4. Dukun Yanto

1280 Kata
Belum terjawab pertanyaan Jehan, dari arah pintu terdengar seseorang menyebut nama suamiku. “Mas Yaantooo,” serunya kencang. Aku dan ketiga sahabatku sampai menutup telinga. Kulihat Mas Yanto mengajak tamunya ke ruangan khusus yang digunakan praktek. Aku yang sudah terbiasa hanya mendiamkan. Berbeda dengan Jehan, Wulan dan Putri. Ketiganya masih kepo, segera mereka berdiri dan mengintip dari balik tirai yang menghubungkan ruangan praktek Mas Yanto dengan ruang tamu. Aku sengaja membiarkan ketiganya, karena ruang tamu sedikit berantakan. Sisa-sisa kertas dan minuman Mbak Rika tadi. Selesai membersihkan ruang tamu, aku kembali duduk di depan televisi, menunggu ketiga sahabatku menghabiskan kekepoannya. “Eh, Ga. Beneran suami kamu, dukun?” tanya Wulan dengan nada terkejut sembari duduk di sampingku. Aku hanya menoleh sekilas sambil mengedikkan bahu. “Serius ih, Mas Yanto beneran dukun,” ucap Putri menyusul Wulan duduk di sampingku yang masih kosong. “Sejak kapan, Ga?” tanya Wulan yang masih kepo. “Gaaesss, suaminya Mega dukun. Masih muda dan keren. Gak nyangka,” komentar Jehan dengan puas setelah mengintip aksi Mas Yanto. “Beneran gaes, aku gak nyangka,” lanjut Jehan. Bukan hanya Jehan, siapapun yang baru pertama kali bertemu Mas Yanto tidak akan percaya jika suamiku seorang dukun. Jangan dikira karena profesi dukunnya, Mas Yanto memakai banyak akik seperti Tessi, tidak. Penampilan Mas Yanto, selalu rapi dan necis. Jika kalian gemar menonton serial drama Korea, pasti tidak asing dengan Kim Wo Bin, wajahnya 11 – 12 dengan artis tersebut. Hanya saja kulit Mas Yanto terlihat lebih gelap akibat keseringan bekerja di bawah terik matahari. Padahal saat bekerja sebagai terapis di perusahaan massage, kulitnya bersih. Tidak terlihat aura dukun sama sekali. Tidak pernah sekalipun, Mas Yanto menemui tamunya hanya mengenakan sarung atau kaos oblong. Minimal kaos berkrah atau hoodie dan bercelana panjang. Rambutnya tersisir rapi tanpa udeng , blangkon atau apapun. Kedukunannya akan terlihat saat, ia beritual. Begitulah yang selalu aku tahu. Karena beberapa kali sempat memergokinya melakukan ritual saat masuk ke ruangan prakteknya. Entah ritual apa? Aku tidak tahu. Aku selalu ngibrit keluar ruangan, saat tahu Mas Yanto melakukan ritual, karena hawanya terasa begitu berbeda dan menyeramkan bagiku. Sehingga, aku memilih tidak di dekatnya saat ia berritual. “Ga, kok diem sih?” Senggol Putri yang terlihat jengah dengan ulahku yang tidak menjawab apa pun pertanyaan mereka terkait profesi Mas Yanto. “Gak apa-apa, kok,” jawabku sekenanya. “Apanya yang gak apa-apa?” solot Wulan, membuatku terkekeh. “Iya, suami aku sekarang dukun,” jawabku datar dengan harapan mengakhiri kekepoan mereka bertiga. “Sejak kapan?” tanya Jehan antusias. “Sejak pindah ke sini,” jawabku. “Kira-kira Mas Yanto bisa apa aja, Ga?” tanya Wulan menatapku intens. “Tanya aja sendiri ke orangnya, aku gak tau,” jawabku. “Yaaaa Mega, kok gitu sih!” ucap Putri kecewa. “Penonton kecewa,” lanjut Putri. “Aku beneran gak tau, gaes. Mas Yanto itu bisa apa aja? Ntar aku jawab salah, gimana coba?” sanggahku membela diri. “Iya-iya. Gitu aja ngambek,” ucap Wulan menyunggingkan senyumnya. *** “Mas Yanto,” panggil Wulan tidak sabar begitu suamiku keluar dari ruang prakteknya. “Iya, Mbak.” Mas Yanto membatalkan langkahnya yang hendak ke dapur beralih bergabung dengan kami. “Mas Yanto, bantu kami!” tutur Wulan begitu Mas Yanto sudah duduk tenang di sampingku. “Bantu apa, Mbak?” tanya Mas Yanto menatap wulan bingung ekspresi yang sama sepertiku. “Mas, bikin Mas Geo betah di rumah,” ucap Wulan lirih, aku mendengar ada kesedihan di kalimatnya. “Mas Geo, kenapa Mbak?” tanya suamiku. “Sudah empat bulan ini Mas Geo sering pulang malam. Kadang-kadang pamit tidak pulang sampai tiga hari. Seminggu yang lalu aku liat ada foto cewek masuk ke ponselnya,” ujar Wulan menutup sesi curhatnya. “Aku juga dong, Mas,” sahut Jehan. “Bikin salonku laris,” lanjutnya. “Mas, bikin mertuaku bertekuk lutut di hadapanku,” geram Putri. Aku menatap ketiga sahabatku bergantian dengan tatapan tidak percaya. Seorang Wulan dan Geo yang selalu tampil kompak dan harmonis. Jehan yang terlihat sukses dengan usaha salonnya. Putri yang notabene serumah dengan mertua, tetapi terlihat tidak ada masalah apa pun. Nyatanya, semua yang mereka perlihatkan tidaklah seindah realita. Mereka berusaha menutupinya dengan sekuat tenaga. “Mas, ayolah!” rayu Wulan. “Kami beri berapapun yang Mas Yanto, minta!” sahut Jehan. “Mas Yanto, demi masa depan kami dan anak-anak. Aku tidak ingin anak-anak kehilangan sosok ayahnya,” ucap Wulan sedih. “Ga, bujuk suami kamu, deh. Ntar aku jamin semua skin care kamu,” oceh Jehan lancar jaya. Aku hanya menatap ragu ketiganya. “Mas, aku sudah enggak tahan dihin-hina terus sama mertuaku,” sambung Putri. Padahal diantara kita berempat Putri, yang tercantik dan terajin. Berbeda dengan aku yang super malas. Sedangkan Wulan, termasuk tipe ideal seorang istri dengan semua keterampilan yang ia miliki. Jehan, salon miliknya selalu banyak dikunjungi pelanggan. Lalu dimana kekurangan mereka? Batinku mencoba mengorek kekurangan ketiganya. “Saingan gue sekarang gak hanya satu salon, tapi muncul salon lain yang lebih murah pas di samping,” ucap Jehan tanpa diminta Mas Yanto. “Mertuaku ingin anak laki-laki. Sedangkan kedua anakku perempuan,” sambung Putri. “Mas Geo, selalu mengeluh bosan denganku,” pungkas Wulan yang terdengar paling menyakitkan. Aku sampai geram mendengar sahabatku dibully suaminya. Andaikan dekat sudah aku beri bogem si Geo. Mas Yanto menatapku, seolah-olah meminta pesetujuan. Aku hanya mengangguk menjawab permintaan ketiga sahabatku. Apalagi mereka membeberkan sebab musababnya. “Berapapun yang Mas yanto minta, kita kasih,” ucap Wulan meyakinkan suamiku. “Bukan perkara berapa-berapanya, Mbak?” kata Mas Yanto. “Tapi, Apa kalian yakin dan gak akan nyesel, kelak?” tanya Mas Yanto memulai sesi tanya jawab kepada ketiga sahabatku. “Enggak,” jawab kompak ketiganya. Aku sampai geleng-geleng kepala menyaksikan ketiganya. Sungguh tak kusangka. Mereka bertiga yang notabene berpendidikan tinggi, bagaimana bisa mempercayai ilmu perdukunan Mas Yanto? Aku mengedipkan mataku berkali-kali berharap salah dan semua hanya mimpi. Namun, mereka bertiga masih fokus menatap Mas Yanto. Kulihat suamiku memejamkan matanya. Keduanya tangannya bersidekap sambil membaca mantra-mantra yang tidak aku tahu. Tidak ada kemenyan atau sesaji seperti layaknya praktek dukun yang aku lihat di televisi. Ha ha ha, kayaknya aku benar-benar termakan sinetron. Namun, tetap saja aura seram dan aneh menyerangku. Aku pun mundur dan sedikit menjauh dari mereka. Sebetulnya, aku ingin pindah ke ruangan lain. Mengingat yang sedang bersama Mas Yanto adalah sahabat-sahabatku aku urungkan niatku. Meskipun, kudukku terasa merinding, aku mencoba bertahan dan memberanikan diri, hingga ritual selesai. “Mbak Wulan,” kata suamiku. “Mas Geo, punya wanita lain,” ucap suamiku lirih seolah-olah prihatin dengan nasib Wulan. Kudengar Wulan menghembuskan napas panjang, menguatkan hati. “Mbak Putri, mertuamu sepertinya berniat menjodohkan Mas Farid dengan wanita lain.” Kulihat Putri menunduk mendengar penuturan suamiku. “Mbak Jehan, salonmu sepertinya ada yang menjegal. Ada yang main dukun dan ada yang tanpa dukun, tapi mereka memanfaatkan tehnologi dan memanfaatkan orang kepercayaanmu,” ucap suamiku, membuat Jehan terperanjat. “Mas Yanto, kok tahu?” tanya Jehan reflek. Mas Yanto kulihat tersenyum menjawab pertanyaan Jehan. “Saran saya ....” Suamiku mulai memberikan wejangan, jimat dan syarat-syarat untuk setiap permasalahan dari mereka bertiga. Awalnya mereka bertiga terkejut dengan persayaratan yang diminta suamiku. Namun, setelah dijelaskan ketiga mengangguk, tanda mengerti. *** Seminggu setelah kepulangan ketiga sahabatku. Sepaket skin care, satu unit sepeda motor dikirim ke rumah dalam keadaan selamat juga sejumlah uang ke rekening dengan jumlah fantastis. Kabar yang aku dengar dari Jehan, Wulan dan Putri, jimat Mas Yanto manjur dan tokcer. Antara percaya dan tidak percaya, bagaimana bisa? Namun, aku kembali fokus pada nominal dan paket yang kuterima. Luar biasa, bukan? Hanya dengan sebuah ritual aneh, jimat dan mantra , materi bisa datang sendiri tanpa kuminta. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN