Aish, Ardigo bilangnya 'tunggu saja di halte bus, sebentar lagi aku sampai di sana.'
Yakali bentar lagi sampai di sini. Sudah lumutan aku dari tadi menunggu dia. Bilang aja dia niat mau ngerjain aku. Alasannya nunggu aku di halte bus. Ck.
Kalau dilihat si Ardigo itu kadang nyebelin kadang juga bisa bersikap baik terhadapku. Seperti sebelumnya aku ke kampus, dia berpesan, 'yang rajin ya belajarnya, aku doa'in semoga mata kuliah kamu bisa kamu dapat!'
Nah, kan, aneh juga si Ardigo. Sifatnya kayak bunglon, sebentar baik, sebentar jahat, sebentar nyebelin, sebentar juga bisa ngangenin. Eh, nggak, nggak pakai ngangenin. Lah..., kok jadi menilai sikapnya si Ardigo itu sih?! Aish..., ada apa dengan otakku sebenarnya sih? Mengapa jadi mikirin Ardigo si manusia bunglon satu itu?! Ck.
Tiba-tiba mobil Range Rover berhenti di hadapanku, lalu sang empunya membuka kaca film mobil itu.
"Cepat masuk!" Perintahnya lalu kembali menutup kaca mobil.
Dia siapa sih pakai main perintah begitu? Sok bossy sekali sifatnya. Dasar nyebelin! Manusia sombong! Kalau aku tidak bergantung hidupnya sama dia, sudah aku cakar-cakar, tuh, wajahnya.
Sabar Dira!
Sambil bersungut, aku mengikuti perintahnya, masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Dia masih fokus sama kemudinya. Lama-lama bosan juga sama suasana awkward di dalam mobilnya. Lantas, aku pun menyalakan radio.
Tapi tangannya langsung mencekalku. "ini mobilku, jangan pernah sentuh apapun di dalam mobil ini tanpa perintahku!" Katanya dingin.
Dasar pelit! Mau menyalakan radio aja pelit banget. Ugh.
"Dasar sombong!" Gumamku.
"Aku mendengarnya, Dira."
Ups. Bodoh ah, biar dia tahu seberapa sombongnya dia. Entah kenapa aunty Fiona mendapat anak yang nyebelinnya seperti dia.
"Kita sampai." Suara Ardigo membuyarkan lamunanku. Aku menatap bangunan yang menjulang tinggi.
"Kita dimana?" Tanyaku, mengingat bahwa aku juga tidak tahu seluk beluk isi kota Dublin.
"Jangan banyak tanya dan turun sekarang!" ucapnya dingin lalu keluar dari mobilnya.
Arghh..., dasar manusia sombong dan menyebalkan!
Sambil cemberut, aku pun keluar dari mobilnya. Dia sudah melenggang pergi, aku pun mensejajarkan langkahnya agar aku tidak ketinggalan. Kalau aku ketinggalan bisa apes deh. Kan aku juga tidak tahu ini dimana.
"Cepat jalannya!"
Aku menatap punggung di depanku sebal. Ini orang kebangetan deh. Aku tuh pakai hells, masa disuruh jalan cepat. Ugh. Dasar tidak pengertian!
"Sabar dong, susah, nih, jalannya!" Ucapku sambil melangkah dengan susah payah.
Ardigo menghela napas panjang. "Kalau begitu lepaskan saja hells kamu!"
Aku menatapnya penuh tanya, 'are you kidding me?!'
Hell! Kenapa suka seenaknya, sih, jadi orang? Selalu saja suka perintahin aku. Dikira situ mami aku apa pakai perintahin aku segala. Ish. Rasanya pengen ceburin dia di kali Ciliwung. Sayangnya jauh sekali dari Dublin ke Ciliwung.
"Cepat lepaskan!" perintahnya sekali lagi.
Aku melotot garang, "dasar bocah sableng! Kira-kira dong kalau mau perintahin orang. Jangan seenak dengkul! Masa aku harus kaki ayam sih, dikira orang kampung apa!" Teriakku tak peduli tatapan orang berlalu-lalang menatapku dengan heran.
Entah kenapa kalau dekat-dekat sama Ardigo bawaannya tuh sensian mulu. Gimana gak sensian coba, kalau dia menyebalkan begitu.
"Sshhtt... Gak usah teriak-teriak di tempat umum bisa kali ya." katanya setengah malu.
"Biarin!" Cibirku, seraya memeletkan lidah.
"Anak ini benar-benar!"
Sekali sentakan aku digendong oleh Ardigo. Astaga. Gendonginnya gak romantis banget sih, masa gendongin aku ala karung beras.
"Turunkan aku, Digo!" kataku.
Ardigo hanya diam. Bahkan dia tidak peduli dengan tatapan pengunjung mall disini.
Iya, ternyata Ardigo membawaku ke salah satu mall di daerah Dublin. Entahlah tujuan dia kesini karena apa, sampai buru-buru banget kayak kebelet ke toilet.
Ardigo menurunkanku, agak oleng sedikit sih tubuhku, tapi manusia nyebelin satu ini memegang pundakku agar aku tidak terjatuh.
Saat tubuhku berdiri kembali dengan normal. Aku menatap sekelilingku, apaa?! Restaurant nasi Padang?! Emang ada ya restaurant nasi Padang di Dublin?! Entahlah, tapi memang benar adanya kalau di Dublin ada restaurant nasi Padang, nih buktinya sekarang ada di hadapanku. Nama restaurant nasi Padang ini pun dengan bahasa Padang, aku kira pakai bahasa asing. Ternyata memakai bahasa Padang 'Rumah Makan Padang Paniang Kapalo'.
"Kita ngapain di sini?" Tanyaku bingung, seraya melihat Ardigo yang kini menatap rumah makan dengan tatapan lapar. Mungkin memang lapar dianya.
"Makan, memangnya mau ngapain lagi? Nge-dugem?" jawabnya sarkastik.
Aku mencibir, dasar bocah, di tanyain baik-baik malah jawabnya sarkastik begitu.
Ardigo memegang pergelangan tanganku. "Ayo cepat Andira! Jangan melamun, nanti dendeng batakoknya habis. Sia-sia dong aku jauh-jauh dari kampus kamu ke sini kalau dendengnya habis." Katanya sedikit merajuk.
Aku menghela napas. Dasar! Jadi, suruh aku melepaskan hells terus pakai digendong ala karung beras itu hanya demi sepiring nasi Padang dan dendeng apa tadi? Batako? Ditabok? Terserah, ah, dendeng apaan. Intinya sih dendeng.
♥♥♥
Rasa bosan melandaku, aku duduk di balkon ditemani secangkir coklat hangat. Sekarang pukul 24.00. Udara di tengah malam menusuk sampai ke tulang. Mataku menatap bulan dan bintang yang menerangi langit malam.
Kalau dipikir-pikir, lama-lama malas banget tiap hari harus ketemu Ardigo. Dari mau pergi ngampus, sampai pulang ngampus pun aku bertemu dia. Tapi, terkadang dia juga yang bisa membuatku tersenyum, setelah kejadian Kak Fariz waktu lalu, baru sekaranglah aku bisa merasakan arti kebahagiaan bersama sepupuku, Ardigo.
Hoaaamm....
Aku menguap lebar. Aku ngantuk tapi tidak bisa tidur. Mungkin penyakit insomniaku kambuh.
Tiba-tiba suara gaduh terdengar. Aku terkesiap, lalu membawa coklat hangat yang tinggal setengah itu kedalam apartku. Tak lupa pintu balkon yang kututup rapat dan kukunci.
Saat aku menaruh coklat hangatku di meja bar, lalu aku membuka pintu apartku. Mengintip sedikit dari celah pintu, dan ditanganku sudah siap memegang tongkat sapu. Takutnya ada penjahat gitu, dan aku siap menyerangnya pakai tongkat sapu.
Eh..., itu Ardigo! Ngapain tuh anak?
Gedebuk!
Aw... Itu Ardigo kenapa di gebukin sama bapak-bapak sih? Bukannya membantu Ardigo yang digebukin, malah aku menontonnya.
Aku meringis saat pukulan bapak-bapak itu mengenai punggung Ardigo. Sebenarnya, ada apa, sih? Kenapa dia bisa sampai di gebukin, begitu?
Setelah adegan gebukan selesai, aku menarik Ardigo kedalam apartku.
"Kok bisa digebukkin sih kamunya?" Tanyaku sambil menyiapkan air hangat dan alkohol untuk mengobati bekas luka memar yang ada di tubuhnya.
"Ceritanya panjang." Jawabnya singkat.
Hih dasar! Gak tahu di untung banget, sih, ini orang. Sudah di bantuin juga malah sifatnya masih ketus gitu.
Aku menghela nafas panjang, "buka bajumu!" Perintahku.
Ardigo menatapku heran. Jangan bilang dia berfikir macam-macam.
Aku berdecak, "Tuan Ardigo terhormat, lakukanlah sesuai apa perintahku! Dan aku tidak mau ada bantahan! Aku menyuruhmu untuk membuka bajumu itu bukan untuk macam-macam, aku hanya ingin mengobati bekas memar di punggungmu."
Ardigo menghela napas lega. Dasar! Kok situ yang merasa ketakutan, sih? Berasa aku mau mesumin dia aja. Harusnya, kan aku yang takut di mesumin oleh dia, apalagi di ruangan ini hanya aku sama dia doang.
Ardigo melepaskan kaos abu-abunya. Nafasku tercekat. Astaga... Ini namanya zina mata! Mengapa tubuh itu sangat seksi sekali? Padahal sudah dua kali aku melihatnya shirtless. Tapi, lagi-lagi aku terpesona sama tubuhnya yang berbentuk kotak-kotak tersebut.
"Aku tahu kalau tubuhku ini sangat bagus, tapi nganga-nya biasa saja, air liurnya bentar lagi menetes, tuh." Godanya sambil mengedip jahil.
Sialan! Dikerjain deh akunya.
Pletak! Aku memukul punggungnya tidak sengaja karena reflek.
"Enak saja! Kamu telanjang pun aku tidak tergoda." Balasku nyinyir.
"Adaaaawwww...." Ardigo meringis sakit. "Ya! Kau kenapa memukul punggungku hah?! Astaga, kau bar-bar sekali jadi wanita." Sungutnya masih meringis sakit.
Aku hanya nyengir, "maaf, tadi itu tidak sengaja." Ucapku sambil garuk-garuk kepalaku yang tidak terasa gatal.
Ardigo mendelik, "sudahlah, aku mau tidur saja, tidak usah diobati, besok pasti sakitnya sudah tidak terasa."
Setelah berkata seperti itu, dia langsung melenggang pergi ke kamarku. Eh, mau ngapain, tuh, bocah? Asal masuk kamar orang aja bukannya langsung pulang ke apartnya. Padahal kamar apartnya bersebelahan, lima langkah langsung sampai.
"Ardigo! Kenapa kau tidur di kasurku, heh?!" tanyaku tidak terima karena kasurku sudah di hinggapi manusia menyebalkan seperti Ardigo.
"Kau tidur saja di tempat lain atau tidak di sofa. Atau... kau mau tidur berdua di sini bersamaku? Jika itu maumu, tidak apa-apa." Katanya sambil mengedip centil.
Aku langsung merinding mendengar kalimat yang ia lontarkan.
"In your dream! Pulang, gih, ke apart kamu, kan deket lima langkah dari apart aku." Kataku mencoba mengusirnya secara halus, agar dia segera cepat pergi dari sini.
Ardigo memeluk gulingku, "gak mau ah, aku malas ke apartku, rasanya badanku remuk, lebih baik aku di sini saja untuk sementara." Katanya lalu memejamkan matanya.
Demi Tuhan! Lama-lama dia bisa membuatku gila.
"Ardigo! Pulang ke kandangmu sana!" Teriakku menyuruhnya kembali pulang. Eh, lebih tepatnya mengusir secara kasar, agar pria menyebalkan itu lekas pulang ke tempat apartnya.
Nihil.
Suara dengkuran halus menyadarkanku bahwa manusia bocah bin menyebalkan itu sudah masuk ke dalam mimpi.
Huft..., menyusahkan sekali sih, orang ini. Lalu, aku musti tidur di mana? Hih..., ogah, ah, tidur bareng dia. Mau tak mau aku harus tidur di sofa. Sialan kau Ardigo! Gara-gara dia, aku harus merelakan tubuhku remuk esok pagi karena tidur di sofa.
Ish, dasar pria menyebalkan dan menyusahkan!