Gin terbangun ketika sinar Matahari menyusup kebalik jendela dan menyilaukan matanya. Ia segera terduduk saat mendapati tak ada Harumi disampingnya. Gin bangkit dan keluar dari kamar lalu bernafas lega ketika mendengar suara Harumi tampak sedang menelepon seseorang. Ia tengah duduk di halaman belakang sambil berbincang.
Gin segera membersihkan dirinya, wajahnya terasa perih dan masih merah bekas tamparan Harumi. Gin tak menyangka Harumi bisa memiliki kekuatan sebesar itu untuk menampar dirinya yang bertubuh tinggi besar sekuat itu.
Selesai mandi Gin kembali mencari Harumi, tetapi langkahnya terhenti ketika suara bel berbunyi. Telihat bu Ipah tergopoh-gopoh ingin membukakan gerbang, tapi Gin tahan.
“Biar saya saja bu,” ucap Gin sambil berjalan ke depan dan membuka gerbang kecil untuk mengetahui siapa yang datang.
Alangkah terkejutnya Gin saat melihat Bianca berdiri disana. Perempuan itu langsung menerobos masuk ke halaman rumah dan memeluk Gin erat dengan wajah khawatir dan sedih.
“Kamu gak apa-apa sayang? Wajahmu! Keterlaluan Harumi menamparmu sampai seperti ini,” keluh Bianca cemas dan mengusap wajah Gin yang masih syok dengan kedatangan Bianca.
“Mau apa kamu kesini?” tanya Gin cepat sambil melepaskan pelukan Bianca.
“Aku khawatir sama kamu mas! Semalaman aku gak bisa tidur karena takut Harumi menyakitimu,” ucap Bianca dengan mata berkaca-kaca.
Tiba-tiba terdengar suara benda pecah disamping Gin dan Bianca. Gin langsung menoleh ke arah atas rumahnya dan melihat Harumi tengah berdiri depan jendela kamar mereka setelah melempar gelas kearah Gin dan Bianca.
“Usir perempuan itu! Ini masih rumahku! Aku tak sudi satu jengkal tanah dirumah ini tersentuh kakinya!” ucap Harumi keras dengan wajah dingin menatap Bianca.
“Mas…,” panggil Bianca ketakutan melihat kenekatan Harumi melempar gelas kearah mereka. Perempuan itu hendak memeluk Gin kembali tetapi Gin menahannya dan menarik Bianca kembali keluar gerbang.
“Pulanglah, biar aku selesaikan urusan rumah tanggaku sendiri. Kehadiranmu hanya akan memancing Harumi semakin marah!”
“Tidak! Aku tidak akan tinggal diam dengan sikap arogannya!” tolak Bianca mencoba kembali masuk ke dalam rumah.
“Bianca! Ini urusanku dan Harumi, aku tak ingin kamu ikut campur dalam urusan kami!”
“Mas!”
“Pergilah! Aku mohon…,”
Gin segera kembali ke dalam rumah dan menutup gerbang. Ia segera mencari Harumi ke dalam kamar tidur mereka. Sedangkan Harumi tampak sudah siap untuk menghadapi Gin yang pasti akan marah besar padanya.
Melihat Harumi masih berdiri di depan jendela, Gin segera menghampirinya.
“Kenapa kamu mau marah karena pacar kamu aku lempar gelas?!” tanya Harumi dengan nada tinggi.
Harumi terkesiap ketika Gin malah mengambil kedua tangannya untuk dirangkulkan di leher Gin dan Gin segera memeluk Harumi perlahan dan erat.
“Maaf ya, aku juga tidak tahu kalau Bianca akan datang. Aku sudah menyuruhnya pergi. Sabar sayang… tenangkan hatimu…,” bisik Gin lembut.
Harumi terdiam sesaat. Ia jadi teringat ketika mereka masih mesra dulu. Jika Harumi marah atau berbuat kesalahan, Gin selalu memberitahu dan menegurnya dengan cara seperti ini. Harumi akan bergelayut manja di leher Gin dan Gin akan membisikkannya nasehat ditelinga Harumi.
Harumi segera menarik tangannya dari leher Gin dan mendorong sang suami agar melepaskan pelukannya. Ia tak ingin terpedaya lagi dengan kelembutan Gin. Sikap Gin membuatnya kembali sedih, mungkin saja kemarin Gin melakukan hal yang sama pada Bianca.
“Harumi,” panggil Gin ketika Harumi melangkah pergi dengan wajah masih gusar dan meninggalkan Gin sendiri didalam kamar.
***
“Kenapa tuh muka? Berantem apa kucing apa gimana?” tanya Franka ketika melihat sang kakak membukakan pintu mobilnya.
“Ck! Ayo cepat turun!” ajak Gin ketika sang adik akhirnya sampai kerumahnya.
Sejak kejadian pagi tadi, seharian ini Harumi mengurung diri dikamar tidur dirinya dan Gin dan tak menyentuh makanan sama sekali. Gin merasa sangat khawatir sehingga ia menghubungi Franka sang adik untuk membujuk Harumi.
Untung saja Franka saat ini sedang berada dirumahnya, ia baru saja mengambil cuti melahirkannya karena beberapa minggu lagi ia akan segera melahirkan anak kedua. Mendengar keluhan Gin, Franka segera datang kerumah sang kakak.
Ia pun sebenarnya ingin bertemu Harumi setelah setahun sahabat dan juga kakak iparnya itu menghilang.
“Kok mas Gin jam segini sudah dirumah?” tanya Franka sambil mengikuti langkah sang kakak masuk kedalam rumah.
“Aku sengaja ambil cuti satu minggu ini, kondisi mami benar-benar sedang naik turun membuatku tak bisa meninggalkannya. Hari ini kami belum datang menjenguk mami, karena seharian ini Harumi mengurung diri dikamar, entah apa yang dilakukannya,” ucap Gin sambil mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk.
“Tolong berikan ini pada Harumi, kalau perlu kamu suapi. Dari pagi dia tidak makan apapun,” ucap Gin cemas sambil memberikan piring dan segelas air putih pada Franka.
“Ada apalagi sih, mas? Kalian bertengkar apa lagi? Kasihan Harumi mas!” ucap Franka merasa cemas dan langsung menyalahkan sang kakak.
“Sudahlah, tolong dulu kasih makan Harumi. Tolong buka pintu kamarnya dan ambil kuncinya biar dia tidak bisa mengunci dirinya lagi dikamar,” pinta Gin sambil mendorong perlahan sang adik untuk menaiki tangga menuju kamar tidur utama.
Franka menurut ia segera naik ke lantai atas dan memanggil Harumi.
“Rumiii, buka pintunya … ini aku Franka… aku pegel nih diri terus!” panggil Franka santai.
Tak lama terdengar kunci pintu dibuka dan perlahan pintu kamar itu pun terbuka lebar.
“Lama banget bukanya… kamu lupa ya aku lagi hamil besar?” sungut Franka pura-pura mengeluh lalu berjalan menuju ke dalam kamar.
“Kamu ngapain kesini?” tanya Harumi tak kalah merengut lalu kembali duduk dilantai.
Franka meletakan piring berisi nasi dan air putih diatas meja lalu ia menarik salah satu kursi agar bisa duduk didekat Harumi yang tengah membongkar isi lemarinya. Terlihat baju, tas, ikat pinggang dan pernak pernik lainnya sudah tersusun rapi di lantai.
Franka segera kembali mengambil piring lalu duduk dikursi, sedangkan Harumi kembali asik melipat pakaian yang tersisa.
“Buka mulutnya, aa!” suruh Franka seperti hendak menyuapi anaknya sendiri.
Harumi segera membuka mulutnya dan membiarkan Franka menyuapi dirinya. Semua orang yang dekat dengan Harumi sudah tahu betapa Rima memanjakan anak perempuannya itu.
Harumi yang jika sedang fokus akan sesuatu yang tengah ia kerjakan sering sekali melewatkan kewajibannya seperti makan dan mandi sehingga sampai dewasa pun Rima masih sering menyuapi Harumi jika tengah mengerjakan tugas. Dan acara menyuapi itu juga pindah ketangan Gin setelah mereka menikah.
“Mau diapakan barang-barang ini?” tanya Franka pada sahabatnya.
“Sebagian baju, tas dan ikat pinggang mau aku preloved saja, lumayan kalau bisa jadi uang,” jawab Harumi sambil mengunyah makanannya.
“Hah?! Barang-barang ini semuanya branded, sudah sini aku minta ikat pinggang itu untukku, setelah melahirkan nanti aku bisa menggunakannya lagi. Tas itu mau kamu jual berapa? Aku beli deh, tapi jual murah aja ya… aku mau melahirkan soalnya,” ucap Franka cepat melakukan tawar menawar dengan sahabatnya.
“Duitnya emang buat apa sih?” tanya Franka sambil memilih-milih ikat pinggang.
“Buat aku tabunglah! 5 bulan lagi aku harus bayar kontrakan, belum lagi kalau mami sudah tidak ada dan aku pasti bercerai dengan mas Gin. Tak akan ada yang membiayai hidupku lagi Franka, aku harus bisa hidup sendiri.”
Jawaban Harumi yang terdengar santai dan datar tanpa emosi membuat Franka menoleh dan menatap Harumi dalam.
“Kemana saja kamu selama ini?” tanya Franka kali ini serius.
Mendengar nada bicara sahabatnya yang berbeda membuat Harumi menoleh ke arah Franka dan membuka mulut minta disuapi lagi.
“Kamu kerja dimana? Siapa pria yang kemarin menemanimu di restoran?” tanya Franka.
“Kali ini aku beneran sudah bekerja Franka, bahkan aku punya rumah kontrakan sendiri. Walau kecil tapi nyamaan sekali. Aku tahu kalau kamu melihatnya pasti tidak suka, karena tempatnya cukup jauh dan dilingkungan yang sangat ramai.”
“Memangnya mas Gin gak kasih kamu uang? Bagaimanapun kalian belum bercerai dan masih sah sebagai suami istri.”
“Mas Gin masih terus mengirimiku uang setiap bulan, tetapi tak pernah aku pakai sama sekali. Aku hanya tak ingin terbiasa untuk merasa nyaman dan merasa punya uang. Karena kenyataannya tak lama lagi kami akan berpisah. Andai kamu tahu betapa sulitnya aku belajar hidup susah! Hampir setiap malam aku menangis karena kakiku pegal harus berjalan naik turun jembatan untuk bisa naik busway, belum lagi awal-awal aku sering nyasar dan menghabiskan uang untuk naik taksi. Sedih dehh,” ucap Harumi manja seolah minta dikasihani sahabatnya.
“Ya kamu sih, salah sendiri! Kalau aku jadi kamu, aku kuras duit mas Gin sebanyak mungkin supaya kalau benar-benar bercerai aku bisa tetap hidup nyaman, bukan nyusahin diri kaya gini!”
“Idih, aku masih punya harga diri! Semua orang diluar sana meneriaki aku istri yang manja, matrealistis, dan gak bisa hidup susah! Aku mau nunjukin sama semua orang kalau aku bisa hidup susah dan mandiri!”
“Udah bisa sekarang? Udah bisa makan gengsinya?” sindir Franka.
“Udahlah! Tapi kali ini aku hidup sederhana bukan karena ingin menunjukan aku bisa, tetapi benar-benar agar bisa survive menyambung hidup. Aku juga mau nabung, mau ikutan kursus gitu, biar nanti bisa melamar pekerjaan ke perusahaan yang gajinya bisa lebih besar. Aku juga ingin hidup lebih nyaman, kaliii….”
“Memangnya kenapa di perusahaan sekarang? Bos kamu itu galak? Atau gajinya kecil?”
“Pria kemarin itu namanya Alex, dia bekas teman sekelas saat SMA. Kalau bukan mas Gin yang lamar aku duluan, pasti Alex yang melamarku. Dia mengelola perusahaan keluarganya saat ini. Alex menerima aku kerja hanya karena ingin menolongku, Ka. Aku tak ingin merepotkannya terus menerus.”
Franka terdiam, lalu sibuk menyuapi Harumi sampai tandas.
“Mi, kamu gak mau balikan lagi sama mas Gin?” tanya Franka tiba-tiba dengan nada pelan.
Harumi menggelengkan kepalanya perlahan.
“Aku takut, Ka. Aku takut perasaan mas Gin hanya sementara dan sebenarnya ia memang sudah berpindah hati pada Bianca.”
“Mas Gin itu cinta banget sama kamu! Aku yakin perasaannya pada Bianca hanya pelarian sesaat saja, karena saat itu komunikasi kalian benar-benar tidak bagus!”
“Aku juga tak percaya pada diriku sendiri, Franka. Bayangkan butuh satu tahun aku bisa membuat diriku untuk bisa hidup tenang tanpa merasa sedih dan mempertanyakan mengapa mas Gin berpaling. Kini baru beberapa hari saja kembali bersama, kami berdua sudah seperti orang gila yang saling menyakiti. Kamu tahu tadi pagi aku melempar gelas kearah Bianca karena ia berani datang kerumah ini. Jika aku kembali bersama mas Gin, bagaimana bisa aku yakin kalau aku benar-benar tulus memaafkannya tanpa rasa trauma ia akan mengulangi sikapnya yang sama. Bagaimana bisa aku kembali disentuh oleh mas Gin, sedangkan aku merasa jijik pada jari-jari tangannya karena ia pasti melakukan hal mesra pada Bianca. Biarkan saja ia bersama Bianca, toh Bianca juga sudah mencintai mas Gin bertahun-tahun lamanya,” ucap Harumi perlahan.
Franka terdiam, ia tak menyangka bahwa Harumi juga mengetahui bahwa Bianca telah menyukai kakaknya sejak mereka masih kuliah.
“Kamu juga tahu itu?”
“Tentu saja aku tahu, kita bertiga bersahabat bukan? Aku tahu bahwa Bianca mencintai mas Gin, hanya saja saat itu mas Gin lebih dulu membalas perasaanku. Mungkin saat ini jodoh mas Gin adalah bersama Bianca. Toh, ia lebih baik dari segala hal dari pada aku. Ia cantik, cerdas, memiliki karir yang bagus dan bisa dibanggakan oleh mas Gin.”
Hening. Tak ada pembicaraan lagi antara Harumi dan Franka. Mereka berdua seolah tengah mengurai dan mencerna pembicaraan yang begitu dalam ini.
“Tetapi aku selalu ingin kamu menjadi kakak iparku, Mi. Buatku kamu lebih lucu, menyenangkan dari pada Bianca,” bisik Franka sambil memeluk erat sahabatnya.
“Akh, sudahlah … emang bodoh si Ginovio itu! Kali ini aku mendukungmu bersama seseorang yang benar-benar menyayangimu, Harumi. Siapapun orangnya,” ucap Franka mencaci maki sang kakak dan memberi dukungan pada Harumi.
Harumi hanya tersenyum dan kedua sahabat itu akhirnya asik memilih milih pakaian sedangkan dibalik pintu ada Gin yang tengah duduk selonjoran di lantai mendengarkan percakapan dua perempuan itu. Wajahnya terlihat sedih dengan mata merah menahan tangis.
Perlahan ia mengintip ke arah dalam kamar tanpa Franka dan Harumi ketahui. Betapa inginnya ia berlari ke dalam untuk memeluk Harumi dan menciumnya sambil meminta maaf karena telah menyakiti perasaan istrinya begitu dalam.
Bersambung.