PART 14
.
.
.
.
Kalian mungkin boleh menganggapnya wanita aneh atau tidak jelas. Gila, apapun terserah. Tapi Nara mengabaikan itu semua. Jantungnya berdetak kencang saat mendengar pintu ruangan itu terbuka, suara kecil Kenan yang memanggil Ayah dan Melly.
Bahkan ketika kedua orang itu saling berteriak, amukan Melly yang memenuhi seluruh ruangan. Nara masih bisa menangkap suara kecil Kenan di seberang sana. Mencoba melerai kedua orangtuanya, meskipun ketakutan.
Suara gemetar tipis, memanggil mereka berulang kali. Tangisan yang perlahan merembak. Nara tahu sekali, dia bisa merasakan tubuhnya merinding bahkan beku saat mendengar Kenan terbatuk beberapa saat, sebelum akhirnya suara pemuda kecil itu makin menipis.
Jantungnya berdetak kencang, merasakan sesak yang sama. Tepat terakhir kali dia mendengar rintihan Kenan. Nara tidak mengerti, tubuhnya bergerak sendiri. Menyibak selimut yang menutupi tubuhnya tadi. Pandangannya terarah fokus menatap Kenan.
Sosok mungil yang perlahan jatuh, dengan kedua tangan yang memegang ganggang pintu. Manik Ambernya membulat shock-
“KENAN!” Berteriak kencang, maniknya sekilas melihat tas kecil tak jauh dari posisinya tadi. Menyambet benda itu dan berlari menuju Kenan.
Melewati tubuh tegap Arka dan mendorong tubuh Melly yang masih berdiri shock di depannya. Tidak bisa berkata apapun, bahkan dorongan kecil Nara mampu membuat tubuh sempurna itu limbung hingga jatuh duduk diatas sofa single.
“Kenan, astaga!” panik, berlari menghampiri sosok mungil itu. Mensejajarkan tubuhnya, perlahan tangan Kenan yang masih bergantung memegang ganggang pintu segera Nara lepaskan. Memberikan pertolongan pertama.
Membaringkan tubuh itu agar bersender pada lengannya, napas Kenan semakin sesak, wajahnya membiru. “Sabar, sayang. Tunggu,” panik mengambil inhaler yang Ia simpan di tasnya sejak kemarin malam.
Oke! Dia sendiri tidak tahu! Kenapa selalu membawa obat-obatan kemanapun dia pergi! Tapi setidaknya sekarang benda ini berguna!
Sosok wanita paruh baya terlambat menghampiri mereka, jika menunggu respon siapapun di ruangan ini. Nyawa Kenan bisa terancam. “Tahan napas sebentar, setelah itu hirup, pelan-pelan Kenan.” Berujar halus. Kerutan di keningnya masih nampak.
Kedua manik Kenan perlahan terbuka, tidak memerlukan waktu lama bagi pemuda kecil itu mendapat udaranya kembali. Mendapati sosok yang Ia rindukan sejak tadi pagi.
“I---Ibu Nara?” bertanya tak percaya.
Nara tersenyum kecil, “Hirup lagi, perlahan ya.” Berujar lembut. Kenan mengikuti instruksi wanita itu dengan seksama. Setidaknya kesehatan Kenan tak terancam, masalah amukan Melly. Nara akan pikirkan setelah ini.
Nara sudah siap dijambak-jambak, atau berduel lawan dua dengannya. Dia akan mengerahkan kemampuan terbaiknya.
.
.
.
Shock luar biasa, manik Hazel Melly hampir saja keluar dari tempatnya. Wajahnya berjengit tak suka, masih dengan kondisi duduk diatas sofa, melihat sosok yang sangat Ia benci ada di sana! Sosok yang Arka lindungi sejak tadi!
“Oh!! Jadi dia yang kau lindungi dari tadi, Damian!” menatap balik Arka. Pandangannya menajam. Berharap bahwa Arka akan menatapnya balik, memberikan jawaban atas pertanyaan yang tadi Ia lontarkan.
Tapi apa yang dia dapatkan?! Pandangan laki-laki itu terfokus lurus menatap sosok Nara yang masih sibuk memberikan pertolongan pertama pada Kenan. Seolah tersihir, dan mengabaikan keberadaannya. Melly benar-benar tidak bisa menahan sikap anggun dan manisnya lagi sekarang!
Melirik ke arah Nara, setengah mendecih. Sebuah ide terlintas di pikirannya, satu seringai perlahan nampak jelas. Kali ini memperbaiki posisi duduknya, menumpukan salah satu kaki, pandangan ikut terfokus menatap Nara. Salah satu tangannya berpangku memegang dagu-
“Apa kuhancurkan saja dia?” berujar dengan nada tipis.
Jarak mereka berdua yang cukup dekat, memungkinkan Arka untuk mendengar semua bisikannya. Bisa dikatakan, Melly memang sengaja mengucapkan kalimat yang hanya bisa didengar mereka berdua saja.
Tidak perlu waktu lama, manik legam itu meliriknya tajam. Tubuh yang berdiri tegap, dengan posisi yang masih sama. Wajah dingin tanpa senyuman itu perlahan mengeras, menahan emosi.
“Jaga ucapanmu,” suara baritone mengancam balik.
Bagaikan bola bekel yang memantul kembali, Melly sama sekali tidak takut. Masih dengan seringainya, menatap Arka. “Kau tahu kan harus apa sekarang? Masih ingat kejadian beberapa tahun lalu? Jika aku tidak menolongmu saat itu,”
Memutar kedua bola matanya sekilas, Arka hanya bisa menghela napas panjang. Menjelaskan dengan singkat, “Jangan mencari masalah denganku, Melly.” Berjalan mendekati Kenan.
“Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali,” kalimat terakhirnya tadi hanya bisa membuat Melly tertawa kecil.
.
.
.
Terbatuk beberapa kali, tepat saat Kenan berhasil mendapatkan nafasnya kembali dengan normal. Barulah Nara menarik inhaler di tangannya, menempatkan kembali di tas. Tanpa menyadari raut wajah Kenan perlahan berkerut menatap sosok Ayahnya-
Tangan mungil itu reflek memegang erat lengan Nara, seolah takut. Arka mengerti maksud tindakan Kenan. Meskipun begitu dia tetap mendekati putranya. Menghilangkan wajah menakutkannya tadi, memasang wajah lembut.
“Maaf Ayah membuatmu takut tadi,” tangan besar itu bergerak mengelus puncak kepala Kenan. Pemuda kecil itu masih bungkam. Mengerjap dan reflek melihat Nara di sampingnya,
Nara sendiri tidak paham, dia hanya tersenyum dan mengangguk kecil. Seolah mendapatkan persetujuan, Kenan kembali menatap Ayahnya. Perlahan tangan mungilnya terlepas, merenggangkan pada sang Ayah. Dengan wajah cemberut.
Tepat saat Arka menggendong tubuh mungil itu ke dalam pelukannya, barulah Kenan berani mengeluarkan tangisannya. Memeluk leher Ayahnya erat, tanpa berani menatap Melly yang masih duduk santai di sofa.
Saat kedua manik Legam dan Amber itu bertemu, Nara yang lebih dulu mengalihkan pandangan. Berusaha untuk bangkit, memeluk salah satu lengannya. Dia sendiri tidak tahu harus melakukan apa-
“Ma-maaf, aku tiba-tiba tadi—suara Kenan agak sedikit aneh, jadi-” sebelum bisa menemukan alasan yang tepat. Arka mengangguk paham. Tersenyum tipis-
“Terimakasih,” berujar dengan suara pelan dan tenang. Kedua tangan besar itu masih memeluk erat putranya. “Kalau kau tidak ada, mungkin tadi sudah terjadi pertengkaran besar di sini, dan kondisi Kenan bisa saja memburuk,” melanjutkan kalimatnya.
Nara sedikit tersihir karena senyuman tipis itu, tapi begitu maniknya bertemu dengan sosok Melly di seberang sana. Wanita yang masih fokus menatapnya tanpa senyuman. Cenderung menekuk wajah.
Dia sadar kembali, tidak baik berada di sini lebih lama! Nara bisa-bisa gila hanya karena bertemu dengan orang-orang ini! Menundukkan wajah, “Ka-kalau begitu aku pergi dulu. Terimakasih atas pertolonganmu kemarin, pak!” reflek mengucapkan panggilan itu dengan lantang.
Hampir membuat tawa Arka pecah, “Ternyata kau bisa sopan juga, Nona?”
Kembali mendapatkan senyuman satu juta volt itu, Nara dibuat meleleh. Astaga! Sebelum dia kehilangan akal! ‘Aku harus segera pergi!!!’ tatapan Melly sudah sangat menusuknya di seberang sana!
“Permisi! Sampai ketemu nanti, Kenan.” Tidak lupa mengucapkan salam pada Kenan. Pemuda kecil itu merespon dengan anggukan tipis, dan kembali memeluk leher Ayahnya.
Mengambil langkah seribu, Nara berlari menuju pintu keluar tempat itu. Mengindahkan wanita paruh baya yang menatapnya kaget, bahkan tidak merespon pertanyaannya. Nara hanya bisa melempar senyum kecil.
.
.
.
Masih memeluk Kenan dalam gendongannya, manik legam Arka tidak henti-hentinya menatap kepergian wanita itu. Sembari mengelus punggung Kenan. Hingga pintu keluar tertutup, menyisakan dirinya dengan Melly.
Bangkit dari sofa, menghampiri Arka. Tidak ada lagi amarah yang meledak atau teriakan. Melly justru tersenyum pada Kenan. Pemuda kecil yang masih memeluk leher Ayahnya. Menatap balik Melly, dan terkejut takut.
“Maaf, kalau tadi Ibu Melly teriak di depan Kenan,” mengembalikan suara lembutnya, tidak ada jawaban balik dari Kenan.
Arka lebih dulu mengambil alih pembicaraan, berjalan dengan niat keluar dari ruangan. “Kau bisa berangkat sendiri kan?” dengan nada dingin bertanya.
Melly yang awalnya santai menanggapi perkataan Arka selama ini mulai terpancing, sedikit mendengus. Keberaniannya masih ada tentu saja, terbukti dari kalimat yang Ia lontarkan selanjutnya.
“Kau masih ingat tentang Renan kan, Damian?” Satu nama terlintas dari bibirnya, mampu membekukkan tubuh Arka dengan cepat. Bahkan menghentikan gerakan laki-laki itu. Suaranya seolah hilang, tercekat oleh udara yang perlahan menipis.
Saat tepukan lembut Melly di dekatnya, wanita itu mengecup puncak kepala Kenan. “Aku yang ikut merawat kalian berdua hingga sekarang. Melupakan masa lalumu, menjadi tempatmu bersandar saat itu.” Mengelus puncak kepala Kenan.
Pemuda kecil itu justru makin menelusukkan wajahnya di perpotongan leher sang Ayah, merasa takut. Melly hanya terkekeh. Sebelum akhirnya bergerak dengan paksa menarik tubuh mungil Kenan, menggendong tubuh mungil itu dengan mudah. Meskipun Kenan sudah berusaha untuk memberontak.
Sayangnya-
Tangan besar sang Ayah tidak lagi menopang kuat tubuhnya.
Sosok cantik itu mengabaikan keberadaan Bi Minah di seberang sana. Mencoba mengelus pipi Arka sembari menggendong Kenan. “Jika aku tahu kalau orang yang bersembunyi di selimut tadi adalah Nara. Aku mungkin dengan senang hati menghampiri-” memberikan jeda pada perkataannya-
“Duduk di sampingnya, tersenyum manis-“ semakin mendekat, menatap wajah tampan yang perlahan mengeras, menahan emosi.
“Lalu mengatakan semua hal itu padanya. Kira-kira bagaimana reaksi Nara jika aku mengatakan masa lalumu?”
“Kumohon, tutup mulutmu sekarang juga,”
Setengah tertawa, “Kenan,” mengeluarkan suaranya dengan lembut. Menyentakkan tubuh mungil dalam pelukannya. “Kenan tahu kan kalau Ibu Melly sangat menyayangimu?” bertanya dengan nada pelan.
Seolah mengerti maksud wanita itu, Kenan mengangguk kecil, berbisik dengan tipis, “Kenan sayang Ibu Melly,” memeluk leher Ibu Melly-nya sedikit ragu. Membiarkan kedua tangan itu mengelus punggungnya pelan.
Melly tersenyum senang, “Ibu tidak akan membiarkan siapapun mengacaukan hubungan kita bertiga, karena itu-” sebelum benar-benar pergi dari sana, Melly kembali menatap Arka. Kali ini dengan berani mengambil tindakan nekat.
Mencium bibir Arka sekilas, “Mulai hari ini Ibu Melly akan tinggal di sini bersama kalian,” memberikan pernyataan yang tegas.
“Berhentilah menjadi pria menyedihkan, Damian.”
Keluar dari ruangan, meninggalkan Arka sendirian di sana. Laki-laki yang masih membeku di tempatnya, menggertakkan gigi, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. “SIALAN!!” berteriak dengan kencang, salah satu tangannya terayun, memukul kuat kaca lemari, sangat kuat bahkan hingga meninggalkan beberapa retakan di sana.
Tetesan darah perlahan mengucur, pecahan kaca jatuh bertaburan ke lantai. Arka sama sekali tidak peduli. Setelah apa yang dia rencanakan selama ini! Dia tidak akan membiarkan siapapun menghancurkannya!!!
“Apapun yang terjadi dia akan kudapatkan kembali!!” mendesis tipis, perlahan manik legam itu berkilat tajam, diiringi sebuah seringai yang nampak tertarik di wajah tampannya. Walau Arka harus membuat wanita itu masuk ke dalam kandang singa sekalipun!