Fariz pergi, dan besok lusa adalah pernikahan abang sablengku.
Lihatlah, abangku walau oonnya gak ketulungan, dan sudah dibohongin entah sudah berapa kalinya oleh Mami dan Papi, kini Kak Raka akan menikah.
Kenapa dia harus menikah saat aku lagi ditinggal pergi sama Fariz sih?
Bodohnya, sudah seminggu ini aku gak bisa apa-apa. Hanya menangis, tidur, makan, nangis lagi, tidur lagi, makan lagi. Waktu belajar dan les piano sudah kulupakan karena lagi nge-galau'in Fariz.
Apalagi, ulangan harian anjlok sekali. PR juga kadang lupa dibuat. Ini semua karena Fariz!
Coba saja dia gak pergi.
Coba dia gak nganggap aku sebagai taruhan.
Coba saja dia....
Huuuffttt... Aku tidak kuat untuk mengingat sosok Fariz lagi. Rasanya sakit dan hatiku terasa sesak.
Mami sama Papi gak peduli lagi sama aku, masa dari kemarin sibuk dengan persiapan pernikahan Kak Raka. Akunya gimana?
Hiks... Sebel! Sebel sama Mami dan Papi! Sebel juga sama Kak Raka! Kenapa sih gak ada gitu yang iba sama aku?
"Dira, kamu kenapa nangis, nak? Tiap hari Mami liat kamu nangis terus."
Mami masuk kedalam kamarku di saat aku lagi kacau. Mami duduk di karpet kecil di sampingku, lalu mengusap rambutku perlahan.
"Gak ada kok Mi, Dira gak nangis, cuma barusan Dira pakai obat mata saja." Dustaku.
Baru sekarang Mami tahu kalau anaknya sedang galau.
"Yang benar? Kamu jangan bohongin Mami, Dira sayang!" Mami menatapku sambil memicingkan matanya.
"Iya bener!" Kataku sambil menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk.
"Yasudah, kalau ada apa-apa bilang ke Mami ya, jangan di pendam sendiri." kata Mami lalu keluar dari kamarku.
Hufftt...
Aku bingung atas kepergiannya. Kemanakah dia pergi? Lantas untuk apa dia pergi?
♥♥♥
A few later....
Di sana, di kertas itu, aku melihat kalimat tertulis kalau aku lulus. Syukurlah, setelah bangkit dari keterpurukanku, aku berniat melupakan dirinya dan belajar selama empat tahun ini. Dan hasilnya sangat memuaskan.
Papi sudah mendaftarkanku kuliah di Ireland. Negara yang sangat aku sukai. Semoga ketemu sama Niall Horan. Itu tuh, salah satu personil One Direction yang lahirnya di Ireland.
Mami memelukku, "coba saja kakek dan nenekmu melihat kamu sudah lulus ya, nak." Mami bergumam sambil terisak.
Aku menghela napas, "mereka pasti melihat Dira kok Mi," kataku.
Kakek dan Nenek meninggal di waktu bersamaan. Tepatnya, tanggal, waktu, menit, dan jam yang sama. Entah kenapa mereka bisa meninggal di waktu bersamaan. Mungkin mereka tidak bisa dipisahkan walau sampai matipun.
Perihal kakek dan nenek meninggal itu saat mobil mereka di tabrak di dekat jalan tol.
Ya kiranya begitu. Saat Kakek dan Nenek meninggal, aku lagi di Melbourne kegiatan study tour. Aku terpuruk atas kepergian kakek dan nenek, begitupun Mami. Kegiatan study tour aku tinggalkan dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Aku ingin melihat kakek dan nenek dikuburkan.
"Dir, Papi sangat bangga padamu nak, besok kamu harus pergi ke Ireland. Papi sudah menyiapkan tempat tinggal kamu di sana." kata Papi.
Aku mengangguk. Sebenarnya Mami tidak setuju kalau aku kuliah di Ireland. Tapi mau bagaimana lagi, pilihanku jatuh disana. Toh, nanti juga pasti Mami sama Papi bisa juga kan nge-jenguk aku di sana.
♥♥♥
7 jam dari bandara Halim, dan syukurlah jet pribadi keluargaku mendarat mulus di bandara Aerfort Bhaile Átha Cliath, Dublin.
Papi mencarikanku apartement mewah di kota Fingal, Dublin.
Dublin sangat indah, dan kota yang padat seperti di Jakarta. Aku yakin, aku bakalan sangat betah berlama-lama di sini.
Drrrtt...
Aku merogoh ponselku di kantong celana jeansku. Di layar terpampang nama Papi mengirim pesan. Lantas, akupun membuka isi pesan dari Papi.
Papi Devan.
Sayang, jemputan kamu sudah datang, coba kamu lihat di parkiran, di sana ada supir kamu, mobilnya Range Rover.
Aku mencari sekitar parkiran, mencari mobil Range Rover. Gotcha! Disana ada mobil putih bermerk Range Rover. Astaga... Range Rover?! Jadi papi memebelikan mobil Range Rover untukku selama berada di Ireland?
Wah... Papi memang segalanya buatku. Akhirnya, mobil yang ku idamkan di kabulkan juga.
Dengan semangat empat lima, aku mengetuk kaca mobil, senyum bahagia tercetak jelas di bibirku.
"Excusme..."
Dan kaca film mobil itu terbuka, sosok wajah tampan membuatku melongo cakep. Masa iya Papi memberikanku supir yang tampan?! Apa aku salah mobil ya?
"Yes, can I help you, miss?"
Demi Tuhan, suaranya yang sangat maskulin dan itu membuatku merinding. Astaga, apa yang kau pikirkan, Andira?! Bagaimana bisa hanya mendengar suaranya membuat tubuhku langsung merinding.
"Yeah, I'm Andira, you know Mr. Devan?" tanyaku to the point.
Wajah supir itu sangat ganteng saat mengingat nama Papi. Apa jangan-jangan dugaanku benar, aku salah mobil?
"Oh, silahkan masuk, Dira. Aku sepupu kamu, lebih tepatnya aku anaknya uncle Aldy. Kenalkan namaku Ardigo Firlan Wijaya. You can call me Digo. What ever if you call me Firlan." Katanya sambil tersenyum manis, akibat senyumnya, aku langsung terkena diabetes saking manisnya senyum Ardigo. Ardigo? Ah, kayaknya dia enak dipanggil dengan panggilan Ardigo.
Astaga, ini anaknya aunty Fiona dong? Kok baru kenal ya? Dan dia berbicara bahasanya campur-campur. Campuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
"Oh, nice to see you, Digo." Ucapku lalu duduk di samping kemudi.
Mobil Range Rover putih metalik ini pun membelah kota Fingal. Suasana hening karena dari kami berdua tidak ada yang membuka suara. Hanya suara radio yang berputar mengalun lagunya Westlife - Beautiful In White.
"Kak Digo, umurnya berapa?" tanyaku tiba-tiba, bisa kulihat Kak Digo tersenyum lembut, menatapku dari ujung ekor matanya.
"Umur aku, 23 tahun, kalau kamu?" tanyanya juga memakai bahasa Indonesia dengan logat Irlandia.
"Umurku 20 tahun, Kak."
Krik….
Krik….
Dan suasana kembali hening, aku kira anaknya uncle Aldy hanya Polly saja, ternyata ada lagi, namanya Ardigo itu. Apa masih banyak anak uncle Al yang tersembunyi?
"Kak, kok aku baru tahu kalau kakak anaknya uncle Al, tapi maaf sebelumnya, soalnya kakak juga gak pernah terlihat olehku." Kataku.
Kak Ardigo menghela napas, "sebenarnya kamu sering lihat aku, mungkin waktu pernikahannya si Raka saja. tapi ya, aku gak tinggal sama keluargaku, karena aku lagi belajar mandiri di Ireland. Dan juga kuliah sambil kerja di sini." katanya tanpa melihatku.
Aku manggut-manggut, ternyata Ardigo ini orangnya mandiri juga. Tapi kenapa tadi Papi bilangnya kalau kak Ardigo ini adalah supir? Ck, teganya Papi.
Ardigo memarkirkan mobilku di pelantaran parkir basement.
"Kakak turun, kan?" tanyaku.
Kak Ardigo menoleh ke arahku lalu mematikan mesin mobil, "tentu saja!"
Dan disinilah aku berdua sama Kak Ardigo di dalam lift. Kayaknya kak Ardigo ini orangnya pendiam. Selalu aku yang membuka suara.
"Kak, boleh tanya gak?" tanyaku ragu.
"Silahkan," ucap Kak Ardigo sambil menatap lurus.
"Mobil Range Rover kakak tadi, punya aku yang baru di belikan Papi, kan?" Tanyaku.
Kak Ardigo menoleh, memasang wajah datar, "bukan, mobil itu milikku, aku yang membelinya saat gaji pertamaku." Jelasnya, lalu keluar dari lift saat pintu lift sudah terbuka.
Argghh... bukannya bantuin narik koper sampai ke apart, malah nyelonong pergi duluan. Ih, nyebelin.
Eh, tapi kan aku gak tahu nomor apartementku?
"Kak Digo.." panggilku saat Kak Digo tidak jauh dari pandanganku.
Kak Digo berhenti, lalu memutar tubuhnya, "ya?"
"Engg... aku tidak tahu nomor apartku." kataku sambil memasang wajah memelas.
Salah aku sendiri yang gak tanya papi dulu, nomor berapa apartku. Dan bodohnya itu double, harusnya aku tanya receptionist dulu daripada mengharapkan es batu ini menunjukkan dimana letak apartku.
"Itu, letaknya di depanmu, Dira!" Ucapnya. Aku melihat di sana ada pintu. Pintu apartku yang dimaksudkan oleh kak Ardigo.
"Oh, hehe... lalu kuncinya mana?"
Kak Ardigo memutar bola matanya sebal, tetapi dia mengeluarkan sebuah kunci, lalu memberikannya padaku.
"Nih," katanya.
Aku mengambilnya sambil nyengir gaje. Eh,kok ada yang nge-ganjal ya? Itu kenapa kak Digo ikutan berniat buka pintu yang letaknya sangat pas di sebelah apartku.
"Lho, kok kak Digo mau buka pintu itu? Niat mau maling ya?" Tudingku membuatnya menatapku tajam.
"Jangan nuduh macam-macam ya! Kita tinggal bersebelahan, sampai jumpa tetangga." katanya yang langsung ngeloyor masuk.
Lha? Jadi kami nantinya tetanggan dong? Kenapa Papi memilih apartement yang sama dengannya?