[12] Unlucky

2439 Kata
Jantung Nara berdegup kencang, tidak. Dirinya tidak sedang jatuh cinta atau terpesona menatap sosok tampan di hadapannya sekarang. Alih-alih jatuh cinta, Nara justru merasa ketakutan sekarang. Merasa bahwa dirinya salah berbicara tadi. Berkali-kali merutuk bibirnya yang sempat keceplosan. ‘Ah, sial!’ mengumpat dalam hati, menutup kedua maniknya takut. Rasa sakit di pergelangannya masih terasa. Perih, Ia reflek meringis. Nara bahkan tidak punya kekuatan untuk mengelak. Dia sudah berkali-kali mencoba lepas- Menggunakan semua kekuatannya, tapi tidak bisa! Seolah kekuatan laki-laki di depannya tiga kali lipat lebih banyak dibanding dirinya! “Dummy!!” suara teriakan di luar ruangan terdengar jelas, Nara tersentak begitu juga genggaman tangan Arka yang semakin longgar. Meski hanya sesaat, Nara menggunakan kesempatan itu untuk bebas. Tanpa mengeluarkan suara, menepis cengkraman itu dari tangannya. Sedikit gemetar, berusaha menggerakkan kaki yang lemas. Mundur perlahan, masih tetap memandang wajah tampan itu. Kedatangan Melly di luar sana membuat Nara makin takut. Dia sama sekali tidak bermaksud menjadi penghalang, atau bahkan menggoda laki-laki di depannya ini! Mengingat status sosok itu lagi, menikah dan mempunyai seorang anak. Kenan- “A-aku akan menunggu disini sampai kalian pergi. Ja-jangan beritahu istrimu, kumohon.” berbicara tipis, gugup dan takut. Arka mengerutkan kening bingung, “Istri?” mengulang perkataan Nara sekali lagi. Manik legam itu melihat dengan jelas sikap ketakutan Nara. Pikirannya berhasil jernih setelah suara gangguan Melly di luar sana. ‘Hampir saja aku hilang kendali,’ membatin sekilas, Arka mendesah panjang. Salah satu tangannya bergerak memijat kedua pelipisnya, “Hh, maaf kalau aku membuatmu takut, Nona.” Berujar tipis. “Ki-kita sebenarnya ada dimana sekarang, Tuan? Ini bukan hotel?” mencoba bertanya kembali. Nara makin bergerak mundur, pandangannya mencoba teralih menatap sekitar, dan berhenti tepat di sebuah jendela besar yang masih tertutupi tirai. Cahaya matahari masuk melalui celah jendela tersebut- “Kenapa istrimu bisa ada di sini?” bertanya terus menerus. Arka mendesah panjang, melihat sikap Nara yang ketakutan. Dia memilih kalah, membalikkan kembali tubuhnya, mengambil tas berwarna hitam di dekatnya. “Tetaplah diam di sini,” sama sekali tidak menjawab pertanyaan Nara. “Ka-kau tidak akan mengurungku di sini kan? Pintu kamarnya tetap dibuka kan, Tuan?” bertanya takut-takut. Langkah Arka terhenti, “Bukannya sudah kukatakan. Aku tidak tertarik dengan tubuhmu itu, perlu kuingatkan kembali jejak bercak merah di dadamu bisa ada di sana, bukan karena ulahku. Jangan sembarang menuduh, Nona.” Nara bungkam, salah satu tangannya meremas bagian kerah baju. Sedikit gugup dan merasa bersalah karena seenaknya menuduh. “Maaf-” berniat meminta maaf. “Bukan itu kalimat yang ingin kudengar sejak tadi, Nona.” Kalimat Nara terpotong, suara baritone datar itu mencoba menekannya. Sebelum akhirnya Nara menyerah. Tubuhnya yang tadi gemetar perlahan menghilang, kakinya bisa berdiri seperti biasa lagi. “Baiklah, aku minta maaf, dan sekali lagi,” menatap manik legam itu pasrah, Nara mencoba tersenyum kecil, “Terimakasih karena sudah menolongku kemarin malam.” Menundukkan tubuh sekilas, mengatakan terimakasih dengan tulus. Kalimat yang Arka suka, seulas senyum tipis tercetak di wajahnya. Meski hanya sebentar, Nara bisa melihatnya. Manik Ambernya reflek mengerjap shock, apa mungkin tadi hanya bayangannya saja? Karena tidak perlu beberapa detik, wajah itu kembali datar sedingin es kutub utara. “Hn,” mendengus, dan mengangguk paham. Tubuh tegap itu berbalik, dan keluar dari ruangan. Meninggalkan Nara sendirian di dalam ruangan. ‘Hh, aku hanya perlu menunggu mereka pergi kan? Setelah itu aku harus segera kabur,’ memastikan bahwa dirinya sendiri di dalam ruangan sekarang. Nara mendesah lega. “Ternyata dia menakutkan juga,” bergumam tipis. Hh, siapa yang mengira bahwa idola yang Ia sukai ternyata sosok patung berjalan tanpa ekspresi? . . “Tunggu dulu, ini sebenarnya dimana!” teringat kembali. Saat merasa dirinya sudah aman. Barulah Nara bebas mengeksplor seluruh ruangan. Memastikan dirinya baik-baik saja. Bisa dirasakan dari selangkangannya yang tidak terasa sakit sama sekali. Biasanya dalam n****+-n****+ yang dia baca, setelah pasangan melakukan hubungan itu-itu, para  wanita pasti akan merasakan sakit pada bagian sensitifnya. Tapi di sini Nara justru merasa sakit pada bagian perutnya. Ya, tentu saja aneh- “Itu artinya aku aman!” manik Ambernya kembali meneliti seluruh ruangan, berkeliling sejenak. ‘Tadi aku mendengar suara istrinya, itu berarti kita tidak sedang berada di hotel kan?’ perasaannya sedikit tidak enak. Menggelengkan kepala sekilas, ‘Ah, mana mungkin dia berani,’ melangkahkan kaki menuju jendela tak jauh dari posisinya. Sedikit meneguk ludah gugup, tidak mungkin kan laki-laki itu membawanya ke tempat selain hotel? Hello! Dia sudah punya seorang istri dan anak! Mana mungkin- Saat kedua tangannya bergerak menyibak kedua tirai besar itu, apa yang Nara bayangkan tadi menjadi kenyataan. Sosok itu benar-benar gila! Kedua maniknya melebar shock, tirai besar di depannya tersibak cepat. Menampilkan jendela kaca besar yang sangat familiar, satu pemandangan semakin membuatnya beku. Di seberang sana, tirai berwarna kecoklatan. Penuh motif bintang kecil. Tirai kesukaannya- “Dia benar-benar gila,” merasa yakin sekarang, dimana dia berada. Bukan sebuah hotel, atau penginapan kecil. Memundurkan langkah gugup. Memikirkan kembali, bagaimana laki-laki itu bisa dengan mudah membawa seorang wanita asing ke rumahnya. Sementara sang istri ada di sini juga, bahkan anaknya juga?! Astaga! Padahal kemarin Nara sudah bertekad untuk melupakan laki-laki itu. Mereka bahkan tidak saling mengenal. Nara hanya tidak sengaja tertangkap basah saja tengah mengintip malam itu! Pertemuan mereka hanya sebatas tatap mata saja, tidak lebih! Tapi sekarang, dengan kondisi yang berbeda. Seluruh persendian Nara terasa lemas. Wanita itu langsung duduk kembali diatas kasur empuk. Mencoba menenangkan pikirannya kembali. Gugup dan takut luar biasa. Pandangannya tertuju ke arah pintu kamar besar  di sana. Meneguk ludahnya, jantung Nara berdegup. Dia sangat berharap kalau istri laki-laki itu tidak menerobos masuk ke dalam sini. ‘Dia benar-benar hanya menolongku kan?!’ kembali ragu, tanpa sadar menggigit salah satu jemarinya. Napas Nara terengah. ‘Pokoknya aku harus segera pergi dari sini!’ Menyukai seorang laki-laki tampan yang single tidak masalah bagi Nara. Jika sekarang kondisinya berbeda, dimana sosok itu sama sekali tidak punya kekasih bahkan istri dan anak. Nara mungkin tidak akan merasa takut, justru-eerr-dia senang- Maksud kata senang itu karena ditolong oleh idolanya! Hanya itu! Terus berpikir, Nara kembali teringat kejadian tadi. Salah satu tangannya bergerak pelan, menuju kerah bajunya. Menurunkan pandangan, dan terfokus pada bagian dadanya. Bercak kemerahan itu masih ada di sana, cukup banyak. Bukan gigitan nyamuk yang membuat benjolan kecil-kecil disana, melainkan beberapa ruam kemerahan yang perlahan mulai membiru. Perlahan tetesan keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya, Nara tahu sekali tanda apa ini. ‘Oh, God!’ mendesah panjang. ‘Dia benar-benar tidak memperkosaku kan?!’ Nara ragu setengah mati! . . . “Hh, akhirnya kau keluar juga,” Melly mendesah panjang, duduk di dekat meja makan bersama Kenan di sampingnya. Kedua tangan wanita itu bersidekap di depan d**a, menatap lekat penampilan Arka. Tidak pernah mengecewakan tentu saja. Sangat indah dan seksi dipandang. “Bukannya sudah kukatakan kau berangkat lebih dulu saja, kenapa harus menunggu?” Arka menaruh tas hitamnya di atas sofa, dan berjalan menuju arah Kenan. Merapikan dasinya yang tadi sedikit bergeser. Manik legam itu menatap putranya, tersenyum tipis melihat pemuda kecil itu tengah sibuk dengan sarapan pagi dan susunya. “Bagaimana tidurmu hari ini, jagoan Ayah?” tidak lupa memberikan kecupan singkat di pipi kirinya. Salah satu kebiasaan Arka di pagi hari. Kenan sendiri tidak masalah, dia justru senang. Kedua pipi chubbynya terangkat, menatap sang Ayah. “Kenan tidur nyenyak, Ayah. Kemarin Kenan tidur bareng boneka spidey,” menjawab dengan nada antusias. Arka mengangguk paham, laki-laki itu bergerak mengambil segelas cangkir dan mengambil sebuah coffe maker yang sudah dibuat serta dibiarkan hangat oleh Bi Minah. Dia memang meminta Bi Minah untuk tidak menaruh coffe maker itu diatas meja. Takut Kenan menganggap benda itu mainan. Esspreso tanpa gula kesukaannya, mencium aroma kopi di pagi hari memang menenangkannya. “Kau tidak berniat memberiku ciuman pagi juga?”  Alis Arka bertaut mendengar celetukan Melly, laki-laki itu berjalan menuju meja makan, duduk berhadapan dengan Kenan. “Kau sedang bercanda?” dengan wajah datar andalannya menjawab singkat. Melly hanya mengendikkan bahu sekilas, “Terserahmu menanggapi seperti apa,” sudah terbiasa mendengar jawaban datar laki-laki itu. Melly merespon dengan santai. Pandangannya kembali terfokus pada Kenan. “Bagaimana Kenan? Roti yang Ibu bawakan enak kan? Makan yang banyak terus bawa buat bekal siang juga,” dengan suara lembut mengelus puncak kepala Kenan. Pemuda kecil itu menengadah sekilas, menatap Melly. Tersenyum tipis, “Enak, Bu Melly!” mood Kenan yang tadinya jelek saat mendengar nama Ibu Melly langsung berubah begitu melihat banyak makanan manis kesukaannya. “Makan yang banyak ya,” kali ini kembali fokus menatap Arka. “Kau tidak ingin meminta maaf padaku?” berujar dengan gamblang, sedikit mendengus kesal. Sosok tampan di hadapannya nampak santai menyesap esspresso, dan sesekali menggunakan pisau garpu menyantap sandwhich tomat dengan khidmat. “Untuk apa?” menjawab singkat. Melly masih mempertahankan senyuman anggunnya di samping Kenan, “Tentu saja, saat kau meninggalkan ku kemarin karena Dokter aneh itu,” mengumpat dengan nada halus. Menyinggung masalah dokter itu, barulah perhatian Arka tertuju padanya. Wajah itu menengadah, “Aku sudah mengirimkan bodyguard untuk mengantarmu kemarin. Itu tidak cukup?” menaikkan salah alisnya heran. “Tentu saja tidak cukup, gara-gara siapa coba aku ada di Apartementmu?” Melly mendengus, dan dengan santai mengucapkan kalimat itu. Dia tahu sekali kalau sifat cuek Arka, laki-laki itu tidak mungkin marah atau kesal. Setidaknya tak seburuk kemarin. “Hh, lalu karena itu kau datang ke sini? Menyogok putraku dengan semua makanan itu?” Arka menyesap esspressonya sekali lagi. Menyelesaikan sarapannya dengan kilat. Dia memang selalu sigap dan cepat jika melakukan sesuatu, termasuk makan ataupun beristirahat. “Aku tidak menyogok Kenan, ini murni karena keinginanku melihat kalian berdua. Memangnya salah?” Tanpa menjawab pertanyaan Melly, Arka lebih terfokus pada handphone miliknya. Membaca berita melalui media elektronik. “Kenan makan yang banyak ya, nanti biar Ibu Melly yang antar.”                              Perkataan Melly sanggup membuat Kenan berhenti menyantap sarapannya, “Ibu Melly yang antar?” bertanya balik. Melly mengangguk kecil, “Tentu saja,” Pandangan Kenan terarah cepat, menatap sang Ayah. Seolah memberikan beberapa kode, Arka sendiri tidak mengerti. Sikap Kenan sedikit aneh sejak kemarin malam hingga hari ini. Insiden Melly meminta Kenan berbohong itu mungkin menjadi penyebabnya. Menatap putra kecilnya, mengerti maksud Kenan. Arka mengangguk paham, tersenyum tipis. Mengingat bodyguard masih absen sampai besok. Kenan yang biasanya tidak keberatan diantara oleh Melly, sekarang menatapnya dengan wajah memelas. “Baiklah, kita berangkat bersama. Ayah akan mengantar dan menjemputmu nanti,” Senyuman langsung mengembang di wajah chubby Kenan, “Iya!” Memikirkan ulang, lagipula Arka juga ada urusan penting yang harus Ia urus disana. Dia bisa memanfaatkan kesempatan ini. Tanpa sadar, sebuah senyuman tipis mengembang di wajah tampan sosok Damian. . . . ‘Oke, tenang Nara. Sekarang kau hanya perlu menunggu semua orang pergi dari tempat ini. Setelah itu kau bisa kabur,’ membatin berkali-kali. Nara menarik napas dalam. Kedua maniknya melirik ke arah jam dinding berbahan kayu tepat berhadapan dengan posisinya sekarang . 7.30-, dia hampir terlambat. Hal yang paling Nara takutkan sekarang ada dua, satu dia terlambat pergi kerja lalu gajinya terancam dipotong, dua dia sama sekali tidak meminta ijin pergi kemarin malam pada orang-orang di rumah terkecuali Bi Ina. ‘Ugh, Ayah pasti mengamuk,’ mengingat Ayahnya adalah sosok yang sangat protective pada kedua putrinya, ah lebih tepat lagi padanya saja. Sejak mereka pindah dari Surabaya ke Jakarta, entah kenapa hampir semua keluarganya termasuk Ibu dan Nadine bersikap sangat over. Apapun yang dia lakukan pasti selalu mendapat kritik, pulang malam, pergi dari rumah terlalu lama, penampilannya yang tidak modis, bahkan menekan semua tindak tanduknya. Seperti kemarin malam, saat Ibu dan Nadine mendesaknya untuk segera mencari pendamping. Sosok tampan, dan kaya raya, seberapa pun umurnya, yang paling penting di mata mereka adalah laki-laki itu mampu memberikan impresi bahwa dia memiliki segalanya. Kehidupan yang super sempurna, pekerjaan yang meyakinkan. Uang-uang-uang- Memikirkan itu lagi, kepala Nara langsung berdenyut sakit. “Ah, sial,”memijat pelipisnya pelan. Sebenarnya Nara bukanlah wanita yang munafik, siapa di sini yang tidak bahagia jika diberikan laki-laki sempurna? Dia juga ingin sekali malah! Ya tapi apa dayanya! Ah, memikirkan itu hanya membuat Nara makin down. Menggelengkan kepalanya cepat, daripada duduk diam dan tidak melakukan apa-apa. Lebih baik Nara mengeksplorasi ruangan ini. Mumpung tidak ada yang lihat. “Ide bagus,” bangkit dari posisinya, manik Amber itu melirik ke segala arah, mengagumi ruangan dengan style modern, penuh barang-barang super mahal. Bibirnya membulat kagum, berjalan mengecek sofa single yang ditemani satu meja bulat kaca, dan rak buku kecil di sampingnya. Letaknya tepat di sebelah jendela besar, persis seperti desain ruangannya. Tempat tidur king size, dengan dua side table di kiri dan kanannya, lengkap berisi lampu tidur. Dua rak baju, di dekat pintu masuk dan di samping tempat tidur. Televisi besar- Nara tetap berjalan, sembari melihat-lihat. Beberapa foto tergantung di dinding. Foto mozaik berwarna putih, abu, dia tidak mengerti maksudnya. Foto manis Kenan yang nampak tersenyum menatap kamera. Nara benar-benar tidak sadar kalau ada foto pemuda kecil itu di dinding. Mungkin dia terlalu panik tadi, jadi tidak ada waktu untuk melihat-lihat. “Hm? Foto apa itu,” bergumam sendiri, alisnya tertekuk bingung saat melihat satu foto dinding di samping beberapa foto Kenan. Dengan warna putih abu, cukup aneh, bukan foto mozaik atau pemandangan. Tapi foto sosok wanita yang sengaja di foto membelakangi kamera. Menggunakan baju one piece, dengan model punggung terbuka, menggunakan crown yang dibuat dari ranting dedaunan dan bunga, rambut panjang bergelombang. Nara tidak bisa menebak apa warna rambutnya karena foto itu bertema putih abu, Terasa sangat familiar dengan pose yang ditujukan dalam foto, memeluk salah satu lengan dan salah satu pundak terangkat, seolah tahu bahwa seseorang tengah mengambil fotonya. Sebuah tarikan tipis terlihat dari pipinya, Satu yang menarik perhatian Nara sejak tadi Ia melihat, rambut bergelombang panjang yang tertiup angin, menampakkan sebuah tanda di punggungnya. “Rasa aku kenal tanda ini,”  tangannya bergerak dengan niatan menyentuh kaca foto itu- Memastikan sekali lagi- Warna abu-abu itu sedikit membuatnya bingung, apa itu tato atau tanda lahir? Entah kenapa dia penasaran sekali. “Hm, tunggu dulu, mm- sepertinya tanda ini mirip sekali dengan-ah!” teringat tiba-tiba. Nara langsung berjalan cepat menuju lemari pakaian dekat pintu masuk tadi, mencari kaca besar yang memperlihatkan sosoknya. “Jangan-jangan itu tanda lahir,” tanpa aba-aba tangannya bergerak menurunkan baju yang Ia gunakan tadi. Memperlihatkan setengah belahan dadanya yang cukup besar. Nara berbalik, “Oh, iya mirip tanda lahirku!” mengangguk paham, pandangannya terfokus menatap kaca. Salah satu tanda lahir yang selama ini Nara sembunyikan, tanda berwarna kebiruan yang cukup besar bahkan semakin meluas saat dirinya beranjak dewasa. Padahal dulu tanda ini tidak begitu besar, warnanya pun berubah, jika dulu warna tanda lahirnya adalah biru tua yang pekat sekarang sudah agak memudar, tapi tetap saja siapapun yang melihat tanda lahirnya pasti akan kaget. Beruntung tanda ini ada di punggung bukan di wajahnya, jadi Nara masih bisa menyembunyikannya dengan rapi. Menyentuh tanda lahirnya perlahan, sedikit mengerjap saat dia mengingat satu hal lagi. “Rasanya tadi orang itu melihat bagian belakang tubuhku kan?” Nara selalu ingat, siapapun yang pernah melihat bagian belakang tubuhnya. Entah Nadine atau Ibu bahkan Bella. Mereka akan kaget pertama kali, melihat tanda lahirnya tentu saja. Tapi tadi- “Dia malah fokus melihat pantatku?” seolah-olah mengabaikan tanda lahirnya? Astaga. Jangan bilang kalau dia benar-benar sosok m***m- Terfokus dengan pikirannya, Nara sama sekali tidak mendengar suara pintu terbuka. Dengan baju yang Ia turunkan, memperlihatkan belahan d**a yang cukup besar, dan tanda lahirnya lagi- Manik Ambernya bertubrukan dengan manik legam Arka. Tubuh tegap yang reflek membeku, melihat keadaan Nara saat ini. Seksi- Oke, otak Nara hampir rusak. Matanya berkunang, wajah berubah merah, tubuh terasa panas, dan hal yang selanjutnya Ia lakukan tentu saja- “Gyaaaa!!!” berteriak kaget dan lantang, dengan kondisi pintu terbuka, dan keberadaan Melly di luar sana. Mengetahui bahwa Arka tidak sendirian saja di kamarnya malam itu. Ah, sial- Arka mengumpat dalam hati- Mendapatkan pemandangan seksi sekali lagi tapi dengan hadiah tertangkap basah Melly. Wanita itu pasti akan menceramahinya berjam-jam.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN