PART [8]
.
.
“Kau ini bodoh atau polos sebenarnya?!!” teriak Bella sekencang mungkin.
Nara sukses mendapatkan pukulan kecil di kepalanya, setelah wanita itu berhasil menolongnya keluar dari lantai dansa. Tentu saja Bella marah besar. Berkacak pinggang menatapnya tajam. Wanita itu benar-benar marah. Nara tidak berani membantah.
Dia hanya menunduk, memainkan kedua tangannya tanpa menatap Bella. “Aku hanya ingin berdansa saja,” jawabnya tipis.
Bella tambah kesal, “Tatap mataku kalau sedang bicara!” bentak wanita itu, sukses membuat Nara berjengit kaget, ragu-ragu menengadahkan wajahnya. Sedikit meneguk ludah. “Maaf, Bella. Aku tidak tahu kalau laki-laki tadi mencoba mendekatiku,” cicit Nara ketakutan.
Bukannya merasa kasihan, Bella makin marah, “Lagipula siapa di sini yang salah?!”
Mengakui kesalahan dengan mudah, “Aku yang salah,” Suaranya makin tipis, rambut ikal sahabatnya seolah berubah lurus penuh dengan listrik saat dia marah, picingan mata yang tajam. Wanita itu tidak menerima alasan apapun.
“Makanya sudah kubilang lebih baik kita jangan ke sini! Restaurant mewah lebih bagus daripada tempat seperti ini! Akibatnya fatal! Bagaimana kalau mereka nanti menculik atau memperkosamu!” segala jenis omelan dikeluarkan Bella.
Tidak berani bicara lagi, bak anak anjing dengan wajah memelas, menatap Bella. “Bel, jangan marah. Iya aku yang salah karena tidak mau mendengar nasihatmu,” rajuk Nara, coba menurunkan emosi sahabatnya.
Perkataan maaf Nara berkali-kali setidaknya mampu menurunkan amarah sahabatnya. Wanita itu mendesah panjang, setengah mendengus menatap Nara, sebelum akhirnya berjalan dan duduk di sofa kembali.
“Bagaimana kondisimu?” Bertanya dengan nada ketus, Nara tersenyum tipis, kali ini duduk mendekati sahabatnya.
“Aku masih sehat, hanya sedikit pusing,” ungkap wanita itu jujur, dengan sengaja melingkarkan kedua tangannya di lengan Bella. Mendorong pundak sahabatnya pelan, meredakan amarah Bella. “Jangan marah lagi sahabatku yang paling perhatian. Nanti aku yang traktir makan ya,”
“Apa? Kau mau menyuapku dengan senyuman dan kata-kata manismu itu?” Tentu saja suapannya tidak mempan. Nara tahu sekali sifat Bella.
Tapi satu yang Nara tahu. “Nanti aku kenalkan kamu dengan satu guru tampan di penitipan tempatku bekerja. Bagaimana?” Dengan satu kedipan singkat.
Bella melirik ke arahnya ragu, “Kau saja jomblo akut sama sepertiku,” ujar wanita itu santai. Meskipun Bella memang termasuk cantik, tapi karena pekerjaan yang dia punya. Wanita itu malah tidak punya waktu untuk memikirkan masalah percintaan, makanya-
Kalau dipancing dengan kalimat laki-laki tampan, wanita itu pasti luluh. “Ish, aku akan kenalkan padamu, mau?” tawar Nara sekali lagi.
“Ya, sudah kalau kau memaksa, mana wajahnya, aku mau lihat!” Malu-malu tapi mau, masih menjaga harga dirinya. Dengan wajah ketus dan pipi memerah, Nara terkekeh melihat tingkah sahabatnya.
“Iya, iya, tunggu-” Menjauhkan tubuhnya, Nara langsung mencari handphone di tas kecil miliknya. Belum sempat dia memperlihatkan wajah laki-laki itu. Handphone Bella tiba-tiba berdering, mengagetkan sang empunya.
Tanpa Nara sadari, wajah Bella memucat saat wanita itu melihat pesan di layar handphonenya. Sedikit merutuk, “A-ah, Kei. Aku mau ke kamar mandi sebentar,” suara Bella terdengar kikuk, dan tersenyum canggung.
Bella awalnya memang ingin memastikan dulu apakah mereka aman di sini. Tentu saja yang dia maksud aman adalah mereka berdua tidak diikuti oleh pesuruh laki-laki itu. Tapi siapa sangka, satu pesan itu sanggup membuatnya bungkam-
Sosok yang melarangnya dengan keras mengajak Nara pergi ke sebuah club malam. Dia bahkan sampai tidak segan-segan menghubungi seseorang, dan meminta mereka untuk mengecek bagian depan club.
‘Astaga!’ batin wanita itu super panik.
Bahkan sebelum Nara merespon, “Eh, tunggu dulu, ini fotonya-” Alis Nara bertaut melihat Bella keluar dari ruangan begitu saja. Sikapnya tiba-tiba berubah, aneh-
“Padahal aku belum sempat cerita apa-apa tentang Tuan tampan itu,” desahnya bingung.
.
.
.
“Di sini rupanya,” Tidak memerlukan waktu yang lama. Sosok tegap dengan balutan jaket kulit berwarna coklat itu berdiri di depan Klub malam ‘Blue House’. Sesuai dengan informasi yang dia terima, kedua matanya memicing tajam.
Melirik beberapa pengunjung yang baru saja datang, pakaian mereka yang minim, serta ketat, laki-laki paruh baya dengan wajah m***m, dan suara dengungan musik terdengar sampai keluar. Reflek mendecih, raut wajahnya semakin dingin.
Tempat ini sudah cukup membuatnya risih, kalau bukan karena mendapat informasi keberadaan wanita itu di sini. Dia tidak akan sudi menginjakkan kaki ke tempat ini lagi.
Kedua tangan itu masih berada pada kantung celananya. Selama beberapa menit memperhatikan lokasi. Melihat dua orang bodyguard datang menghampirinya,
“Dia ada di sini?” Bertanya dengan nada datar. Dua laki-laki di depannya mengangguk, “Iya, Tuan.” balas mereka setengah ragu.
Pandangan Arka teralih, mencoba mengambil napas panjang. Sebelum akhirnya salah satu tangan itu bergerak cepat dan memukul pipi salah satu laki-laki. Mendorong mundur tubuh itu cukup jauh. Salah satu bodyguard lainnya menatap kaget, menundukkan wajah takut.
“Menghentikan mereka ke sini saja kalian tidak bisa!! Badan kalian hanya jadi pajangan saja, hah?! Aku menyewa kalian selama ini bukan untuk bersenang-senang!!” teriak laki-laki itu keras, membuang topeng pendiamnya tadi.
Tidak peduli dengan pandangan orang-orang atau para wanita yang tadi menatapnya kagum. Sekarang justru berbalik ngeri. Mereka memilih untuk kabur,
“Tapi Tuan, anda tidak memperbolehkan kami untuk mendekati atau berkomunikasi dengan mereka, bagaimana bisa kami menghentikan mereka?” Satu bodyguard berani bertanya, tanpa tahu bahwa pertanyaannya sudah cukup menaikkan emosi Arka ke tingkat atas.
“Kau bertanya balik padaku?” Suara baritone itu semakin berat, perlahan melangkahkan kakinya mendekat. Kedua manik Arka menatap tajam tanpa ekspresi. Kedua orang di dekatnya meneguk ludah takut. Bagimana bisa aura yang dikeluarkan satu orang laki-laki bisa membuat mereka lemas begitu saja?
Tangan kekar itu bergerak cepat, mencengkram kerah baju sosok di depannya. Manik legam Arka menatap nyalang, semakin gelap. Bahkan bodyguard tersebut bisa mendengar jelas gemerutuk gigi yang saling beradu, kemarahan Tuannya.
“Kau bertanya apa yang harus kalian lakukan, padaku?” dengus Arka remeh,
“Aku tidak peduli, apapun rencana kalian. Entah harus membuat kecelakaan besar sehingga mereka berdua tidak jadi ke sini, atau mungkin melakukan pembunuhan di tempat ini. Lakukan semuanya!!! Pikirkan dengan otak bodoh kalian itu!!” raungnya penuh amarah. Tubuh kedua bodyguard itu semakin gemetar.
Melepas kerah tersebut, mendorong tubuh tegap di depannya, “Sekarang jaga tempat ini, jangan sampai mereka kabur!! Apalagi wanita itu!! Temukan dia!! Kalau sampai mereka berhasil kabur. Tidak ada ampun untuk kalian!!” Mengucapkan perintah terakhir.
Kedua laki-laki tersebut mengangguk paham, tidak perlu berlama-lama lagi. Mereka berlari masuk ke dalam lokasi.
Tentu saja Arka tidak akan diam, bergegas melangkahkan kaki masuk ke dalam tempat itu. Dirinya ingin memastikan kondisi seseorang terlebih dahulu.
.
.
.
“Bella lama! Jusku sudah habis!” gerutu Nara masih dalam posisi menyender pada sofa, kedua tangannya bersidekap di depan d**a. Pandangan Nara tidak berhenti menatap keluar. Sudah hampir dua puluh menit, tapi Bella belum kembali juga dari kamar mandi. Kenapa dia lama sekali?!
Menunggu Bella sama dengan membiarkannya melamun selama beberapa lama, bahkan sempat menangis karena mengingat Tuan Tampan yang Ia sukai ternyata sudah memiliki istri dan anak. Satu kotak tisu di dalam ruangan menjadi sasarannya.
Mengeluarkan ingusnya, kembali berpikir ulang, ‘Apa perutnya sakit?’ batin wanita itu polos, sedikit menghentakkan kaki bosan, karena Bella sudah melarangnya untuk masuk ke dalam lantai dansa. Nara harus menurutinya.
Lagipula rasa shock tadi masih tersisa di pikirannya, mungkin sudah cukup bagi Nara melepas stress hari ini. Tidak boleh terlalu banyak.
Bosan harus melakukan apa, kepalanya masih terasa pening walaupun sekarang sudah duduk manis seperti ini, ruangan seperti berputar di kepalanya. Maniknya buram karena menangis terlalu banyak. Ditambah lagi udara yang semakin memanas, lama-lama dia gerah.
“Ck, Bella mana sih,” Mengambil handphone dan menghubungi wanita itu. Salah satu tangannya bergerak mengipas-ngipaskan wajahnya. Walaupun ruangan ini sudah lengkap dengan AC, Nara tetap merasa kepanasan.
Nomor yang anda hubungi tidak bisa dijangkau, “Ck, Bella!” Mulai khawatir, Nara reflek meneguk ludah. Tenggorokannya terasa gatal, haus ingin meneguk sesuatu. Terlanjur malas untuk pergi dari ruangan, maniknya melirik, berharap ada satu gelas jus tersisa.
Ternyata tidak ada, mendesah kecewa, “Itu pasti minuman Bella,” rutuknya kecil, melihat segelas minuman berwarna kemerahan, nampak menggoda dengan beberapa es batu di dalamnya. Nara semakin haus.
Ah, lagipula sebentar lagi dia juga pulang kan? Tidak masalah, sedikit ragu, tangannya bergerak mengambil gelas minuman tersebut. Dia sendiri kurang tahu minuman apa itu, tapi sepertinya enak.
Menciumnya sesaat, barulah senyumannya mengembang, “Oh, minuman strawberry, kukira apa.” Mendesah lega, saat mencium aroma strawberry dari sana. ‘Aku minta minumanmu, Bel.’ Tanpa basa-basi meneguk minuman tersebut.
Tanpa tahu bahwa terkandung alcohol di dalamnya, Nara terlalu haus. Badannya terasa panas dan tenggorokannya kering. Astaga. “Enak juga,” Menyesap sampai habis, ada sedikit rasa asam, manis dan sedikit pahit di sana.
Berharap kalau minuman itu bisa membuat hausnya hilang, tanpa tahu bahwa efeknya berbanding terbalik dari yang Nara pikirkan.
.
.
.
Wanita itu sama sekali tidak sadar, dengan kondisinya yang semakin berkunang. Pikiran tidak terfokus lagi. Kedua matanya melirik ke luar ruangan, dengan pandangan setengah buram.
“Bella?” Mengira bahwa sosok tersebut adalah sahabatnya. Tapi bagaimana mungkin Bella tiba-tiba berubah tinggi? Tubuhnya nampak tegap, rambut ikal yang berubah lurus pendek, lalu apa-apaan baju itu?
Alisnya bertaut, kepalanya makin berkunang. Merasa pusing luar biasa, ditambah sebuah cegukan kecil. Tubuhnya makin panas, disertai wajah yang memerah.
‘Ah, kepalaku pusing sekali,’ batin Nara, ternyata dia benar-benar tidak kuat dengan yang namanya alcohol. Tidak butuh waktu lama menahan dirinya. Nara tumbang-
“Di sini kau ternyata,” Suara baritone itu memenuhi seluruh ruangan, masuk tanpa izin, dan berdiri menatap wanita yang kini tak sadarkan diri di sofa. Wajahnya memerah, aroma alcohol menyeruak masuk penciumannya. Tubuh yang dibalut dengan pakaian ketat, riasan wajah yang memancarkan kecantikannya. Semua terekspos sempurna.
Gigi itu bergemerutuk kembali, kedua tangannya mengepal. Menahan amarah yang sebentar lagi akan meledak. “Kau berani melanggar janjimu, Dokter sialan.” Dalam kondisinya seperti ini. Tidak ada yang bisa menghentikan kemarahan Arka.
.
.
.
Menatap sosoknya di depan kaca, setelah berulang kali mengatur napas. Wajah itu nampak ketakutan. Resah memikirkan apa yang sedang terjadi di luar sana. Bella tidak menyangka kalau posisi mereka akan diketahui secepat ini!
Padahal dia berusaha sebaik mungkin menyembunyikan fakta dirinya mengajak Nara ke sini. “Tenang, Bella. Jangan panik, laki-laki itu tidak akan tahu aku ada di sini,” ujarnya berkali-kali, berusaha menenangkan diri.
Bersembunyi di kamar mandi selama hampir dua puluh menit, mengecek situasi dan informasi di luar sana. Apa yang dia dapatkan?! Sosok Arka bahkan sudah ada di depan gedung ini! Bersama dua bodyguardnya, laki-laki itu bahkan tidak segan memukul salah satu orang suruhannya karena melakukan satu kesalahan!
Nah apa kabar dia?! Bisa-bisa laki-laki itu menyiksanya!
‘Sialan! Kau benar-benar psikopat, Arkana!! Sampai melarangnya datang ke sini bahkan membuntuti kita berdua!’ Menggigit jemari, menahan gugup.
Maniknya melirik ke arah pintu masuk, sedikit khawatir dengan kondisi Nara sekarang, “Maaf, Kei.” ujarnya tipis.
Tepat saat pintu masuk itu terbuka, jantungnya hampir saja lepas. ‘Aish. Kukira mereka,’ Mendesah lega, melihat dua orang perempuan masuk ke dalam kamar mandi. Ketakutan Bella berkurang,
Tapi belum selesai mendesah lega, tubuh Bella kembali menegang melihat satu orang laki-laki bertubuh kekar ikut masuk ke dalam kamar mandi. Pandangan mereka saling bertemu. Ah, Tuhan benar-benar membuang harapannya tadi.
“Aku sudah menemukannya!” Suara berat itu menginformasikan pada temannya di luar sana. Kenapa dia merasa seperti seorang buronan di sini! Bella, hanya mengajak sahabatnya ke club malam! Hanya itu!! Astaga!!
“Ka-kau mau apa?!” teriak wanita itu panik, tubuh besar di sana berjalan mendekat. Mengabaikan bahwa ini adalah kamar mandi khusus perempuan. Tidak peduli dengan beberapa perempuan menatap mereka bingung.
“Ikut kami!”
“Tunggu!! Lepaskan! Tanganku sakit!” Mencengkram lengannya kuat, menarik tubuh Bella dengan paksa. Keluar dari kamar mandi. Kekuatan yang lebih besar itu membuatnya tidak bisa melakukan apapun selain pasrah.
“Bisakah kau menarikku lebih lembut?!” Masih berteriak, semua orang menatapnya. Ah, sialan!
.
.
.
Manik legam itu masih menatap sosok wanita yang kini tumbang di sofa, entah tiba-tiba terbangun dalam keadaan mengigau setelah itu kembali tertidur. Berjalan mendekati, duduk di sampingnya. Aroma alcohol itu makin menyengat hidungnya.
‘Bukannya dia tidak suka dengan alcohol?’ batin Arka bingung, alisnya bertaut. Duduk dengan posisi menghadap wanita itu. Tetap tegap, mempertahankan posisi yang sempurna. Sebelum akhirnya mendesah panjang. Menggelengkan kepala singkat -
“Tuan tampanku,” Mendengar samar suara tipis di sebelahnya, kalimat yang singkat. Tapi sanggup membuat amarah dan mood yang sempat hancur tadi membaik begitu saja.
‘Jangan bilang dia ke sini hanya gara-gara itu?’ Bertanya pada dirinya sendiri. Mengingat kembali bagaimana untuk yang pertama kali pandangan mereka bertemu tadi. Raut shock dan kaget melihat kehadiran sosok Melly dan putranya.
Tidak ingin membuang waktu, Arka kembali berdiri. Mengerahkan tenaga, dengan sigap menggendong tubuh wanita itu dalam pelukannya.
Bak seorang putri yang tidak sadarkan diri. Tanpa mengetahui bahwa dirinya saat ini tengah diculik oleh sosok yang selama ini Nara kagumi.
Keluar dari ruangan tersebut, Arka memang sengaja menggendong tubuh wanita itu tanpa bantuan siapapun. Tentu saja. Mana mungkin dia membiarkan siapapun menggendong wanita ini. Menyentuh sama dengan mencari masalah dengannya.
“KEI!!” Sebelum suara teriakan itu menghentikan langkahnya.
“Kau mau bawa Kei kemana?!” Bella berteriak dengan suara lengking, sangat mengganggu. “KEI!! LEPASKAN TANGAN KALIAN!” teriaknya kembali menarik perhatian semua orang di dekat mereka.
“Berisik,” Arka berujar tipis, mendecak kesal, dengan terpaksa mengurungkan niat untuk berjalan meninggalkan wanita ikal itu. Dia memilih berbalik, menatap tajam.
Rahangnya mengeras, berusaha menahan emosi, mempertahankan wajah dinginnya. “Aku akan membawanya sekarang.” ujar Arka singkat, siapa yang menyangka wanita itu masih berani memandangnya balik.
“Lepaskan dia!! Kau tidak ada hak untuk membawa Kei pergi!!” Bella memberontak, mencoba melepaskan tubuhnya dari cengkraman kedua orang di dekatnya. “Lepaskan aku!! Kei, bangun!!” Memanggil sahabatnya berulang kali.
Tersenyum remeh, sedikit geli mendengar pernyataan gamblang wanita itu, Arka memilih untuk berjalan mendekat. “Kau bilang aku tidak ada hak untuk membawanya?” Bertanya balik. Semakin mendekat, pandangannya menatap nyalang.
Tubuh Bella sedikit gemetar, “Le-lepaskan, Kei! Kalian sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi kan?!” Tapi masih berusaha untuk membentak. “Kei!! Bangun!!” teriak Bella terus.
Arka mendesah, pandangannya teralih sekilas, “Lepaskan dia.”
“Tapi Tuan, nanti dia-”
Memotong perkataan bawahannya, manik legam itu menatap tajam. Memberikan peringatan khusus, “Kubilang lepaskan dia,”
“Ba-baik,”
Tubuh Bella berhasil lepas dari cekalan kedua laki-laki itu, merasakan sakit di lengan. Cekalan yang sangat kuat, bahkan sampai membuat kedua lengannya membiru tipis. Kesampingkan itu dulu, pandangan Bella kembali menengadah.
“Lepaskan Kei!!” Kali ini dengan berani menggunakan kedua tangannya mencengkram lengan Arka. Mencoba melepaskan Nara dari gendongan laki-laki itu.
“Kei, bangun!!” Membiarkan wanita itu bertindak sesuka hati selama beberapa menit, “Kei!!”
“Sudah selesai?” Tanpa membuahkan hasil. Bella, sama sekali tidak berhasil melepaskan bahkan melonggarkan kedua tangan yang tengah menggendong sahabatnya. Dia sudah takut-
“Lepaskan Kei, kumohon!” maniknya berkaca, menatap Arka takut. Menahan tangisan. “Jangan sakiti dia, kumohon! Bukannya kalian sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi?” Suara Bella gemetar.
“Siapa yang ingin menyakitinya?” bertanya balik, kali ini dibarengi dengan dengusan kecil. Kedua manik legam Arka menajam, menelusuri raut wajah Bella seksama.
“Kau tentu saja!! Mau kau bawa kemana, Kei!! Kau pasti ingin melakukan hal sama seperti dulu!! Lepaskan dia!!” Berteriak dan menangis.
Tangisan yang cukup kencang, dan semakin menarik perhatian semua orang di sana. Arka terkekeh. “Pintar sekali,” ujarnya tipis.
“Apa?!” Berniat meneriaki Arka sekali lagi, tapi wajah itu lebih mendekat, menyisakan jarak yang tipis diantara mereka. Mata mereka saling beradu. Senyuman di wajah Arka semakin membuatnya takut.
“Kau pintar sekali membalikkan keadaan, Dokter.” Memberikan pukulan telak. Sanggup membuat tubuh Bella menegang. Kedua kaki wanita itu perlahan mundur, sedikit gemetar.
“A-apa maksudmu?! Aku hanya memintamu menjauhi Kei!”
Wajah panik dan ketakutan itu seolah cukup membuat Arka puas. Mengembalikan posisi tegapnya, pandangan itu teralih menatap wanita yang tertidur dalam gendongannya. Wajah dingin itu perlahan melunak, hanya beberapa detik.
“Bukannya kau pintar, Dokter?” Menginstruksikan para penjaganya agar kembali mencengkram lengan Bella.
“Tunggu!! Apa maksudmu!!”
Membalikkan tubuhnya kembali, menoleh sekilas, menuangkan senyuman tipis yang jarang Ia perlihatkan pada orang lain. “Pecundang yang hanya bisa berlindung di bawah pertolongan orang lain. Sampai-sampai menusuk siapapun yang menghalangi rencanamu?” Memberikan kalimat telak.
Bella bungkam. Tubuh wanita itu membeku. Diam seribu bahasa tanpa bisa menjawab balik perkataan Arka. Membiarkan laki-laki di hadapannya berjalan menjauh, membawa sahabatnya pergi.