Waktu sudah menunjukan pukul 9 malam, tetapi Harumi tetapi belum pulang dan membuat Gin bergerak kesana kemari menunggu dengan gelisah.
Tadi sore Harumi dan Franka pergi bersama untuk menghabiskan waktu dengan ngopi di salah satu cafe yang berada tak jauh dari pemukiman mereka. Tetapi sampai saat ini Harumi belum kembali sedangkan Franka sudah kembali ke rumahnya sejak lama.
Gin mencoba menghubungi Harumi, tetapi tak pernah diangkat. Gin mencoba berpikir keras kemana Harumi akan pergi dan ia segera menyambar kunci mobilnya dan mengendarai mobilnya di jalanan ibukota Jakarta.
Akhirnya mobil itu membawa dirinya ke depan pintu rumah kontrakan Harumi, terlihat salah satu lampunya menyala di dalam. Perlahan Gin turun dan mengetuk pintunya. Tak lama terdengar langkah seseorang yang datang untuk membukakan pintu.
Melihat Gin yang berada didepan pintunya Harumi segera hendak menutupnya kembali, tetapi dengan cepat Gin menahannya lalu segera masuk ke dalam rumah tanpa sungkan.
“Mau apa mas Gin kesini?” tanya Harumi lemas, seolah tak bertenaga lagi untuk bertengkar.
“Aku datang untuk menjemputmu pulang,” jawab Gin perlahan.
“Aku sedang tidak mau mas, aku lagi butuh untuk istirahat di rumahku sendiri. Berada dirumah kita tidurku tak nyenyak,” jawab Harumi sambil menarik rambutnya yang panjang untuk ia ikat.
Terlihat mata Harumi yang begitu sembab dan bekas bantal di wajahnya menandakan ia habis menangis sampai tertidur.
“Aku juga barusan sedang tidur, rasanya mengantuk sekali. Pulanglah, besok aku kembali,” ucap Harumi pelan.
“Tidak, kalau aku pulang kamu juga harus ikut pulang,” ucap Gin sambil duduk bersila di atas karpet murah diruangan tamu rumah Harumi.
Harumi mendecakkan lidahnya karena tak bisa membujuk Gin, tapi ia pun tengah tak ingin mengalah.
“Terserah mas Gin saja, aku tidur dulu ya mas. Aku benar-benar lelah,” ucap Harumi sambil kembali ke dalam kamarnya dan membuka pintunya sedikit agar hawa AC yang dingin dari kamarnya bisa keluar menyejukan ruang tamunya yang pengap.
Gin menyandarkan tubuhnya ke dinding, di dalam ruangan remang rumah Harumi ia mencoba mengurai benang kusut di kepalanya. Ucapan Harumi yang tak ingin kembali bersamanya dalam membina biduk rumah tangga kembali terngiang di telinganya.
Hati Gin terasa sangat sakit, tetapi uraian peristiwa yang terjadi dalam pernikahan mereka tak mampu membuat Gin menemukan jawaban bahwa ia bisa dimaafkan atas perselingkuhannya. Kepercayaan Harumi pada dirinya telah hancur membuat istrinya itu sulit untuk kembali lagi.
Setelah melamun cukup lama, Gin menoleh kearah kamar Harumi yang terbuka. Perlahan ia berdiri dan berjalan ke arah kamar dan melihat Harumi yang tertidur lelap tampak lelah sampai selimutnya terbuka. Gin segera masuk ke dalam kamar untuk merapikan selimut istrinya lalu menutup pintu dan meletakan kepalanya diatas ranjang Harumi yang tanpa dipan, sedangkan tubuhnya ia baringkan dilantai dingin. Ia tak ingin mengganggu Harumi yang sudah tertidur lelap, mereka akan kembali esok pagi.
Harumi terbangun karena ingin buang air kecil dan cukup terkejut melihat Gin tidur meringkuk di lantai dan menggunakan tangannya sendiri sebagai bantal. Pria ini memang keras kepala jika sudah memiliki keinginan dan tak peduli akan dirinya sendiri.
“Mas Gin, bangun,” panggil Harumi perlahan.
Gin terbangun dari tidurnya yang lelap walau berada di atas lantai, ia melirik jam dinding yang menggantung dan menunjukan pukul 3 pagi.
“Aku mau pipis dulu sebentar setelah itu kita pulang,” ucap Harumi pelan merasa harus mengalah karena tak tega melihat Gin tidur dilantai.
Gin hanya mengangguk lalu duduk bersila sesaat mencoba mengumpulkan nyawa saat Harumi keluar dari kamar, lalu tak lama kemudian Harumi kembali sambil membawakan Gin air hangat.
“Minum dulu mas,” ucap Harumi sambil memberikan air hangat itu dan langsung dihabiskan sampai tandas oleh Gin.
“Ayo kita pulang,” ajak Harumi sambil mengambil tasnya tanpa mengganti pakaian tidur yang tengah ia pakai.
Gin hanya diam lalu berdiri dan berjalan dibelakang Harumi. Tak lama sepasang suami istri itu sudah berada di dalam mobil dan begitu hening, tak ada percakapan diantara keduanya.
Sesampainya dirumah, Gin segera menahan Harumi ketika hendak memasuki kamar tamu.
“Tidurlah dikamar bersamaku, tenang saja tak akan terjadi apapun,” pinta Gin menatap Harumi dengan pandangan penuh mohon.
Harumi hanya diam, ia sedang tak ingin melawan dan mulai berjalan menuju kamar tidur mereka. Waktu sudah menunjukan pukul 4 pagi ketika Gin dan Harumi baru selesai membersihkan diri dan berganti pakaian.
Mereka kembali ke atas ranjang tapi tak berusaha untuk tidur karena menunggu waktu subuh datang. Gin segera menyimpan beberapa bantal di kanan kiri tubuh dirinya dan Harumi, lalu menutupi tubuh mereka dengan selimut dan mendinginkan AC sampai angka terdingin. Itu adalah kebiasaan mereka berdua sebelum tidur jika belum mengantuk dan biasanya mereka akan berbicara apapun dari hati ke hati.
Melihat sikap Gin, Harumi mencoba untuk duduk karena ia merasa tak nyaman tetapi lagi-lagi Gin menahan tangannya dan menatapnya dalam.
“Ayo kita bicara baik-baik saat ini,” bisik Gin sambil menahan tangan Harumi dari balik selimut yang menutupi tubuh mereka sampai leher.
Harumi memalingkan wajahnya sesaat lalu memeluk guling juga bantal yang ada di depannya dari dalam selimut.
“Aku mendengar percakapanmu dengan Franka,” bisik Gin perlahan.
Harumi hanya diam dan membiarkan suaminya bicara.
“Apa kamu benar-benar ingin berpisah dariku Harumi?” tanya Gin menahan suaranya agar tidak terdengar parau.
Terlihat anggukan kepala Harumi dan hal itu membuat tenggorokan Gin terasa tercekat.
“Apa tak ada rasa lagi dihatimu untukku?” tanya Gin getir.
Harumi diam mematung, dibalik tubuhnya yang membelakangi tubuh Gin ada air mata yang tergenang di pelupuk matanya.
Bagaimana ia bisa bilang jika ia tak mencintai pria itu lagi, sedangkan rasa sakit yang terus menerus terasa ini karena ia tak bisa memungkiri bahwa ia masih mencintai suaminya.
“Perasaanku tentu saja masih ada untuk mas Gin, jika tidak bagaimana mungkin aku bisa bereaksi semarah itu kemarin. Tetapi perasaan ini tak bisa membuatku ingin bertahan dengan mas Gin, karena aku tak sanggup setiap hari mengingat pengkhianatan kalian. Aku sudah memaafkan mas Gin ,tetapi melupakan apa yang terjadi rasanya sulit.
Jika kita kembali bersama, sudah pasti aku akan merasa trauma dan mungkin akan lebih curiga dari pada biasanya. Aku tak sanggup begitu. Kamu pun akan tersiksa jika suatu hari kita bertengkar dan aku mengungkit semuanya.
Aku hanya ingin realistis saja mas … walau perasaan ini masih ada, tetapi hal itu tak membuatku bahagia. Aku hanya ingin diberikan kesempatan hidup baru dan lepas dari masa lalu.”
Harumi tak mampu menahan tangisnya ketika ia selesai berbicara. Perasaannya terasa sakit sekaligus lega setelah mengeluarkan semuanya.
Gin pun tampak menahan air matanya yang hampir tumpah tanpa Harumi sadari. Ucapan tak bahagia begitu menyakiti perasaan Gin dan membuatnya menyesal sampai titik yang paling rendah.
“Maafkan aku Harumi … maafkan aku yang telah menyakitimu begitu dalam…”
“Ayo kita berpisah mas … mungkin jika kita berpisah kita bisa menemukan kebahagiaan kita lagi dijalan masing-masing,” isak Harumi.
Gin hanya diam, air matanya tumpah dengan suara tangis yang tertahan.
“Aku tak bisa seperti ini … hal ini membuatku gila mas,” isak Harumi dan kali ini isak tangisnya semakin keras.
Sepasang suami itu menangis menumpahkan beban perasaan mereka yang telah mengganjal lama. Perlahan Gin menyentuh bahu Harumi lembut.
“Lihat aku Harumi,” pinta Gin pelan.
Harumi membalikan tubuhnya perlahan dan melihat wajah suaminya yang basah.
“Maafkan aku karena tak bisa membuatmu bahagia selama 5 tahun ini,” bisik Gin menatap wajah cantik istrinya yang begitu sedih.
“Aku berjanji akan melepasmu jika mami sudah tidak ada … tapi bisakah kita seperti suami istri lagi sampai saat itu tiba?”
“Mas, kamu ingin membujukku bukan? Jangan mas! Aku gak mau!” jawab Harumi pelan saat mendengar permintaan Gin.
“Tidak! Aku tak akan membujukmu. Aku hanya ingin menghabiskan sisa waktu pernikahan kita seperti dulu saat sebelum semua ini terjadi. Aku hanya ingin menumpuk kenangan tentang kamu.”
“Untuk apa mas? Hal itu hanya akan menyakiti kamu saja.”
Gin tersenyum sambil menghapus airmata Harumi.
“Bagaimana mungkin itu bisa menyakitiku, sedangkan dari dulu sampai sekarang cintaku itu hanya sama kamu. Aku tak berharap kamu mau memaafkan kesalahanku dan menerimaku kembali jika kamu tidak mau. Tetapi aku masih ingin menyayangimu Harumi dan melimpahkan itu semua sebelum perpisahan kita.”
“Mas…,”
“Aku tak akan menghalangimu bersama Alex … aku tak akan melarangmu pergi kemanapun yang kamu mau, mohon kabulkan permintaanku sayang… selalu pulang kerumah dan jadilah istriku saat dirumah ini. Aku tak akan mengingkari janjiku untuk melepasmu jika waktunya tiba. Biarkan aku menebus kesalahanku dengan bersikap baik padamu sebagai suami diwaktu kita yang tersisa.”
Gin tak bisa lagi menahan air matanya. Kali ini ia yang menangis sesegukan karena dadanya terasa sakit membayangkan dirinya harus melepas Harumi. Ia tidak sanggup, tetapi ia tak bisa melihat Harumi yang tak bahagia dengan dirinya.
“Ayo bertahanlah sementara menghadapiku, demi mami,” ucap Gin diantara isaknya.
Harumi yang juga menangis mencoba menghapus airmatanya dan tampak berpikir. Sesekali ia menutup matanya dengan tangan seolah memikirkan keputusan yang terbaik untuk dirinya. Setelah cukup lama, akhirnya Harumi mengangguk pelan.
“Baiklah …,” jawabnya lirih.
Gin mengambil tangan istrinya perlahan dan meremasnya lembut.
“Mulai saat ini, kita berjanji tak akan ada lagi pertengkaran diantara kita, kita berdua akan hidup baik sampai waktunya tiba. Bersabarlah denganku Harumi, aku tak akan menyiksa perasaanmu lagi,” bisik Gin sambil meringkuk mendekatkan dirinya dibahu Harumi.
Hening. Lalu tak lama terdengar Azan subuh berkumandang. Sepasang suami istri itu saling menatap sesaat sebelum akhirnya mereka bangkit dan bangun untuk bersujud dan memohon bahwa semoga apa yang mereka sepakati saat ini adalah yang terbaik.
***
Harumi terbangun dari tidurnya dan melihat tak ada Gin disisinya. Setelah subuh tadi mereka berdua sepakat untuk tidur sebentar, ternyata Harumi malah tidur cukup lama dan terbangun ketika waktu menunjukan pukul 8 pagi.
Ia segera keluar dari kamar untuk menyiapkan sarapannya.
“Mas Gin gak usah dibuatkan sarapan mbak,” ucap Bu Ipah saat melihat Harumi hendak membuat sandwith lebih banyak.
“Kenapa?”
“Mas Gin sudah pergi dari tadi pagi,”
“Loh, kemana?” tanya Harumi tampak terkejut.
“Gak tahu,”
Harumi hanya diam dan menatap roti yang berada ditangannya. Sedangkan ditempat yang lain Gin sudah berada dirumah sakit dan tengah menggenggam tangan Rima yang ringkih.
“Kok wajahmu sedih Gin?” tanya Rima saat melihat menantunya hanya diam dan menggenggam tangannya erat.
Gin terhenyak dan tersenyum pada Rima. Tentu saja ia tak bisa bercerita bahwa Harumi meminta perpisahan darinya. Rima akan semakin terbebani.
“Gak apa-apa mi, aku hanya berharap mami cepat sehat dan kembali pulih. Harumi sudah mempersiapkan kamar untuk mami,” jawab Gin lembut.
Rima menatap Gin dalam dan menepuk-nepuk tangan Gin lemah.
“Bertahanlah … jika kamu menginginkan Harumi kembali … bertahanlah … Harumi bahagiannya hanya sama kamu,” ucap Rima dengan suara lirih mencoba meyakinkan Gin dengan tenaga yang tersisa.
Gin hanya bisa menundukan kepala dan meremas rambutnya lalu memalingkan wajah karena tak tahan untuk tidak menangis sedih. Hatinya benar-benar hancur karena takut kehilangan Harumi.
Bersambung.