Bab 17. Memulai hubungan yang baru

1645 Kata
Gin baru saja sampai dirumah siang itu ketika ia melihat Harumi tengah bersiap untuk pergi. Ia terlihat sangat cantik siang itu. Walau mengenakan pakaian sederhana, Harumi kali ini memoles wajahnya sehingga ia terlihat lebih segar. Gin hanya bisa menatap sedih sang istri yang tampak bahagia. “Mau kemana?” tanya Gin perlahan sambil meletakan kunci mobilnya disamping meja rias Harumi. “Hari ini Alex mengajakku makan siang bersama, setelah itu akan mengantarku ke rumah sakit,” jawab Harumi santai sambil menatap Gin tenang. Kali ini tak terlihat wajah sendu atau kesal saat menatap Gin. Pembicaraan mereka tadi subuh ternyata benar-benar menenangkan Harumi. Berbeda dengan Gin yang tengah berusaha menahan rasa cemburunya mendengar sang istri akan makan siang dengan kekasihnya tetapi ia tak punya kekuatan untuk menahan, Gin harus menepati ucapannya sendiri. “Aku berangkat ya mas, nanti kita bertemu di rumah sakit ya,” ucap Harumi dengan suara riang tanpa beban. Gin hanya diam tak mampu menganggukan kepalanya dan tak juga bisa bilang kalau ia telah mengunjungi mami pagi tadi. Tak menunggu jawaban Gin, Harumi segera mengambil tasnya dan segera berjalan keluar kamar. “Harumi!” panggil Gin tiba-tiba menyusul istrinya keluar kamar. “Ya?” Gin menghampiri Harumi yang berdiri menunggu panggilannya. “Aku tak akan menghalangi hubungi dengan Alex, tapi bolehkah jika aku meminta agar ia tak masuk ke dalam rumah kita? Aku juga memiliki alasan yang sama seperti alasanmu saat kemarin Bianca datang menemuiku. Jika boleh, aku ingin meminta agar ia menjemputmu agak jauh dari rumah agar tetangga tidak melihat kamu naik turun dijemput pria yang sama.” Harumi hanya diam dan menunduk sesaat sebelum ia mengangguk dan kembali membalikan badan melangkah pergi. Gin hanya bisa diam dan melihat Harumi turun dari tangga sampai menghilang dari pandangannya. Tak lama terdengar deru mobil yang meninggalkan rumah mereka membuat Gin terduduk dilantai tak sanggup menahan perasaan sedih, cemburu dan terluka. Sedangkan di tangannya handphonenya terus bergetar menandakan seseorang menghubunginya. Perlahan Gin melihat nama yang muncul di layar. Bianca. Gin hanya bisa membuat handphone itu terus berdering sampai akhirnya berhenti sendiri. Ternyata benar, perasaannya pada Bianca tak sedalam seperti perasaannya pada Harumi. Cepat atau lambat ia akan segera mengakhiri hubungannya dengan Bianca agar tak ada lagi hati yang terluka karena dirinya. *** Harumi menekan nama Gin di handphonenya dan terdengar nada dering tetapi suaminya itu tak mengangkatnya. Matahari telah tenggelam lama, dan langit pun sudah semakin gelap, tetapi Gin tak terlihat batang hidungnya. Harumi masih duduk menunggu Gin datang sambil menemani Rima dirumah sakit, sedangkan Alex sudah ia suruh pulang lama. Tak lama terdengar suara Gin menyapa Harumi. “Halo,” sapa Gin perlahan. “Mass, kamu gak jadi jenguk mami?” tanya Harumi tak menyadari nada suaranya kembali seperti dulu ketika ia masih baik-baik saja dengan Gin. Mendengar ada nada manja di suara Harumi membuat Gin tersenyum sendiri, ia bisa membayangkan bagaimana wajah Harumi saat mengatakannya. “Ada siapa disana?” tanya Gin. “Hanya aku sendiri, mas Dino lagi nganterin mbak Prilly ke dokter untuk memeriksakan kandungannya dan akan datang lebih malam. Kamu benar-benar gak mau jenguk mami hari ini?” tanya Harumi. Mendengar pertanyaan Harumi, Gin sadar bahwa Rima tak mengatakan pada Harumi bahwa tadi pagi ia sudah datang dan menemani Rima cukup lama. “Aku baru mau berangkat,” jawab Gin segera meregangkan tubuhnya segera padahal saat itu ia tengah tenggelam dalam kesibukan pekerjaannya. “Ya sudah aku tunggu ya,” ucap Harumi cepat lalu memutuskan komunikasi mereka. Mendengar nada riang dari suara Harumi membuat hati Gin berdenyut sakit. Begitu bahagiakah Harumi saat mereka sepakat untuk berpisah? Gin segera menguatkan hatinya, apapun yang terjadi ia harus bisa ikhlas menerimanya. Setidaknya ia masih bisa menikmati waktunya untuk bersama Harumi sebelum semuanya usai. Hampir satu jam kemudian, Gin akhirnya sampai ke rumah sakit dan tampak terkejut melihat Rima yang tadi terbaring lemah, kini ia tampak duduk diranjangnya dan tengah disuapi oleh Harumi. “Mami tampak segar malam ini,” puji Gin senang melihat mertuanya tampak lebih kuat. Rima hanya tersenyum dan memanggil Gin untuk berbisik ketika Harumi pergi sesaat untuk menyimpan piring kotor. “Mami harus sehat agar kamu dan Harumi bisa kembali bersama,” bisik Rima seolah mencoba menyemangati Gin. Gin hanya tersenyum dan mengusap telapak tangan mertuanya lembut. “Hati Harumi sudah bukan buatku Mi, tapi aku harus ikhlas … semua ini juga bermula gara-gara aku,” ucap Gin dengan suara pelan sehingga hanya dirinya dan Rima yang bisa mendengar percakapan mereka. Rima menggelengkan kepalanya perlahan, “Pertengkaran dalam pernikahan itu biasa, kamu memang salah, tetapi itu bukan akhir segalanya. Berusahalah mempertahankan pernikahan kalian, kalau mami sudah tidak ada lagi, tetaplah berjuang,” bisik Rima pelan. Mendengar ucapan mertuanya Gin hanya bisa tersenyum getir, andai Rima tahu betapa inginnya Gin mempertahankan pernikahannya, tetapi apakah Harumi mau memberikannya kesempatan? Jika di hari pertama kesepakatan mereka, perempuan itu sudah tampak bahagia karena suatu hari akan berpisah dengannya. Tak lama kemudian, sepasang suami istri itu pulang. Harumi tampak sibuk menyiapkan sesuatu diatas meja makan dan memanggil Gin yang melangkah perlahan di belakangnya. “Makan dulu mas, tadi aku makan di restoran bersama Alex dan aku lihat ada cake kesukaan kamu,” ucap Harumi santai dan menyiapkan sepotong cake di sebuah piring kecil dan menyajikannya pada Gin. Hati Gin berdegup kencang, hatinya merasa senang bercampur sedih yang amat sangat. Tentu saja ia merasa senang karena Harumi mengingat makanan kesukaannya tetapi ia juga merasa sangat sedih karena tahu pasti Alex yang membelikannya untuk Harumi. Kejadian ini mengingatkan ia pada saat membawakan Oyster untuk Harumi. “Makasih ya, aku senang sekali kamu masih mengingat kue kesukaanku,” ucap Gin tersenyum getir lalu duduk didepan meja makan dan segera menikmati kuenya walau sebenarnya ia merasa tak bisa menelannya karena sedih. Harumi menatap Gin sedikit heran karena melihat wajah Gin terlihat tak nyaman saat memakan kuenya. Harumi hanya bisa terdiam sesaat dan baru menyadari bahwa saat ini ia tengah menyakiti perasaan Gin karena Gin pasti tahu bahwa cake itu Alex yang belikan. “Stop! Jangan dimakan lagi mas,” ucap Harumi tiba-tiba. “Kenapa?” tanya Gin terkejut. “Maafkan aku … aku tak bermaksud membuatmu tersinggung,” ucap Harumi pelan. “Tidak Harumi, kamu tidak membuatku tersinggung. Berikan piring itu padaku, biar aku habiskan. Aku harus menghabiskan kue itu, karena kue itu kamu yang berikan,” ucap Gin sambil mengambil kembali piring kuenya dan segera kembali makan. Harumi hanya bisa diam lalu menunduk perlahan sebelum akhirnya ia berjalan perlahan menuju kamar tidur mereka. Sedangkan Gin menghentikan makannya sesaat sebelum ia menelan potongan terakhir. Ia harus menikmati apapun selama itu adalah pemberian Harumi. Ia tak pernah tahu kapan lagi sang istri mau berbaik hati padanya. Setelah menghabiskan kuenya, Gin kembali ke kamar dan ia mendengar suara percikan air dari kamar mandi. Hatinya tiba-tiba berubah hangat karena Harumi menepati ucapannya untuk tetap bersama dan bersikap seperti istrinya saat berada dirumah. Dengan mandi dikamar tidur mereka lagi tandanya Harumi tak menolak untuk tidur bersamanya. Benar saja, tak lama kemudian Harumi keluar dari kamar mandi dan tampak santai mencoba mengeringkan rambutnya. Selesai Gin membersihkan diri, Harumi baru saja selesai mengeringkan rambut lalu tengah naik keatas ranjang besar mereka, meletakan bantal dikanan dan kiri seperti yang Gin lakukan kemarin. Gin segera melompat senang ke atas ranjang dan segera mendinginkan kamar dengan suhu yang paling rendah sehingga mereka berdua tenggelam didalam selimut dikelilingi bantal. “Kemana saja hari ini?” tanya Gin membuka pembicaraan. “Aku? Hanya makan siang bersama Alex, lalu Alex mengantarku ke rumah sakit,” jawab Harumi ringan. “Kamu sudah bercerita padanya?” “Cerita apa? Oh tentang rencana perpisahan kita? Sudah.” “Apa reaksinya?” “Hmmm, ia merasa senang tetapi ia juga bilang agar aku tak terburu-buru. Perasaan seseorang bisa berubah lagi pula tak baik membicarakan perpisahan ini karena seolah menunggu mami meninggal saja.” Gin melirik Harumi yang bercerita dengan tenang dan santai. Mendengar cerita Harumi Gin menyadari bahwa Alex benar-benar pria baik. “Aku juga sudah bilang pada Alex agar tak menjemputku lagi didepan rumah, setelah aku jelaskan ia setuju dan dia bilang hal itu benar karena bisa merusak nama baikku. Lagi pula aku masih istri orang, ia tak ingin orang memberikan cap buruk padaku.” Gin hanya bisa menelan ludah. Gin hanya diam sesaat lalu membalikkan badannya dan memunggungi Harumi. Harumi hanya diam dan menatap punggung suaminya yang seolah tengah mencoba untuk tidur. Tiba-tiba Gin kembali membalikan tubuhnya dan menatap Harumi dalam. “Harumi, esok lusa adalah hari ulang tahun ibu. Akan ada acara makan malam keluarga di hari itu, aku mohon datanglah bersamaku,” pinta Gin perlahan. Harumi hanya diam dan tampak berpikir. “Aku gak mau mas, aku gak bisa berada ditempat yang sama dengan Bianca.” “Kenapa bicara seperti itu? Aku tak mengundang Bianca, ia tak akan ada di acara itu! Kenapa kamu berpikir seperti itu?” “Karena Bianca adalah kekasih mas Gin saat ini … aku pikir ia pasti hadir juga untuk mendampingimu bukan?” Gin melihat wajah Harumi yang terlihat begitu santai kali ini membicarakan saingannya. Gin hanya mengangguk dan menghela nafas panjang. Entah mengapa sikap tenang Harumi tak membuat Gin senang. “Aku ingin mengakhiri hubunganku dengan Bianca, Harumi. Cepat atau lambat aku harus melakukannya.” “Kenapa begitu?! Bukankah kita akan segera berpisah? Kamu sudah bisa menjalin hubungan dengannya tanpa beban mas … sudah tak ada aku yang menjadi penghalang kalian.” Gin hanya diam lalu membuang pandangannya ke langit- langit. “Bagaimana aku bisa bersama seseorang yang akan membuatku terus mengingatmu. Karena hubunganku dengannya aku jadi kehilangan kamu, Harumi.” Hening. Tak ada lagi cerita diantara keduanya, seolah mereka ingin segera menutup hari dengan tidur. “Mas,” panggil Harumi tiba-tiba. “Ya?” “Terimakasih telah mencoba mengerti aku,” ucap Harumi lirih. Gin hanya diam, Harumi tak tahu bahwa wajah Gin saat ini tengah mengernyit karena menahan sedih. Ia harus menahan rasa sedih itu agar Harumi bisa bahagia seperti hari ini. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN