03

1081 Kata
Motor tuanya tiba-tiba hari ini mogok, dia merungut tak ingin jalan, membuat Bambang terpaksa harus meninggalkannya di rumah dan pulang-pergi menggunakan Bus. Hari itu Bambang pulang sedikit terlambat, sekitar pukul tiga sore. Karena tadi ada rapat mendadak membahas soal UAS yang akan di laksanakan beberapa bulan lagi, meskipun masih lama, tapi persiapan harus dilakukan. Mulai dari panitia dan persiapan soal. Sore itu Bambang duduk di halte bus dengan tenang, sambil terus menscroll ponselnya yang sudah dua tahun tak berganti. Matanya jeli menatap setiap gerakan dari jarinya yang naik-turun, bahkan telinganya sengaja ditutup dengan earphone akan suara sumbang kendaraan yang lalu lalang tak membuatnya resah, karena dia tak suka. Meskipun sudah ditutup, ada suara lain yang entah dari mana, tiba-tiba masuk dalam telinganya. Bambang melepaskan earphone dari telinga kirinya lalu menoleh. Dia mendapati seorang ibu-ibu tengah berbicara, tidak, lebih tepatnya mengomeli seorang remaja yang menggunakan seragam putih-hijau khas sekolah agamanya. Bambang memperhatikan keduanya, karena sepertinya remaja itu salah satu murid dari sekolahnya, meskipun dia tak yakin. Digesernya badannya sedikit cepat, lalu ia menguping sedikit pembicaraan itu. Dan mendengarkan ibu-ibu itu marah pada sang remaja. “Ini sudah kesekian kalinya ya, Mama di panggil kepala sekolah, nilai eksakmu anjlok terus! Kalau gini, gimana kamu bisa masuk kedokteran!” ucap ibu-ibu berbaju dinas instansi kesehatan itu. Bambang terus memperhatikan, benar saja anak itu salah satu muridnya, yang selalu bertukar pikiran dengannya didalam kelas, bagi anak itu pelajaran Bambang mengasyikkan terlihat dari caranya mengikuti pelajaran. “Maaf Bu, ini kenapa ya?” tanya Bambang, ibu itu menoleh. “Kamu siapa? Gak perlu ikut campur urusan saya,” sang ibu terus saja marah bahkan dengan Bambang. Bambang melihat di tangannnya ada sebuah lembaran putih bertuliskan ketikan, dan berlogo dinas pendidikan. “Saya perlu ikut campur, karena saya guru Ekonomi dan komputernya, Ranu. Saya Bambang,” Bambang tersenyum ramah, meskipun si ibu masih mengulas senyum kecut. Sementara remaja bernama Ranu itu menoleh, melihat Bambang dengan mata sayu. “Saya capek Pak datang kesekolahnya terus dari dia kelas sepuluh, nilai eksak dia selalu jeblok,” “Begitu ya. Tapi, nilai Ranu yang lain bagus kok, Bu. Apalagi nilai komputernya,” “Nilai komputer untuk apa? Saya mau dia pinter bahas inggris dan matematika, setelah lulus saya ingin dia ambil jurusan kedokteran di Malaysia, tapi kalau kayak gini bagaimana dia bisa masuk,” Mendengar ucapan itu Bambang duduk di samping Ranu, menepuk pundaknya perlahan, Ranu kembali menoleh, “Beneran Ranu mau ambil jurusan kedokteran?” Ranu menggeleng perlahan, takut dengan ucapan Mamanya tadi. “Saya memang guru baru bagi Ranu, Bu. Tapi, saya kenal Rau, nilai Komputernya selalu memuaskan, dia pintar praktek, bahkan lebih memahami soal komputer dari pada saya. Mungkin bakat dia disitu, Bu,” “Enggak bisa, Pak. Saya sudah mengeleskan Ranu Bahasa inggris dan Matematika, tapi hasilnya tetap seperti ini. Saya pengen dia seperti, Papanya,” Bambang menarik napasnya, satu lagi masalah soal pendidikan. Kadang orangtua selalu memaksakan anaknya harus melakukan apa yang mereka mau, tanpa peduli bakat mereka. “Ibu ndak boleh maksa kalau Rabu ndak mau. Coba Ibu tanyakan dulu pada anaknya, bicarakan baik-baik dengan Ranu,” Bambang mengulas senyum, “Saya permisi dulu Bu, bus saya sudah sampai,” Bambang mengucapkan permisi lalu meninggalkan Ranu dan ibunya, masuk kedalam bus. Pembicaraan dengan keduanya ternyata memakan waktu setengah jam. Dijaman sekarang ternyata masih ada orangtua yang selalu memaksakan kehendaknya pada anak, mereka pikir anak adalah mesin pencetak garis keturunan, yang jika mereka tak melakukan anak harus melakukan. Sejak kecil Bambang memang tak pernah dipaksa untuk menjadi apapun, tapi melihat anak-anak yang ingin mengejar mimpi mereka malah mendapat tekanan orang tuanya, membuatnya merasa khawatir dan kasihan. *** Setelah naik bus hingga satu jam, karena bus mengalami ban bocor. Bambang sampai kerumah. Merebahkannya tubuh lemasnya di atas sofa, sambil terus menarik dan menghembuskan napas lelah. Pukul empat sore, saat dia melirik jam yang berada di samping dinding dengan ukuran setinggi orang dewasa, terbuat dari kayu berwarna coklat mengkilat, tua. “Gimana motor kamu, Le?” tanya sang ibu yang baru saja masuk kedalam rumah. “Masih di bengkel Bu, katanya kemungkinan besok baru bisa. Montir khususnya lagi keluar kota,” jawab Bambang lemas, seakan tanpa tenaga. “Besok kamu bareng sama Satria saja, dari pada naik bus,” “Endak Bu, nanti Satria kepagian berangkatnya. Kuliah dia kan jam delapanan. Eh Satria mana, Bu?” tanya Bambang saat dia teringat adiknya yang sejak tadi tak nampak. “Belum pulang dari tadi pagi,” “Dia kuliah?” Sang Ibu mengangguk. Bambang mengerucutkan bibirnya, adiknya berulah lagi. Meskipun masih sore dan belum begitu larut, tapi kemana dia pergi? Padahal kuliahnya selesai setelah istirahat siang. “Ibu ndak telephone dia ada dimana?” sambung Bambang. “Mungkin dia lagi kumpul sama teman-temannya. Biarin saja, Le,” “Tapi, Bu. Harusnya dia bantuin Ibu ditoko, bukan malah keluyuran,” “Jangan selalu berpikiran negatif,” timpal suara yang tak lain milik Satria, yang baru saja masuk kedalam rumah, “Aku habis kuliah. Mas'e harusnya tau kalau kuliahku lebih banyak di lapangan,” “Kuliah apa lagi kamu? Kamu sudah hampir semester sembilan. Harusnya sudah ndak ada mata kuliah,” Satria menghentikan langkah kakinya yang hendak berjalan menuju kamar. Lalu membalikkan tubuhnya menghadap Bambang. “Iya aku sudah semester tua. Mas, Satria ini bodoh gak sepandai Mas Bambang. Mungkin bahkan Satria kuliah nunggu di D.O kampus,” ucap Satria menahan rasa kesalnya. Entah harus bagaimana lagi dia bersikap pada Bambang yang tak seperti dirinya. “Sudah-sudah, ndak usah ribu lagi,” redam sang ibu, Satria memalingkan wajahnya. “Itu Ibu manjakan saja anak kesayangan, Ibu,” kata Satria sambil melajukan langkahnya menuju kamar. “Tria, kamu sama Mas'e anak kesayangan, Ibu,” seru sang ibu. Satria tak merespon. “Kenapa selalu bertengkar sama adikmu, Le? Ibu mau kalian rukun, setidaknya pura-puralah rukun di depan Ibumu ini,” Sang ibu menahan tangisnya, hingga membuat matanya berkaca-kaca. Dia menyeka lelehan ingus encer dan bening dari hidungnya. “Sejak ayah kalian meninggal, kalian selalu saja bertengkar. Jadilah seperti ayahmu yang tak pernah melarang anaknya untuk melakukan ini-itu,” sambung sang ibu. Bambang mengangguk. “Maafin Bambang, Bu. Bambang hanya ingin Tria jadi anak yang baik. Karena menjaga Tria tanggung jawab Bambang sekarang,” ujar Bambang sambil mengelus kedua pundak ibunya. Apakah dia benar? Dia bisa berbicara manis dan mengatakan bahwa orangtua tak boleh memaksakan kehendaknya pada seorang anak. Tapi, dia malah memaksakan semua hal pada Satria. Adiknya sendiri. Tapi, dibalik sifatnya itu, dia ingin melindungi adiknya dari kejahatan kota dan gelapnya dunia remaja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN