[15] Troublesome

2439 Kata
PART 15 . . . . “Darimana saja kau?!” Satu hal yang Nara lupakan karena terlalu memikirkan kejadian di rumah Kenan tadi, fakta bahwa dia tidak memberitahu kepergiannya kemarin pada Ayah ataupun Ibunya. Masuk ke dalam Apart dengan tergesa-gesa. Lupa dengan keberadaan semua keluarga yang tengah menikmati acara sarapan pagi mereka. Niat Nara yang tadi ingin segera masuk ke kamar langsung gagal. Mendapat hadiah teriakan amarah sang Ayah. Duduk di ruang makan, wajah wanita itu menunduk- “Tidak mengabari Ayah atau Ibumu sama sekali! Malah memberitahu Bi Ina! Kau anggap apa kami berdua?!” menaikkan suaranya. Sosok paruh baya itu menyelesaikan sarapan pagi dan terfokus pada Nara. Duduk di seberang sana dengan pandangan menusuk. Begitu juga sang Ibu dan Nadine, mereka berdua hanya diam. Nara sendiri sudah bisa menebak bagaimana raut wajah mereka berdua sekarang. Senang tentu saja~ “Aku hanya pergi bersama Bella,” menjawab dengan suara tipis. Sang Ayah masih tidak terima, “Fakta bahwa kau tidak mengabari kami sama sekali dan baru pulang pagi-pagi seperti ini! Kau bukan anak kecil lagi, Nara!!” “Maaf-” oke, Nara menyerah. Dia hanya mengeluarkan kalimat ultimatumnya. Mungkin sikapnya sedikit keterlaluan kemarin, jadi dia menyesal. Laki-laki itu membisu sesaat, Melinda selaku Ibunya, tidak memperbaiki emosi ataupun membela Nara sama sekali. Dia justru bangkit dari kursinya, menghampiri sang suami. Menyentuh pundak itu lembut. Saat pandangan Nara mulai berani memandang kedua orangtuanya. “Kau tahu betapa khawatirnya kami?! Adikmu sama sekali tidak pernah melakukan hal memalukan seperti ini! Pergi malam-malam, pulang pagi! Kau tidak mungkin hanya menginap saja kan bersama Bella?!” Pandangan Nara membulat tak percaya, “Apa maksud, Ibu?” suaranya bertanya heran. “Tidak usah mengelak! Tadi Ibu sudah menghubungi Bella! Kau pergi ke club malam bersamanya lalu tiba-tiba saja pergi dengan laki-laki tidak dikenal!” Alis Nara makin tertekuk bingung, merasa ada keanehan dalam ucapan Ibunya. “A-aku hanya-” “Jangan bicara lagi!” memotong kalimatnya, pandangan wanita itu seolah menyelidik, menatap penampilannya dari atas sampai bawah. Nara merutuk dalam hati, ‘s**t, aku lupa dengan baju ini,’ benar-benar hancur, hari ini fix dia sial luar biasa. Menutup kedua matanya dan mendesah panjang. “Lihatlah pakaianmu! Apa-apaan rok pendek dan baju itu! Rambut berantakan, make upmu hancur, astaga!!” menjerit kecil, Melinda menggelengkan kepalanya shock. Berbeda dengan penampilannya pagi ini. Pandangan Nara teralih, menatap ke arah sang adik yang masih duduk di samping Ibunya. Seperti dugaannya. Wanita itu berusaha keras menyembunyikan raut wajah agar tidak tertawa melihat penampilannya sekarang. Hh, sial. “Maaf  kalau aku tidak memberikan kabar kemarin malam.” Mengucapkan dengan lugas, Nara ingin segera keluar dari ruangan ini. Dia harus mengalah, setidaknya- “Adikmu sama sekali tidak pernah pergi ke club malam! Bukannya sudah kami peringatkan jangan pergi ke sana lagi!” Kali ini giliran Nara yang tertawa, mendengus singkat, menatap sang Ibu, “Ibu yakin? Nadine tidak pernah pergi ke sana?” membalikkan pertanyaan wanita itu. Di seberang sana Nadine hanya bisa diam, hampir tersedak saat mendengar sang Kakak ternyata berani menjawab. Pandangannya melotot, memberikan protesan singkat- “Te-tentu saja! Dia tidak bar-bar sepertimu!” “Setidaknya aku bersikap jujur, bukan munafik seperti-” sebelum menyelesaikan kalimatnya, satu teriakan menggema. Baritone yang berat, menekan setiap kata dalam namanya- “VANIA NARA!!” Ayahnya berteriak, wajah paruh baya itu perlahan memerah, dengan beberapa urat di sana nampak jelas. Kedua tangan itu bahkan mengepal, seperti berniat menghajarnya begitu saja. Tidak peduli, bahwa sosok yang dia teriaki adalah putri kandungnya sendiri. Nara sudah terbiasa, lelah bertingkah laku bak remaja-remaja melankolis yang selalu dramatis saat dimarahi oleh Ayah kandungnya sendiri. Dia memilih diam, dengan pandangan yang datar. Teralih menatap Bi Ina, “Bibi,” memanggil wanita paruh baya itu, memintanya untuk mendekat. “Tolong buatkan bekal sandwhich untukku ya,” “Ba-baik, Non.” Tersenyum kecil, Nara kembali menatap Ayahnya. “Ayah sudah selesai kan? Aku minta maaf kalau tadi malam pergi tanpa pamitan. Lagipula Nadine pernah melakukan hal yang sama saat dia menginap di rumah kekasihnya kan?” mengingatkan kembali. Bak tepat mengenai kasusnya, ketiga orang itu bungkam. Terutama sang Ibu yang menatap shock tak percaya, “Se-setidaknya dia memberitahu kami!” Mendengus tipis, Nara bergegas bangkit dari tempat duduknya. Setengah tersenyum, “Apa bedanya? Pergi ke club malam atau menginap di rumah laki-laki yang bahkan belum menjadi suaminya?” Setengah tertawa dalam hati. Yah, mereka tidak tahu saja kalau ternyata Nara malah menginap di rumah laki-laki yang tidak dia kenal. Nara hanya tidak begitu suka jika kegiatan kesukaannya dibanding-bandingkan dengan Nadine.  Melihat wajah gemas Ibu dan Nadine. Nara menang telak. Bahkan sang Ayah pun tidak bisa berkata. Melangkahkan kakinya, keluar dari ruang makan, mengabaikan tatapan mereka. “Kenapa sikapmu mirip sekali dengan wanita sialan itu!!!” Bahkan teriakan Ayahnya yang menggema. Menyakiti hatinya berulang kali. . . “Mungkin lebih baik kita tidak mengajaknya pergi, cukup aku, Nadine dan Rian. Kita berempat saja, bagaimana?” suara Melinda seolah mulai mempengaruhi pikiran suaminya. Memberikan suara yang lembut penuh nada khawatir, sangat pintar. “Dia juga putriku, Melinda. Bagaimana dengan pendapat orang lain nanti?” “Kita tidak mungkin mengajaknya. Nara sudah terlalu sering membuat kekacauan. Bagaimana jika nanti dia melakukan sesuatu yang aneh, dan mempermalukan kita semua?” Kali ini Nadine yang tadinya hanya diam, mulai berani masuk dalam pembicaraan. “Benar, Ayah. Lihat penampilan Kak Nara tadi? Pesta semewah itu tidak cocok untuk Kak Nara.” Laki-laki paruh baya itu terdiam, memikirkan kembali perkataan Istri dan putri bungsunya. Mengingat kelakuan Nara yang di luar batas tadi, mengikuti sifat Istrinya yang dulu. Kekesalannya kembali memuncak. Mengepalkan kedua tangan- “Kita ada di sini bersamamu, jangan takut.” Satu kalimat terakhir Melinda sudah cukup menghancurkan pertahanan laki-laki itu. Mendesah panjang, mengambil keputusan bulat, “Hh, baiklah. Ada baiknya jika dia merenungkan perbuatannya hari ini.” Dengan mudahnya terhasut oleh Istrinya sendiri. “Hh, kenapa dia mirip sekali dengan wanita itu,” menggelengkan kepala heran. Melinda mengelus pundak suaminya lembut. “Wanita jalang seperti itu, ada baiknya jika kita tidak membahasnya lagi.” “Hh, kau benar.” Mereka bertiga benar-benar tidak sadar, bahkan sedari tadi, dibalik ruang makan. Berdiri tepat di dekat pintu. Nara mendengar ucapan mereka sangat jelas, kedua maniknya masih memandang datar. Terarah menuju dinding rumah mereka, dengan beberapa foto yang menjadi pajangan di sana. Foto ketiga orang itu yang mendominasi, sementara dirinya hanya ada satu buah, itu pun dengan bentuk pigura yang kecil. Mendengus kecil, “Sebenarnya siapa yang anak tiri di sini?” bergumam entah pada siapa. Nara hanya menertawakan dirinya sendiri. Sampai kapan dia harus sabar menerima perlakuan mereka? Tidak tahu- Hanya itu jawaban yang bisa Nara berikan sekarang. Dia hanya bingung, jika nanti Nara berusaha untuk pergi dari sini. Pada siapa dia bergantung? Hanya Bella saja? Sementara di Jakarta, Nara sama sekali tidak mempunyai kerabat dekat. Hidup sendiri? Dia sangat ragu kalau Ayahnya akan mengijinkan. Kenapa? Entahlah, Nara sendiri tidak tahu. Memangnya siapa yang bersikeras memaksa mereka semua ke Jakarta? Meninggalkan Surabaya begitu saja. Nara bahkan tidak sempat berpamitan dengan beberapa sahabatnya di sana. Ayahnya tentu saja. Laki-laki paruh baya yang memiliki sifat ababil lebih buruk darinya. Terkadang memperlihatkan sifat overprotective, melarangnya untuk melakukan apapun tanpa ijin, tapi terkadang juga laki-laki itu akan bersikap tidak peduli, mengabaikan bahkan merendahkannya lebih buruk dibandingkan Ibu dan adiknya.  “Kalian suka membentakku sesuka hati, saat aku pergi sehari saja dari sini semuanya langsung panik.” Mendengus tipis. Kalimat Jalang itu bukan pertama kalinya Nara dengar, berulang kali tanpa sepengetahuan mereka. Ketiga orang itu akan selalu menyangkut pautkan segala sikapnya dengan sang Ibu. Wanita berdarah asing yang sekarang entah ada dimana. Dengan kekasih barunya mungkin? Meninggalkannya di sini bersama orang-orang itu- Melangkahkan kaki menuju kamar, Nara lelah. “Apa yang sebenarnya kalian incar dariku?” berbisik tipis. Setiap hari rasa ragu pada Ayahnya semakin membesar. Semua sifat protective itu sangat bertolak belakang dengan sikap Ayahnya selama ini. . . Masuk ke dalam kamar, menguncinya dengan cepat. Nara menyenderkan tubuhnya, masih dalam posisi berdiri, salah satu tangannya terangkat, merapikan rambut yang sedikit berantakan. Kacau sekali. Kepalanya berdenyut lagi- “Hh, mereka benar-benar tidak bisa membiarkanku tenang sehari saja,” bergumam tipis, pandangannya terarah pada jam dinding berhadapan dengan pintu masuk. Sudah hampir pukul delapan lebih- Nara sudah terlambat, dia belum mandi, bau alkohol masih menyengat dari bibirnya, make up yang belum bersih, pandangan yang buram, rambut berantakan, baju yang membuatnya risih. “Arghh!! Satu hari saja biarkan aku hidup tenang!!” berteriak lagi, wanita itu hampir melempar tasnya entah kemana. Tapi begitu mengingat di dalam sana ada inhaler khusus Kenan dan beberapa obat-obatan untuk para muridnya. Nara mengurungkan niat. Dia masih sayang sama anak-anak didiknya- “Hh, bahkan aku tidak bisa mengamuk dengan leluasa,” menyerah dengan pasrah, berjalan lemas menuju kamar mandi. Sebelum itu- Pandangan Nara kembali terarah pada tirai yang kini sudah terbuka, sinar matahari pagi mulai masuk ke dalam ruangan. Bukan itu yang menjadi fokusnya sekarang- Berjalan cepat, mengerahkan kekuatannya. Nara membulatkan tekad, menutup tirai itu rapat. Sama sekali tidak menyisakan pemandangan ruangan sang laki-laki tampan di seberang sana. Setelah kejadian tadi. Nara kapok. Dia tidak ingin masuk ke dalam urusan keluarga mereka lebih dalam. Apalagi berhadapan dengan wanita seperti Melly. Sosok cantik nan anggun yang mampu memikat hati para lelaki. Walaupun dia sendiri baru mengetahui fakta bahwa wanita itu bukan istri laki-laki idolanya. Tapi mereka sudah berstatus Tunangan, lebih baik dari Nara yang hanya berprofesi sebagai penguntit m***m yang suka menatap lekukan body kotak-kotak itu dari jauh setiap harinya. Body mereka yang berbeda, tinggi bahkan lekukan itu- Nara kalah telak- “Oke, aku harus menyerah mulai sekarang!” sebisa mungkin Nara harus menghindari berhubungan dengan laki-laki itu lagi! Kecuali pada Kenan! Karena dia kan guru anak itu! Berjalan mengambil teropong yang sedikit retak karena ulahnya kemarin, kali ini lebih sadis lagi. Membuang benda itu ke dalam tong sampah. Mengangguk yakin. Berkacak pinggang dengan bangga, tertawa keras walau dalam hatinya sedikit menangis karena harus mengucapkan selamat tinggal pada tubuh kotak-kotak itu. “Baiklah! Mulai hari ini Vania Nara Keisya, tobat! Aku berjanji akan menjadi wanita yang suci, baik hati, dan tidak m***m lagi!” Berharap bahwa keinginannya dikabulkan, tapi siapa yang tahu Tuhan memiliki rencananya sendiri. Nara pun tidak bisa menebak- Dirinya justru akan ditarik lebih dalam untuk mengenal sosok laki-laki itu. Lebih dalam dari yang Ia bayangkan. Bahkan menguak masa lalu yang sempat berkabut di ingatannya selama ini. Masa lalu kelam yang membuatnya terpaksa menetap di Jakarta. Meninggalkan Surabaya, kota kenangan yang memiliki setengah dari ingatannya selama ini. Merebutnya dengan paksa. Kau baru saja melewati pemanasan cerita ini, Vania Nara. . . . Tidak membutuhkan waktu lama bagi Arka untuk mengantar Kenan menuju penitipan. Seperti yang Ia bayangkan, tepat saat mobilnya berhenti di depan gerbang. Beberapa orang yang sebelumnya hanya sekedar berlalu lalang, menghentikan langkah mereka kompak. Melly turun diikuti dengan Kenan yang sejak tadi tetap berpangku di paha wanita itu, Arka sebenarnya sedikit enggan. Menerima pandangan aneh semua wanita-wanita di luar sana. Tapi dia kalah dengan tatapan memohon Kenan. Memutuskan keluar dari dalam mobil, semua orang reflek berhenti di sekitar mobil mereka. Beberapa bisikan tipis yang terdengar jelas di telinganya, teriakan mereka, bahkan kedua mata yang memandang dengan kagum. “Ayah, sini!” Kenan berlari mendekatinya, langsung saja menggenggam salah satu tangan, menariknya masuk dalam area penitipan. Melihat anak-anak berkumpul dengan tatapan heran. Kenan yang biasanya tampil malu dan pendiam, saat dirinya mendengar perkataan Ibu Nara kemarin. Entah kenapa kepercayaan dirinya perlahan tumbuh. Dengan semburat merah di kedua pipi, tersenyum kecil memandang Ayahnya. “Tadi kenapa Ibu Nara bisa ada di rumah kita, Ayah?” bertanya sembari melangkah menuju gedung penitipan. Tentu saja dia tidak akan lupa. Wanita itu sudah seperti super hero bagi Kenan, “Ayah?” tidak mendapat jawaban. Ayahnya justru melamun. Melly dengan sengaja berjalan di samping Kenan, menggandeng salah satu tangan pemuda kecil itu. “Ibu Nara tadi hanya mengambil barang saja ke sana, Kenan tidak perlu khawatir,” berujar dengan nada santai. Pikiran Kenan yang masih polos hanya mengangguk kecil. “Oh, Kenan kira kenapa,” membulatkan bibirnya paham. Manik pemuda kecil itu membulat kaget saat melihat beberapa anak-anak menghampirinya dengan tatapan kagum. “Kenan! Mereka Ayah dan Ibumu?” salah seorang perempuan kecil bertanya dengan manik berbinar. Ee-e, Kenan bingung. Bagaimana dia menjawab? Sedikit bingung mencari jawaban, pemuda itu malah diam dengan wajah kikuk. Menatap ke arah Ayahnya yang belum sempat berkata lebih jauh. Melly kembali mengambil alih- “Terimakasih sudah mau menjaga Kenan selama ini,” tersenyum anggun, tubuh wanita itu sedikit membungkuk. Memancarkan aura kecantikan kemana-mana, tidak hanya anak-anak, tapi para orang dewasa juga ikut kagum. Mereka seperti kedatangan model-model terkenal di majalah! Hanya bisa dinikmati dari jauh saja tanpa berani mendekat. “Wah!! Bibi cantik sekali!” Arka menahan tawanya, wajah Melly seolah membatu saat mendengar kalimat lanjutan beberapa anak di depannya. Seperti ada yang retak di jantungnya, ‘Bibi? Mereka memanggilku Bibi? Wajahku belum setua itu!’ “A-ahaha, terimakasih~” mencoba tersenyum, wanita itu kembali menegakkan tubuhnya. Citranya seolah hancur begitu saja. Bergerak melepaskan genggamannya pada tangan mungil Kenan. Masih dengan senyuman- “Kutunggu di mobil,” berujar tipis pada Arka, berjalan menjauh dari gedung menuju mobil mereka. Moodnya berubah drastis hanya gara-gara disebut ‘Bibi’?! Kakinya terhentak beberapa kali, menunjukkan kekesalannya. “Ibu Melly kenapa, Ayah?” Kenan bingung, menatap kepergian wanita itu. Tadi tiba-tiba pegang tangannya terus sekarang pergi begitu saja. Aneh. Pikirannya teralih cepat saat mendengar beberapa temannya memanggil. Seperti yang dikatakan Ibu Nara, mereka sama sekali tidak memandangnya dengan sinis ataupun iri! Kedua maniknya berbinar senang- Arka mendengus sekilas, kembali fokus pada putranya. Laki-laki itu mengusap rambut Kenan lembut, melihat bagaimana perubahan sikap Kenan hari ini. Biasanya setiap pulang dari penitipan, putranya pasti memasang wajah cemberut seolah tidak suka dengan tempatnya kali ini. Sekarang sedikit berbeda, aura di sekitar Kenan berubah perlahan. Meskipun masih terlihat malu-malu, Kenan mulai tidak takut memperlihatkan senyumannya. “Sepertinya ada yang betah diam di sini sekarang?” terkekeh geli, pandangan Kenan kembali menatap sang Ayah. Mengangguk antusias, “Disini  beda Ayah! Kata Ibu Nara teman-teman di sini tidak sombong seperti di Surabaya!” berujar dengan polos. Arka tersenyum tipis, kembali mendengar nama Nara dari bibir putranya. “Kenan suka dengan Ibu Nara?” bertanya kembali. Wajah Kenan makin sumringah, “Suka sekali!” menjawab penuh semangat. Satu hal yang terlintas di pikiran laki-laki itu, senyumannya perlahan berubah menjadi seringai kecil. “Bagaimana kalau Ayah minta dia untuk jadi Ibu Kenan?” siapa yang menyangka kalau pertanyaannya tadi sukses membuat manik Kenan membulat tak percaya. Sebelum tangan pemuda kecil itu ditarik oleh beberapa temannya untuk ikut bermain. Rona merah di pipi Kenan sudah menjadi pertanda kalau dia sangat suka dengan ide Ayahnya. “MAU!!”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN