“Widi mana? Kenapa dia tidak datang? Dasar ya, dia benar-benar tidak tahu aturan,” omel Juliana membuat Adan menggelengkan kepala. Istri-istrinya itu tak ada yang sarapan tepat waktu karena menunggunya keluar dari kamar Widi, dan ia bangun sudah hampir pukul 9. Karena, mengantuk sekali, ia terganggu dengan suara dengkuran Widi, namun ia mulai terbiasa, karena ketika ia gelisah ternyata matanya bisa di ajak kerja sama.
“Tidak perlu mengganggunya,” kata Adan, membuat semua istri-istrinya itu bertukar pandangan dan mulai merasa aneh. “Dia pasti capek.” Adan melanjutkan.
Juliana geram dan ia mengepal tangan kanannya. Ia kesal sekali, apa maksud dari kata ‘capek?’ Juliana mulai kesal dan berusaha menahan amarahnya yang meledak-ledak di dalam sana.
“Memangnya apa yang terjadi semalam sampai Widi capek?” Pertanyaan itu datang dari Kelly.
Adan mendongak dan melihat ke arah Kelly yang sedang menikmati sarapannya. Juliana menendang kaki Kelly dan Kelly akhirnya sadar bahwa Adan sedang menatap ke arahnya kesal.
“Maksud saya, apa yang di lakukan Widi sampai membuat kami semua terlambat sarapan menunggunya?” Kelly meralat perkataannya.
“Bukankah sudah jelas apa yang terjadi semalam?” tanya Adan.
“Iya, Tuan Muda,” angguk Kelly mengelus leher belakangnya yang tak gatal.
Juliana mendesah napas kesal karena ia sudah kehilangan kesabaran, tapi ia tak mungkin marah didepan Adan, ia pasti akan kena marah dari Adan jika memperlihatkan ketidaksabarannya saat ini.
“Kalian ingat apa yang pernah saya katakan pada kalian?” tanya Adan.
“Ingat, Tuan Muda,” jawab ketiganya secara bersamaan.
“Salah satu dari kalian akan saya pilih untuk menemani saya di acara makan malam keluarga besar. Jadi, kalian jangan sampai melakukan kesalahan.”
“Biasanya saya yang menemani Tuan Muda ke acara tersebut,” kata Juliana.
“Kan tidak mungkin kamu terus, ‘kan? Berikan kesempatan kepada yang lain.” Adan menggelengkan kepala.
Awalnya, Adan ingin sekali melindungi Widi, namun seperti yang ia lihat Widi tak seperti istri-istrinya yang lain, Widi cukup kuat melawan Juliana, jadi ia tak perlu merepotkan diri untuk menjaga Widi dari serangan Juliana.
Istri-istrinya itu tidak ada yang tahu kalau ternyata ia memasang CCTV di setiap ruangan yang ada di rumah ini, kecuali kamar mereka, dan Adan tahu apa yang terjadi di rumah meskipun ia tak ada di rumah.
Setelah selesai sarapan, mereka semua duduk di ruang tengah menikmati secangkir teh hangat yang sudah di siapkan ART untuk mereka, juga beberapa macam cemilan.
Adan belum juga berangkat ke kantor dan belum juga bergeser dari sini, Juliana sudah tak tahan membuat perhitungan dengan Widi yang masih di kamarnya jam segini.
Itu tidak bisa di biarkan, enak saja Widi seenaknya sampai tak memikirkan istri-istri lainnya, meskipun itu menandakan bahwa sesuatu terjadi semalam, karena itu lah keduanya kesiangan dan Widi belum bangun sampai saat ini.
Tak lama kemudian, terdengar suara hentakkan kaki, mereka menoleh dan melihat Widi baru bangun dan meregangkan ototnya didepan mereka semua, Juliana menoleh dan melihat suaminya yang saat ini tersenyum dan menggelengkan kepala melihat ke arah Widi.
Juliana merasakan keanehan karena suaminya itu benar-benar sudah terpaut perasaan pada Widi. Karena setiap melihat Widi, Adan pasti akan tersenyum tanpa alasan, sementara ketika bersama mereka, Adan tak pernah tersenyum didepan mereka.
Hal ini lah yang selalu menjadi bahan kekesalan Juliana kepada Widi.
“Kenapa kamu terlambat bangun?” tanya Juliana. “Kamu sudah tidak punya aturan, kamu tidak tahu aturan di rumah ini?”
“Saya tak perduli dengan aturan di rumah ini,” jawab Widi. “Yang saya tahu, tubuh saya jauh lebih segar karena saya tidur sangat nyenyak tanpa perduli dengan aturan di rumah ini.”
Adan tersenyum mendengarkan, ia berusaha untuk tidak membuat istri-istrinya menyadar senyumannya saat ini, Adan hanya menganggap Widi lucu dan menggemaskan.
“Kalau kamu tidak suka dengan aturan di rumah ini, kamu bisa keluar.” Kelly melanjutkan.
“Ah terserah kalian saja. Lebih baik aku sarapan,” kata Widi lalu melangkah menuju ruang makan, dimana Ida sudah menunggunya dan sudah menyiapkan sarapan untuknya, karena Ida bertugas untuk memastikan Widi makan dan tidur. Bahkan memastikan Widi baik-baik saja.
“Sudah kalian tak usah mengusiknya.” Adan melanjutkan.
“Tuan Muda memberikan saya kepercayaan untuk mengatur rumah ini dan Tuan Muda mengatakan kepada saya bahwa Tuan Muda tak akan ikut campur, karena itu sudah wewenang saya, saya tentu saja harus mengatur istri-istri Tuan Muda yang lain, agar mereka bisa lebih teratur dan tidak seenaknya.” Juliana menatap Adan yang saat ini lupa dengan apa yang pernah ia katakan.
“Lalu apa yang bisa kamu lakukan untuk mengatur Widi? Dasarnya saja dia tidak bisa di atur,” kata Adan.
“Kalau berada di bawah saya tentu saja, saya harus mengaturnya.” Juliana melanjutkan membuat Adan mengangguk.
“Ya sudah terserah kamu. Tapi jangan menyakiti orang lain.”
“Jika dia di beritahu baik-baik tak mendengarkan, artinya memang harus dengan menyakiti,” jawab Juliana lagi membuat Kelly dan Lila bertukar pandangan karena Juliana berani sekali mengatakan hal itu.
Adan mendesah napas halus, dan tidak lagi mengatakan sesuatu, ia juga tak mau ikut campur urusan rumah, Adan lalu kembali fokus pada majalah bisnis yang masih ada di pahanya.
Tak lama kemudian, Lila bangkit dari duduknya dan izin ke kamar kecil, lalu melangkah menuju ruang makan dimana Widi sedang menikmati semua makanan yang sudah di persiapkan Ida untuknya.
Lila lalu duduk di samping Widi dan berkata, “Kamu ngapain saja semalam?” tanya Lila.
“Maksudmu?”
“Kamu sama Tuan Muda w*****k?” tanya Lila.
“Apa itu w*****k?”
“Ya hubungan suami istri.”
“Kenapa memangnya?” tanya Widi lagi.
“Ya aku hanya penasaran. Hehe. Kan biasa ya terjadi pada suami istri.”
“Nah itu kalau kamu tahu itu biasa terjadi pada suami istri, pasti yang terjadi seperti yang kamu pikirkan.” Widi melanjutkan.
“Benarkah? Jadi, sudah terjadi? Wah seru banget,” seru Lila.
“Kamu gak cemburu?” tanya Widi.
“Aku? Cemburu? Ya gak lah,” geleng Lila. “Kenapa memangnya aku harus cemburu? Kamu dan Tuan Muda kan suami istri, ya kamu dan Tuan Muda berhak melakukan itu.”
“Kamu juga sudah pernah merasakannya, ‘kan?”
“Iya. Sudah. Tapi sekali doang,” jawab Lila.
“Maksudnya?”
“Hanya sekali saja Tuan Muda tidur dengan kami, setelah itu kami gak di tengok lagi,” jawab Lila.
“Kok bisa?”
“Iya. Jadi, aku berharap kamu gak bernasib sama dengan kami.”
“Jadi, maksudnya kalian di buat kayak tissue gitu? Sekali pakai langsung di buang?”
“Nasib tissue mah gak seperti nasib kita. Kalau kita masih di kasih uang nafkah. Meskipun batin gak terpenuhi.” Lila melanjutkan membuat Widi menggelengkan kepala.
Kasihan sekali nasib istri-istri suaminya itu, di pake sekali dan tidak di tengok lagi setelah itu, apa bosan?
“Bahkan ya, semenjak aku nikah sama Tuan Muda, baru sekali aja Tuan Muda tidur di kamarku.” Lila melanjutkan. “Tempatnya sering tidur ya di kamarnya sendiri. Mbak K juga sama. Kalau MbaK J, aku gak tahu mungkin karena dia istri pertama mungkin sering sebelum ada kami.”