulihat Mas Yanto tampaknya benar-bebar serius akan membantu persalinan si Mbak ini.
"Mas Yanto bersedia menolong?" Bu Ida sepertinya juga meminta kepastian.
"Iya, akan saya bantu. Ibu dan yang lain tenang dan jangan panik. Tolong bantu saya saja," jelas Mas Yanto.
"Siapa nama anak ibu?" tanya suamiku sebelum Bu Ida beranjak mencari pakaian bayi untuk calon cucunya.
Kulihat wajahnya sedikit cerah dengan ucapan suamiku.
"Dahlia. Namanya Dahlia," jawab Bu Ida sambil tersenyum.
Kulihat ada kelegaan yang tiada tara dibalik senyumnya.
"Dek, Mas minta tolong kamu temani Dahlia!" Mas Yanto menitahku.
"Apa? Aku juga diminta membantu," gumamku tidak percaya.
***
Bersambung.