36. The Next Plain

1156 Kata
Butuh waktu satu minggu bagi kami menyelesaikan kunjungan ke semua lembaga PAUD. Alhamdulillah, tidak mengecewakan. Semua lembaga menerima kami dengan tangan terbuka, sehingga memperlancar agenda dan memperkecil hambatan, mempercepat langkah berikutnya. Minggu depan rencana kami berkeliling dari PAUD ke PAUD kembali untuk melakukan tes perkembangan pada semua murid di masing-maisng sekolah, tentunya secara bergiliran dengan menerapkan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah. Setiap lembaga kami minta bantuan untuk mempersiapkan seluruh alat deteksi kesehatan mulai thermogun, masker, hand sanitizier atau tempat cuci tangan dan sabunnya. Bersyukur mereka lebih memahami dan mengerti tentang aturan prokes dibandingkan diriku. Andaikan semua lembaga atau kantor yang kami datangi seperti PAUD. Ah, betapa senangnya hatiku. Tidak perlu repot-repot presentasi dan meyakinkan terlalu jauh untuk menerima kami. Hehee, begitulah manusia inginnya yang mudah-mudah saja tanpa mau kesulitannya. Aku salah satunya. Namun, dengan kesulitan kita belajar. Itu hikmah yang aku dapat dari semua yang terjadi selama ini. Ditolak, dicaci dan dihina tidak menjadikan mundur dan gentar, aku berusaha tetap berjalan dan melalui semua dengan hati tebal. Menguatkan mental dan iman agar tetap terlihat tegar dan baik-baik saja. Meskipun, aku sadar semua terjadi bukan karena diriku sendiri, melainkan juga ada dukungan dari semua tim. Kejadian di Puskesmas membuatku selalu siap apapun yang terjadi karena aku tidak bisa memprediksi selanjutnya. Apalagi di desa yang aku belum begitu mengenal alam dan budayanya, kesulitan itu pasti ada. Terlepas adanya Mas Yanto di sampingku, tetap saja aku harus berjaga dan bersiaga karena keputusan tetap ada di tanganku. “Dam, segera kabari pihak puskesmas untuk bisa bergabung minggu depan. sekalian kirimkan jadwal kunjungan kita untuk kesepuluh lembaga,” kataku setelah melakukan kunjungan di lembaga kesepuluh. “siap,” seru Adam. “Sher, siapkan semua yang dibutuhkan Adam!” pintaku pada Sherly yang sejak kembali dari PAUD terakhir tadi sudah fokus di depan laptop. Kulihat Sherly hanya mengacungkan jempolnya membalas permintaanku. Aku hanya geleng-geleng menyaksikan gadis yang begitu antusias dengan pekerjaannya itu. Sembari menunggu Sherly dan Adam diskusi tentang jadwal, aku dan Mas Yanto keluar mencari makan siang. Adam memang tidak salah pilih orang. Sherly benar-benar bisa diandalkan. Ia tidak hanya mampu menjadi partner terapis, tetapi ia juga menguasai berbagai administrasi yang aku butuhkan. *** “Mbak, ini jadwalnya sudah kami coba susun sebaik mungkin,” kata Sherly menyerahkan selembar kertas bertuliskan hari dan tanggal kunjungan kami, setelah aku dan Mas yanto kembali dari warung. “Sudah. Cukup,” kataku membaca sekilas jadwal yang dirancang Sherly dan Adam. Aku tidak mempermasalahkan mau siapa dan dimana dulu? Bagiku semua sama saja. Yang terpenting kesepuluh-sepuluhnya terlampaui. “Kita makan dulu,” ajakku kepada keduanya. “Mbak, baunya sedap banget. Beli dimana tadi?” tanya Adam membau bungkusan yang aku bawa. “Beli di warung seberang. Kayaknya warung baru,” lanjutku. “Oooh,” balas Adam. “Oh, apa?” kepoku. “Oh, aku gak tahu,” jawab Adam sambil tertawa. “Aku tadi belum selesai ngomong,” ledek Adam karena rasa penasaranku. “Udah pinter ngelawak kamu sekarang,” balasku dengan tertawa lebih keras. *** Aku sudah membayangkan keribetan yang akan timku alami selama beberapa hari ke depan bahkan bisa jadi sampai sebulan ini. Tentunya bersama adik-adik usia dini. Ini akan menjadi pengalaman pertamaku menangani anak usia dini membuat bayangan kehebohan sudah mulai terasa di hatiku. Tak sabar rasanya menanti minggu depan. Bagiku hal ini merupakan sesuatu yang langka karena tidak setiap saat bisa bersama anak usia dini. Bersama mereka pasti akan berbeda. Selama ini klienku kebanyakan remaja sampai orang dewasa. Ya, sesuai job disk di tempatku kerja sebagai konsultan remaja. Namun, aku tidak menampik saat ada orang dewasa yang meminta konseling denganku. Harapanku semoga semua berjalan lancar dan sesuai keinginan semua orang. Bukan hanya harapanku seorang, tetapi juga menjadi harapan semua. Timku tidak bekerja sendiri, ada tim medis yang mendampingi selain beberapa guru masing-masing sekolah. Dalam hati terselip rasa bahagia karena akan bertemu anak-anak kecil. Sosok yang lama kau rindukan kehadirannya dalam hidupku. Namun, tak kunjung Tuhan berikan. Mungkin Tuhan belum mempercayaiku menjadi seorang ibu, mengeyampingkan treatment yang diberikan Mas Yanto padaku. Jauh di lubuk hatiku yang dalam, selalu aku lantunkan doa agar aku segera di beri rizki berupa momongan. Aku juga selalu berharap bahwa treatment Mas Yanto gagagl karena ada Tuhan yang lebih berkuasa dari tangan manusia. Namun, semakin ke sini semakin aku melemah. Terkadang aku menyerah tentang momongan. Menyerahan semua pada semesta. Membiarkan alam berkehendak. Berat rasanya menjawab pertanyaan dari teman-teman tentang anak. disaat yang lain bisa pamer kehebohan buah hatinya, aku hanya bisa menjadi penonton dan pendengar setia. Menghindari, terkadang itu yang aku lakukan setiap ada reuni atau sekedar kumpul-kumpul, kecuali dengan keempat sahabatku. Mana bisa aku menolak mereka. Sahabat yang paling tahu dan mengerti kondisiku. Hanya mereka berempat yang tidak pernah menyepil soal anak padaku. Berbagai kata motivasi dan kesabaran sering aku dengar, tetapi semua tidak ada yang mampu menduduki tahta hatiku. Ketenangan baru bisa aku peroleh ketika Mas Yanto yang menenangkan dengan segala gombalan recehnya. Jangan kira setelah menikah sebagai istri tidak perlu bumbu gombalan. Justru beban menjadi seorang istri terasa berat tatkala suami semakin cuek. Beda rasanya jika suami melontarkan gombalan dan modusnya setiap saat. Aku merasa dianggap ada, diperhatikan dan disayang. Beruntung suamiku bukan tipe super serius yang tidak bisa diajak bercanda. Mas Yanto tergolong suami slengekan dan tukang lawak. Sehingga aku jarang kesepian, meskipun hanya berdua. Duh, begitu besarnya peran seorang suami bagi istri karena aku masih meyakini semua akhlaq istri mencerminkan suaminya. Aku tidak membutuhkan kepuasaan yang membuatku terbang terlalu tinggi. Aku juga bukan wanita yang puas hanya dengan harta. Namun, sebagai istri akan merasa sangat baik-baik saja saat suamiku memberikan banyak perhatiannya. Memiliki banyak harta tanpa perhatian, hidup pasti akan terasa hampa.. uang memang dibutuhkan dalam hidup, tetapi tidak semua hal bisa dibeli dengan uang. Andai uang bisa membeli perhatian tidak aka nada kasus broken heart, bunuh diri, pelakor atau perselingkuhan. Andai uang bisa memberli rasa syukur tidak akan ada manusia operasi plastik, ganti kelamin atau wanita diet ketat agar tetap terlihat cantik. Andai uang bisa membeli kebahagiaan tidak akan manusia yang pura-pura bahagia, tidak akan pengkhianat atau Harta memang bisa membawa berkah dan bencana tergantung dari masing-masing pengelolanya. Semakin bijak seseorang mengelola semakin membuat hidup berkah. Sebaliknya semakin tamak seseorang semakin sulit mensyukuri semua nikmat Tuhan. Aku sudah merasa cukup bahagia dengan kehidupanku sekarang. Mana aku peduli dengan kenyataan bahwa rumah kami masih semi permanen. Aku tidak peduli dengan mindset negatif orang tentang profesi suamiku. Kuabaikan semua informasi negatif Mas Yanto karena cintaku padanya tidak akn luntur hanya karena berita buruk tentangnya. Bukannya mencintai itu juga menerima kekurangan. Bukan hanya menerima kelebihannya saja sebab kehidupan manusia itu sellau beriringan antara yang baik dan buruk. Tidak ada manusia sempurna di muka bumi ini. Yang ada manusia itu diciptakan untuk saling melengkapi. Aku dan Mas Yanto berharap kelak bisa saling melengkapi apapun yang terjadi dengan pernikahan kami. Slogan kami menikah hanya sekali untuk seumur hidup. Jika terjadi yang kedua murni karena rizki, itupun kelak jika salah satu dari kami sudah menghadap ilahi. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN