“Le,” panggil sang ibu saat Bambang memasang kaos kakinya diteras rumah.
Bambang menoleh, melihat ibunya yang berjalan mendekatinya sambil membawa kantong plastik berwarna hitam, sepertinya berisi buah pesanan orang.
“Enggeh, Bu,” kata Bambang lembut saat kaos kaki dan sepatunya sudah terpasang dengan nyaman di kakinya, menyatu tapi tak bisa bersatu.
“Sebelum berangkat, kamu antarkan titipan buah ini buat Bu Arum, ya. Dari alamatnya, sepertinya ndak jauh dari sekolahmu,” sang ibu memberikan kantong plastik yang ternyata benar berisi buah dan sebuah sobekan kertas berisi alamat . Bambang mengintip isi kantong itu, isinya dua sisir pisang ambon yang cukup besar.
“Enggeh, Bu. Tapi ini ndak ada deadline jamnya, kan, Bu?”
Sang ibu memukul pelan lengan kiri Bambang. “Kamu kira ini tugas kuliah. Endak ada, yang penting jangan sampai siang. Buahnya katanya mau buat acara arisan nanti,”
Bambang mengangguk, lalu mencium punggung tangan sang ibu.
“Dan ini buat bekal kamu, biar ada tenaga,” sambung ibunya, sambil memberikan kotak tupperware transparan yang berisi potongan apel dan mangga.
Bambang menerimanya, setelah itu mengucapkan salam dan membawa motornya berlalu, pergi dari area rumah sederhananya.
Hari ini bekal yang di berikan sang ibu adalah apel dan mangga, dua jenis buah yang kaya vitamin c, b dan potasium, untuk mangganya ada tambahan phenol yang baik bagi Antioksidan.
Jika di tanya kenapa ibunya selalu mengerti tentang buah yang harus di konsumsi disaat keadaan yang berbeda, jawabnya karena dulu ibu Bambang adalah lulusan gizi, tapi setelah menikah ia lebih fokus pada keluarga.
Bambang sendiri tidak begitu suka buah, kadang ada bagian di mana buah itu bisa berubah mengerikan. Misalnya rambutan, bagaimana jika rambutnya tumbuh memanjang? Itu akan menakutkan jika dikupas dengan mulut.
Bambang berusaha menghilangkan bayangan buah yang entah bagaimana bisa membuatnya bergidik ngeri. Bambang memfokuskan diri untuk mengendarai vespa tua peninggalan turun temurun dari kakeknya, yang katanya vespa itu umurnya lebih tua darinya. Saking tuanya, vespa itu seperti selalu meminta di sayang, tak bisa di kendarai secara mendesak dan terburu-buru.
Dengan kecepatan enam puluh, gas kencang yang sudah di tarik, motornya melaju perlahan menyusuri jalanan. Tak berapa lama, dia berhenti disaat ada kemacetan di jalan, di parkirkan motornya untuk melihat sekilas apa yang terjadi. Orang-orang berkumpul di jalanan, seperti antri sembako. Dia mendesak kumpulan itu, hingga tubuhnya tak bisa lagi masuk kedalam karena di batas garis polisi.
Dari kejauhan nampak ada kecelakaan beruntun antara truk, minibus, dan sebuah mobil dinas berplat merah. Saat Bambang sampai di sana, ada seorang laki-laki yang ditandu masuk kedalam ambulance. Terlihat tubuh dan wajahnya bersimbah darah, karena ketiga kendaraan itu rusak parah.
Bambang bergidik ngeri-ngeri sedap, memundurkan tubuhnya, lalu mengambil motornya dan memutar jalan tikus. Karena macet itu bisa lama, sementara satu jam lagi dia harus mengajar. Namun sebelum itu dia harus mengangantar pesanan orang. Pesanan yang harusnya Satria sang mengantar, tapi mungkin ia masih tidur, karena ia belum melihatnya sama sekali sebelum berangkat.
Bambang kembali fokus pada jalannya yang berlumpur dan belum di aspal, benar-benar jalanan tikus, dan jalan itu hanya berjarak tujuh ratus meter sampai rumah bu Arum. Seandainya ia salah memilih jalan, bannya yang licin akan tergelincir jalan becek.
***
Bu, buahnya sudah Bambang antar kerumah Bu Arum. Uangnya nanti di antar kerumah.
Bambang mengirim pesan pada sang ibu, saat suara sepatunya menggema ruang aula. Selangkah kemudian dia masuk kedalam kantor dan ruang guru. Dengan ramah dia mengucap salam, berjalan menuju mejanya dan menaruh tas. Belum menyentuh kursi, seorang guru laki-laki memanggilnya, dia harus menghadap kepala sekolah diruangannya.
“Makasih, Fa,” ucap Bambang pada Nafa, salah satu guru bantu yang tadi memanggilnya.
Pemuda berusia sembilan belas tahun itu tersenyum ramah dan mengangguk. Bambang mengambil pulpen dari kantung tas ranselnya, lalu menaruhnya di kantung sebelah kiri di bajunya. Suara sepatu pantofelnya kembali terdengar, memenuhi seisi dalam saat Bambang menyusuri aula yang menghubungkan kantor guru dan ruangan kepala sekolah.
“Assalamualaikum,” salam Bambang tersenyum pada kepala sekolah.
“Waalaikumusalam. Duduk Pak Bambang,” ucap kepala sekolah, mempersilahkan Bambang duduk. Saat Bambang hendak duduk, di sampingnya ada salah satu murid dan seorang ibu-ibu yang sepertinya walinya. “Begini Pak Bambang, ini ada wali murid dari Raihan, namanya Bu Farida mau ngomong sama Bapak,”
Bambang menoleh kearah ibu Farida yang di maksud kepala sekolah, seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahunan, terlihat cantik dengan jilbab mahalnya dan riasan yang kata anak muda membuat kulitnya glowing, bagi Bambang malah seperti ketumpahan minyak goreng.
“Ada apa ya, Bu?” tanya Bambang lembut.
“Bapak guru komputernya, Raihan, kan?!” tanya balik bu Farida. Bambang mengangguk. “Pak, Raihan ini gak punya komputer atau laptop kenapa harus di paksa punya, saya sama bapaknya belum punya cukup uang untuk membelikannya. Bapak harus ngerti dong!”
Bambang menajamkan matanya, saat ia berusaha memundurkan telinganya. Karena suara ibu itu begitu kencang. Elegan yang melekat padanya tiba-tiba saja hilang.
“Maaf Bu, saya memang guru komputer Raihan. Tapi, saya tidak pernah memaksa Raihan harus punya komputer atau laptop,” kata Bambang berusaha seramah mungkin, meski ini pertama kalinya dia ditegur wali murid. “Saya hanya ingin dia mengusahakan bisa. Raihan sudah kelas sebelas bu, beberapa bulan lagi ia naik kelas dua belas. Nilai komputernya selalu rendah, kalau dia ndak bisa mengoperasikan komputer bagaimana ia mengerjakan UNBK nanti,”
“Bener begitu, Han?” tanya bu Farida pada sang anak sambil mencubit lengannya pelan, “Jangan buat malu Mama kenapa sih,”
“Ta-tapi, Ma,” ucap Raihan tergagap. Menunduk malu sekaligus menahan sakit akibat cubitan sang mama.
“Kalau begitu saya permisi,” kata bu Farida dengan wajah cueknya. Sepertinya dia malu akan hal itu. Sesaat setelah itu dia menarik tangan Raihan dan keluar dari ruang kepala sekolah.
Bambang dan kepala sekolah hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah mereka.
“Sabar ya, Pak. Wali murid akhir-akhir ini memang begitu, seperti mereka gak sekolah saja,” ujar kepala sekolah.
“Iya, Pak. Ndak apa-apa, namanya juga orangtua pasti mau yang terbaik buat anaknya,” meskipun Bambang mengatakan hal itu, dia masih nampak gugup, jika dia salah menjawab tadi mungkin dia akan menjadi bulan-bulanan wali murid. “Saya permisi Pak, assalamualaikum,”
Kepala sekolah belum menjawab, kemudian malah mencegah Bambang, “Sebentar Pak Bambang. Katanya tadi ada beberapa Mahasiswa yang mau datang untuk PPL (PM), nanti Bapak urus mereka ya?”
“Baik, Pak,” Bambang mengangguk, lalu benar-benar berlalu pergi dari ruangan kepala sekolah, menuju kantor guru dan mempersiapkan bahan mengajarnya karena beberapa menit lagi jam pelajaran akan dimulai.
***
“Tugas!” ucap Bambang, saat terdengar suara pergantian jam dari salah satu speaker di ruang guru.
Mendengar ucapan Bambang, para muridnya yang ada sekitar dua puluh orang itu mengeluh dengan kata “yah” serempak.
“Katanya gak ada PR, Pak?!” protes salah satu murid laki-laki yang duduk dibagian depan.
“Bapak ndak bilang PR, tapi tugas. Silahkan di kerjakan, dan hasilnya dikumpulkan ke email Bapak, Bapak tunggu sampai hari senin pukul dua belas malam,” kata Bambang, ada banyak raut tak terima dari anak muridnya. Memang ada kesepakatan antara dirinya dan anak muridnya itu bahwa tidak akan memberikan Pekerjaan Rumah.
Bambang membacakan satu persatu tugas yang ia berikan, setelah itu ia berjalan keluar dari ruangan kelas XI.
Bagi Bambang memberikan Pekerjaan Rumah pada anak-anak bukan pilihan yang tepat. Pekerjaan Rumah itu bukan menentukan mereka belajar atau tidak di rumah. Pekerjaa Rumah itu memberi mereka tambahan beban. Apa tidak cukup mereka sudah belajar enam hari seminggu, delapan jam sehari?
Kadang mental mereka tertekan, hati mereka sakit, saat semua standar kehidupan di tentukan oleh tinggi-rendahnya nilai di sekolah. Saat mereka ingin pulang kerumah, tidur dengan santai, mereka harus terluka lagi karena ada Pekerjaa Rumah yang harus mereka kerjakan.
Tapi, pikirannya tak pernah sesuai dengan guru lain, bagi guru lain itu untuk menambah nilai. Tapi, bagi Bambang itu merenggut kebebasan mereka untuk istirahat.
Bambang membayangkan semasa sekolahnya dulu, bagaimana dia selalu tertekan dengan bayangan Pekerjaan Rumah, karena tidak semua murid menyukainya.
Tidak semua anak murid memiliki tingkat kepintaran yang sama.
Kini Bambang sudah berjalan memasuki aula, tapi dia teringat saat kepala sekolah memintanya untuk menemui para mahasiwa yang PPL.
Bambang berjalan masuk ruangan kepala sekolah, setelah mengetuk pintu, mengucapkan salam dan masuk. Disana sudah ada enam mahasiwa, tiga laki-laki dan tiga perempuan.
“Ini Pak Bambang, Wakamad Kurikulum. Yang akan mengurus kalian,” ucap kepala sekolah memperkenalkan Bambang.
Bambang mengangguk dan tersenyum pada mereka, lalu duduk dikursi lainnya.
“Saya Pak Bambang, nanti yang mengurusi kalian. Bagian pembelajaran Ekonomi dengan Pendidikan Komputer silahkan bertanya soal RPP,” kata Bambang bersikap ramah meskipun ia tak menyungging sedikitpun senyum. Kesan pertama cuek yang tak bersahabat.
Keenamnya kemudian bergantian bersalaman. Tiba saat seorang mahasiswi bersalaman padanya, mahasiswi itu sedikit memperlambat salamnya, matanya menatap Bambang dengan tajam sambil bibirnya mengulas senyum.
Bambang menjelaskan hal apapun terkait PPL yang akan mereka lakukan nanti, pembagian tugas dan absen. Keenam mahasiswa tahun keempat itu berusaha memahami ucapan Bambang yang kadang sulit dimengerti sepeti bahasa pempograman berderet.
Setelah pembicaraan itu Bambang kembali keruangan guru, saat jam di tangannya sudah menunjukkan waktu istirahat kedua.
“Pak Bambang,” seru salah satu guru, bernama Malik, bagian Kesiswaan.
Bambang menoleh kearah Malik. Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahunan itu mengisyaratkan Bambang untuk duduk di sofa depan mejanya.
Setelah menaruh buku pelajaran, Bambang menuju sofa itu. Duduk dengan santai, sepertinya Malik ingin membicarakan sesuatu.
“Kenapa, Pak?” tanya Bambang. Malik mendekatinya.
“Ada masalah apa tadi pagi, Pak?” tanya balik Malik, menatap wajah Bambang seakan menunggu jawaban.
Pembicaraan ini lagi. Bambang menghela napas beratnya, kadang dia tak suka berkumpul dengan para guru karena menjadikan murid sebagai bahan asyik untuk dijadikan menggosip. Bambang kadang menghindari terlalu banyak berkumpul dengan mereka, meskipun seharusnya dia bisa bertukar pikiran.
“Biasalah wali murid protes,”
“Protes gimana, Pak?” tanya Ayumi, salah seorang guru perempuan mendekati keduanya.
“Katanya saya maksa anaknya harus punya laptop, padahal saya memasaknya harus bisa, Bu,” jawab Bambang.
“Kadang kita sebagai guru juga bingung ya, Pak. Yang menjadikan pendidikan sulit justru orang tuanya,” kata Malik.
Bambang mengangguk, kali ini dia setuju.
“Sudah pendidikan murah bahkan gratis, tapi masih banyak wali murid yang protes, seakan anak di sekolah harus di sayang dan di puji. Soal sayang pasti, namanya kita guru ‘kan, ya,” sambung Malik.
“Bukan hanya itu, Pak Malik. Standarisasi pendidikan harusnya lebih baik, tapi ini malah membuat anak manja. Di marahi dikit ngadu, di pukul dikit orang tuanya marah. Kita serba salah,” timpal Ayumi, perempuan itu yang kadang tidak sabaran dengan anak murid.
Pembicaraan itu terus berjalan. Bukan Bambang dan Malik yang berbicara, tapi malah Malik dengan Ayumi yang saling beradu asumsi mereka selama mengajar. Bambang yang hanya guru baru cukup mendengarkan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Selebihnya apa yang mereka katakan tak terespon gendang telinganya.
***
Pukul satu siang, jam belajar telah usai. Bambang bergegas pulang dengan menaiki vespanya, membawa motor itu menyusuri jalanan lagi.
Hari itu matahari cukup terik, musim panas masih membuat udara menjadi tak bersahabat, menggunakan jaket bahkan bukan pilihan yang tepat.
Saat Bambang menjalankan motornya, nampak matanya seorang perempuan mendorong motor matic bebeknya, dengan perlahan Bambang berjalan disampingnya.
“Motornya kenapa?” tanya Bambang, perempuan itu menoleh. “Lho kamu,”
“Iya, Pak. Ini motor saya tiba-tiba mogok, entah rusaknya apa,” jawab perempuan itu, dia salah satu dari mahasiswa PPL tadi.
“Yaudah, ayo naik. Biar saya yang dorong,” ucap Bambang, perempuan itu setuju.
Dari posisi di kanan, Bambang mendorong motor perempuan itu dengan kaki kirinya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya, tapi perempuan itu sesekali tersenyum malu-malu, seperti memikirkan sesuatu.
Tak berapa lama, mereka sampai di bengkel terdekat. Bambang ikut menunggu sampai motor perempuan itu benar-benar bisa berjalan.
“Makasih ya, Pak,” kata perempuan itu kemudian.
“Sama-sama. Ehmm-siapa namamu?”
“Saya Zara, Pak. Mahasiswa Pendidikan Ekonomi,”
“Lho, berarti kamu adik tingkat saya di UOS (Universitas Organisasi Swasta)?” Bambang memastikan, karena kebetulan para mahasiswa tadi dari Kampusnya dulu saat kuliah S1.
Zara mengangguk, “Iya, saya dulu sering lihat, Bapak. Tapi, mungkin Bapak tidak kenal saya,”
“Iya, maaf. Saya ndak begitu kenal adik tingkat. Kamu semester berapa?"
“Saya sekarang semester tujuh, Pak,”
“Cepat saja kuliahnya, ndak usah ketunda. Ndak asyik lho wisuda bareng adik tingkat. Kumpul bareng teman kan enak,”
Zara tersenyum. Entah kenapa dia begitu memahami ucapan Bambang, dia hanya terus menikmati wajah manis Bambang yang penuh kharisma. Tampan khas wajah pribumi, khususnya orang jawa.
Dulu saat Bambang masih kuliah, dan Zara masih semester awal, Zara sering melihat Bambang dengan teman-temannya. Bahkan saat kemudian perkuliahan mereka pada gedung yang sama, Zara semakin senang dekat dengan Bambang.
“Bapak sudah menikah?” Tanya Zara kemudian, entah ada keberanian dari mana ia bertanya seperti itu.
“Menikah? Belum kepikiran. Saya pikir saya masih muda, masih banyak mimpi yang ingin saya capai sendiri. Menikah nantilah, jika ada jodohnya,” ucap Bambang.
Hati Zara bersorak gembira, Bambang ternyata belum memiliki seorang pasangan hidup, tapi kekasih? Jika Zara menanyakan itu ia bisa dianggap sebagai orang yang terlalu ingin tahu, jadi dia tahan. Lagi pula selama dua bulan kedepan dia akan satu sekolah dengan Bambang. Perlahan dia pasti akan tahu tentang Bambang lebih jelas.
Sekitar tiga puluh menit kemudian motor Zara telah selesai, Bambang dan Zara berpisah di depan bengkel karena berbeda arah rumah.