[9] One Conditions

1776 Kata
PART [9] . . “Ungh,” Mengerang dalam tidur, samar-samar Nara merasakan tubuhnya mendarat pada satu tempat yang empuk. Berbeda dengan sofa yang tadi dia duduki. Berusaha untuk bangun, tapi kepalanya terasa sakit. Matanya bahkan tidak bisa terbuka dengan leluasa. Tubuhnya terasa lemas- Apa yang dia rasakan selanjutnya adalah sesuatu menyentuh keningnya. Terasa lembut dan dingin, menyapu rambutnya halus. Sekilas dan samar karena detik berikutnya. Pikirannya kembali melayang, entah ingin memimpikan apa. Nara, kembali pingsan. . . . Keluar dari mobil, Arka dengan sigap menggendong tubuh wanita itu. Merasakan perbedaan yang sangat besar. “Ringan sekali, kau makan apa saja selama ini?” gumamnya sendiri. Menatap dengan lekat setiap inci wajah wanita di hadapannya. Tubuh yang ringan, tapi wajahnya nampak chubby. Mungkin bagi orang lain. Tubuh seorang Vania Nara terlihat gemuk atau tidak ideal dibandingkan wanita-wanita yang mengelilinginya selama ini. Melly, contohnya. Jangan katakan gemuk pada wanita itu. Karena berbagai macam makanan berlemak Ia jauhi. Wanita dengan tubuh bak model yang nampak sensitive jika selalu naik tiap 1 kilogram. Entah kenapa tubuh Nara nampak kurus dan ringan dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu dulu. Apa hanya perasaannya saja? Melangkahkan kaki menggendong tubuh tersebut, pandangan Arka menelusuri parkiran. Tidak melihat tanda-tanda keberadaan Melly di sana. Wanita itu sepertinya sudah menyerah dan pulang dengan bodyguardnya. Jika ditanya berapa bodyguard yang dia punya? Sampai saat ini hanya lima orang saja. Setiap orang memiliki tugasnya sendiri, terutama tugas menjaga Kenan. Tidak diperbolehkan bodyguard sembarang. Hanya satu laki-laki yang sangat Ia percaya, jika laki-laki itu berhalangan atau tidak bisa. Arka tidak akan meminta bodyguard lain menggantikan tugasnya. Begitu juga dengan bodyguard yang bertugas mengawasi gerak-gerik wanita ini dari pagi hingga malam. Tidak boleh sembarang orang. Tapi sepertinya dia memilih bodyguard yang salah. Kedua laki-laki itu terlalu takut mengambil resiko. Padahal sejak awal dia mempekerjakan mereka, Arka sudah memberikan uang yang cukup banyak, dan resiko yang harus mereka tanggung. Entah masuk penjara, atau bahkan terpaksa membunuh atau mencelakai orang lain. Dia tidak mempermasalahkan seperti apapun cara mereka, asal wanita miliknya tidak terluka dan terlindung dari apapun. ‘Mereka benar-benar tidak berguna,’ Membatin sekilas, mungkin dia harus menyewa orang yang lebih berpengalaman lagi. Menatap sosok cantik di dekatnya, amarah Arka perlahan menurun, sembari berjalan masuk ke dalam gedung. Wajah chubby yang Ia rindukan, wanita miliknya. Setelah sekian lama menahan diri untuk tidak menemuinya. Kali ini dengan terpaksa Arka mempercepat rencananya. “Tenang saja, mulai hari ini aku yang akan mengacaukan kehidupanmu lagi, Nara. Seperti dulu.” Sebuah seringai tipis nampak di wajahnya. Sangat tipis, sebelum akhirnya menghilang dengan cepat. . . . Saat kedua tangan itu mulai membelainya, satu malam penuh. Menyentuh kulit berwarna kecoklatan, memberikan sensasi dingin yang membuat sang empunya bergidik dalam tidurnya. Menikmati pemandangan menarik yang lama tak Ia lihat. Tubuh yang masih nikmat untuk dipandang, tetap indah seperti dulu, bahkan letak tanda lahir dan jahitan pada perut yang membuatnya rindu. Dalam ruangan yang sunyi. Hanya ada mereka berdua, tanpa temaram cahaya lampu. Diterangi sinar bulan yang masuk dari celah tirai. Sosok tampan itu menatap dengan lembut saat merasakan pergerakan tubuh di hadapannya, menggeliat reflek memeluk lengannya. Jemari itu kembali bergerak, menyentuh pipi chubby yang nampak makin tirus, bibir tipis yang Ia rindukan, dan juga luka jahitan yang menjadi saksi kesalahannya dulu. “Maaf,” bisik Arka tipis, mendekatkan wajah tegas itu. Senyuman lembut perlahan berubah dingin, maniknya kembali tajam diiringi seringai tipis, enggan mencium wajah cantik itu. Dia lebih memilih menurunkan ciuman menuju leher bahkan kali ini tak akan segan memberikan banyak warna kemerahan di sana. “Kali ini aku akan menyakitimu lagi, Nara.” . . . Oke, kepalanya pusing luar biasa. Sangat pusing, bahkan saat mendapatkan kesadaran perlahan. Hal pertama yang Nara lakukan adalah menggerakkan beberapa jemari, meskipun kaku. Dengan kondisi mata masih tertutup rapat, seolah masih bermimpi dan berusaha untuk bangun. Dia harus bekerja hari ini! Jangan sampai gara-gara mabuk kemarin, dia melupakan pekerjaannya! Ah, sial. Gara-gara patah hati kemarin, dia justru tergoda meneguk alcohol itu! Mengerang sakit, tidak bisa menahan runtukan kecil dari bibirnya. Keluar begitu saja, “A-ah, sakit sekali,” gumam Nara tipis. Kali ini kakinya ikut bergerak, beserta anggota tubuh lain yang menggeliat malas. Tunggu dulu- kenapa kakinya tidak sakit sama sekali? Bukannya dia sedang berada di sofa sekarang? Dengan kondisi kaki tertekuk. Mulai merasakan ada yang aneh. Telinganya tidak menangkap suara dentuman musik di luar ruangan, aroma alcohol yang membuatnya pusing digantikan dengan aroma mint menyegarkan. Tidak merasakan dinginnya AC, padahal dia sedang menggunakan rok yang cukup pendek. Seolah tubuhnya ditutupi sesuatu yang tebal dan halus. Kenapa sofa di sini empuk sekali? Tubuhnya seperti dihisap dalam kenikmatan abadi, sebuah tempat tidur empuk- ‘Kasur? Tempat tidur-' Tunggu dulu, apa tadi?! Jaringan otaknya perlahan menyatu, berhasil menggerakkan beberapa anggota tubuhnya. Nara berusaha membuka mata. Meski kepalanya sakit, manik yang buram menyipit. Merasakan sinar lampu tepat menyorot padanya- Langit-langit plafon berwarna abu-abu, sinar lampu berwarna putih. ‘Lho bukannya ruanganku tadi bernuansa hitam?’ Semakin aneh. Menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencari sosok sahabatnya. “Be—lla?” Tidak ada jawaban, salah satu tangan mencoba bergerak, memegang sebuah benda tebal yang menghangatkannya semalaman. “Tunggu dulu---apa ini?” Mengalihkan pandangan melihat satu selimut besar menutupi tubuhnya. Mengerjap selama beberapa detik- “Kau sudah bangun?” Suara baritone terdengar tipis. Satu kalimat yang membuat semua jaringan otaknya terpasang sempurna, sakit kepalanya langsung menghilang begitu saja. Digantikan shock luar biasa. Kedua matanya melihat jelas bagaimana sosok yang selama ini Ia perhatikan selama ini di seberang kaca kamarnya. Sekarang berdiri di sana, dengan handuk melingkar di pinggang dan leher, rambut basah, tetesan air di wajah, dan perut kotak-kotak- Sarapan paginya setiap hari- “A—ahaha, sepertinya aku masih bermimpi,” Tertawa tidak jelas, kali ini mengalihkan pandangan. Menunduk, melihat kondisinya sendiri. “Eee, eh apa ini?” tanya wanita itu kikuk, entah pada siapa. Tawanya makin tipis. Lho—bajunya kok hilang? Branya-celana da---dalam, “Apa yang kau cari ada di sana,” Menengadah kembali, mengikuti arah pandangan laki-laki itu, menuju lantai. Semua benda privasi miliknya. Celana dalam bergambar beruang kecil, dan bra berwarna abu-abu motif macan, rok dan baju- “Seleramu aneh,” “Bra-ku, celana dalam-lho kok bisa ada di sana,” Memandang tubuhnya kembali. Kulit sawo matang itu terekspos sempurna, dengan beberapa bercak merah di sana. Selera yang aneh- Detik berikutnya, bagaikan tamparan kuat- “KYAAAA!!!” Teriakan Nara menggema. . . . Dia tidak bermimpi ternyata!! Entah dia harus menangis bahagia atau sedih. Meringkuk dalam selimut, enggan menyembulkan wajahnya. Malu luar biasa, membayangkan apa yang dia lakukan semalam sampai-sampai bisa ada disini! “Ke-kenapa aku bisa di kamarmu!! Kita bahkan tidak saling kenal!!” Memberanikan diri dan berteriak. “Apa yang kau lakukan padaku!! Dimana Bella! Huee, Bella!!” Tentu saja dia harus berteriak frustasi. Menangis, dan merengek, seolah melupakan karakter yang harus Ia pasang jika berhadapan dengan orang baru. Karakternya- ‘Astaga-’ Pikiran Nara benar-benar kacau, rengekannya tadi terhenti. Tangisannya hilang dengan cepat. Menyibak setengah selimut dan menyembulkan wajahnya dengan berani. “GYAA!! Pakai bajumu!!”  Tapi sikap dinginnya berubah begitu saja, kembali panik. Wajahnya semakin memerah. Pemandangan yang biasa Ia lihat dari jauh sekarang berada tepat di hadapannya. Secara live, fresh from the bathtub! Matanya reflek tertutup- Nara sama sekali tidak menyangka sosok itu berjalan mendekatinya. Dengan wajah tenang, dan masih berbalut handuk saja. “Kenapa? Kau tidak ingat kejadian kemarin malam?” Suara baritone yang terdengar serak. “Ja-jangan mendekat!” pekik Nara walaupun orang di depannya ada sosok yang selama ini Ia idolakan. Tentu saja Nara merasa takut. Mereka tidak saling kenal, tapi kenapa tiba-tiba dia bisa ada di sini! Di ruangan yang tidak Ia tahu. Berdua saja. Bukannya Nara kemarin pergi bersama Bella?! Dimana sahabatnya sekarang? Kenapa sosok yang membuatnya patah hati kemarin sekarang ada di sini?! Nara tidak bisa menebak sama sekali apa yang terjadi kemarin.   Merasakan seseorang duduk tepat dipinggir tempat tidur, berdampingan dengannya. Memekik kaget, wajah Nara berubah pucat. “Ma-mana Bella?”  Suaranya gemetar bertanya, perlahan menurunkan kedua tangan, mencoba menatap dengan berani. Kedua manik legam yang tanpa sadar menyedotnya masuk ke dalam lubang tak berdasar. Nara hampir saja meneteskan air liurnya, mengerjap kembali. Sosok di sampingnya hanya diam dengan wajah datar. “Kau sama sekali tidak ingat?” ucap laki-laki itu datar. ‘Astaga dia tidak pakai baju sama sekali!’ Menjerit dalam hati, entah Nara ketakutan atau merasa senang. Keduanya datang bersamaan. Perut kotak kotak dan tetesan air yang menetes dari rambut, pemandangan yang hanya bisa Ia lihat dari jauh. Sekarang tepat di hadapannya. Menggoda, tapi menakutinya juga. Nara menggeleng kecil, sedikit gugup, memundurkan tubuh yang masih dibalut dengan selimut. “Ke-kenapa aku bisa ada di sini? Bella mana? Pakaianku kenapa lepas semua?” tanya Nara berkali-kali. Meneguk ludah takut, saat kedua manik itu menelusuri tiap jengkal tubuhnya dari atas sampai bawah. Nara tidak kuat lagi!! Dia harus pergi dari sini!! Ini tidak benar!! Sosok di hadapannya sudah memiliki seorang istri, ditambah lagi Ayah dari anak didiknya, Kenan. “Astaga!! Minggir!!” Berteriak, mendorong mundur tubuh di depannya. Nara berusaha turun dari tempat tidur. Tapi belum sempat dia bergerak, perutnya terasa sakit luar biasa. Rasa goresan yang cukup perih, pikirannya mulai kemana-mana. Tunggu—dulu, bukannya ini seperti adegan-adegan n****+ yang dia baca?! Saat tubuhnya terasa sakit setelah bangkit dari tempat tidur, dengan kondisi mereka berdua yang sama-sama tanpa pakaian. Itu artinya mereka sudah- “Ka-kau memperkosaku?!” tanya Nara dengan polos, wajah wanita itu berubah horror. Pucat pasi, rasa sakit di perutnya makin perih. “Ugh-” Jangan bilang keperawanannya diambil oleh laki-laki ini. Nara ingin menangis sekarang juga. “Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nona Nara.” Eh? Bibir Nara bungkam, dia bahkan belum sempat menangis. Tadi namanya disebut? Wajah tampan itu nampak mengeras, semakin dingin, tanpa senyuman. Aura yang dia keluarkan nampak menusuk, “Apa?” Mengurungkan niat untuk bangkit, sosok tegap itu kembali berdiri, dengan kedua tangan bersidekap di depan d**a. Menatap tajam. Nara tidak terima! Bukannya dia yang menjadi korban di sini? Kenapa justru dirinya yang dipojokkan?! “A-apa-apaan tatapanmu itu?! Apa yang kau lakukan padaku! Mana Bella, kau apakan sahabatku?!” Setengah mengamuk, perutnya kembali sakit, “Ah, luka sialan!” Reflek memukul perutnya beberapa kali. Sekarang bukan saatnya memikirkan perih di perut. Nara harus segera pergi dari sini. Sosok tegap itu mengalihkan pandangan, berjalan menuju lemarinya, “Maksudmu Dokter tidak becus itu? Aku meninggalkannya.” jawab Arka enteng. Tidak becus? Alis Nara bertaut, “Kau kenal Bella? Dimana dia sekarang!” Tidak mungkin kan' sahabatnya yang melakukan ini. Menjebak atau menjualnya- Nara hampir menangis lagi, memikirkan hal yang aneh-aneh tentang Bella. Hanya wanita itu yang tahu kemana dia pergi, meninggalkannya di ruangan itu sendiri selama lebih dari setengah jam. Mana mungkin- “Tenanglah, dia tidak menjual atau menjebakmu, setidaknya untuk kemarin-” Seolah mampu membaca pikirannya. Tubuh Nara kembali gemetar. Menahan tangis, dia benar-benar tidak paham. “Kenapa aku bisa ada di sini?” Suaranya parau beriringan dengan tetesan air mata jatuh dari pelupuk, ada perasaaan takut menjalarinya. Perlahan makin besar. Jangan bilang kalau ini salah Nara sendiri? ‘Gara-gara aku mencoba minuman, Bella,’ Tahu bahwa dia tidak kuat dengan yang namanya alcohol, tapi tetap mencobanya. ‘Astaga, apa yang kulakukan?’ Merasakan sakit kepala yang luar biasa. “Segera gunakan pakaianmu lagi, bukannya kau bekerja hari ini?” Sosok itu nampak sibuk menggunakan kemejanya, memasang dasi bahkan tidak segan melepas handuk- “Astaga!!” Nara hampir buta, maniknya menutup cepat, saat melihat laki-laki itu menggunakan celananya. Satu hal yang biasanya Ia lakukan pagi hari. Jangan lupakan bahwa kemarin pandangan mereka sempat bertemu. Dirinya tertangkap basah mengintip. Benar-benar m***m sejati.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN