PART 16
.
.
.
.
Ada yang aneh, Nara baru sadar saat dia berada di kamar. Menenangkan pikiran dan mengingat ulang perkataan Ibunya tadi.
“Kenapa Bella memberikan informasi seperti itu,” mengerutkan kening bingung, Nara bergegas membuka pakaiannya. Masuk ke dalam kamar mandi sambil terus berpikir. Perkataan Bella seolah-olah memberikan anggapan bahwa dirinya sengaja pergi dengan laki-laki, malam itu.
Padahal dia sendiri sedang dalam keadaan tidak sadar. Salah satu tangannya bergerak menghidupkan keran air, membiarkan cairan jernih itu membasahi tubuhnya. Nara sengaja membiarkan air tetap dingin tanpa penghangat.
Karena kepalanya pusing, Nara sengaja menghindari agar kepalanya tidak kena air. Kepalanya memang agak sensitive, tidur dengan rambut masih basah atau cuci rambut saat pusing. Itu akan memperparah penyakitnya.
Menggeleng kecil, Nara menolak percaya dengan semua ucapan Ibunya. “Pasti Ibu sengaja membelokkan kalimat Bella, mana mungkin sahabatku sendiri mengatakan itu.” Mendengus yakin.
Salah satu tangan Nara memukul kuat dinding di hadapannya, satu kepalan yang kuat dan cepat. Mengindahkan rasa sakit yang perlahan menjalar.
“Aku tidak mau mencari masalah lagi,” mendesah panjang. Nara lelah, sangat lelah. Semenjak di Jakarta, bagaikan tidak ada tempat untuk melepaskan penat, semua kegiatannya terbatas. Tidak ada satu pun tempat yang membuatnya benar-benar ingin pulang dan melepas lelah.
Menundukkan wajahnya, tanpa sadar melanggar sendiri perkataannya tadi. Setetes air bening jatuh dari kedua pelupuknya. Menyatu dengan air dingin yang membasuh tubuh.
“Aku ingin pergi,” berbisik pelan.
Ibu, entah kenapa selintas pikirannya membayangkan sosok wanita paruh baya itu. Tidak hanya datang di mimpinya selama ini, bahkan tak lepas dari pikirannya. Sosok cantik berambut pirang, senyuman yang Nara ingat samar, pelukan hangatnya.
“Kenapa Ibu meninggalkan aku sendiri di sini.”
Rasa bersalah, rasa benci yang perlahan menyatu. Tidak membuat Nara lupa tentang Ibunya. Satu ingatan yang melekat jelas di pikirannya sampai saat ini.
Wanita yang pergi meninggalkannya, memilih laki-laki lain dibandingkan dia dan Ayahnya. Pergi tanpa mengajaknya sama sekali. Satu kerinduan itu terbesit walau sesaat karena selanjutnya manik Amber Nara kembali berkilat penuh amarah.
“Kenapa aku memikirkannya,” dengan suara yang berat, mematikan shower cepat. Nara bergegas keluar dari sana. Dia tidak mau menunjukkan sifat lemah dan terpuruknya lebih lama lagi. Dia tidak suka. Karena di mata orang lain, Nara akan tetap menjadi sosok penurut, ceria, dan cuek, seolah tidak memiliki beban hidup sama sekali.
.
.
.
Seperti dugaannya, dia sangat telat. Ditambah macet luar biasa. Nara baru bisa melangkahkan kakinya di penitipan pukul 10 pagi. Melirik jam di tangannya, menghela napas panjang. Setelah ini pasti dia akan dimarahi Ketua.
Keluar dari mobil, hendak masuk ke dalam gedung, sebelum maniknya menangkap Pak Satpam berlari dan memanggilnya berulang kali.
“Non Nara!! Tunggu sebentar!!”
Bingung, perasaan Nara mulai jelek. Jangan-jangan dia sudah dipanggil Ketua lagi?! Nara bahkan belum sempat menyiapkan kata-kata yang tepat untuk mengelak. “Ke-kenapa, Kang? Kok lari-lari seperti itu?” salah satu alisnya tertarik ke atas heran.
“Kenapa Kang Mis? Kok rasanya gawat sekali?” saat laki-laki paruh baya itu tepat berdiri depannya, Nara baru sadar kalau dia membawa sebuah amplop.
“Ada pesan tadi, Neng! Dari-mm-siapa itu namanya, Bapak Nak Kenan. Non tahu kan?”
Ayahnya Kenan? ‘Mau apa dia?’ membatin bingung, perasaannya benar-benar tidak enak. “Kenapa memangnya Kang?”
“Non katanya diminta nganterin Nak Kenan ke kantor Bapaknya, dimana itu namanya saya lupa—mm-yang pasti Non tahu,”
Setelah tadi membulatkan tekad untuk tidak berhubungan dengan laki-laki itu, kali ini malah dengan sengaja ditarik masuk ke kandang singa? Enak saja!
“Sa-saya kebetulan tidak bisa hari ini,” meski menyayangkan Kenan. Tapi karena kondisi tidak memungkinkan dan Nara tidak mau dicap sebagai pelakor! Dia harus menolak-
“Mm, kalau begitu ini dari Bapaknya itu. Misalnya Non Nara nolak, ini langsung ke Nona aja.” Menyerahkan amplop berwarna kecoklatan itu. Hati Nara makin ketar-ketir tidak enak. Sedikit ragu membuka isinya.
“Kang Mis belum sempat buka isinya kan?”
“Ya belum lah, Non. Mana saya berani. Ya udah itu aja pesennya. Saya balik dulu, Non.” Tersenyum kecil, laki-laki paruh baya itu langsung berbalik pergi.
“Makasih Kang Mis!”
.
.
Oke, Nara sedikit parno, takut mengira bahwa amplop ini berisikan surat ancaman dari Melly. Membuka dengan hati-hati, sedikit melirik isi di dalamnya. Lembaran kertas?
Makin bingung, mengambil salah satu kertas tersebut, merasakan perasaan familiar saat memegang benda itu. Tipis dan berkilat halus, seperti-
‘Kertas foto?’ kali ini bergerak cepat mengambil semua lembaran tersebut. Memperhatikan dengan jelas, lengkap dengan satu surat berwarna putih yang ditulis dengan sempurna.
Manik Nara perlahan melebar, antara shock, kaget dan juga malu luar biasa. Wajahnya langsung memerah, bibirnya menganga tak percaya. Jemarinya sedikit gemetar memegang foto-foto yang memperlihatkan penampilan terburuknya.
Saat dia mabuk, dengan pakaian yang tersingkap, bibir menganga lebar, wajah merah, rambut berantakan, satu sosok yang sangat tidak cocok disandingkan dengan seseorang yang bekerja sebagai penjaga anak-anak.
Meneguk ludah tanpa sadar, membaca satu surat kecil di sana-
“Temui aku lagi nanti, antarkan Kenan ke kantor. Jangan berani kabur atau foto itu akan kusebar.”
Berhadapan dengan malaikat yang menolongnya kemarin, merubah laki-laki itu menjadi setan dalam sekejap. Nara menahan amarahnya, mengepalkan kertas kecil itu dengan gemas.
“Dia mengancamku?! Setan sialan!”
Bahkan Nara belum mengingat dengan baik siapa namanya!!
.
.
.
Setidaknya hari ini tidak begitu buruk. Nara yang awalnya merasa pasrah menjalani hari sampai malam. Kali ini dia menarik kalimatnya, tepat saat masuk ke dalam ruangan dan mendapati sosok Kenan nampak bermain dengan beberapa anak-anak lain.
Kedua maniknya membulat tak percaya, bibir yang tadinya tertekuk ke bawah langsung tertarik ke atas, perasaan senangnya membuncah.
Setelah melihat perilaku Kenan selama hampir tiga bulan lebih, pemuda kecil yang selalu menyendiri, pemalu, bahkan untuk bicara saja jarang. Sekarang melihat sosok mungil itu berlari kecil bahkan sesekali tertawa di dalam ruangan,
Entah ini wajar atau tidak untuknya, tapi Nara benar-benar senang luar biasa. Rasa kesal dan amarahnya tadi menghilang begitu saja. Disapu cepat oleh satu senyuman Kenan.
Mungkin tidak ada salahnya jika dia bertemu dengan laki-laki itu. Menjelaskan kejadian yang sebenarnya, atau bahkan meminta sang empunya untuk merahasiakan ini. Jika terpaksa, Nara akan membuat perjanjian dia tidak akan pergi ke club malam lagi, selama dia masih bekerja sebagai penjaga Day care ini.
Dia masih sayang dengan pekerjaannya tentu saja.
Setengah terkekeh geli, menertawai dirinya sendiri. ‘Apa yang harus ku khawatirkan? Aku cukup menjelaskan saja dan berjanji tidak akan ke sana lagi. Tidak mungkin dia mengancamku aneh-aneh,’
Nara yakin sekali.
.
.
.
Oke, Nara mulai ragu.
Tepat pukul lima sore, sesuai janji Nara mengantar Kenan seperti kemarin. Menuju perusahaan Ayah pemuda kecil itu. Menunggu di lobby bahkan membuat minuman seperti biasanya dengan Kenan. Tapi kali ini minus tatapan sinis wanita receptionist dan kedatangan Melly.
Nara sama sekali tidak melihat kedatangan Melly seperti kemarin, wanita cantik yang masuk ke dalam pantry dan memintanya pulang begitu saja.
“Ibu Nara, Kenan suka jusnya!” suara kecil Kenan menginterupsi wanita itu. Pikiran Nara kembali teralih, tersenyum kikuk menghampiri Kenan. “A-ah, iya, nanti Ibu Nara buatkan lagi ya,”
Kenan mengangguk semangat, sesekali menegak jusnya, rona merah di pipinya pun terlihat. Pemuda kecil itu terdiam sesaat, kedua maniknya melirik kearah Ibu Nara, setengah malu dan ragu untuk bertanya.
“Mm—oh iya, Ibu Nara-” menatap bagaimana Ibu Nara nampak sibuk mencuci gelas dan mixer yang mereka gunakan tadi sembari menunggu kedatangan Ayahnya.
“Hm? Kenapa?” tanpa melirik dan hanya menjawab singkat-
“Ibu Nara sudah punya pacar belum?” satu pertanyaan polos yang keluar dari bibir Kenan sukses membuat Nara hampir menjatuhkan gelas di tangannya. Terkejut dan shock. Nara reflek menatap Kenan bingung. Kedua pipinya ikut memerah-
“Ke-kenapa Kenan tiba-tiba bertanya seperti itu?” melihat bagaimana sosok itu menunduk sekilas, fokus pada gelas sesaat sebelum akhirnya menengadah. Kedua pipinya memerah dan tersenyum manis.
“Ibu Nara mau tidak menikah dengan Ayah? Kenan mau punya Ibu seperti Ibu Nara!”
Hampir tersedak air ludahnya sendiri, Nara terbatuk sesaat, menekan d**a berulang kali dan mencari segelas air. Kenapa anak ini tiba-tiba bicara masalah pernikahan?! Darimana dia tahu?! Astaga siapa yang mengajari pemuda polos ini-
Memikirkannya saja sudah membuat Nara pening, berjalan mendekati Kenan. Kali ini sengaja menundukkan tubuh sejajar menatap wajah tampan sang empunya, “Da-darimana Kenan tahu bahasa nikah-nikahan seperti itu?”
Kenan tersenyum lebar, nampak manis dan dengan polosnya menjawab, “Dari Ayah!!”
Kepala Nara tambah pening-
“Ah, itu Ayah!” melihat Kenan langsung berlari meninggalkannya, dengan semangat menghampiri sosok laki-laki yang sejak tadi sudah berdiri diambang pintu. Semenjak pertemuan mereka tadi pagi, entah kenapa Nara sedikit risih dengan keberadaan laki-laki itu.
Padahal dia tampan dan mampu memikat banyak wanita. Ada sesuatu yang membuat Nara merasa sedikit aneh. Antara risih dan takut-
Berjalan menghampiri dengan wajah setengah menunduk, sesekali memperbaiki letak kacamatanya. “Kau mau bicara apa sebenarnya, Tuan?” langsung saja berujar cepat, tanpa basa-basi. Menangkap tarikan alis tebal itu, nampak bingung dengan perkataannya.
“Kau kira aku mau membicarakan masalah ini sambil berdiri di dekat Pantry?” tanpa menunggu lama, jawaban ketus terucap dari bibir tipis sang empunya.
.
.
.
Wajah Nara sedikit tertekuk, memikirkan perkataan Kenan berulang kali. Bagaimana pemuda kecil berusia lima tahun bisa tahu tentang pernikahan, lalu keberadaan Melly selaku kekasih Ayahnya dianggap apa? Sekarang mereka bahkan ingin pergi bertiga ke suatu tempat?! Kan tidak wajar!
“Kau mau kemana, Nona?” suara baritone itu sedikit mengagetkannya. Berjalan menuju parkiran, Nara hendak mengambil mobilnya sendiri dan mengikuti kemana laki-laki itu akan mengajaknya.
“Ya mengambil mobilku,” tersentak sekilas, menunjuk ke arah mobil tempatnya parkir. “Kau ingin berbicara denganku kan? Aku naik mobilku, dan kau pergi dengan Kenan, Tuan.” Memperjelas lagi. Sosok itu justru mendesah panjang, pandangan menatap aneh.
“Mobilmu nanti akan ada yang mengurus, kau tinggal di sebelah Apart-ku kan? Bodyguardku akan mengantarnya sampai parkiran.” Sambil mengulurkan tangan hendak meminta kunci mobil. Nara makin merasa aneh. Alisnya bertaut tak suka-
“Lho, aku bisa mengikuti mobilmu kok dari belakang!” dengan niat protes yang cukup besar, Nara baru saja mau berontak-
“Club malam-” sebelum satu kalimat pendek terucap dari bibir laki-laki itu. Menekan emosi Nara sepenuhnya. Tidak perlu waktu lama,
“Siap, Tuan.” Nara mengambil kunci mobil dan memberikan pada salah satu satpam yang sudah bersiaga di belakangnya.
“Kita jalan-jalan bareng yuk, Ibu Nara,” tersenyum dengan kedua pipi merona, setidaknya satu senyuman Kenan sudah cukup membuat hati Nara tenang luar biasa. Wanita itu mengangguk pasrah, berjalan mengikut langkah lebar milik Ayah Kenan.
.
.
Lucu memang, saat Nara hendak membuka pintu mobil dan duduk di belakang. Kenan yang tadinya duduk di depan bersama Ayahnya langsung turun, bahkan ikut duduk di belakang. Terkekeh geli melihat tingkah polos pemuda itu.
“Kenan kan tadi duduk di depan, kenapa malah pindah?”
“Kenan mau duduk sama Ibu Nara,” menjawab dengan wajah polos dan senyuman manis. Nara berulang kali jatuh cinta dengan kemanisan pemuda itu. Baru saja dia berniat mengabulkan permintaan Kenan, sebelum merasakan tatapan menusuk dari depan.
Sosok itu seolah mendelik, menatapnya, “Kau kira aku sopir taksi?” senyuman Nara memudar. Dia paham sekali maksud laki-laki itu. Setengah merengut, mengurungkan diri untuk duduk di belakang. Berpindah ke depan, Kenan pun ikut serta.
“Kenan ikut!” tepat saat melihat Ibu Nara-nya duduk, pemuda kecil itu dengan polos langsung naik dan duduk di pangkuan sang empunya. Seolah sifat malu-malunya kemarin menghilang entah kemana.
.
.
Satu berkas map coklat kembali tersampir di depan Nara. Laki-laki itu sengaja mencari sebuah café kecil untuk berbicara, tentu saja tempat lengkap dengan permainan anak-anak, sehingga perhatian Kenan bisa dialihkan.
“Apa ini?” bertanya ragu, Nara masih enggan mengambil amplop itu. Sementara sosok di hadapannya hanya mendengus tipis. Menyesap secangkir kopi pahit yang dipesan tadi, wajah yang tadinya tersenyum mengejek kini berubah serius.
“Kita bicara fakta saja, Nona.”
Nara reflek meneguk ludahnya gugup, pandangan legam laki-laki itu bahkan sanggup melubangi pikiran dan membuatnya kikuk. Alhasil hanya bisa diam, Nara menjaga dirinya agar tetap tenang.
Kedua tangan kekar itu nampak bertumpu pada meja, terlipat dengan pandangan fokus pada Nara. Tanpa senyuman. “Bagaimana perasaanmu jika tahu bahwa penjaga yang bertugas merawat bahkan mendidik putri atau putramu ternyata adalah seorang Pemabuk?”
Alisnya tertekuk tak suka, meskipun kemarin Nara memang benar-benar mabuk, tapi hanya satu dua kali saja! Tidak sering! “A-aku bukan seorang pemabuk!” mengelak cepat.
Sosok itu mendengus singkat, menatapnya dengan pandangan remeh, “Bukan pemabuk tapi suka bermain di club malam?”
Mengenai telak, Nara hampir saja kalah. “I-itu pertama kalinya aku ke sana, dan kebetulan saja kau melihatku sedang mabuk! La-lagipula aku tidak suka minuman beralkohol kok!” sedikit menaikkan suara. Menahan wajahnya agar tidak semakin merah-
Di depannya laki-laki itu nampak menggeleng kecil, mendesah panjang seolah lelah berdebat lagi dengan Nara. Pandangannya menajam, tanpa senyuman dan aura dingin yang perlahan menguar, “Kau ingin aku menuntut hal ini pada tempat penitipan?” memberikan satu ultimatum.
Satu kalimat yang sukses menaikkan rasa takut Nara dalam sekejap, wanita itu bungkam. Wajahnya pucat pasi, reflek menggeleng tak mau. “Ja-jangan!” berusaha untuk mengelak-
“Jangan berpikir bahwa aku bermain-main, Nona. Di sini keselamatan putraku terancam jika memiliki seorang penjaga sepertimu.”
Oke, Nara semakin panik. Tidak bisa mengelak lebih jauh, nafasnya mulai tak teratur, “Ma-maaf, jika perbuatanku menyinggungmu, Tuan.” Dengan suara yang tipis.
“Ke-kemarin aku memang salah, tapi sekarang aku janji tidak akan pergi ke sana lagi.” Memnbulatkan pikirannya, kedua manik Amber Nara menatap balik sosok itu. Meskipun sedikit takut-
Sosok di depannya masih menatap tajam, kali ini mendengus tipis, salah satu jemari menunjuk ke arah Kenan. “Kau tidak mungkin berpikir bahwa pemilik Day Care itu akan lebih memilihmu dibandingkan putraku kan?” entah kenapa tiba-tiba bertanya itu.
Tapi satu hal yang Nara tahu, laki-laki tampan itu seolah bisa membaca pikirannya dengan sangat teliti. Mengenai aksi pihak memihak pemilik Day Care, tubuhnya makin merinding. Nara bungkam-
“Kira-kira jika kejadian ini sampai terjadi lagi atau tersebar, siapa yang dia pilih? Aku yang memberikan sumbangan besar di penitipan itu atau kau-” menunjuk ke arah Nara.
“Nona Club malam,”