Aku hanya bisa tertawa lebar saat menyaksikan reaksi beberapa anak yang datang di sekolahnya. Ada banyak celetukan dan ucapan menggelikan menurut versiku yang terlontar dari setiap anak usia empat tahun itu.
Ada juga suara-suara cadel yang menggemaskan membuat setiap orang ingin fokus padanya. Ada juga suara tangisan dan ketakutan karena hari ini pengalaman pertamanya datang ke sekolah.
“Ini sekolahku, Ma?” aku mendengar celoteh seorang anak perempuan yang datang digandeng mamanya.
“Iya, masuk yuk!” ajak sang Mama.
Anak berusia sekitar empat tahunan itu terlihat ragu-ragu dan tersipu saat disambut guru-gurunya. Tangannya menggenggam rok sang mama dengan kuat. Membuat ibu anak tersebut menarik dan menggandeng tangan putri kecilnya.
"Pagi, Ambar," sapa Bu Tuti guru di TK Islam tempat kunjungan kami hari ini.
Murid bernama Ambar itu kembali terlihat ragu-ragu mendengar sapaan gurunya, apalagi saat Bu Tuti menyodorkan tangannya mengajak salam ala pandemi.
Ambar menatap sang mama sebelum membalas uluran tangan Bu Gurunya. Setalah melihat anggukan dari mamanya, Ambar membalas uluran tangan Bu Tuti, meskipun masih terlihat keragu-raguan dan malu-malu.
Bukan hanya Ambar, tetapi hampir semua siswa yang aku temui di masing-masing. Rata-rata mereka terlihat ragu dan bimbang saat membalas salam dari gurunya.
Menurutku, hari ini sepertinya kunjungan mereka pertama kali ke sekolah. Sekolah daring benar-benar membuat mereka belum memahami konsep sekolah sepenuhnya.
Mereka pahamnya sekolah adalah saat guru muncul di monitor ponsel atau laptop orang tua. Selebihnya mereka belajar di rumah tanpa mempedulikan apapun karena setiap pagi mereka mendengarkan guru mengajar melalui virtual meet.
Mereka tidak mengenal gurunya secara personal sejak pandemic dan sejak pembelajarn dilakukan di depan monitor.
Sekolah mereka selama setahun ini berbasis jarak jauh. Sejauh apapun mereka berada, pembelajaran masih bisa terlaksana. Melalui berbagai aplikasi virtual meet, seperti zoom. G-meet atau teams.
Bukan hanya sekolah mereka, tetapi sekolah seluruh Indonesia juga mengalami hal yang sama.
Hanya wilayah-wilayah tertentu denagn kondisi masyarakat menengah ke bawah yang menggunakan luring dan menurutku itu pun kurang efektif. Pembelajaran menjadi sangat terbatas dan tidak mencapai ketuntasan.
Saat ini, terlihat wajah-wajah polos yang begitu ceria datang ke lokasi sekolah sebenarnya. Bukan ke sekolah virtual seperti biasanya.
Khusus hari ini mereka tidak perlu bersiap dan antusias di depan ponsel setiap pagi menanti munculnya wajah sang guru. Hari ini mereka bertemu guru mereka di dunia nyata. Menyapa dan bergembira sejenak, walaupun agendanya pemeriksaan tumbuh kembang.
Aku bisa menyaksikan betapa bahagia wajah setiap guru yang bisa menatap secara langsung siswa siswinya. Aku ikut merasakan betapa mereka juga merindukan sekolah seperti sebelumnya.
Aku yakin, tidak hanya guru di pelosok yang kesulitan, tetapi semua guru di Indonesia bahkan dunia juga mengalami hal yang sama. Mereka merindukan mengajar di depan kelas.
Aku merasa ada kebanggaan tersendiri saat seorang guru bisa menatap muridnya secara langsung. Aura dan jiwa mereka terlihat begitu hidup.
Tidak seperti ketika aku pertama datang untuk sosialisasi. Wajah mereka memang tetap ceria. Namun, entahlah aku melihat hari ini berbeda denagn sebelumnya.
Sorot mata, garis senyum, cara bicara dan Bahasa tubuh mereka menggambarkan semuanya. Ah, aku jadi merindukan para guruku dulu. Mereka pasti saat ini sudah tidak lagi muda.
Tiba-tiba saja aku teringat betapa tehnologi berkembang dengan cepat. Apakah guru-guruku yang sekarang sudah menjelang pensiun masih bisa mengikuti perkembangan zaman yang serba canggih saat ini?
Mereka yang senior, tidak lagi selincah guru-guru muda yang lebih terampil bertehnologi. Guru-guruku dulu mungkin tidak secanggih guru sekarang, tetapi aku masih yakin metode mengajar mereka masih jauh lebih baik daripada tehnologi secanggih apapun.
Semoga para guru-guruku saat ini selalu sehat dan dilindungi Tuhan. Bagaimanapun berkat mereka aku bisa menjadi Mega yang sekarang.
Mereka benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka mengajar murni karena ingin mencerdaskan murid-muridnya. Sedangkan guru sekarang. Mereka adalah professional yang juga digaji pemerintah. Apalagi guru di kota-kota besar.
Di kota terpencil yang jauh dari keramaian ini, professionalisme guru juga dituntut, tetapi aku yakin keterbatasan yang menjadikan mereka tidak bisa seperti guru di kota besar.
“Ma, kita belajar apa hari ini?” kudengar kembali celotehan seorang anak laki-laki yang menggandenga erat tangan ibunya.
Tatapannya tiada henti menyorot ke setiap sudut dan penghuni kelas yang rata-rata dihuni oang dewasa.
“Selamat pagi, Adik tampan,” sapaku dengan suara ramah agar tidak membuatnya takut karena pertama kali bertemu denganku.
Aku tersenyum dibalik masker medisku, tetapi tentu saja senyumku tidak akan terlihat. Bahkan suaraku saja harus sedikit kunaikkan volumenya agar terdengar lebih keras. Andai aku bisa protes, pemakaian masker ini sungguh mengganggu aktifitasku.
Andai bisa memilih, aku memillih tidak menggunakan masker. Namun, tidak ada pilihan lain. Memilih menggunakan face shield tidak bisa kami lakukan karena barang tersebut belum ada di dusun kami. Malang niang nasib masyarakat terpencil seperti kami.
Mudah-mudahan barang murah tersebut bisa segera dibawa oleh distributor ke wilayah kami. Sehingga, kedudukan masker bisa tergantikan pada saat-saat tertentu.
Yang lebih membuatku bahagia jika face shield sudah ada di desa kami, wajah cantikku bisa terlihat. Bibirku merah jambuku tidak lagi bersembunyi dibalik masker yang gerah. Senyumku tidak lagi menjadi misteri.
Hahaha, duh, songongnya diriku. Seolah-olah aku artis saja. Padahal kan, yang banyak fansnya Mas Yanto. Wajah tampannya selalu ditunggu-tunggu, walaupun sudah disembunyikan dibalik masker.
Aku sendiri pernah memergoki seorang wanita yang datang ke praktek Mas Yanto dan bersedia membayar mahal hanya sekedar untuk meminta suamiku melepas maskernya.
Dalam hati aku sempat memaki-maki wanita tersebut karena seenaknya saja nyuruh-nyuruh suami orang. Memangnya dia tidak tahu apa kalau istrinya tidak bisa jauh-jauh dari si mas dukun tampannya.
Beruntungnya suamiku menolak dengan tegas dan mengatakan bahwa wajahnya bukan untuk ditukar dengan uang.
Skakmat. Si waniat terdiam. Aku bersorak kegirangan dalam hati merasa menjadi pemenang. Tentu saja, sekeras apapun usaha para pasien wanita Mas Yanto pemenengnya tetap aku. Kan, songong lagi.
Balik ke murid-murid TK yang imut dan lucu. Mereka terus datang secara bergiliran sesuai waktu yang dijadwalkan para guru mengikuti protokol kesehatan. Tidak berkerumun dan tetap menjaga jarak.
“Sini, duduk!” aku memint kepada salah seorang murid TK yang gemoy untuk duduk di dekatku agar bisa aku lakukan beberapa tes.
Perlahan anak itu duduk tanpa ditemani mamanya, ia sedikit berbeda dengan murid lain yang terlihat malu dan ragu. Anak lelaki ini malah terlihat sangat tidak mengenal takut.
Aku mulai menanyakan banyak hal dan memberi beberapa kegiatan yang sesuai. Tak kusangka ia bisa menyelesaikan dengan baik. Bisa dikatakan lebih dari teman-temannya.
Hari yang menyenangkan. Sepanjang hari aku terus tersenyum lebar menyaksikan keunikan anak-anak berusia empat hingga enam tahun.
"Mungkin saat ini Tuhan baru mengizinkanku membantu anak-anak di sekitar sebelum merawat anak sendiri," gumamku dalam hati setiap kali ada keinginan segera hamil.
Apalagi didekatku sekarang sedang berkumpul banyak anak kecil, rasanya ingin aku bawa pulang satu, tapi takut orang tua kandungnya marah.
Andai ada pesewaan anak. Ih, udah ngaco aja pikiranku. Ais, andai Mas Yanto tahu apa isi otakku pasti isi kepalaku akan dicuci. Entah pakai deterjen atau pakai sajen.
Untng ia belum tahu dan mudah-mudahan tidak pernah tahu. Andai tahu pun aku tidak akan membantah.
Bagiku yang terpenting sekarang adalah rasa bangga menyaksikan pertumbuhan anak-anak yang terlihat sehat karena peran orang tua. Namun, aku juga merasa sedih menyaksikan beberapa anak masih belum sesuai perkembangannya sesuai grafik pertumbuhan dan perkembangan.
Namun, aku tidak bisa menyelahkan orang tua sepenuhnya sebab faktor penentunya tidak hanya satu, bisa saja yang mempengaruhi perkembangan mereka adalah lingkungan bukan faktor intern atau pra natal
selesai melakukan serangkaian tes aku dan semua tim berbaur dengan guru-guru menuntaskan dan menyelesaikan hasil yang kami peroleh. Aku sampaikan hasil setiap anak untuk dipelajari dan ditndaklanjuti.
***
Bersambung