Ahh... Memang enak rasanya tinggal di apart sini. Apalagi di dalamnya sangat mewah. Kalau misalkan gak ada si Ardigo itu, mungkin aku bakalan betah banget disini. Tapi sayangnya kami tetanggaan. Ck.
Siang nanti aku ada jam kuliah. Tapi pergi sama siapa? Masa iya aku kudu ngemis-ngemis sama si Ardigo yang dinginnya kayak es batu gitu? Haissshh... Kalau begini lebih baik minta mobil sama Papi. Tapi gimana? Kalau aku bawa mobil aku, kan gak hafal rute jalan dari apart ke kampus. Argghhhh...
Eh, tapi apa gunanya GPS, ya? Kan aku bisa bawa mobil dari apart sampai ke kampus dengan bantuan GPS. Mengapa otakku lamban sekali sih pikirnya?
Dengan cepat aku mengambil I Phone- ku di atas nakas, aku mengetik sederet angka yang sudahku hafal di otakku.
"Halo,"
"Halo Pi,"
"Iya, ada apa Dir?"
"Pi, boleh gak Papi kirimin Dira uang, Dira mau beli mobil, Pi, untuk pergi ke kampus. Hehe.."
Hening sebentar, lalu suara Papi kembali terdengar.
"Nak, bukannya Papi tidak mau ngasih uang, tapi di sana kan ada Ardigo yang bisa mengantarkan kamu setiap hari ke kampus."
Astaga... Kenapa Papi terlalu percaya sih sama Ardigo?! Nanti aku mau jalan-jalan harus pergi barengan sama Digo, gitu?! Aduh... kalau begini aku gak jadi, ah, kuliah disini. Tapi, kan kuliah di negara ini sangat aku impikan dari dulu. Argghhh....
"Huft, yaudah deh Pi, assalamualaikum.”
Tanpa perduli papi yang belum balas salam dariku, langsung saja ku matikan telponnya.
Gerrrr... gerrrtt...
Suara perutku yang kelaparan. Ah, jadi lupa mau sarapan gara-gara mengingat Ardigo yang nyebelin itu.
Tapi makan dimana ya? Yaudah ah, gedor-gedor pintu Ardigo aja, bilangnya mau minta makan gitu.
Aku keluar dari apartku, lalu berdiri di depan pintu Ardigo. Tanpa memperdulikan ada bel, langsung saja aku gedor-gedor pintu Ardigo dengan brutal.
"Ardigoooo...." Teriakku.
Bukannya terbuka pintu apart Ardigo, malah tetangga sebelah kanan yang membuka pintu,
"Hey, what's going on?!"
Aku hanya nyengir lalu meminta maaf, bapak-bapak tadipun langsung menutup pintu dengan keras. Huuufttt... Dira bodoh!
Karena gak mau mengulang kesalahan yang kedua kalinya, aku memencet bell apartnya Ardigo berkali-kali. Lalu pintu apartnya Ardigo terbuka. Sosok wajah tampan itu pun terlihat dengan wajah bantal serta rambutnya yang acak-acakkan. So sexy!
"Ck, apaan, sih gangguin orang lagi tidur aja!" Sungutnya sebal, sambil mengucek matanya.
Gleeek... Aku menelan ludahku susah payah. Waktu hamilin Ardigo, aunty Fiona ngidam apa, ya? Apalagi lihat Kak Ardigo shirtless. Otot tubuhnya seperti iklan s**u L-Men. Astaga... sempurna sekali pahatan Tuhan yang ada dihadapanku ini.
"Menikmati pemandangan, heh?" Tanyanya sarkastik.
Aku melongo, "heh? Si-siapa yang menikmati pe-pemandangan?!" ujarku ketus lalu membuang muka. Asalkan aku tidak memamerkan wajahku yang berubah merah karena ketahuan menikmati tubuhnya yang sangat sexy itu. Astaga... sadar Andira! Melihatnya lama-lama sama saja zina mata.
"Lalu? Apa maksud kedatanganmu kesini, eum?"
Aku kembali menghadapnya sambil nyengir gaje. "Eng... Aku mau makan, kak. Laperrr nih. Di kulkas tidak ada isinya. Kosong." Jelasku sambil memasang puppy eyes. Siapa tahu dia mengasihaniku dan memberikan setangkup roti selai coklat, mungkin.
Ardigo mengangkat bahu cuek, "lantas apa perduliku? Kan kamu yang lapar, ngapain minta sama aku, kamu kira aku bapak kamu apa yang harus menyediakan sarapan setiap harinya untuk kamu?! Sudah jangan ganggu aku, aku mau kembali tidur."
Hah? Kejam sekali dia. Masa tidak ada sedikit rasa kasihan terhadap diriku dan perutku yang sedari tadi berdemo ingin minta makan.
"Lah, jangan gitu dong, Kak. Ini namanya kekerasan dalam sepupuan! Masa tega, sih, ngebiarin bidadari kelaparan?!" mohonku sambil merengek.
"Ck, masuklah," katanya setengah gak ikhlas. Mungkin bisa dibilang, memang gak ikhlas!
Aku masuk kedalam apartnya Digo. Dekorasinya sangat cool. Warna cat di ruangan ini pun sangat maskulin, serba abu-abu dan broken white. Uh, masih bagusan apart Ardigo daripada aku.
"Tunggu disini, akan aku buatkan kau pasta," katanya yang langsung diangguki olehku dengan semangat.
"Tapi sebelum aku masak, aku mandi terlebih dahulu."
Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung melenggang pergi ke kamar mandi. Sesuai komandannya, aku duduk manis di meja makan sambil menahan perutku yang terasa sakit karena menahan rasa lapar. Selang beberapa menit, Kak Ardigo telah selesai mandi, dan langsung menuju dapur untuk memasak pasta.
Beberapa menit kemudian, pasta telah tersaji di meja makan, menunya sangat simple, hanya sphagetti. Dari tampilan makanan ini sangat mengagumkan. Mungkin rasanya enak.
"Jangan cengo gitu lihatin sphagetti-nya. Dimakan cepatan." Suruhnya lalu mengambil sphagetti untuk dia sendiri.
Aku mencibir dalam hati, lalu memakan sphagetti yang dibuat oleh Chef arrogant Ardigo.
Di sela-sela makan, Ardigo membuka suara, "Cepat makannya, lalu aku akan mengantarkanmu ke kampus."
Aku mendelik sebal padanya, "baru juga makan udah disuruh habisin aja, lagian nih ya Digo, jadwal kuliahku itu jam 13.00. Dan ini baru saja pukul 09.00. Masih lama tahu!" Sungutku. Walaupun ini hari pertamaku ngampus, tapi masa iya kecepatan sekali datangnya. Ck, dasar menyebalkan!
Ardigo berdecak sebal, "kamu ini mau saya antar atau tidak? Saya bukan supir kamu yang harus mematuhi perintah kamu! Jadi mau saya antar atau nggak sama sekali?! Lagian saya jam 11.00 sudah harus pergi ke kantor." Ucapnya sambil memandangku tajam.
Huffttt... Sabar Dira, sabar. Menyebalkan sekali harus menghadapi Ardigo seorang. Ck.
"Oke baiklah, terserah apa katamu, Tuan terhormat," kataku sarkastik lalu memasuki sphagetti ke dalam mulutku.
Ardigo menyeringai, "bagus, aku suka kamu jika kamu menuruti apa kataku, sangat manis." Katanya sambil tersenyum iblis.
Entah rasa apa yang menyergapiku sekarang, entahlah aku tidak bisa mendeskripsikannya. Rasanya ada ribuan tawon berterbangan di perutku. Tapi mungkin Ardigo berkata seperti itu hanya bualan semata. Ck, cepat sekali aku mudah terbuai oleh godaan seorang Ardigo Firlan Wijaya?!