Rencana kami hari ini mengunjungi beberapa sekolah PAUD atau Pendidikan Anak Usia Dini yang ada di desa Bangorejo, meliputi Kelompok Bermain dan Taman kanak-Kanak.
Tujuan kami tentu saja sosialisasi kepada semua guru PAUD tentang anak berkebutuhan khusus dan program-program kami yang bisa mereka dukung.
Kami memang belum mengenal situasi dan kondisi sekolah PAUD yang ada di sini karena itu kami mulai dari yang terdekat, Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita yang satu lokal dengan Balai Desa.
Kata Pak Kades, Taman Kanak-Kanak tersebut milik desa dan dibangun atas prakarsa perangkat desa sebelumnya.
Pengurusnya bahkan sudah berganti beberapa kali. Untuk periode ini kepengurusan dibawahi Bu Kades langsung sebagai Pimpinan Yayasan, sedangkan kepala sekolah dan guru masih dalam formasi lama.
Aku pribadi memang belum mengenal warga sekolah TK Dharma Wanita itu, sehingga aku sengaja datang sekaligus memperkenalkan diri. Berbeda dengan Sherly dan Mas Yanto yang penduduk asli.
Begitupun Adam yang aku pastikan wajahnya tidak asing bagi ibu guru di situ karena kantornya di balai desa. Meskipun, pembelajaran masih daring aku yakin ibu guru masih datang sesekali ke TK.
“Yanto, kan!” sapa salah satu wanita yang menyambut kami.
“Iya. Lilis?” sahut Mas Yanto menatap wanita itu sambil mengerutkan dahi.
Tuh, kan suamiku mengenal guru di situ.
“Gimana kabarnya? Enggak nyangka akhirnya ketemu kamu di sini. Surprisenya lagi kamu jadi bagian tim ini. Salut aku. Eh, tapi yang dukun itu bener, kan?” tanya Lilis.
Mas Yanto terlihat tertawa lebar tanpa suara mendengar pertanyaan dari temannya itu. Entah teman apa? Belum terjawab.
“Kabarnya baik. Ya, seingatku sejak lulus SD. Kita sekolah di tempat yang berbeda. Kamu mondok aku masih di sini. Waktu kamu balik aku merantau,” jawab Mas Yanto.
Ternyata, teman SD. Masih ingat saja si ibu, ya?
“Aku gak keren, Lis. Mereka ini yang ngajak aku,” lanjut Mas Yanto memperkenalkanku dan yang lain tanpa membahas profesi dukunnya.
“Mega ini istriku,” seru Mas Yanto diakhir sesi perkenalannya. Auto Lilis sedikit terperanjat mendengarnya.
“AKu di sini juga karena modusannya dia,” ucap Mas Yanto setengah bercanda.
“Wah, buka kartu aja,” seru Lilis sambil tertawa mempersilahkan kami masuk auto kami beemapat tertawa ringan mendengarnya.
Suasana resmi perlahan mencair berganti santai, seiring keakraban yang mulai terjalin.
“Selamat datang Mas Yanto, Mbak Mega, Mas Adam dan Mbak Sherly,” seru Lilis yang ternyata Kepala Sekolah.
Lilis sudah mengerti maksud dan kedatangan kami ke sekolahnya dari Bu Kades sehingga bisa menyambut dengan baik. Sungguh berbeda dengan suasana di Puskesmas sebelumnya. Ditambah Lilis adalah teman SD Mas Yanto auto tingkat kepercayaannya meningkat levelnya.
Aku kembali memanjatkan syukur dengan kehadiran Mas Yanto. Suamiku penyelamatku, judulnya. Tanpa bermodalkan Mas Yanto, apakah program kami bisa berjalan seceat ini?
Mau tak mau, senang tak senang Mas Yanto adalah asset berharga timku.
“Saya sangat senang ternyata keberadaan kami diperhatikan pihak pengurus,” tutur Bu Lilis antusias.
“Jujur saja kami sebagai guru memiliki kemampuan terbatas soal deteksi anak berkebutuhan khusus.” Bu Lilis menatap kami bergantian.
“Harapan saya, Mbak-Mbak dan Mas-Mas bisa bekerja sama seterusnya dengan kami,” tutur Bu Lilis.
Wanita itu aku nilai cukup profesional juga, meskipun Mas Yanto teman lamanya. Ia tetap menyebut suamiku dengan panggilan Mas karena kata Lilis kalau dipanggil bapak ketua-an.
“Terima kasih, Bu Lilis. Kalo soal kerjasama Ibu sampaikan ke pak Kades, ya,” balasku sambil terkekeh karena memang semuanya diatur beliau. Kehadiran kami hanya kebetulan saja. Begitupun Adam, ia hanya seorang PNS yang kebetulan dimutasi ke desa ini.
Bu Lilis ikut tertawa mendengar jawabanku.
“Semoga Pak Kadesnya tetap gak ganti-ganti,” seru Bu Lilis.
“Ibu bisa-bisa aja, entar terjadi kayak tahun 98, gimana?” sarkas Mas Yanto, memilih memanggil Lilis dengan sebutan Ibu karena jabatan dan keberadaannya sebagai guru di Taman Kanak-kanak.
“Mas Yanto ini bisa aja.” Bu Lilis menyodorkan sebuah buku tamu untuk diisi.
Setelah mnejelaskan tujuan kami, Bu Lilis segera menjadwalkan hari khusus untuk kami melakukan deteksi dini kepada murid-muridnya.
Luar biasa, andai saja semua instansi seperti sekolah TK Bu Lilis, pasti kami tidak akan mengalami banyak kesulitan di lapangan. Namun, begitulah hidup ada saja halangan menerpa.
Tergantung cara pandang kita masing-masing juga, ada yang berpikir halangan adalah kesulitan tanpa mencari solusi. Ada juga yang beranggapan melalui hambatan seseorang bisa mengambil hikmah dan pelajaran, sehingga menjadikannya semakin berkembang.
Dari data yang kami peroleh ternyata sekolah PAUD di wilayah Bangorejo tidak sedikit, ada sekitar 10 lembaga yang terdiri dari 6 lembaha TK dan 4 lemmbaga Kelompok Bermain.
Sedianya satu per satu kami datangi lembaga tersebut, tetapi hari ini hanya tiga yang bisa kami temui. Sisanya sudah tutup karena kami kesiangan.
Guru di sejumlah sekolah yang kami temui mengatakan, rata-rata mereka sudah pulang pada pukul sepuluh. Apalagi sejak diberlakukannya belajar dari rumah, sekolah tidak ada siswanya. Pekerjaan selesai mereka akan melanjutkan di rumah.
Sekolah hanya buka beberapa hari dalam seminggu, tidak penuh. Ada sekolah yang hanya satu minggu sekali. Ada yang satu minggu dua kali. Itu pun yang datang bergiliran, menghindari kerumunan.
Ternyata bukan hanya perusahaan atau tempat-tempat umum saja yang ditutup. Sekolah pun ternyata tutup karena pembelajaran dilakukan via daring atau luring.
Istilah daring atau dalam jaringan digunakan jika pembelajaran dilakukan dengan bantuan internet. Sedangkan istilah luring atau luar jaringan digunakan ketika pembelajaran dilakukan dengan membawa pulang modul atau tugas dari sekolah.
Kata para guru ketika melakukan luring orang tua wajib datang mengambil tugas. Dikerjakan di rumah dan dalam kurun waktu tertentu harus dikembalikan.
Ada pula beberapa sekolah yang menerapkan pembelajaran dari rumah ke rumah. Dimana para guru yang berkeliling ke setiap rumah siswa seperti yang terjadi di dusun tempat tinggalku.
Mendengar penjelasan semua guru tentang metode pembelajaran selama pandemik aku hanya bisa miris, mengelus d**a dan menelan saliva dengan kasar.
Hikmahnya memang orang tua dan anak lebih dekat, tetapi kelemahannya lebih banyak. Aku yakin para siswa tidak mengenal etika bersekolah. Etika saat bersama guru atau norma-noram lain yang biasa diterapkan sekolah.
Yang membuat aku semakin teriris para guru banyak yang mengeluh jika gaji mereka yang tidak seberapa hanya dibayarkan setengahnya.
Coba tebak berapa gaji guru PAUD, baik TK atau Kelompok Bermain?
Jika kalian mengira mereka digaji jutaan, salah besar. Gaji mereka hanya berkisar dua ratus hingga lima ratus ribu rupiah.
Bayangkan gaji yang hanya dua ratus ribu, dibayarkan setengahnya yaitu seratus ribu rupiah. Sebulan dengan biaya hidup seratus ribu, bagaimana mereka bisa bertahan dengan profesinya?
Bahkan saat aku tanya berapa lama mengajar? Ada yang sudah puluhan tahun. Menurut mereka memang ada tunjangan dari pemerintah yang turunnya tiga bulan sekali, tetapi belum semua guru memperoleh.
Saat kutanya kendala terbesar sampai gaji dipotong apa? Jawaban mereka karena banyak wali murid yang juga kesulitan ekonomi. Pekerjaan mereka tutup sementara, sedangkan penghasilan utama dari sana. Alhasil, uang p********n mereka juga menunggak.
Sekejam ini virus C-19. Lalu, dimana mata dan telinga para jajaran wakil rakyat yang duduk di pemerintahan. Sampai kapan masyarakat menanggung kebijakan PSBB atau PPKM?
Aku dan yang lain akhirnya memtuskan kembali ke balai desa, meneruskan kembali esok hari berkeliling ke semua lembaga PAUD. Kesan yang aku peroleh selama kunjungan semua guru menerima kami dengan tangan terbuka dan ramah.
Mereka tidak merasa tersaingi atau apa, hanya karena kami juga menangani anak diidknya kelak. Justru sebaliknya mereka sangat berterima kasih karena membantu dan meringankan beban mereka.
Baru aku menyadari tentang sosok guru PAUD juga mengalami kesulitan dalam menangani anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolahnya.
Mereka tidak mungkin menolak, tetapi menyampaikan kepada orang tua murid bahwa anak mereka istimewa terkadang tidak diterima karena kurangnya lisensi sebagai psikolog.
Mereka berharap dengan hadirnya kami, para orang tua murid bisa sadar, jika perlu mereka kan menyekolahkan putra putri di sekolah khusus, bukan lagi di sekolah standard anak normal.
Satu masukan dari para pendidik tentang respon orang tua yang anaknya berpotensi anak istimewa sudah kucatat dibuku khusus, yaitu mereka tidak terima anaknya dikatakan berkebutuhan khusus.
“Mbak, aku rasanya tidak sanggup melanjutkan kunjungan ke PAUD-PAUD,” ucap Sherly setelah kami tiba di balai desa.
“Kenapa?” sahutku menatap gadis itu keheranan.
“Aku gak tega ngeliat mereka berjuang kayak gitu, Mbak,” balas Sherly terdengar sangat sedih.
“Tapi, begitulah hidup. Setiap yang hidup memiliki pilihannya masing-masing,” ujarku menenangkan gadis dua puluh tiga tahun itu.
“Para guru juga, mereka sudah memilih jalannya. Makanya mereka menerima dan ikhlas melakukan pekerjaan seberat apapun itu,” sambung Mas Yanto menatap Sherly iba.
“Bagitupun aku, siapa sangka aku menjadi dukun lalu masuk tim kalian. Semua tetaplah sebuah pilihan,” lanjut Mas Yanto.
“Dan hidup kamu adalah pilihanmu sendiri,” pungkas Mas Yanto.
“Aku setuju dengan Mas Yanto dan Mbak Mega,” komentar Adam setelah menyimak semua pembicaraan kami.
“Gak usah cari muka,” seloroh Sherly membuat kami tertawa keras.
***
bersambung