[11] Caution

2138 Kata
PART [11] . . . “Lho, Nona Melly? Tumben ke sini pagi-pagi,” yang menyambutnya saat pintu terbuka adalah sosok Bi Minah dengan balutan baju, dilapisi apron dan penutup kepala terbuat dari kain. Wanita paruh baya itu tersenyum ramah. “Ah, iya, Bi. Kebetulan saya ada beli sarapan pagi sekalian mau jemput Kenan dan Dum-maksudnya Damian. Mereka sudah bangun?” membalas dengan senyuman anggun, masuk ke dalam Apartement yang sangat luas. Khusus dimiliki Arka sendiri satu lantainya. Mencari keberadaan kedua orang itu, terutama Arka. ‘Kemana dia?’ mengerutkan kening saat tidak melihat tanda-tanda keberadaan sang empunya. “Kemana Damian, Bi Minah?” mengalihkan pandangan, menatap wanita di belakangnya. Sosok yang terkejut mendengar pertanyaannya, sedikit gelagapan menjawab, “A-ah, itu sepertinya Tuan belum bangun, Nona,” tidak bisa menyembunyikan gugup, pandangan Bi Minah tidak mau menatapnya balik. Melly dengan mudah bisa menemukan kejanggalan sikap wanita itu. ‘Ada yang dia sembunyikan,’ membatin tipis. Berpura-pura paham, kembali berjalan menuju ruang makan, membawa satu kantung makanan yang sempat Ia beli untuk menyogok Kenan. “Oh, begitu. Biar aku saja yang bangunkan,” “Ja-Jangan, Nona!” Bi Minah berteriak tiba-tiba, manik Hazel Melly menyipit. Pergerakannya terhenti sesaat, “Hm-” mengangguk paham. “Kenan mana, Bibi?” mengalihkan pembicaraan sejenak. Bisa Ia lihat wajah Bi Minah berubah santai. ‘Hh, Bibi benar-benar tidak pintar berbohong,’ mendesah panjang. Masalah apa yang Arka bawa sekarang sampai membuat wanita itu panik. “Tuan Kenannya masih di kamar juga, mungkin sebentar lagi keluar. Ya udah Non, saya mau lanjut buat s**u dulu,” “Iya Bi,” meninggalkan Melly di ruang makan, wanita paruh baya itu melarikan diri ke dapur. ‘Ada apa sebenarnya?’ menekuk alisnya heran, kalau memang Bi Minah tidak mau kasi tahu. Biar dia sendiri saja yang cari. “Awas saja dia sampai membawa wanita lain ke sini,” mendengus kesal, sifat anggun dan manis yang Ia perlihatkan tadi menghilang begitu saja. Seolah tidak ada niat untuk melihat keadaan Kenan terlebih dahulu, Melly langsung berjalan menuju kamar Arka. Siapa tahu dia dapat jackpot, seperti kemarin. Dapat hadiah perut kotak-kotak walau kondisi mereka tidak mendukung. . . Keluar dari kamar mandi, sedikit hati-hati membuka kenop pintu. Jantung Nara hampir lepas saat melihat tubuh tegap itu berdiri tak jauh dari posisinya. Membelakanginya, dengan kemeja berkerah warna abu-abu, dan celana panjang hitam, lekukan otot-otot punggung yang bisa Ia lihat meskipun tertutupi kemeja, postur dan tinggi sempurna. Bahkan pantatnya saja terlihat menggoda- Hampir meneteskan air liurnya, Nara terkesiap. Mengembalikan kesadarannya lagi, bahkan tak segan menampar pipi cepat. “Aish, apa yang kupikirkan!” ringisan tipis keluar dari bibirnya. Sakit kepalanya sudah sedikit reda, walaupun tadi pikirannya sempat rusak. Nara kembali memasang wajah datar. Berjalan mendekati laki-laki itu. “Sekarang kau ceritakan padaku. Kenapa aku bisa ada di sini bersamamu, Tuan.” Kali ini dengan kalimat yang cukup tegas, Nara berdiri kokoh. Mengira bahwa laki-laki itu akan berbalik dan menjawab pertanyaannya. Lima menit menunggu, mempertahankan posisi tegapnya. Alis Nara mengkerut tak suka, ‘Aku diabaikan?!’ semakin mendekat, kali ini lebih berani mengangkat salah satu tangan. Jemarinya menekan-nekan punggung lebar itu cepat. “Hei! Jawab pertanyaannku!” “Kau ingin aku menjawab apa, Nona?” suara baritone itu menjawab, kaki Nara reflek berjalan mundur. Memasang tameng kembali, “Katakan saja kenapa aku bisa tiba-tiba ada di sini! Kau menculikku?!” Sosok tersebut mengambil tas berwarna kehitaman diatas lemari, bersiap-siap untuk pergi dari ruangan. “Hn, tidak. Aku sama sekali tidak ada niat untuk menculikmu, Nona.” Suara datar itu hampir membuat Nara dongkol- “Lalu kenapa?!” mempertahankan emosinya. Tubuh tegap itu akhirnya berbalik, rahang tegas dan manik legam yang tajam, memandang lekat, “Jika kukatakan kau hampir diperkosa oleh beberapa orang laki-laki karena sendiri di ruangan itu dan dalam keadaan mabuk parah? Kau percaya?” menjelaskan dalam satu kalimat tegas. Oke, Nara bungkam. “Ka-kalau memang seperti itu, kenapa aku bisa bangun dalam keadaan telanjang?!” mencari cara agar dia tidak terlihat salah. “Telanjang, hm?” Tatapan legam itu kembali melihatnya, bukan sekedar melihat tapi juga menelisik seluruh tubuhnya. Dari atas sampai bawah dengan teliti. Kedua tangannya bergerak reflek menutup bagian depan dadanya. Wajah Nara memerah- “A-apa kau lihat-lihat?!” berteriak gugup. O-oh, apa yang Nara lihat selanjutnya sanggup membuat wanita itu terhina begitu saja. Satu dengusan tipis, tarikan bibir ke atas, dan salah satu alis terangkat, wajah yang sangat menyebalkan. Seolah mengejeknya tanpa suara- “Kau pikir aku tertarik dengan tubuhmu, Nona?” kalimat super jahat keluar dari bibir sang empunya. Nara hampir menjatuhkan rahangnya, melongo kaget. Tubuhnya membeku. Kali ini kata-kata itu Ia dengar langsung bukan dari Ibu, Ayah atau pun orang lain- Tapi dari laki-laki yang sampai saat ini masih menjadi idolanya. Harapan Nara mempunyai kekasih super tampan hancur begitu saja. Bagaimana tidak? Badannya sendiri sudah dikomentari oleh salah satu pria tampan itu sendiri. Tidak menarik, padahal dengan kondisinya yang sudah berdandan super sempurna kemarin malam. Oke, batinnya sedikit terluka. Tidak bisa bicara apapun, Nara bungkam- “Kau kubawa ke sini karena tidak tahu alamat rumahmu, lalu masalah pakaian-” laki-laki itu berniat membuka kenop pintunya, sekali lagi pandangan tajamnya menatap Nara- Menyeringai tipis- “Kau berteriak kepanasan terus menerus, jadi kuminta Bibi di rumah ini untuk membuka bajumu. Tenang saja, dari awal aku tidak ada niat untuk tidur denganmu, Nona.” Menekan setiap kalimatnya. Nara makin malu, dia ingin mengubur wajahnya di bantal sekarang juga. Saat laki-laki itu hendak keluar dari ruangan- Seketika ingat, wajahnya terangkat lagi. Kali ini Nara yakin setengah mati. Seringaian tipis muncul, tangannya bergerak cepat, menggenggam lengan baju sosok di hadapannya. Meneguk ludah sekilas, walaupun sedikit ragu- Pikiran Nara rusak setengah, dengan manik berkunang entah apa yang dia lakukan selanjutnya, semua hanya reflek! “La-lalu ini apa?!” tanpa menimbang kemungkinan yang terjadi, salah satu tangan Nara polos bergerak menarik bagian kerah bajunya. Memperlihatkan bagian dadanya yang penuh dengan ruam-ruam kemerahan, seperti bekas gigitan. Bukan nyamuk tapi bibir dan gigi seseorang- “Kau kan yang memberikan tanda-tanda ini di dadaku?!” tidak takut mati, Nara memberi statement nekat. Sukses membekukan tubuh laki-laki di depannya, manik legam itu membulat sekilas. Terkejut melihat sikap Nara, tindakan yang sangat berani. Jika yang ada bersama Nara di dalam ruangan ini bukan seorang Arkana Damian, melainkan laki-laki lain.     Apa wanita itu akan melakukan hal yang sama? Memperlihatkan belahan d**a penuh dengan ruam merah pada siapapun? Ah, memikirkan itu saja sudah cukup membuat emosi Arka kembali naik. Sang empunya mendengus, tubuh tegap itu berbalik. Dengan memasang wajah datar andalannya- Berdiri menatap wanita yang kini nampak kaget, menutup kembali bagian kerah lehernya panik. Gilirannya yang bergerak maju, “Semudah itu kau memperlihatkan belahan dadamu pada orang lain, hm? Bahkan kita belum sempat berkenalan.” Suara dingin itu menusuk, “Ja-jangan mendekat!” Nara panik minta ampun, sepertinya dia salah bergerak tadi. “Katakan padaku, Nona-” Tak mengerti maksud laki-laki itu, alis Nara tertekuk, “Ka-kau mau apa?!” merasakan wajah tampan itu bergerak mendekat, semakin dekat saling melempar tatapan dalam jarak satu cm saja. Legam dan Ambernya bertubrukan. Deru napas itu bahkan menerpa jelas di wajah Nara. Hangat, aroma mint sang empunya menyeruak masuk penciuman- Bibir tipis, serta wajah datarnya- “Ah!” Nara reflek mengerang saat tangan besar itu mencengkram balik lengannya, dengan kuat menyingkirkan genggaman pada baju tadi. Aura menusuk semakin menguar, Tubuh Nara merinding takut. Setelah tadi tidak merasakan apa-apa, mengira bahwa ketakutannya pada laki-laki yang baru Ia kenal sudah menghilang. Ternyata tidak sama sekali, “Le-lepas!” aura laki-laki ini berbeda, sosok santai yang tadi hanya menanggapinya dengan cuek kini berubah seratus delapan puluh derajat. Mengerikan, pandangan dingin itu membuatnya beku, cengkraman tangan yang kuat bahkan sampai meninggalkan jejak di lengannya. Apa yang Nara dengar selanjutnya sanggup membuat harga diri wanita itu seolah diinjak-injak, bisikan yang tipis dan mengancam- “Bagaimana perasaanmu jika aku tidak menolongmu kemarin malam? Kau mungkin bisa saja berakhir di ranjang bersama banyak p****************g di luar sana.” Jemari dingin Arka bergerak menelusuri wajah Nara, mengelus pipi kenyal itu dengan pelan, menatap tajam, bibir tipisnya mampu menyilet perasaan wanita itu dengan cepat. Merasa tidak mampu mengendalikan emosinya karena tindakan Nara tadi- “Dengan pakaian dan penampilan minim seperti ini,” Tubuh Nara gemetar ketakutan, bibirnya bungkam, wajahnya menunduk. Jemari Arka menunjuk ke arah belahan d**a Nara yang kini ditutupi tangan kecil yang gemetar.  “Jadi hentikan tindakan bodohmu dan berterima kasihlah, Nona. Paham?” Satu kalimat terakhir berhasil Ia ucapkan. beriringan dengan suara ketukan pintu, dan suara kencang Melly memanggil namanya. Arka terpaksa mengurungkan niatnya, menunggu anggukan paham Nara. ‘Hh, pengganggu.’ Padahal dia ingin memberikan wanita ini hukuman. . . . Kenan berdiri di depan kaca, menggunakan baju lengan pendek berkerah warna hitam, tentu saja ada gambar spiderman kecil di bagian tengah baju. Celana jeans kebiruan. Dia bangga, senyuman manis tersungging di wajahnya. “Akhirnya Kenan bisa pakai pakai baju sendiri!” Memikirkan bahwa sang Ayah pasti senang melihatnya mandiri. Jika dibandingkan dengan sifatnya di luar sana, tentu saja sifat Kenan berbanding terbalik jika berada di Day care. Kenan yang biasanya pemalu, jika berada di lingkaran orang-orang yang Ia kenali, dia pasti langsung berubah percaya diri. Tapi mengingat kemarin Ibu Nara bilang kalau semua teman-temannya di sana tidak akan memusuhi atau membencinya hanya gara-gara mobil yang Ia gunakan berubab warna-warni setiap hari. Kenan entah kenapa yakin, Rona merah tipis muncul di kedua pipinya, entah kenapa mengingat kata-kata wanita itu, “Kenan kangen Ibu Nara,” berbisik menatap kaca. Kenan rindu sosok Ibu gurunya. Padahal baru kemarin mereka bertemu. Kenan bisa cerita banyak tentang apapun, membuat jus, tertawa bersama. Sangat menyenangkan, padahal baru beberapa bulan lalu dia masuk ke tempat itu. Kenan yang awalnya tidak begitu tertarik, bahkan cenderung berada di sana. Bahkan untuk beberapa jam saja. Tapi jujur saja, setiap harinya Ibu Nara tidak akan pernah berhenti membujuk, berbicara atau bahkan sekedar menemaninya saat dia sendiri. Sampai hari ini, wanita itu berhasil menerobos masuk ke dalam pertahanannya. Membayangkan bagaimana kedua lengan itu menggendong tubuhnya, saat napas Kenan terasa sesak. Hangat dan nyaman- Tersenyum sendiri, pemuda kecil itu sampai tidak sadar kehadiran Bibinya yang sejak tadi berdiri di ambang pintu. Menatapnya kaget, “Tuan Kenan,” memanggil sekali lagi. Barulah Kenan sadar, wajahnya memerah malu, setengah terkejut, “Bi-Bibi Minah! Sejak kapan ada di sana?!” “Wah ada apa ini, tumben sekali Tuan Kenan ketawa-ketawa sendiri di depan kaca.” Menghampiri sosok mungil di sana, Bibi Minah tersenyum senang. Menundukkan tubuh, dan mengecek kembali pakaian Kenan. Merapikan beberapa kancing baju yang sedikit meleset dipasang, rambut yang sedikit berantakan, sampai semuanya sempurna. “Bibi mengintip ya?!” dengan kikuk, bibirnya mengerucut tak suka. Sementara wanita di depannya masih terkekeh geli. “Tidak sengaja, Tuan. Habisnya Bibi panggil dari tadi, Tuan Kenan tidak jawab-jawab,” Setengah mengerucut, “Jangan kasi tahu Ayah ya,” kedua pipi chubby itu memerah manis, Bibi Minah langsung mencubitnya gemas. “Tentu saja, Tuan. Ayo sekarang siap-siap sarapan, itu ada Ibu Melly datang.” Entah kenapa mendengar kalimat terakhir Bi Minah, senyuman dan kerucutan Kenan luntur begitu saja. Reflek mengepalkan kedua tangannya sesaat, “Ibu Melly,” bergumam tipis, mengingat kejadian kemarin. Kenan sedikit takut bertemu dengan wanita itu. Takut karena apa? Dia sendiri tidak tahu, instingnya yang memberitahu. Kalau Kenan tidak boleh melakukan hal aneh-aneh di depan Ibu Melly. Mengangguk kecil, “Iya, Bibi.” Menerima gandengan tangan Bi Minah, berjalan keluar dari kamarnya dengan sedikit enggan. Walaupun wanita itu beberapa kali sering datang ke rumahnya, Kenan masih saja tidak nyaman dengan kehadiran Ibu Melly. . . Berdiri di depan pintu berwarna kecoklatan, alis Melly tertekuk heran. “Dummy! Kau sudah bangun?” mengetuk pintu beberapa kali. Tapi tidak mendapatkan jawaban. Apa laki-laki itu belum bangun? Aneh sekali. ‘Biasanya dia sudah bangun,’ Kembali mengetuk pintu, “Dummy! Kau tidak ketiduran kan?! Bangun! Sekarang kau ada rapat pagi!” menaikkan suara. Beberapa menit tidak mendengar suara baritone di dalam sana. Bibirnya hendak terbuka kembali. “Dummy-” “Sebentar lagi aku keluar!” suara laki-laki itu akhirnya terdengar. Mengurungkan niat Melly seketika, mendesah panjang. Setidaknya Arka sudah bangun, meskipun kemarin dia ditinggalkan sendiri di parkiran. Mengira bahwa Arka tidak pulang, jadi Melly ingin memastikan kembali. Lega, Melly mengangguk kecil, “Kutunggu di ruang makan. Aku ingin berangkat bersamamu!” berujar kembali. Tubuhnya berbalik, hendak pergi dari sana. “Kau bisa ke kantor lebih dulu,” jawaban cepat Arka kembali menghentikannya. Alis wanita itu berkedut menahan kesal. Menyipitkan manik tak suka, “Apa maksudmu?! Cepat keluar, pokoknya aku tidak mau tahu. Kita harus berangkat bersama.” Tidak ada penolakan, sekali Melly memutuskan wanita itu tidak akan tinggal diam. Berjalan pergi menuju ruang makan. Langkah kakinya terhentak beberapa kali- ‘Ck, kemarin kau meninggalkanku dengan bodyguard itu! Jangan harap kau bisa menolak hari ini, Dummy!’ membatin kesal. Tentu saja Melly tidak tahu, mengenai keberadaan wanita lain di dalam kamar Arka.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN