PART 17
.
.
.
.
Pukul 18.30 pm-
Tersenyum menatap penampilannya malam ini. Gaun berwarna merah maroon, dengan belahan samping sepanjang lutut, memperlihatkan kaki jenjangnya, gaun dengan model yang sengaja menampakkan leher jenjang dan sedikit belahan d**a. Sangat anggun, sesuai perkiraannya.
Nadine semakin percaya diri, berlenggak-lenggok di depan kaca besar. Memberikan beberapa pose. Dia bahkan sengaja memanggil orang khusus untuk merias wajahnya, dengan make-up yang cukup mencolok serta tatanan rambut yang sengaja dibuat bergelombang.
“Sempurna,” berbisik tipis, tidak sia-sia dirinya menyiapkan semua hal ini selama lebih dari dua jam. Pukul tujuh nanti Rian akan menjemputnya, bagaikan cerita dalam dongeng, dimana pangerannya datang menjemput saat menghadiri pesta meriah.
Membayangkannya saja sudah cukup membuat Nadine tak sabar, “Ah aku lupa anting-antingnya,” hampir saja melupakan benda itu, bergerak cepat menuju meja rias, memilih anting-anting dari sekian banyaknya koleksi yang Ia beli.
Tidak sadar pintu kamarnya terbuka, “Sayang, Rian sudah datang,” sosok wanita paruh baya menyembulkan wajahnya. Dengan penampilan yang tidak kalah mewah. Bahkan mengganti model gaun yang Ia gunakan tadi pagi karena salah mengingat jadwal pesta, tidak tanggung-tanggung Melinda membeli gaun baru lagi karena merasa bosan dengan semua model gaun yang Ia punya.
“Ah, iya Ibu.” Menggunakan benda itu dengan cepat, manik Nadine menatap penampilan Ibunya. “Hm, Ibu beli gaun baru lagi?” bertanya dengan nada geli.
Wanita itu masuk ke dalam kamarnya, “Tentu saja, Ibu sudah membuang gaun tadi pagi. Benar-benar memalukan, Ibu sampai lupa dengan waktu pesta hari ini karena memikirkan Kakakmu itu,” menepuk salah satu pipinya yang memerah menahan malu.
Nadine hanya terkekeh geli, “Hee, benarkah Ibu lupa gara-gara memikirkan Kak Nara?” memastikan sekali lagi penampilannya, barulah Nadine menyambet tas kecil berwarna senada dengan gaunnya. Berjalan mendekati sang Ibu. Menggelayuti lengan wanita itu.
“Maksudmu Ibu berbohong begitu?” Melinda setengah tersenyum, berjalan keluar dari kamar berdua dengan putrinya. Menatap Nadine yang mengangguk polos.
“Tentu saja, lagipula salahnya dia juga karena kemarin pergi malam-malam. Pantas saja Ayah tidak perlu berpikir dua kali untuk melarang Kak Nara pergi ke pesta,”
Melinda tertawa, “Ayahmu itu akan selalu berpihak pada kita, Nadine. Bagaimana mungkin putriku yang cantik ini bisa disandingkan dengan wanita dekil seperti dia.” Berdecak kesal. Nadine memberi kode pada Rian yang tengah menunggu di ruang tamu.
“Saat aku sudah hampir memiliki kekasih sempurna untuk kunikahi, Kak Nara masih sibuk menjaga anak-anak ingusan itu.” Terkekeh geli, “Kadang aku merasa kasian, Bu. Sudah hampir lima tahun lebih, semenjak kejadian Ayah memaksa kita pindah ke sini dengan kondisi Kak Nara seperti itu,”
Melinda mendengus pelan, berjalan mengajak putrinya menghampiri Rian, wanita itu melihat kembali penampilan Nadine. Suaminya pun sudah ada di sana, menghampiri laki-laki itu dan merapikan dasinya.
“Jangan bandingkan dia denganmu, sayang. Dulu Nara bahkan tidak bisa mencari kekasih sempurna seperti Rian, dan malah jatuh cinta pada laki-laki tidak becus.” Mengecup pipi suaminya sekilas. Melihat tidak ada tanda protes di wajah sang empunya-
“Latar belakang perusahaan keluarga yang bangkrut dan tidak jelas, wajah laki-laki itu bahkan kucel dan dekil, sangat tidak terurus! Berbeda dengan Rian,” tersenyum menatap Rian.
Nadine berjalan mendekati kekasihnya, memeluk lengan laki-laki itu bangga. “Tentu saja, apalagi nanti malam dia akan maju dengan Pemimpin perusahaan Utamanya untuk memberikan sponsor dan pidato di pesta. Benarkan, sayang?”
Rian mengangguk dengan yakin, “Tentu saja, itu suatu kebanggaan bagi saya. Hanya perusahaan Sankai saja yang memiliki rating tinggi di sana,”
“Benarkah? Berarti perusahaan kalian bisa mengalahkan Tashiba?” Melinda menatap kagum.
“Pemimpin perusahaan Tashiba tidak mungkin hadir di sana, lagipula mereka terlalu sombong untuk sekedar berbagi atau berkumpul dalam acara seperti ini. Sampai sekarang kita bahkan tidak tahu seperti apa sifat asli pemimpinnya.” Sosok tegap itu mengendikkan bahunya sekilas,
Kedua orang tua Nadine mengangguk senang, “Ini kesempatan besar bagi perusahaan kalian. Jika dibandingkan dengan perusahaan Paman, sangat berbanding jauh,”
“Kenapa Paman berbicara seperti itu, di usia Paman yang matang. Paman bisa mendirikan perusahaan ini dengan hasil jerih payah sendiri bukan? Itu hebat sekali!” memuji calon mertuanya. Bisa Rian lihat bagaimana sosok paruh baya itu tersenyum puas.
“Tentu saja.”
Mereka seolah saling menyombongkan kekayaan dan keahlian masing-masing. Tapi satu hal yang mereka tahu. Dalam pesta nasional kali ini, siapapun yang maju sebagai sponsor utama dan memiliki kesempatan untuk mengenalkan produk serta memberikan seminar singkat mengenai keuntungan perusaahaan mereka dalam acara hari ini.
Bisa dipastikan berapa keuntungan yang bisa mereka dapatkan dari semua itu? Dimana semua pelanggan VIP, pengusaha, dan para investor berkumpul dalam satu tempat.
.
.
.
“Jangan bercanda, Tuan!” Nara reflek menggebrak meja di hadapannya, berusaha menahan kekesalan saat mendengar semua perkataan laki-laki itu.
Sementara sang empunya sendiri masih memasang wajah tenang, seolah tidak takut sama sekali dengan tindakan Nara. Maniknya justru melirik ke arah Kenan, memastikan apakah putra kecilnya mendengar suara gebrakan tadi.
Untunglah Kenan nampak fokus bermain dengan semua permainan di sana. Pemuda itu sama sekali tidak mendengar. Dia hanya sesekali menatap ke arah Arka dan melambai sekilas.
“Aku tidak sedang bercanda, Nona.” Menjawab singkat. Salah satu tangannya bergerak, mendekatkan amplop coklat besar itu pada Nara. “Kembalilah duduk, leherku sakit melihatmu berdiri,” berujar datar.
Nara sadar dengan tindakannya sendiri, pandangan beberapa pengunjung mulai menatapnya. Dia malu sendiri. Masih memasang wajah masam, menyenderkan punggungnya pada kursi empuk, dan berpura-pura terlihat garang. Kedua tangannya bahkan terlipat di depan d**a, salah satu kakinya terangkat.
“Kau baru saja mengancamku, Tuan. Hanya karena kau melihatku pergi ke club malam itu!”
“Jangan lupakan, kau mabuk, hampir diperkosa kakek tua, dan-”
Wajah Nara memerah, “Oke! Stop!” menghentikan suara laki-laki itu, dan mengambil minuman, entah kenapa tenggorokannya kering, “Kita skip bagian itu. Tapi maaf, Tuan siapa? Aku bahkan belum mengenal namamu, Tuan.” Menegak Thai Tea kesukaannya-
Arka menaikkan salah satu alisnya bingung, “Kau sudah menguntitku selama hampir beberapa bulan, dan tidak tahu namaku?”
“Uhuk!!” hampir menyemburkan cairan itu keluar, manik Nara membulat shock. Setetes air keluar dari ujung bibirnya, menganga tak percaya. “Ka-kau bilang apa?”
Arka tersenyum mengejek, menunjuk ke arah Nara, memberikan bahasa isyarat dan bisikan tipis. “Wanita m***m yang mengintipku setiap pagi.” Menyeringai-
Nara hampir spot jantung, gaya kerennya tadi berubah drastis. Kedua tangannya bergerak dan kini berpangku pada meja, salah satu kakinya yang terangkat tadi langsung kembali seperti semula. Wajah wanita itu memerah sempurna.
Setelah tadi dengan sombongnya menolak atau bahkan masih mengelak karena merasa dirinya masih benar. Sekarang setelah mendengar perkataan terakhir laki-laki itu. Nara mengibarkan bendera putih dengan cepat.
Berusaha tersenyum walau sedikit kikuk, “A-apa penawaran tadi masih berlaku, Tuan?” membalikkan harga dirinya begitu saja.
Arka tersenyum puas, kali ini gilirannya yang menyender dan memperlihatkan pose kemenangan. “Arkana Damian Ezra, kau boleh memanggilku Tuan Arka.” Mendengus tipis.
Siapa yang menyangka bahwa sosok tampan yang selama ini Nara idolai ternyata punya sifat buruk. Melirik ke arah lain, Nara berusaha mengatur emosinya lagi. “Ba-baiklah, kau hanya ingin aku bekerja sebagai penjaga Kenan saja kan?” mengambil amplop di hadapannya, Membukanya perlahan-
‘Kertas?’ mengernyitkan alis bingung.
“Baca saja,”
Mengeluarkan kertas tersebut, Nara membacanya perlahan, menyerapi tiap kata yang tertera di sana. Perihal mengenai dirinya menjadi Penjaga baru Kenan, mengantarkan pemuda kecil itu pulang, menjaga, menemaninya kemana pun, menemani tidur, tidak boleh pulang sebelum Kenan benar-benar tidur, membuatkan sarapan pagi-
‘Ini bukannya tugas untuk Ibu Kenan?’ heran, Nara membaca kembali tulisan di sana dengan hati-hati. Baru saja Nara berniat protes, matanya langsung melihat gaji yang tertera di sana. Bahkan dua kali lipat dari gajinya di penitipan.
Berbinar sekilas, wanita itu menggeleng cepat. Menatap Arka sedikit ragu, “Kau tidak akan memintaku berhenti bekerja di penitipan itu kan?” bertanya dengan sanksi.
“Kenan sepertinya menyukaimu, jadi aku tidak bisa membiarkanmu berhenti di sana begitu saja.”
Mendesah lega, masih ada satu hal yang mengganjal di pikirannya, “Tunggu dulu,” dan sepertinya Arka benar-benar kesal. Laki-laki itu menatap tajam.
“Apa lagi?”
“Mengenai Melly, bukannya dia kekasihmu? Tidak masalah kalau aku tiba-tiba sering ada di sana bersama kalian? Dia mengerikan kalau marah.” Merinding, siapa yang menyangka bahwa Nara bisa berbicara blak-blakan seperti itu? Arka berusaha keras menahan tawanya saat melihat wajah serius sang empunya.
Perasaan rindunya kian membuncah, tapi Ia berusaha menahan sekeras mungkin. Memberikan deheman singkat, bukannya memberikan jawaban yang menenangkan. Laki-laki itu justru menyeringai tipis.
“Kau tidak bisa melawannya?” justru bertanya balik. Nara melongo-
“Hah? Maksudmu?”
Menunjuk Nara dengan telunjuknya, “Dari latar belakangmu, Vania Nara Keisya kau sangat ahli dalam bidang bela diri. Benar bukan? Bahkan sempat memenangkan beberapa pertandingan nasional.”
Makin aneh, alis Nara bertaut antara bingung dan takut, “Da-darimana kau tahu?!” padahal dia sudah berusaha keras menyembunyikan keahlian atau sifatnya selama ini. Menjadi sosok biasa saja dan tidak mencolok.
“Mencari latar belakangmu lebih mudah dibandingkan mencari Ibu baru untuk Kenan.” Dengan gamblang menjawab. Wajah Nara reflek memerah, tiba-tiba teringat dengan ucapan Kenan tadi. Astaga, jantungnya memang tidak bisa dibohongi, menatap wajah tampan di hadapannya. Nara hampir lemas sendiri.
Tidak bisa mengelak lebih jauh, Nara pasrah. Wanita itu mendesah panjang, melirik sekilas kearah Kenan. Melihat bagaimana pemuda kecil itu nampak senang bermain dan tersenyum lebar saat melihat tokoh kartun spiderman kesukaannya.
‘Pekerjaan yang tidak buruk,’ bersama dengan Kenan lebih lama. Entah kenapa Nara sama sekali tidak keberatan dengan itu.
“Baiklah, aku terima pekerjaan itu. Kau juga harus menepati janjimu, Tuan Arka.” Menekan setiap kalimatnya. Arka mengangguk sekilas, manik legamnya menatap jam selama beberapa detik. Merasakan getaran di kantung jasnya,
Sudah bisa Ia tebak, panggilan dari Melly. Wanita itu beberapa kali memanggilnya. Beranjak dari kursinya, menatap Nara. “Tunggu di sini dan jaga Kenan.” Memberikan perintah pertamanya. Nara hanya mengangguk dan menatap malas.
“Hh, baiklah.” Melihat kepergian Arka menjauh dari meja makan mereka. Keluar dari restaurant.
.
.
.
“Kau dimana, Dummy?!” baru saja menjawab panggilan Melly, wanita itu sudah menghadiahinya teriakan. Sedikit berdengung dan menjauhkan benda itu dari telinganya. Arka mendesah.
Tanpa menjawab pertanyaan Melly, “Ada apa?” dia bertanya balik, sukses membuat sosok di seberang sana menjerit kesal.
“Jangan bilang kau lupa dengan pertemuan pesta hari ini?!” menaikkan suaranya. Arka sudah bisa menebak wanita itu tengah berada di kamarnya, berteriak dan mengeluarkan sifat aslinya. Membuang sifat lembut dan anggunnya jika tidak ada yang melihat.
“Aku tidak tertarik.” Memutar kedua maniknya malas, “Lebih baik aku pulang dan beristirahat.”
Melly kembali menjerit, “Kau tidak tahu betapa berharganya acara ini bagi perusahaanmu?!! Jangan menyia-nyiakannya begitu saja!”
Menyenderkan punggungnya pada dinding, Arka mendesah kembali. “Kau tahu aku tidak suka dengan pertemuan seperti itu,”
“Kumohon jangan membuang kesempatan ini, Dummy!! Hentikan tingkah bodohmu itu!”
“Kau saja yang ke sana sendiri.” Tanpa mendengarkan protesan Melly lebih lanjut, dengan sadis Arka langsung mematikan panggilan. Kupingnya terasa sakit mendengar teriakan wanita itu.
Dari awal Arka sudah sering memperingati Melly, dia tidak suka dengan pesta seperti itu. Apapun yang berhubungan dengan huru-hara, dia sangat menghindarinya. Sudah cukup menjadi trauma baginya datang ke sana. Arka tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.
Jika wanita itu mengatakan bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk memperbesar koneksi perusahaan mereka di mata para pengusaha lain? Mengingat kalimat itu saja sudah membuat dia tertawa.
Tempat berkumpulnya para pengusaha serakah yang menggunakan berbagai macam cara untuk mendapatkan kekayaan? Dia sudah sangat muak bertatap muka dengan orang-orang seperti itu. Arka hanya bersedia menghadiri pertemuan dimana hal yang menjadi topik utama di sana adalah hal yang penting. Bukannya sekedar bersenang-senang.
Arka tidak sudi memberikan tips ataupun sponsor, bahkan sepatah kata bagaimana trik dia bisa mendirikan kembali perusahaan Ayahnya yang dulu sempat mengalami kebangkrutan karena salah satu pegawai menggelapkan keuangan dengan nominal yang cukup besar.
Menjadikan dirinya sebagai pengusaha termuda, membangun perusahaannya menjadi nomor satu di Indonesia. Arka mengeluarkan banyak tangisan dan darah untuk mendapatkan itu semua.
Dia tidak perlu pandangan ataupun pujian dari semua manusia serakah di sana-
Super serius? Karakternya memang seperti itu. Setidaknya sejak beberapa tahun ini Arka sudah berusaha mengubah dirinya secara menyeluruh.
.
.
.
“Ibu Nara!!” pikirannya yang kusut teralih saat mendengar suara cempreng Kenan memanggilnya. Pemuda kecil itu berlari ke arahnya, dengan wajah sumringah, dan peluh di sekitar wajahnya karena keasikan bermain tadi.
Nara bergerak mengambil handuk kecil di tasnya. Katakan saja tasnya ini mirip kantong Doraemon, karena apapun yang dibutuhkan anak didiknya, semua tersedia lengkap!
“Awas nanti jatuh, Kenan,” menangkap tubuh mungil itu, kedua tangan Kenan bergerak memegang tangannya. Wajahnya menengadah, “Ibu Nara, main sama Kenan juga yuk!”
Nara sama sekali tidak keberatan sebenarnya jika diminta menjaga atau bersama Kenan lebih lama. Tidak ada sedikit pun rasa resah atau tidak rela. Tersenyum kecil dan mengangguk pelan, tangan Kenan menggenggam jemari Nara. Menarik wanita itu ikut bersamanya.
Baru saja Nara menikmati waktunya, memperhatikan bagaimana Kenan bermain, ikut berfoto dengan spiderman kesukaannya, handphone di sakunya berdering, menginterupsi kegiatan mereka.
“Tunggu sebentar, Kenan main saja dulu ya.” Tersenyum tipis, pemuda kecil itu mengangguk paham, sembari melambai bermain dengan ayunan di dalam ruangan.
Satu hal yang membuat Nara langsung kehilangan moodnya, saat melihat nama yang tertera di sana. Kedua maniknya menatap datar, mengatur napas dan bersiap mengangkat panggilan.
OOOOOOOoooooooOOOOOOO
“Selamat malam, Ayah.”
Suara baritone yang cukup berat terdengar singkat, “Kau dimana? Kenapa belum pulang juga?” sekedar menanyakan keberadaannya. Padahal jam belum menunjukkan pukul Sembilan malam, sosok yang sangat jarang menanyakan kabar itu tiba-tiba saja menghubunginya. Laki-laki itu justru lebih suka berbicara langsung dan meluapkan kemarahan bukan lewat panggilan jarak jauh.
“Aku sedang bersama teman, dia mengajakku makan malam bersama. Ada apa?” menjawab singkat.
“Dengan Bella?”
“Bukan,” teringat kembali dengan sahabatnya. Nara hampir melupakan tujuan utamanya, dia harus tahu apa yang terjadi kemarin malam. Tapi kapan? Sementara, semua waktu Nara sudah diberikan untuk bekerja menjaga Kenan?
Mendesah panjang, dia benar-benar lelah.
Samar-samar bisa Ia dengar suara Nadine dan sang Ibu memanggil Ayahnya, ‘Mereka mau kemana?’
“Cepatlah pulang dan jaga Apart selagi kami pergi. Ayah, Ibu, Nadine akan pergi menghadiri pesta malam ini.”
Oh, bagaimana bisa Ia lupa? Perkataan mereka di belakang Nara tadi pagi? Kedua orang yang mendesak sang Ayah agar tidak mengajaknya untuk ikut ke pesta. Alih-alih mengajak putri kandungnya sendiri, laki-laki itu malah mengajak kekasih Nadine. Aneh sekali.
Berpura-pura tidak tahu, memutar kedua maniknya malas. Nara hanya perlu berakting, “Pergi ke pesta? Aku tidak tahu itu.” dengan nada sedikit kaget.
“Karena tindakanmu kemarin malam, Ayah terpaksa menghukummu. Cepatlah pulang.”
Mengeluarkan nada kecewa andalannya,“Ayah tidak mengajakku ke sana?” kali ini suara Nadine terdengar jelas memanggil kekasihnya. Rian. “Rian ikut juga?”
“Hm, Nadine yang mengajaknya.” tidak menjawab dengan jelas, Nara tahu kalau Ayahnya sengaja merahasiakan bahwa Rian ikut serta ke sana. Laki-laki yang baru saja menggemborkan pekerjaannya di depan Ayah dan sang Ibu. Bagaimana mungkin laki-laki paruh baya itu melewatkan kesempatan mengenalkan calon menantu super mapannya di depan teman-temannya nanti?
Dibandingkan mengenalkan putri kandungnya sendiri. Wanita yang malas dan tidak cantik sama sekali.
“Hh, baiklah. Selamat bersenang-senang di sana.” memilih menyerah. Suara Ibunya berteriak kecil memanggil sang Ayah. Memintanya untuk cepat berangkat.
Hh, pesta yang besar dan mewah. Tidak cocok untuk Nara. Dia kurang suka.
“Jangan mempermalukan Ayahmu lagi, Nara.” Satu ucapan penuh ancaman kembali terlontar dari bibir laki-laki itu.
“Baik, Ayah.” Nara hanya bisa menjawab singkat, mematuhi tiap perkataan Ayahnya.
.
.
.
Nara sama sekali tidak sadar bahwa seseorang memperhatikan gerak-gerik dan ucapannya sejak tadi. Mendengarkan dengan seksama. Siapa yang menyangka bahwa akting wanita itu sanggup membuat laki-laki di belakangnya terhasut.
‘Pesta?’
Pesta mewah yang dihadiri oleh banyak pengusaha dan investor terbaik di Indonesia. Satu malam yang mampu menjungkir balikkan hidup Nara begitu saja. Mengacaukan semuanya-