PART [10]
.
.
.
Satu hal yang Nara lupa lakukan, walaupun laki-laki di depannya terlihat sangat tampan dan menarik. Tetap saja membawanya ke sini tanpa permisi, sudah cukup keterlaluan! Menatap tajam sosok yang masih santai merapikan rambut di depan kaca.
Nara tidak tahu siapa yang salah di sini, entah dia yang mabuk parah lalu menggoda orang lain seenaknya sampai mereka berakhir di ranjang seperti ini atau laki-laki di depan Nara yang salah karena menculiknya begitu saja?
Merasa gemas diabaikan sejak tadi, Nara mengambil satu bantal di dekatnya, melempar cukup keras hingga mengenai pundak laki-laki itu, “Jangan abaikan aku! Kau mau kemana sekarang?! Jelaskan dulu! Kenapa aku bisa ada di sini! Kau memperkosaku ya?!” tanya wanita itu dengan gamblang.
Tidak menyadari bahaya yang bisa Ia dapatkan kalau membuat sosok itu marah.
Manik legam itu menatapnya kembali, tubuh Nara menegang. Takut lagi, sedikit gemetar berusaha untuk tetap kuat, “A-apa?! Kau ingin marah? Aku bisa berteriak di sini sekarang juga!” Bagaikan anak anjing yang ketakutan tapi tetap berusaha terlihat galak.
“Kau ingin berteriak? Silahkan.” Mengalihkan perhatian darinya, dan fokus merapikan penampilan. “Tidak akan ada yang mendengar teriakanmu,” Kembali berujar bangga.
“Kau!” Nara berniat bangkit dari posisinya, menarik selimut untuk menutupi tubuh. Tapi lagi-lagi, perutnya terasa sakit. Bahkan kali ini lebih perih dibandingkan biasa. “Ugh, sakit,” Meringis, mengurungkan niat untuk untuk bangun, menundukkan tubuh. Kenapa seperih ini? Luka jaritannya seperti terbuka kembali-
Padahal sudah hampir lima tahun, tapi kenapa luka ini tidak pernah hilang. Seolah membekas selamanya.
Nara tidak menyadari bagaimana ekspresi yang dikeluarkan sosok di seberang sana. Satu rintihan yang keluar dari bibir Nara sudah cukup membuat tubuh tegap itu berjalan kembali mendekatinya. Masih memasang wajah datar-
“Sudah kukatakan,” Berjalan mendekat, manik Nara yang sedikit buram karena air matanya. Menatap tubuh tegap itu kembali. Sangat dekat, mencengkram pundaknya tiba-tiba.
“Ka-kau mau apa? Eh!” Mendorong tubuh Nara, membaringkan wanita itu lagi. Kedua manik legam itu hanya memandang dingin tanpa ekspresi.
Satu hal yang membuatnya aneh, kemarin saat beberapa orang laki-laki itu mencoba mendekati bahkan menyentuhnya. Nara merasakan ketakutan luar biasa, bulu kuduknya langsung berdiri, bahkan tubuhnya gemetar lemas.
Sekarang, manik amber Nara memperhatikan apa yang dilakukan laki-laki itu. Mendorong tubuhnya agar berbaring lagi. Dia sama sekali tidak ketakutan! Malah gugup-
‘Astaga, jangan bilang karena ketampanannya aku jadi tidak takut?!’ Menelusuri raut dan garis tegas yang dimiliki laki-laki itu dengan wajah datar, mencoba memperhatikannya? Gila!
“Tidurlah,”
Nara melongo, bibirnya terbuka tanpa sadar. Saat wajah tampan itu menatap wajahnya dan semakin turun, merasakan satu tangan bergerak hendak menyingkap bagian perutnya. Barulah Nara sadar, wajah wanita itu memerah sempurna-
“KAU MAU APA?! m***m!!” Menggunakan refleknya yang cepat, mengabaikan rasa sakit di perut tadi, Nara langsung membenturkan jidatnya tepat mengenai wajah laki-laki itu. Pertemuan yang sungguh awkward.
.
.
.
Pukul 7.00 am-
“Nara mana, Bi Ina?” Seperti biasa bertanya keberadaan putri sulungnya. Laki-laki paruh baya itu menyesap kopi hangat yang baru disajikan untuknya. Ditemani koran pagi, mencari berita-berita terkini. Tidak melihat putri sulungnya turun dari tadi, sementara jam sudah hampir menunjukkan pukul tujuh pagi.
Melirik wanita yang tengah membawa beberapa makanan ke ruang makan. “Saya lihat ke kamarnya, Non Nara tidak ada di ruangannya, Tuan.” jawab Bi Ina cepat.
Menekuk alis, “Tidak ada di ruangannya? Kemana dia? Apa ada memberitahu Bi Ina?” Bertanya lagi, pikirannya sedikit teralih dari koran. Meletakkan secangkir kopi hangat itu kembali, tubuh yang tadi menyender santai pada sofa, duduk tegap. Seolah tidak suka dengan perkataan wanita itu-
“Saya kurang tahu, Tuan. Kemarin Non Nara pergi begitu saja, katanya sih mau jalan sama, Non Bella.”
“Bella? Kenapa dia tidak izin terlebih dahulu?” Merasa aneh dengan sikap putrinya. Jika Nara izin terlebih dahulu pada ayahnya sebelum menginap di rumah Bella. Kesempatan ini mungkin tidak akan datang-
Berjalan masuk ke dalam ruang makan, mendekati suaminya dengan balutan dress berwarna merah dan hitam, penampilan yang sangat glamour di pagi hari. “Ada apa, sayang?” Bertanya seolah tidak tahu permasalahannya. Duduk di samping laki-laki itu. Menyentuh pundaknya dan memasang wajah khawatir.
“Nara tidak ada kamarnya dari kemarin malam, kemungkinan dia pergi saat kita ada di ruang tamu bersama Nadine dan Rian.”
Sedikit kaget, “Maksudmu Nara tidak pulang dari kemarin malam? Astaga, dia tidak memberitahu kita sama sekali?” beo Melinda sekali lagi.
Mendesah panjang, memijat keningnya yang terasa sakit. “Dia pergi bersama, Bella,” ujar laki-laki itu tipis.
“Tapi tidak memberitahu kita? Itu artinya sama saja. Apa perlu aku hubungi, Bella? Anak itu-” Mencoba mengambil handphonenya.
“Sudahlah, Melinda. Kepalaku pusing memikirkan anak itu,” Mengalihkan perhatiannya kembali, fokus membaca koran, tanpa menyadari sebuah seringai tipis muncul di wajah istrinya.
“Kenapa dia tidak bisa seperti Nadine, sekali saja bersikap dewasa. Bukannya bertingkah seperti anak kecil.” Mengusap pundak suaminya dan menyender di sana. “Bahkan Nadine sudah mengenalkan kekasihnya pada kita. Nara, sama sekali tidak pernah memikirkan kita, benar bukan?”
“Dia memang mirip seperti Ibunya, tidak tahu aturan.” Sang suami berujar ketus, merasa tidak fokus dengan korannya lagi. Tubuh tegap itu berbalik menatap istrinya.
Tersenyum, “Pagi-pagi dan kau sudah terlihat cantik sekali,” Mengelus pipi wanita itu lembut,
“Tentu saja, kau sudah janji akan mengajakku ke pertemuan pengusaha hari ini kan?” balas Melinda bangga. Memperlihatkan wajahnya cantik walau berisikan beberapa kerutan di sana. Suaminya justru memasang wajah kaget-
“Pertemuan pengusaha?” Bertanya balik-
“Iya, hari ini. Makanya aku berdandan cantik, menggunakan gaun mewah spesial untukmu,” Mengangguk yakin, menyangka bahwa laki-laki itu pasti kagum dan salut dengannya.
“Astaga, Melinda kau lupa? Pertemuan itu diadakan nanti malam pukul tujuh. Bukan pagi.” Setengah tertawa. Melinda Jovanka merasa dongkol, setengah melongo, satu kalimat itu sukses menghancurkan moodnya.
Menghabiskan waktu dua jam dari jam lima pagi untuk merias wajah, memilih pakaian yang mewah, mencatok rambut agar bergelombang, dan perawatan di pagi hari. Dia justru ditertawakan? Kerja kerasnya pagi ini hancur begitu saja.
“Kita juga akan pergi bersama Nadine dan Rian Jangan-jangan kau lupa jamnya?”
Meneguk ludah, dia benar-benar lupa. Karena terlalu antusias ingin memperlihatkan penampilan mewah pada para istri-istri pengusaha yang lainnya. Pantas saja Melinda merasa aneh dengan jam pesta itu, ternyata dia yang salah!
“A-ah, itu-” Daripada mempermalukan diri lebih jauh, Melinda mengalihkan pandangannya. Menatap sosok Nadine masuk ke ruang makan, dengan pakaian kerja yang modis seperti biasanya.
“Na-Nadine, ayo duduk dulu, kita sarapan bersama,” Menghampiri putrinya tanpa memberikan jawaban pada laki-laki itu.
“Ibu, kenapa dandanannya heboh sekali?” Ternyata Nadine ikut andil mengomentari penampilannya.
.
.
.
Tepat di depan Apartement, sosok wanita cantik dengan lekukan memikat itu berdiri tegap. Kedua tangannya berkacak pada pinggang, mendengus penuh amarah. Setelah kemarin harga dirinya hampir dihancurkan oleh laki-laki tampan itu. Dia datang untuk menuntut hak!
“Kau bisa mengabaikanku kemarin, Dummy. Tapi tidak sekarang,” Mengepalkan salah satu tangan. Hari ini memberikan penampilan yang spesial. Dress kerja berwarna hitam, dipadukan blouse berwarna kecoklatan, rambut lurusnya yang halus bagaikan sutra, serta riasan make up yang Ia poles sejak jam lima pagi. Lalu makanan yang banyak!
Arka pasti terpesona dengan kecantikannya! Melly yakin! ‘Apalagi hari ini adalah jackpot untukku!’ Mengingat tentang acara penting yang harus dihadiri oleh Arka nanti malam. Bisa dipastikan kedua orangtua laki-laki itu pasti menginginkan mereka untuk datang bersama!
Amarahnya menghilang begitu saja, berjalan masuk menuju lobby, ‘Untuk memulai hari. Dummy dan Kenan harus pergi ke kantor bersamaku, kalau perlu biar aku sendiri yang mengantar, Kenan.’ Tanpa sadar menyenandungkan nada kesukaannya.
Melly sama sekali tidak tahu bahwa malam itu Arka tidak pulang seorang diri.
.
.
.
Napas Nara terengah, jidatnya sakit luar biasa saat menghantam wajah sang empunya. Tulang laki-laki itu keras sekali, dia yakin sekali kalau sebentar lagi jidatnya akan membentuk sebuah benjolan yang cukup besar.
Tapi kesampingkan itu dulu!
“Ka-kau mau apa?! m***m!” Mengepalkan kedua tangannya saat melihat sosok tampan itu sengaja memundurkan tubuh. Sembari meringis sakit, wajahnya memerah tipis,
“Ck, kau liar sekali,” decak Arka kesal, hampir saja kehilangan sikap dinginnya tadi. Arka memilih untuk mundur, mengeluarkan desahan panjang. Berdiri tegap dengan wajah tertekuk.
“Apa?!” Nara kembali duduk, setelah tadi dibaringkan dengan paksa. Kali ini bergerak turun dari tempat tidur, mengabaikan rasa sakit di perutnya tadi. Menutupi tubuhnya dengan selimut. Berjalan hati-hati,
“Minggir!” Mendorong tubuh tegap itu menjauh, ‘Ck, kenapa bra-ku bisa ada di sana!’ Seberapa liar dirinya kemarin? Sampai-sampai celana dalam, bra dan bajunya berada jauh dari jangkauan tempat tidur.
Sedikit mendumel, saat hendak mengambil beberapa pakaiannya, “Aku tidak tahu siapa yang salah di sini, aku atau kau. Tapi mana mungkin aku yang menggodamu duluan kan? Dalam kamusku tidak ada kata menggoda lebih dulu, kecuali memang terpaksa atau kau memang super tampan-” Enggan menatap wajah tampan itu.
“Mana mungkin aku menggodamu! Pasti kita tidak sengaja bertemu kemarin, lalu kau menculikku kan?” lanjutnya setengah ragu.
Nara berusaha keras agar tidak tergoda dengan sosok luar biasa tampan di belakangnya, menutupi tubuh dengan selimut, menyeret benda itu ke sana kemari hanya untuk mengambil pakaian saja. Mengumpulkan semuanya-
“Pantatmu kelihatan, Nona.” Tidak sadar kalau selimut itu hanya cukup menutupi bagian depan tubuhnya saja,
“Ha?” Nara melongo polos, menghentikan kegiatannya tadi dan menoleh ke belakang. Menatap sosok tampan yang mengucapkan kalimat dengan wajah datar bak patung. Menatap tepat ke arah pantatnya yang terlihat jelas, tidak berkedip sama sekali.
Semakin memerah, kuping wanita itu bertambah panas. Merutuki sikap cerobohnya, salah satu tangan yang sedang memegang pakaian bergerak cepat, kembali melempar benda itu ke arah Arka.
“GYAA!! KAU LIHAT APA!! m***m SIALAN!”
Sama sekali tidak mengira bahwa pakaian yang Ia lempar tadi adalah bra miliknya. Bra dengan motif macan yang sempat dielu-elukan oleh laki-laki itu.
Ah, dia ingin mati saja-
.
.
.
Lubang, mana lubang?! Nara ingin masuk ke dalam jurang rasanya. Wajah wanita itu memerah sempurna, saat bra miliknya melayang cepat mengenai wajah laki-laki di hadapannya. Ah, hancurlah harga dirinya. Menatap benda itu jatuh ke lantai dengan gerakan slowmotion.
Kepalanya terasa sakit kembali, wajahnya panas, menggigit bibir bawah menahan tangisan yang sebentar lagi keluar. Tangisan malu tentu saja!
Tanpa mengatakan apa-apa, membuang egonya begitu saja, Nara berjalan cepat mendekati laki-laki di depannya, dengan wajah menunduk merah, menyabet bra yang hampir dipegang dengan polos oleh sosok itu.
‘Gyaa!!’ Innernya berteriak dalam hati, “Jangan melihatnya!!” Tepat saat laki-laki di depannya hendak melihat lebih detil motif bra yang Ia lempar.
Memeluk erat benda tersebut, salah satu tangan yang lain bergerak menutupi bagian pantatnya yang tadi terekspos, “Ma-mana kamar mandinya?!” tanya Nara setengah berteriak, saat ini wanita itu tidak bisa berpikir jernih, Dia perlu memakai bajunya kembali, oh jangan lupakan memasang lagi otak dan jantungnya yang tadi sempat copot.
Alis laki-laki itu terangkat satu, merasa aneh dengan sikapnya. Nara tidak peduli! Sebelum diberitahu letak kamar mandi, pandangannya menelusuri seluruh ruangan, Menemukan satu ruangan kecil yang terletak di sudut dekat dengan pintu masuk kamar.
“Kau jangan kabur!” berteriak lagi kali ini memperingati agar sosok itu tidak kabur. Nara masih tidak tahu dimana mereka berada sekarang.
Masuk ke dalam ruangan, apa yang Nara lakukan selanjutnya adalah berteriak lebih kencang. Memukul kepalanya berkali-kali, tidak peduli seberapa sakit akibatnya!
“Bodoh!! Kau bodoh sekali, Nara!! Kenapa kau harus minum jus punya Bella kemarin!! Bodoh!!” dengan wajah memerah, menahan tangisannya, Nara melangkahkan kaki menuju kaca besar full body. Selimut yang Ia bawa ikut masuk ke dalam kamar mandi.
Menatap penampilannya sendiri di depan sana, rambut pendek berantakan, bahkan kedua matanya terasa sakit, ‘Aish, aku sampai lupa dengan lensa kontak,’ sedikit meringis, melepas lensa kontak yang masih terganjal di kedua matanya.
Perih yang sanggup membuatnya menangis tanpa sadar, “Karena ini aku tidak suka menggunakan lensa kontak,” bergumam tipis. Mencabut lensa kontak itu cepat, membuangnya ke tempat sampah. Nara tidak peduli kalau matanya sedikit buram sekarang. Walaupun dia sendiri sebenarnya tidak ada masalah jika menggunakan atau tidak kacamata bulat itu.
Hanya saja, Nara membenci kedua matanya ini. Warna Amber yang menyala, sangat jarang dimiliki oleh orang Indonesia pada umumnya. Manik indah yang diturunkan dari Ibunya, seorang wanita dengan kebangsaan Rusia, paras cantik yang membuatnya menjadi idola para laki-laki dulu. Menjatuhkan hatinya pada sang Ayah-
Pernikahan mereka tidak bertahan begitu lama, karena suatu kejadian. Ayah dan Ibunya terpaksa bercerai, atau bisa dikatakan bahwa Ayahnya lah yang mengambil inisiatif untuk menceraikan Ibunya. Karena apa?
Bahkan belum beberapa bulan perceraian mereka berjalan, Ayahnya tidak segan-segan menikahi seorang wanita yang sampai sekarang masih menjadi Ibu Tirinya. Melinda Jovanka. Mengingat itu lagi, Nara hanya bisa mendengus kecil.
Menatap pantulan dirinya di kaca, melepas selimut yang menutupi semua tubuhnya. Bercak merah pada bagian d**a, leher, dan luka bekas jaritannya-
Apa laki-laki itu melihat semuanya? Bagian terburuknya, satu-satunya luka yang ingin Nara sembunyikan dari siapapun. “Hh, aku memang tidak berjodoh dengannya. Mana mungkin Tuhan memberikanku jodoh laki-laki tampan seperti itu? Mimpi kau Nara!” menepuk kedua pipinya.
Menggunakan semua pakaiannya dengan cepat, perih pada bagian perut itu perlahan menghilang. Tapi anehnya, Nara sama sekali tidak merasakan sakit pada bagian bawahnya. Bukannya dalam n****+-n****+, seharusnya Nara merasa sakit di bagian privasi dan pinggang jika keperawanannya diambil pertama kali? Nah ini, kenapa malah di perutnya?
‘Jangan-jangan dia tidak memperkosaku?’ menggunakan roknya lagi, merapikan baju dan rambut yang sedikit berantakan, Nara menahan napasnya sejenak.
“Jangan-jangan aku yang menyerangnya?!” sedikit horror membayangkan dirinya sendiri menyerang laki-laki itu.
Tapi bagaimana dia bisa kebetulan ada di sana? Bukannya satu jam sebelumnya, laki-laki itu ada di Apartement? Kenapa kebetulan sekali?
“Ah! Masa bodoh! Aku harus segera pergi dari sini! Ini dimana sebenarnya,” masih tidak sadar dengan keberadaannya sekarang. Mengambil selimut di lantai, memperbaiki wajahnya sekali lagi. Memasang topeng cueknya.
‘Oke, aku siap.’