[7] Fear

2336 Kata
PART [7] . . Temaram lampu ruangan sengaja diredupkan, tanpa suara, dengan pemandangan jendela kaca besar di luar sana yang setengah tertutup, cahaya bulan masuk melalui celah tirai. Hanya ada dua orang saja di sana. Menikmati sunyi diantara mereka berdua. Senyuman Melly masih terukir dengan seduktif, tangannya bergerak menyentuh d**a bidang Arka. Semakin mendekat, saat wajah tampan itu berbalik menatapnya dengan berani mencoba mencium bibir tipis tersebut, menghapus jarak diantara mereka. “Ah!” Memekik sekilas, sedikit terkejut saat tubuhnya terdorong paksa, merasakan bagaimana kedua tangan kekar itu mencengkram pundaknya, tanpa aba-aba membuatnya terbaring di atas sofa. Hazelnya membulat, tak menyangka bahwa Arka akan mengambil inisiatif sebesar ini padanya?! Luar biasa bahagia, tidak bisa menahan senyumannya. Gairah Melly makin terpacu, menatap sosok maskulin yang kini berada di atasnya. Sengaja menggigit bibir bawah, mengirim sinyal seduktif , kedua tangannya bergerak kembali. Mengurung leher tersebut, menariknya mendekat, senyuman Melly makin mengembang. Akhirnya setelah sekian lama laki-laki ini kehilangan akalnya. Tidak ada yang bisa menghindari tubuh seksi yang sengaja Melly perlihatkan pada Arka. Hanya dibalut gaun manis, memperlihatkan lekukan tubuh yang sempurna, rambut terurai basah, dan bibir merah meronanya. “Damian,” goda wanita itu dengan suara serak tanpa ejekan seperti biasa, menarik tubuh Arka lebih dekat lagi. Jantung Melly berdetak kencang, gairah dan antusiasnya saling menyatu, hampir saja dia kehilangan akal dan menyerang Arka secara brutal. Pesona laki-laki ini terlalu luar biasa, hanya dari pandangannya saja sudah cukup membuat bagian bawah Melly terasa basah. Astaga, dia nakal sekali. Berusaha mengatur gairahnya, dia harus bermain halus, barulah nanti jika mereka mencapai puncak, Melly bisa mengamuk sepuasnya. Entah di posisi atas atau bawah, dia tidak peduli!! Bibir mereka hampir bertemu, merasakan napas laki-laki itu dengan pelan. Pandangan dingin yang penuh misteri. Melly suka sekali! ‘Akan kubuat kau bertekuk lutut dengan permainanku sekarang, Damian.’ batinnya bangga. Melly sama sekali tidak menyadari keanehan dari sikap Arka, yang ada di pikirannya hanya ranjang, ranjang, punya anak, menikah, dan hidup bahagia selamanya bersama Arka! “Damian-” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, saat bibir mereka hampir bertemu. Terdengar suara getar yang cukup keras dari atas meja, mengalihkan perhatian Arka begitu saja. Tidak perlu berpikir dua kali, “Ah! Tunggu dulu!” Memekik kecewa, saat tubuh tegap itu bergerak menjauhinya dengan cepat. Tanpa keraguan sama sekali!! Mengabaikan Melly, Arka langsung saja mengambil handphonenya. Terfokus pada benda tersebut, sama sekali tidak bisa diusik bahkan saat Melly mencoba bangkit dari posisi tidurnya tadi dengan wajah merengut, menahan kesal. Kedua tangannya mengepal kuat. “Dummy!” Menaikkan nada suaranya, kali ini bergerak mendekati Arka. Baju yang sedikit berantakan tadi sudah diperbaiki dengan cepat. Harga dirinya terasa dicoreng begitu saja. Padahal tadi dia benar-benar seksi, super menggoda. Siapa yang bisa menahan hasrat jika berada di hadapannya dalam keadaan seperti itu? Ya, patung berjalan di dekatnya ini!! Masih mengabaikannya, pandangan laki-laki itu hanya tertuju ke arah layar handphonenya, benar-benar serius! “Kau lihat apa sih?!” Sedikit penasaran, membuang kekesalannya sementara. Mendongakkan wajahnya, Manik Hazelnya membulat tak percaya, amarah Melly hampir meledak. Bagaimana tidak?! Laki-laki itu tiba-tiba cuek dan membatalkan acara s*x mereka hanya karena sebuah chat dan foto!! “Dummy!! Kau benar-benar keterlaluan,” umpatnya kesal, bergerak mengambil benda kecil itu dari tangan Arka. Amarah Melly meledak, sama sekali tidak peduli dengan apapun. Dia hanya mencoba melihat lebih jelas, siapa yang berani berhubungan dengan Arka miliknya! “Chat siapa ini, dan foto ini, ish,” Reflek mengumpat lagi, jemarinya bergerak cepat. Membaca dengan seksama. ‘Dia hari ini pergi ke club malam bersama Dokter Bella, hah? Bella? Tunggu dulu siapa maksudnya!’ Melihat nama Bella dalam chat tersebut. Alisnya bertaut. Ditambah lagi dengan tittle tersebut, Melly mengenalnya. “Bella?! Kau ternyata masih berhubungan dengan, Bella! Dummy, apa-apaan ini!” Masih melihat chat tersebut, wanita itu tidak sadar sama sekali perbuatannya tadi sudah cukup membuat sosok di belakangnya kehilangan akal. “Mellyana, kembalikan benda itu,” Suara baritone yang berat menusuk, menyesap seluruh udara di dekat Melly begitu saja. Rasa takutnya kembali muncul. Panggilan tak biasa sudah cukup memperlihatkan semarah apa Arka sekarang. . . . Melly masih bersikeras, menggeleng cepat, dan memeluk benda tersebut, seolah tidak ingin Arka mengambilnya lagi. “Tidak!! Untuk apa kau berhubungan dengan Dokter itu lagi?!” tukasnya, seolah dia memiliki hak untuk melarang Arka bertemu wanita itu! “Mellyana!” “Kenapa?! Kau mau memukulku?!” berteriak makin keras, napas wanita itu terengah. Tubuhnya sedikit gemetar saat melihat aura yang dikeluarkan Arka makin menusuk. Laki-laki itu mendekat. “Berikan benda itu sekarang juga!!” “Tidak!!” Arka bergerak cepat, wajahnya nampak memerah menahan amarah, “JANGAN BERANI MENYENTUH APAPUN YANG BUKAN MILIKMU!” Mengeluarkan satu teriakan, tubuh Melly reflek beku. Gemetar bahkan kakinya terasa lemas saat itu juga. Untuk yang pertama kalinya setelah lima tahun ini, Arka berteriak padanya. Bukan dengan candaan seperti biasa, tapi penuh amarah. Maniknya berkaca, reflek memundurkan langkah takut saat tubuh Arka makin mendekatinya. “Jangan mendekat!!” Berteriak ketakutan. Salah satu tangannya ditarik paksa, berhadapan dengan sosok tegap tersebut. Menatap paksa manik tajam Arka. Wajah dingin tanpa senyuman. “Kembalikan!” Terasa lemas, dengan mudah Arka berhasil mengambil handphone miliknya. Mendorong tubuh Melly kasar. Wanita itu sukses terjatuh dengan air mata yang mengucur dari pelupuknya. “Kau bahkan berteriak padaku, Damian!!” Menengadah, kekesalan Melly memuncak. Bagaimana bisa laki-laki itu memperlakukannya seperti ini. Seorang wanita yang digilai banyak orang!! Arka menaruh benda tersebut di kantung baju miliknya, manik tajam itu melirik ke arah Melly sesaat. Menatap remeh, sebelum akhirnya menyeringai tipis. “Bukannya kau suka dengan sikapku seperti ini?” tanya laki-laki itu dengan nada sarkatis. Kemarahan yang sering Ia tunjukkan justru menjadi boomerang yang membuat para wanita makin tergila-gila dengan sikap Arka. Hampir semua wanita yang Ia temui bersikap seperti itu, termasuk Melly. Wajah Melly memerah, tidak bisa berkata apapun. Kedua tangannya mengepal, suka dalam artian apa. Tentu saja Melly tahu. Arka mengenal wanita itu dengan jelas. Sosok wanita yang tidak akan jatuh ketakutan jika melihat sikap dingin seorang Arkana Damian Ezra. Oh, bukan hanya dia, tapi semua wanita yang Arka kenal. Tidak ada satupun wanita yang menangis jika melihat sikapnya seperti ini. Dingin, ketus bahkan sadis. Bukannya itu yang mereka suka? “DAMIAN!!" Mengabaikan teriakan Melly, laki-laki itu berjalan menuju telephone khusus di ruangannya. Menekan beberapa nomor. “Bi Minah, aku ingin pergi sebentar. Tolong jaga Kenan.” perintahnya pada wanita paruh baya itu. Arka memang sengaja menempatkan telephone di kamar khusus Bibi Minah jika wanita itu ingin menginap. Pandangan Melly teralih, wanita itu berusaha bangkit dari posisinya. “Kau mau kemana?!” Laki-laki itu bergerak melepas pakaian miliknya, sama sekali tidak peduli dengan Melly yang kini tengah melongo melihat postur tubuhnya secara cuma-cuma, sempurna penuh otot, dan beberapa urat tipis berwarna kebiruan di kulit sawo matang itu. Pantas saja banyak wanita tergila-gila pada Arka. Meneguk ludah tanpa sadar, saat melihat Arka berjalan keluar dari ruang tamu. Barulah Melly sadar, “Dummy, tunggu!! Aku ikut!!” sergah wanita itu sembari membetulkan pakaiannya. “Kau pulang saja, bajumu akan kukirimkan besok lewat paket.” ucap Arka singkat, meninggalkan Melly. “Tidak mau!! Aku ikut!! Hei!!” Wanita anggun dan manis di depan masyarakat itu benar-benar membuang karakternya jika berhadapan dengan Arka. Sebelum Melly sempat mengikutinya, Arka dengan cepat menutup pintu ruang tamu. Berjalan menuju kamarnya. Mengunci agar wanita itu tidak masuk sembarangan. Meskipun tadi dia hampir saja melakukan hal aneh pada Melly. Memang Arka mengakui, body yang dimiliki oleh temannya itu sangat sempurna di mata para laki-laki. Penuh lekukan dan menggoda nafsu mereka. Tapi kembali lagi ke selera masing-masing. Sayangnya, Melly tidak masuk ke dalam kriterianya. Untuk saat ini- . . . Merasa semakin pusing, Nara tidak peduli. Sengaja menyusupkan tubuhnya diantara beberapa remaja yang tengah menari. Wanita itu tersenyum senang, tubuhnya terasa limbung, menikmati musik kesukaannya. Berdengung, lampu dansa sesekali menyinari tubuhnya, Nara bahkan menyanyi dengan percaya diri. Menggerakkan kepala, mengikuti tempo, sesekali berteriak, dia sama sekali tidak sadar kalau wajahnya sudah mulai memerah. Untuk yang kedua kali dia merasa sangat hype! Semangat Nara terpacu, tubuhnya terasa panas, “Uwoo!!” berteriak dan menyanyi. Melepaskan stress begitu saja. Wanita itu sama sekali tidak tahu, sikapnya sanggup menarik perhatian beberapa laki-laki di dekatnya. Dengan baju yang sedikit berantakan, wajah yang dirias manis, nampak liar di mata mereka. Jujur saja hari ini Nara tanpa kacamata bulat, dia terlihat sangat cantik. Tubuh yang sedikit mungil, pipi chubby yang memerah, manik dengan lensa kontak yang nampak menggairahkan. Beberapa remaja laki-laki bahkan reflek meneguk ludah mereka. Nara masih berdansa, menikmati dentum lagu dansa. Tidak menyadari beberapa laki-laki itu dengan sengaja bergerak mendekatinya. Mereka menari, semakin dekat. Tersenyum, mengajak Nara untuk bergabung. “Hai, kau cantik juga,” Pikiran Nara terusik, tariannya berhenti sejenak, alis bertaut tak suka. “Ha? Kau mau apa?” Entah kenapa dia mulai tidak sadar dengan kata-katanya sendiri. Semua ruangan nampak berputar, tubuhnya makin panas. “Berdansalah dengan kami,” goda mereka kompak. “Setelah ini mungkin kita bisa menyewa ruangan yang lebih privat, bagaimana?” Merengut kesal, bibirnya mengerucut. Nampak manis di mata semua laki-laki itu, walau redup cahaya lampu di lantai dansa tidak seperti ruangan lainnya. Mereka masih bisa melihat jelas wajah Nara. “Tidak mau! Pergi sana, hush-hush,” bak anak kecil, menggerakkan tangannya mengusir laki-laki itu seperti kucing.    “Manis sekali, ayolah ikut dengan kami,” Sedikit risih, merasakan tubuh para laki-laki itu makin mendekat, “Kalian mau apa?!” dengan sengaja menyentuh tangan dan pinggang Nara. Sentuhan itu sukses menghantarkan listrik, menyetrum pikiran Nara begitu saja. Tubuh wanita itu menegang, tiba-tiba beku tidak bisa bergerak. Pikirannya yang tadi melayang perlahan kembali seperti semula. Sentuhan oleh orang yang tidak Ia kenali- “Hei, jangan diam saja,” Sentuhan tangan, pinggang, tubuh-tubuh tinggi itu makin mendekat, mengurungnya. Bahkan sama sekali tidak memberikannya ruang untuk bergerak lagi, mereka seolah bekerja sama agar dia tidak bisa kemana-mana. Menghimpit tubuhnya dan berusaha menggesek-gesekkan sesuatu yang menonjol di bawah mereka. Rasa takut tiba-tiba menyerang, Bulu kuduk Nara bangun, sensasi sentuhan dan keadaan ini membuat kepalanya semakin sakit. Panas dingin, ketakutan Nara merayap perlahan. Tubuhnya membeku, bibirnya bergetar, kedua tangan serta kaki terasa lemas. ‘A-apa ini?! Aku takut sekali!’ Napasnya sesak, menutup mata cepat saat tubuh itu makin mendekat. Menggoda dengan kata-kata, hembusan napas mereka menyentuh bahkan tepat di kepalanya. Astaga! “Me-menjauh! Menjauh!!” Nara berteriak, mendorong tubuh tegap tersebut. Menangis tanpa sadar, tubuhnya menunduk, menutup telinga dengan kedua tangan. “Oi, dia kenapa?!” “Mana aku tahu!”  Satu teriakan dan tindakan aneh Nara membuat keempat laki-laki itu risih, saat seluruh pandangan tertuju ke arah mereka. Tentu saja menjadi pusat perhatian, dalam artian tidak baik. “Cih, kalau kau tidak mau digoda jangan berpakaian seperti itu!” umpat mereka kesal dan langsung kabur begitu saja. Tanpa mengucapkan maaf atau penyesalan karena sudah menyentuh serta menggodanya. Nara masih menekuk lututnya, diam di tengah lantai dansa. Menangis ketakutan, rasa ini tiba-tiba datang begitu saja. Dalam hidupnya, Nara bahkan hampir tidak pernah mengingat ketakutannya jika berada di lantai dansa- Saat orang-orang itu mendekat, tubuhnya tiba-tiba membeku, gemetar takut. Seolah memiliki trauma yang besar tapi dia sendiri tidak tahu apa-apa. Sentuhan asing, paksaan, teriakan keras, menghimpit tubuhnya bersamaan. “Pergi, pergi, jauhi aku—jangan mendekat,” Menangis dan menutup telinganya dengan kedua tangan, matanya enggan terbuka. Tubuhnya gemetar. Tidak ada yang berani menghampiri atau menolongnya. Mereka hanya menatap heran, merasa bahwa sikapnya-lah yang aneh di sini. “KEI!!” Saat sebuah suara memanggil dengan kencang, menyentuh pundaknya. Nara mengenalnya dengan jelas, tidak perlu berpikir dua kali, menengadahkan wajah, dengan ingus yang meler. Nara menatap lega ke arah sahabatnya. “BELLA!” . . . Menggunakan jaket kulit berwarna coklat, Arka segera turun dari apartement miliknya menuju tempat parkir, Melly tentu saja masih setia mengikuti. Tidak menyerah, bahkan berlari mengejarnya. “Kau mau kemana?! Aku pokoknya ikut! Dummy!” teriaknya lagi dan lagi, Arka tidak peduli sama sekali. Tangannya bergerak mengambil kunci mobil di dalam saku, membuka kunci mobil sembari mengecek handphonenya. Masih tidak ada kabar. Setidaknya dia sudah tahu dimana posisi wanita itu sekarang. ‘Ck, kenapa Dokter sialan itu mengajaknya kesana!’ umpat Arka beberapa kali. Apa Bella mengira bahwa dia bisa dibohongi? Mungkin saja Bella mengajak wanita itu pergi secara diam-diam, tanpa sepengetahuannya. Tapi maaf saja, jangan pernah meremehkan jaringan yang dimiliki olehnya. Jika perlu Arka tidak akan segan-segan menyewa ratusan bodyguard untuk terus menjaga serta mengawasi gerak-gerik wanita miliknya. Kali ini dengan berani Bella mengajak wanita itu ke sana, setelah lima tahun lalu dia berjanji! “SIALAN!” Mengumpat kembali, Arka sama sekali tidak menyadari sosok Melly berjalan lebih dulu menuju mobilnya. Berniat membuka pintu mobil, “Kau mau apa?” tukasnya, dengan cepat laki-laki itu kembali mengunci mobil. “Aku ikut!” Melly gagal membuka pintu, sedikit mendecih kesal. Menatap wajah Arka, setengah merengut, “Kau pasti mau bertemu wanita itu kan?! Aku harus ikut, setidaknya untuk menjagamu tetap waras.” sergahnya cepat. Mendengus saat Melly mengatakan kata ‘waras’ “Kau pikir aku akan mengamuk di sana?” ujar Arka santai. “Tentu saja! Aku harus menjaga otakmu itu,” Reflek memutar kedua bola matanya, Arka mendesah. Laki-laki itu berjalan mendekati Melly, masih dengan wajah datarnya. “Ce-cepat buka pintu mobilnya!” Sang empunya mendadak takut, bagaimana kalau Arka kembali membentak atau bahkan memukulnya. Tidak mungkin kan! Semakin mendekat, bahkan berdiri di hadapannya. Terbalut jaket kulit berwarna kecoklatan, aroma maskulin kesukaan Melly terumbar dengan sengaja, tubuh tegap itu dengan sengaja menunduk, mendekati wajahnya. “Ka-kau mau apa!? Aku tidak takut!” Menahan kegugupannya, bahkan berkali-kali meneguk ludah. Berusaha tetap tenang dan terlihat cantik- ‘Astaga!’ Saat kedua mata mereka bertemu, dengan jarak yang dekat. Hembusan napas Arka menerpa wajahnya. Melly hampir jantungan, bibir wanita itu terbuka dengan gerakan pelan tidak tahu harus mengucapkan apa. Sebelum satu kalimat terucap dengan gamblang dari bibir Arka- “Minggir atau kau mau kubunuh saat ini juga, Mellyana?” ancam Arka tanpa nada bercanda, terdengar datar dan menusuk. Kali ini bukan sebuah bentakan yang membuatnya kaget. Melainkan ancaman menusuk, singkat tapi padat. Tangan Melly yang tadinya memegang kenop mobil. Lemas begitu saja, membeku diam di tempatnya. Manik Hazelnya seolah kosong, terlalu shock mendengar kalimat terakhir Arka. “Aku hanya bercanda,” Laki-laki itu berujar santai. Tidak sadar sama sekali Arka menjauhkan tubuhnya dengan senyuman di wajah. Membuka kunci mobilnya kembali, dan segera masuk ke dalam sana. Melirik sekilas tubuh wanita yang masih membatu karena ulahnya. Tenang saja, Arka tidak akan meninggalkannya Melly di sana sendirian, dia sudah menghubungi satu bodyguard khusus yang Ia miliki untuk mengajak wanita itu pulang. Melirik sekali lagi, menghidupkan mobilnya. Pikiran Arka terfokus. Mungkin dia memang terdengar bercanda saat mengucapkan kalimat itu pada Melly. Memikirkannya kembali sudah cukup membuat Arka tertawa. Tawa yang cukup singkat karena selanjutnya, wajah dingin itu kembali terpasang. Tanpa senyuman, merenggangkan lehernya yang sedikit kaku, “Setidaknya untuk saat ini saja,” gumamnya entah pada siapa. Saat pandangan legam itu menatap ke depan, menggenggam erat setir kemudi. “Kalau dia berani melakukan hal di luar batas, aku tidak akan segan membunuhnya.” Tanpa nada canda, maniknya berkilat tajam entah menunjukkan kalimat itu pada siapa. Bella atau Melly? Kalimat membunuh mungkin terdengar menakutkan. Bagaimana jika Ia ganti dengan kata menyiksa. Bukannya itu lebih baik?      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN