Chapter 7

1770 Kata
“Aku tahu bahwa kau tak menyukaiku, jadi santai saja, karena aku pun tak menyukaimu” belum mendapatkan pasangan yang ideal menurut pria jangkung berambut putih itu bukanlah satu satunya alasan mengapa ia tak pernah cocok dengan gadis gadis yang dibawakan ayahnya. Alasan lainnya adalah, karena bukan hanya dirinya saja yang menganggap kencan buta ini adalah hal yang membebankan, beberapa diantara gadis gadis itupun demikian. Dengan berbagai macam alasan, seperti sudah memiliki kekasih atau orang yang dicintai, enggan menimba status terlalu tinggi, enggan hidup terlalu diatur –karena hidup sebagai royal family tentu saja akan memiliki banyak aturan yang belum pernah dirasakan oleh orang normal- menjadi tanda bahwa mereka bukannya tak ingin menolak titah sang mantan raja, melainkan tak berani menolak. Karena jika dipikir pikir, siapalah mereka berani menolak ucapan sang mantan raja yang mencoba menjodohkan mereka dengan anak tunggalnya kemudian menjadikan mereka ratu di masa depan. Siapalah mereka rakyat biasa ini berani menolak raja secara blak blakan. Itulah mengapa mereka mau tak mau menghadiri acara konyol yang dibuat sang mantan raja dengan dedikasi untuk mencarikan ratu baru. Tapi, setelah bertahun tahun para gadis dari keluarga bangsawan atau royal family negara lain mendengar bahwa Claude terus menerus menolak gadis gadis itu, maka suatu rasa lega muncul di benak gadis gadis yang memang enggan berakhir menjadi ratu itu. Mendengar ucapan gadis berdress merah dihadapannya membuat Claude diam diam ikut menghela nafas lega. Ia tak perlu memikirkan hal hal ribet seperti jika para gadis yang setuju dinikahkan padanya tak terima ketika Claude menolaknya. Em- kalian boleh berkata bahwa kepercayadirian Claude tinggi, namun pria itu amat sangat menyadari bahwa dirinya benar benar tampan. Dengan tinggi seratus delapan puluh senti, wajah rupawan, badan atletis namun tak berlebihan, dari ujung kepala hingga ujung kaki sangat proposional membuat pria itu memang digandrungi oleh beberapa tipe wanita. “kau.. tak mencoba menolaknya ketika yang mulia Ernst memintamu untuk menemuiku??” Ernst Zevane. Raja terdahulu yang juga merupakan ayah dari Claude Zevane. “Mana berani manusia biasa sepertiku berlaku tak sopan seperti itu” ucap gadis tersebut dengan anggun, namun sama sekali tak membuatnya terlihat seperti gadis yang lemah. “aku hanya menjalankan perintah darinya sembari berdoa kepada Tuhanku bahwa kau tetap bersikap tak peduli dengan wanita wanita yang menjadi partner kencan butamu” mendengar hal tersebut, Claude mengangguk mengerti. Sama seperti kebanyakan alasan alasan lain dari para gadis yang juga diam diam menolaknya. Makan siang mereka memang sudah berakhir lima menit yang lalu. Satu potong steak medium yang mereka pesan memang sengaja dibuat lebih dahulu –Claude menitah Victor untuk membicarakan ini dengan chef restaurantnya- -kan, Victor itu sudah merangkap berbagai macam pekerjaan meskipun statusnya ia hanya seorang pengawal-. Jadi, ketika kedua muda mudi itu sampai, mereka bisa langsung menyantap makanannya dan tak membuang waktu terlalu lama disana. Namun, Claude tahu pasti bahwa ayahnya tak suka jika ia hanya meluangkan sedikit waktunya dengan para gadis. Satu jam adalah waktu yang dimiliki para pejabat pemerintahan untuk istirahat makan siang, maka satu jam itulah yang harus Claude penuhi untuk saling berhadapan wajah dengan gadis di hadapannya. Jika kurang dari satu jam tapi Claude sudah kembali, maka tuan Ernst tentu saja akan memarahinya bak ia anak kecil yang menghilangkan mainannya sendiri. “Lakukan apa yang kau mau, tak perlu pedulikan aku” ucap gadis itu lagi ketika ia sadar betul Claude sedari tadi bingung ingin memulai percakapan bagaimana. Padahal terlihat jelas dari wajahnya –yang sebenarnya sudah mati matian ia kontrol itu- bahwa Claude memang ingin segera pergi dari sana. Bertahun tahun mengontrol ekspresi wajahnya, sedari kecil dititah untuk selalu melemparkan senyum manis pada siapapun, sejak kecil terpaksa memasang topeng yang sama tak membuat pria ini langsung ahli. Karena, setiap masa masa seperti ini, ingin rasanya pria itu berkerut tak nyaman dan menampilkan ekspresi malasnya. Tapi sejujurnya, selama ini dirinya berhasil, kok?? Maksudnya, ia berhasil menampilkan topeng manisnya tanpa diketahui oleh orang lain. Hm.. memang sepertinya gadis ini saja yang pandai membaca ekspresi orang lain meskipun tersembunyi. Tatapannya bergulir. Matanya tak sengaja menangkap Victor dan sang supir tengah makan di sisi barat resturant besar ini. Restaurant ini memang sangat besar, hingga tiap lantainya saja bahkan dibagi menjadi dua bagian. Sekat ditengahnya adalah panggung live music klasik dengan ornamen yang sangat lengkap. Setiap adanya kencan buta seperti ini, Claude tentu saja memesankan meja untuk orang orang yang terus mengikutinya. Misalnya jika itu hanya Victor, maka ia akan memesan meja untuk satu orang, jika Victor bersama yang lainnya, maka Claude akan memesan untuk mereka pula. Victor akan terus bersama Claude kapanpun dimanapun selain ketika Claude sudah tertidur. Itupun, Claude dijaga oleh anak buah Victor yang bergantian menjaga depan kamar Claude dan bagian luar bangunan kerjaan dibawah jendela kamar Claude untuk memastikan tak ada yang bisa menyelinap ketika sang raja tengah melepaskan mata awasnya. Meskipun dipenuhi pengawal, hidup sebagai raja tak akan seaman itu. Pun meskipun sang raja tengah ada pertemuan privat seperti ini. Victor akan terus ikut mau tak mau, karena siapa memangnya yang bisa memastikan bahwa rajanya tidak diracun, atau tidak ditusuk tembak secara tiba tiba?? Victor memang tengah menyantap makannya, namun matanya sama sekali tak lepas dari sang raja dan pelayan pelayan yang menuju kearah mereka. Memperhatikan gerak gerik apakah mencurigakan atau tidak. “Ini sudah satu jam, waktumu pulang, kan??” “Hm???” kaget Claude –secara keren- ketika angan angannya dihempaskan oleh suara halus dari manusia dihadapannya. “kau hanya memiliki waktu satu jam, kan?? Waktu kita sudah habis” “Ah..” mengerti arah pembicarannya, kedua bangsawan itu menggerakkan tangannya dengan gesture agar ‘orang orang’ mereka segera menghampiri. “ternyata benar apa yang dikatakan orang lain” “Mereka berkata apa??” kekeh Claude pelan. “Katanya, kau benar benar hidup sesuai jadwal yang sudah ada” senyum gadis itu masih sama, namun Claude bisa menangkap jelas bahwa ada sorot sedih –lebih ke kasihan- di matanya. “tak lelah??” tanya gadis itu lagi. Enggan menjawab, dengan sopan Claude meminta lengan sang gadis untuk ia rangkul. Keduanya pergi dari sana dengan puluhan mata orang di sisi barat resturant –ya, sisi kiri bahkan sudah dengan hebohnya disewa oleh tuan Ernst demi kenyamanan keduanya dan apabila ada pembicaraan rahasia, sedangkan sisi barat penuh dengan orang biasa yang menyantap makan siang mereka- menuju halaman depan dimana mobil keduanya sudah terparkir. “Senang bertemu denganmu hari ini, nona” “Senang juga bertemu denganmu hari ini, yang mulia” ucap gadis tadi sembari pamit memasuki mobilnya lebih dahulu. Ketika mobil tersebut mulai hilang dari pandangannya, barulah ia memasuki mobil yang sedari tadi pintunya sudah dibukakan oleh sang supir untuk dirinya. Helaan nafas berat muncul satu detik setelah b****g yang mulia raja Claude Zevane menempel pada kursi mobil yang empuk itu, membuat Victor yang duduk didepan bersama supir meliriknya dari kaca spion untuk memastikan keadaannya. “Kau baik baik saja, yang mulia??” tanya singkat. “Hahhh.. aku lelah sekali” racaunya asal yang malah membuat Victor ingin memutar bola matanya malas. Jika saat itu mereka hanya berdua tanpa adanya supir, sudah dipastikan Claude akan menjadi bulan bulanan dari ucapan kasar pengawal sekaligus teman kecilnya itu. Tapi ia tahu diri, bahwa statusnya disini tak lebih dari sekedar kacung dimata negara mereka. Jadi untuk saat ini, mari bersikap profesional. “Ingin mampir sejenak dan membeli kopi, yang mulia??” “Tak perlu” ucapnya masih dengan nada malas. Ia memang sudah merasa kembung karena kebanyakan minum di acara makan siang aneh tadi. Bingung ingin melakukan apa, yang ia lakukan hanyalah minum dan minum terus meskipun gadis anggun dihadapannya hanya terdiam dan menatap panggung musik. “Tolong berputar ya, pak supir?? Melewati area ramai perbelanjaan itu. Aku akan melakukan window shoping sejenak sebelum kembali menatap berkas berkas” Window Shopping sendiri adalah istilah yang digunakan orang orang hanya untuk melihat lihat barang yang dipajang di berbagai macam pertokoan tanpa adanya niat untuk membeli. Sedikit memanjakan mata dengan berbagai macam bentuk benda dan warna sebelum matanya kembali fokus pada kertas kertas formal dan tulisan berderet bak semut. Namun, bukannya benar benar melakukan window shopping, pikiran pria yang hampir berkepala tiga itu berkelana kemana mana. Ia malah menjadi bertanya tanya pada dirinya sendiri, apakah dahulu sang ibu pun sama kerepotan dan kelelahan ketika mengurusnya dan mengurus negara sekaligus?? Belum lagi mengurus ayahnya yang jika sudah memasuki jam jam keluarga, dia akan bertransformasi dari raja penuh etika dan tegas menjadi sosok manja dan tak ingin ditinggalkan. Benar benar seperti anak kecil. Tapi sang ibu bukannya kesal, malah tertawa lucu dan ikut bermain peran dengan ayahnya seakan dua duanya adalah anak taman kanak kanak. Anak kecil pun banyak yang berimajinasi sebagai orang dewasa, kenapa orang dewasa malah kembali menjadi anak kecil?? Mungkin jawabannya karena orang dewasa ini sudah lelah dengan kehidupan mereka, dan ingin kembali menjadi anak kecil saja. Anak kecil polos yang tak tahu apa apa dan bisa bermain dengan riang meskipun terkadang menggerutu mengenai pelajaran. Dan karena itulah, ketika sang ibu menghembuskan nafas terakhirnya, sang ayah yang dipandang sebagai raja paling tahan banting menangis sejadi jadinya dihadapan rakyat mereka. Didepan peti mati sang ibu tak peduli dengan hujan deras dan petir yang menyambar dengan sangat kencang. Bahkan, saking kencangnya, semua orang melepaskan payung mereka karena takut tersambar listrik, juga sebagai bentuk kesedihan bersama dengan sang raja mengenai hilangnya sosok ratu paling lembut dalam ingatan mereka. Hari itu, adalah hari tersedih menurut para rakyat, yang mungkin akan tercatat dalam sejarah suatu hari nanti. Jika dengan menjadi ratu memiliki beban seberat itu dan tak semua orang akan mau dan sanggup melakukannya, kenapa sang ayah terus terusan memaksanya untuk melakukan pernikahan?? Apakah anak menjadi satu satunya alasan agar kelak, ketika dirinya nanti sudah tak sanggup, ia harus memberikan tahta itu pada anaknya?? Bagaimana jika dilakukan pemilu?? Bukankah banyak orang baik baik saja disana meskipun tak memiliki darah kerajaan?? Bahkan siapa yang bisa memastikan jika anak cucu mereka nanti akan tetap menjadi orang baik seperti pendahulu pendahulunya?? Tapi hahhhh.. disisi lain, pria itu menyadari betapa pentingnya garis keturunan. Orang orang yang sudah dididik akan menjadi raja sejak kecil, mungkin akan lebih lihai nantinya jika menjabat. Karena jika anak anak kecil lain benar benar bebas, para bangsawan menjejali anak mereka dengan berbagai macam hal yang sejujurnya belum mereka tahu. Namun bedanya, ada anak yang tetap senang, dan ada juga yang tak kuat hingga mental polosnya terganggu. Claude ingat jelas dahulu ia senang senang saja belajar banyak hal –kecuali pr yang menumpuk, huh!!-, jadi ketika beranjak dewasa, memang dirinya lebih mengerti tentang hal hal diplomatik dibandingkan orang lainnya. Eh??? Ketika otaknya sibuk membuat kilas balik dirinya di masa kecil, matanya tak sengaja bertatapan dengan seorang bocah yang ia kenal dengan jelas itu siapa. “Aiden??”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN