[19] Angry Mom

2765 Kata
PART 19 . . . . “Bagaimana bisa dia ada di sini?!” berusaha menahan teriakan, sengaja mencari tempat tersembunyi. Hanya ada beberapa orang saja di sana. Termasuk laki-laki berambut ikal yang memberikan informasi cepat mengenai kedatangan satu pesaing mereka hari ini. “Saya tidak tahu, Tuan. Menurut informasi, Damian jarang sekali hadir dalam acara pesta pora seperti ini.” Menjelaskan info yang Ia dapat. Satu penjelasan yang sanggup membuat laki-laki paruh baya di hadapannya menggertak emosi. Tangannya bergerak cepat, menggenggam erat kerah baju bawahannya. Kedua manik itu melotot, “Informasimu sama sekali tidak berguna!! Lihat kenyataannya sekarang!!” menaikkan suara, giginya bergemeretak, urat-urat dalam pelipisnya pun perlahan muncul. “Ma-maaf, Tuan!” Rian hanya bisa meminta maaf, meringis sakit saat merasakan tenggorokannya dicekat kuat. Napasnya sesak. Kedua tangannya reflek memegang satu tangan yang membuatnya tak berdaya. “Laki-laki itu bahkan tidak sendiri!! Kedatangannya hari ini bisa menghancurkan rencanaku!! Bagaimana bisa para pengusaha dan investor itu melirikku sekarang!!! Perhatian mereka bisa teralih pada laki-laki sialan itu!!” mengeluarkan amarahnya dalam satu teriakan. Rian tidak bisa mengatakan apapun, beberapa laki-laki di dekatnya pun tidak berani ikut campur. Mereka hanya bisa diam dan menunggu perintah. “Kau tahu kan kalau perusahaan laki-laki itu berhasil menandingi perusahaan kita?! Setelah bertahun-tahun aku menunggu acara ini!! Tidak akan kubiarkan dia menghancurkannya!” mengedarkan pandangan, menatap para pesuruhnya yang lain. Memberikan tatapan tajam, “Lakukan segala cara untuk mengalihkannya naik ke panggung itu!! Apapun itu aku tidak peduli!! Kalian mau lukai atau culik kedua orang yang dia bawa, atau membunuhnya sekalian!! Paham?!” perintah diturunkan cepat. Semua laki-laki di sana mengangguk kompak, sosok paruh baya itu langsung melepas cekalannya pada Rian, memberikan tatapan terakhir, “Lakukan tugasmu dengan benar jika ingin mendapatkan jabatan yang lebih baik dariku!” sebuah ancaman penuh resiko yang sanggup membuat Rian mengangguk paham. Jika bertanya tentang posisi. Jika dia bisa mendapatkan kesempatan untuk naik pangkat atau maju ke atas panggung itu malam ini. Rating pekerjaannya akan naik pesat. “Baik, Tuan Richard.” Mengangguk paham, setengah menyeringai tipis. Dia punya ide yang bagus. . . . “Ibu Nara,” merasakan seseorang menarik tangannya pelan. Perhatian Nara teralih, menatap sosok mungil Kenan. “Kenapa, Kenan?” sosok itu menunjuk ke arah meja yang penuh dengan makanan pembuka. “Ada pie appel di sana,” Pandangan Nara menyipit, dia memang sudah mendapatkan lensa kontak yang cocok untuknya tadi. Tapi tetap saja, Nara belum terbiasa menggunakan lensa baru ini. “Oh, iya. Ada apple pie,” ikut senang saat menangkap makanan itu. Siapa yang menyangka bahwa makanan favorite mereka sama. Penyuka Apple, apapun yang berbahan makanan itu. Nara langsung setuju, sebelum pergi tentu dia harus meminta ijin pada Arka. Karena Nara yang bertugas menjaga keselamatan Kenan sekarang. “Tuan Arka,” memanggil tipis, mengganggu sedikit perbincangan laki-laki itu. Hanya sekedar menatap dan bertanya dengan tautan alisnya. Nara langsung mengerti- “Kami boleh ke sana? Tidak jauh kok,” menunjuk ke arah meja penuh makanan tak jauh dari posisi mereka. Arka berpikir sesaat, sebelum akhirnya mengangguk cepat. “Cepatlah kembali, jangan lama.” Sedikit dongkol dengan pemikiran Arka, laki-laki itu cenderung overprotective. Mereka kan hanya berjalan beberapa langkah dari posisinya. “Oke, ayo Kenan.” Menggandeng tangan Kenan dan mengajak pemuda kecil itu. Tidak akan terjadi apa-apa, Nara yakin. Pandangannya menatap tertarik pada kue-kue yang tertata rapi di depan sana. Berbagai macam kue ditata sesuai dengan asal tempat tinggalnya, kue khas Indonesia sampai kue khas barat yang nampak mahal. Khususnya Pie Apple, Kenan dan Nara kompak tertarik melihat kue berwarna keemasan itu. Nara sengaja mengambil piring yang cukup besar dan mengisinya dengan pie apple yang banyak serta beberapa makanan manis lain. “Kenan mau Pie Apple yang banyak,” tubuh mungil itu mendongak dan berusaha mengambil beberapa kue, bahkan sampai menjinjitkan kaki. Nara hanya terkekeh geli. “Iya, sebentar Ibu Nara ambilkan.” Tidak buruk juga datang ke tempat ini, dibandingkan guling-guling di kamar tanpa bisa melakukan apa-apa. Biarpun sang Ayah memintanya untuk pulang. ‘Mereka kan tidak tahu kalau aku sedang ada di sini,’ mengambil beberapa kue, pandangan Nara tak sengaja mengedar, berniat menikmati kembali suasana mewah yang tersedia untuknya. Lagu classic yang menangkan dan banyaknya pengusaha terkenal serta investor kaya. Ini memang bukan pesta biasa- Tepat saat kedua maniknya melirik ke arah pergola besar, melihat beberapa tamu datang perlahan. Tak jauh dari tempat itu, satu hal membuat tangannya gemetar tanpa sadar. Melotot tak percaya, mengurungkan niat untuk mengambil beberapa slice kue lagi. ‘Kenapa mereka bisa ada di sini?!’ dari balik topengnya bisa Nara tebak bagaimana terkejutnya dia. Ketiga orang yang Ia hindari malam ini justru ada di sini, di tempat yang sama. Ayah, Ibu dan Nadine, mereka semua berkumpul di satu tempat. Dengan dandanan yang mewah. Jadi tempat yang mereka maksud tadi adalah pesta ini?! Pantas saja!! Nara merasa familiar dengan beberapa banner yang terpasang di depan tadi. “Ibu Nara?” perhatian wanita itu teralih saat tangan mungil Kenan kembali menarik dress yang Ia gunakan. ‘Tenang, tenang, Nara. Mereka tidak akan tahu bahwa ini adalah kau,’ menenangkan dirinya. Untunglah dalam pesta hari ini, tidak hanya dia, Kenan dan Arka saja yang menggunakan topeng, beberapa tamu dengan senang hati juga ikut berpartisipasi. Keluarganya tidak akan menyangka bahwa Nara bisa ada di sini, bahkan terbesit sedikit saja tidak mungkin! Merasa aman karena menggunakan topeng. Nara berusaha mengalihkan perhatian pada Kenan. “Maaf, Kenan. Ayo kita cari tempat duduk sekarang,” “Ibu Nara, Kenan mau ke kamar mandi,” mengerjap sekilas, kedua manik bulat itu menatapnya malu-malu. Pandangannya menatap bingung seolah mencari tempat yang Ia inginkan. Sangat manis, Nara langsung mengerti. Menaruh piring kue yang Ia pegang, tersenyum tipis. “Baiklah, Ibu Nara antarkan ya. Kita bilang dulu sama Ayahmu,” berniat mendekati Arka. Tapi Kenan kembali menarik tangannya, tanpa sempat memberitahu Arka. “Kenan sudah tidak tahan, Ibu Nara!” wajahnya memerah, Nara ikut panik. “Ba-baiklah,” tidak tahu harus apa, Nara langsung menggendong tubuh mungil Kenan. Bertanya pada beberapa orang letak kamar mandi di sini. Tanpa sempat memberitahu Arka. Lagipula dia hanya pergi sebentar, tidak akan terjadi apa-apa kan? . . . Tanpa Nara ketahui bahwa sejak kedatangan mereka tadi, beberapa orang mengawasi semua pergerakannya. Mencari waktu yang tepat untuk menjauhkan mereka berdua dari Arka. Siapa yang menyangka bahwa semua akan semudah ini? Bersembunyi di tempat khusus, mereka tersenyum penuh arti. Saling memberikan sinyal satu sama lain sebelum akhirnya bergerak. “Kita harus melakukannya,” “Bersiaplah! Jangan sampai laki-laki itu naik ke atas panggung!” “Alihkan perhatiannya!” . . . “Ck, Rian kemana sih?” Nadine menggerutu, sejak mereka datang ke sini, kekasihnya itu menghilang entah kemana. Rian bahkan belum sempat mengenalkan statusnya sebagai sang kekasih pada kerabat-kerabat lain di sini, mengerutkan alis kesal. Menyesap sampanye yang diberikan pelayan dengan cepat, pandangannya masih mengedar, mencari keberadaan laki-laki itu. Tapi nihil!! Rian menghilang! “Sudahlah sayang, mungkin Rian sedang bertemu dengan atasannya,” tepukan sang Ibu menenangkannya, wanita itu nampak sesekali tersenyum pada beberapa orang yang menyapa. Seperti yang Melinda duga, perusahaan suaminya juga berperan besar dalam pesta ini, walaupun tidak bisa masuk ke dalam tiga besar perusahaan terbaik. Setidaknya Perusahaan laki-laki itu masuk ke dalam nominasi 10 terbaik. Banyaknya kolega yang Ia kenal, membuat Melinda tidak menyesal menghabiskan waktu berjam-jam untuk merias wajah dan membeli gaun baru. “Tapi Ibu! Dia langsung meninggalkanku begitu saja! Bahkan sebelum sempat mengenalkan pada koleganya yang lain!! Aku tidak suka!” menggerutu kesal. Nyari menghentakkan kaki bak anak kecil. “Aku ingin ikut ke sini karena dia berjanji akan mengenalkanku pada kolega-kolega yang lain!! Seperti yang dilakukan Ayah pada Ibu selama ini!” merasa tidak adil. “Sebentar lagi dia pasti ke sini, jangan ditekuk seperti itu wajahmu. Nanti makeup-nya luntur,” memperbaiki riasan di wajah putrinya. Nadine masih merengut tak suka. “Padahal aku sudah berdandan cantik seperti ini untuk dia!” . . . Nara merasakan ada yang aneh tepat saat dia meninggalkan area pesta tadi, mencari kamar mandi yang tempatnya cukup jauh dari posisi mereka tadi. Instingnya mengatakan ada yang mengikuti langkah mereka. Perasaannya mulai tidak enak- Ditempat seperti ini? Oh, ayolah! Ini kan pesta besar?! Kenapa dia harus merasa aneh sekarang!! Salahkan instingnya yang terlalu tajam! “Ibu Nara tunggu di sini apa ikut masuk?” mengabaikan dengan cepat, dan mencoba fokus pada Kenan. Pemuda kecil itu mengangguk polos. “Ibu Nara tunggu saja ya,” berjalan masuk ke kamar mandi, Nara tetap bersiaga di luar. Hanya ada dirinya dan Kenan saja di sini, tidak ada tamu lain. Posisi mereka cukup jauh dari Arka. Kedua manik Nara melirik dan tetap waspada, keringat dingin perlahan keluar dari pelipisnya. Nara berusaha keras untuk tetap tenang. Menatap dress yang Ia gunakan sekarang, sangat panjang bahkan menutupi tumitnya, ditambah lagi menggunakan high heels yang cukup tinggi. Bukan stylenya, tertawa sekilas. Menyenderkan tubuhnya dan bermain dengan kakinya, pandangannya masih melirik ke segala arah. “Ibu Nara-hmph!” Satu suara tertahan itu sukses menegangkan tubuh Nara, sikap santainya berubah drastis. Wajahnya menampakkan raut serius, tanpa menunggu lama Ia membuka pintu kamar mandi, “Kenan-” bergegas masuk saat mendapati sesosok laki-laki bertubuh jangkung membekap bibir Kenan. Menggunakan pakaian berwarna kehitaman, dan topeng yang menutupi wajah. Sementara topeng milik Kenan sudah dilempar jauh. “Apa yang kau lakukan?! Lepaskan dia!!” menaikkan suaranya, di depan sana Kenan menangis ketakutan, suaranya tercekat dan dipaksa bungkam. “Aku akan berteriak kalau kau berani melukainya!!” berusaha untuk tetap tenang, Nara tetap menjaga agar pintu kamar mandi tetap terbuka, tapi siapa yang menyangka bahwa laki-laki jangkung itu mengancamnya balik. “Ikut denganku, jangan berani berteriak atau anak ini akan celaka!” suara beratnya penuh penekanan, Kenan dalam bahaya, dia benar-benar tidak mengira bahwa perasaan tidak enaknya ini terjadi! Berarti sejak tadi laki-laki itu sudah ada di kamar mandi, tapi kenapa dia malah menyandera Kenan?! Diantara banyaknya pengusaha lain di pesta ini. Masih mencoba mengecek situasi, “Ikut aku!” suara berat itu kembali memperingati, Nara dipaksa mundur. Melihat tubuh Kenan diseret paksa, pemuda kecil itu menangis ketakutan, tanpa bisa berteriak. Ah, sial!! Kenapa di acara seperti ini mereka justru terlibat masalah?! Kedua manik Amber itu menatap khawatir ke arah lain, mencari keberadaan Arka. Berharap laki-laki itu sadar bahwa mereka menghilang lama, suatu kebetulan yang tidak Nara duga. Beberapa kali Arka memperingati Nara agar tidak jauh darinya, dan sekarang hal ini terjadi- “Cepat!!” tubuhnya mengejang kaget, masih mengerutkan keningnya, berjalan mengikuti laki-laki itu menuju tempat yang lebih sepi. ‘Mau apa dia?!’ . . . “Wah rupanya Tuan Damian datang ke sini, kami kira anda tidak akan hadir.” salah satu penanggung jawab pesta ini datang sendiri menyambut kedatangan Arka. Laki-laki paruh baya bertubuh tambun, ditemani istrinya, mereka saling berjabat tangan sesaat. Sementara Arka masih menggunakan topeng yang hanya menyembunyikan setengah dari wajahnya, tersenyum tipis. “Suatu kehormatan saya bisa hadir di sini, Tuan Frans,” tetap menjaga profesionalitasnya. Sosok tambun itu nampak berbincang sekilas dengan sekertarisnya, “Karena Tuan Damian sudah datang ke sini, kita harus bergegas mengganti tamu spesial hari ini. Saya akan memberikan waktu yang banyak bagi Tuan untuk berdiri di panggung.” Arka menggeleng sekilas, “Tidak usah, Tuan. Saya datang ke sini karena ingin bertemu dengan anda. Serahkan saja waktu di panggung pada perusahaan lainnya.” Sosok tampan itu memang sangat pintar berakting, bahasa yang halus dan sopan memikat hati semua orang di dekatnya. Membuat iri beberapa orang karena mampu membuat Petinggi yang membuat pesta ini datang sendiri menemuinya. Sosok itu menggeleng tidak setuju, “Ck, ck, mana mungkin saya melewatkan anda, Tuan. Sebagai seorang pengusaha termuda karena mampu mendirikan kembali Perusahaan Ayah anda yang sempat hancur hingga menjadi tersohor seperti sekarang. Saya juga ingin mendengar sepatah dua pata kata dari anda.” Dengan nada bercanda memberitahu. Arka masih pintar mempertahankan senyumannya, sementara dibalik sikap itu. Sang empunya sudah lelah tersenyum, bibirnya terasa kelu, bahkan alisnya begitu gatal untuk sekedar tertekuk- Karena itu dia malas datang ke sini, “Jika memang itu keinginan anda, saya tidak bisa menolak lagi.” Memilih untuk menyerah, sebelum akhirnya dia menyadari ada sesuatu yang aneh. Merasa melupakan sesuatu- Pandangannya reflek teralih, mengedar ke arah meja makan penuh kue tak jauh dari posisinya tadi.  Arka sama sekali tidak menemukan keberadaan Nara ataupun Kenan. Kerutan alis perlahan nampak, bukannya tadi dia sudah sempat memperingatkan wanita itu. Jangan terlalu jauh darinya. ‘Kemana mereka?’ membatin singkat, perasaan tidak enak perlahan menghampirinya. Seharusnya jika Nara mengambil kue saja, mereka tidak akan jauh dari posisi meja tadi. Tapi kenapa mereka tidak ada di sana- Menyadari ada sesuatu yang aneh, kedua maniknya menatap tajam pada satu piring yang penuh dengan makanan. Tidak ada yang mengambilnya, seolah itu milik orang lain. “Tuan Arka, ada apa?” suara laki-laki paruh baya itu menginterupsi. Pandangan Arka mengerjap sekilas. Berusaha untuk tetap tenang, mempertahankan wajah profesionalnya. “Bukan apa-apa,” dengan kedua manik yang masih melirik ke arah meja tadi. Melihat dengan jelas piring berisikan Pie Appel yang cukup mendominasi. Makanan kesukaan mereka berdua. Baru saja beberapa menit dia mengalihkan pandangan dan mereka sudah menghilang. ‘Ck, anak-anak itu-’ sedikit gemas, terfokus kembali pada sosok di depannya. Tersenyum tipis, “Maaf, saya sepertinya meninggalkan sesuatu di dalam mobil. Tolong beritahu pada pembawa acara untuk memanggil nama saya, jika acaranya sudah dimulai. Permisi.” Menundukkan tubuh dan tetap bersikap sopan. “Tentu saja, nanti akan kami kabari.” laki-laki paruh baya itu tersenyum paham. Tanpa menunggu lebih lama Arka bergegas pergi. . . . Apa yang harus Nara lakukan sekarang. Saat tubuhnya tanpa aba-aba mulai gemetar, persis seperti kejadian kemarin malam. Kedua maniknya mengedar, menatap sekitar enam orang laki-laki sudah berdiri tak jauh dari posisinya. Salah satunya masih membungkam bibir Kenan. Membuat pemuda kecil itu ketakutan- ‘Bagaimana ini,’ menahan agar tubuhnya tidak tumbang. Tubuhnya bereaksi tanpa peringatan, gemetar dan lemas. Melihat banyaknya laki-laki berkumpul, Wajah Nara berubah pucat, perutnya terasa mual. ‘Lagi-lagi,’ “Hmphh-Ibhu Nhara!” Sekilas menegang, pandangan Nara terfokus kembali menatap sosok Kenan. Lebih ketakutan dibandingkan dirinya, posisi Kenan justru lebih buruk. Mental pemuda kecil itu bisa terganggu karena masalah ini. Berusaha keras menahan dirinya, ‘Apa aku harus berteriak?’ sebelum melakukan semua itu, seseorang tiba-tiba menyeruak masuk diantara keenam laki-laki tadi. Tubuh Nara makin menegang tak percaya. Kedua maniknya membulat shock- “Kau ingin berteriak atau anak kecil ini terluka? Silahkan. Posisi kita sudah cukup jauh dari pesta, kemungkinan besar mereka mendengar teriakanmu sangat tipis, Nona.” Sosok tegap berambut ikal yang baru saja Ia kenal beberapa hari lalu. Menggunakan pakaian pesta yang rapi, wajah itu terpampang nyata tanpa topeng. Amarah Nara perlahan naik, kedua tangannya mengepal kuat. “Apa maumu?” suaranya berubah berat, ketakutan dan tubuhnya yang gemetar tadi kian menghilang. Digantikan rasa kecewa yang luar biasa. Rian- Sosok itu nampak angkuh berdiri diantara beberapa orang suruhannya, menyeringai tipis, pandangannya menatap penuh ejekan. Semua sikap yang kemarin Ia tunjukan di depan kedua orangtuanya seolah hanya akting belaka, “Kau tidak perlu tahu, Nona. Kalian berdua cukup bermain dengan kami sampai pesta ini usai.” Bermain? Entah kenapa mendengar kata itu membuat Nara makin mual. “Jangan bercanda! Lepaskan dia sekarang juga!!” menaikkan suara tanpa sadar. “Diam!” tapi sekali lagi, bentakan laki-laki di hadapannya membuat Nara bungkam. Kali ini bukan lagi ketakutan yang perlahan menjalarinya, melainkan sensasi merinding yang membuatnya jijik. “Huaa- Ibu Nhara-” Kenan berteriak dan menangis, namun kembali dibungkam dengan satu tangan. Membuatnya kesusahan untuk bernapas. Satu hal yang menaikkan emosi Nara, mengingat bagaimana pemuda kecil itu memiliki gangguan pada pernapasannya. Kejadian dimana Arka dan Melly bertengkar tadi pagi sudah menjadi bukti bahwa Kenan tidak bisa menahan tekanan berlebihan. Pandangan Nara mengabur, perlahan mengikuti keinginan laki-laki itu, berjalan mendekat. Menatap lekat bagaimana wajah Kenan makin pucat, menahan rasa sesak di dadanya, bahkan berteriak pun hampir tidak bisa. “Bagus, mendekatlah. Kalau kau tidak berteriak, adik kecil ini akan aman bersama kami.” Alunan suara mengejek laki-laki itu memompa amarah Nara. Ketakutan dan gemetarnya menghilang. “Huaa! Lhepas!” Nara mengerjap kaget saat melihat Kenan berteriak kembali dan kali ini mengambil inisiatif, menggigit tangan laki-laki yang membekapnya. “Kenan!” berteriak panik, mempercepat langkahnya. “Ibu Nara!!” Tubuh mungil itu berhasil lepas, kakinya berlari hendak menggapai tubuh Nara. Dengan wajah memerah, dan napas sesak. “Ibu-” Satu kalimat terakhir Kenan membuat Nara membeku, tepat saat tubuh kecil sang empunya tertangkap dengan cepat. “Ugh!” Menarik lengan Kenan dan membekap bibir serta hidungnya kembali. “Anak sialan!!” Teriakan itu, tangisan dan wajah memerah Kenan. Tanpa mereka ketahui, merusak kesadaran Nara, melepas rasional yang ada di pikirannya. Seketika tali kesabaran Nara putus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN