Chapter 5

1957 Kata
Segala berkat dan kemuliaan untuk seluruh rakyat Aristides. Yang mulia raja kami. Wahai dirimu yang amat sangat diagungkan. Hm.. berbagai macam ucapan keagungan atau pukauan sedikitnya membuat pria jangkung yang satu ini melupakan bahwa sejatinya ia hanyalah paman paman biasa bagi bocah yang tak tahu apapun tentang dirinya. Entah apa yang dibicarakan oleh para orang tua di negeri tercintanya ini, atau tak tahu sebesar apa pengaruh namanya hingga biasanya para orang tua sudah menjejalkan anak mereka untuk memanggilnya dengan sebutan ‘yang mulia’ ketika tak sengaja bertemu dan disapa atau menyapa. Bertahun tahun menjabat title berat dan tak pernah lagi dipanggil menggunakan nama, membuat pria yang lahir dengan nama Claudius Zevane ini kini terkikik kecil ketika lagi dan lagi ingatannya tertuju pada panggilan paman raja dari bocah yang ia selamatkan beberapa menit yang lalu. Sebenarnya... menyelamatkan merupakan kata yang terlalu berlebihan. Pasalnya, bocah yang satu itu sama sekali tak menunjukkan bahwa dirinya membutuhkan pertolongan dengan sikap yang ia tunjukkan. Tapi orang dewasa normal mana yang akan diam saja ketika melihat anak anak kecil saling meriksak satu sama lain. “...ada yang lucu, paman??” suara dengan sarat bingung membawa pria diumur yang kedua puluh sembilannya itu masuk kembali kealam nyata setelah sempat beberapa menit terus mentertawai apa yang sebenarnya tidak lucu itu. Tawanya memang berhenti, namun senyum masih terpasang apik sembari mengelus kepala manusia mungil yang ada di sampingnya itu. “Kau sudah percaya bahwa aku seorang raja??” ini bukannya untuk membangkitkan jiwa narsisme Claude, namun seingatnya, dipertemuan terakhir mereka berdua, bocah itu langsung berlarian ketakutan ketika Claude dan Victor –sang tangan kanan sekaligus pengawalnya- sudah membuka pintu mobilnya. Yang ada di pikiran bocah itu, keduanya tak lebih dari orang asing menakutkan yang selalu diwanti wanti ibunya agar dia terus menjaga dirinya sendiri saat sang ibu tak ada didekatnya. Ironis bukan? Seharusnya, diumurnya yang masih sebegini muda, ia masih harus mengetahui hal hal yang indah saja mengenai dunia ini. Namun dunia memang dalam faktanya tak seindah itu. Dengan keadaan dimana ia anak dari seorang ibu tunggal yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keduanya, mau tak mau bocah berumur tujuh tahun ini sudah diberikan peringatan dan beberapa jenis self defense untuk menjaga dirinya sendiri. “Ya. Sepulang dari sekolah saat itu, aku beranjak kepada bibi agar ia membiarkanku menelusuri internet dan mencari tahu siapa itu paman raja. Mesin pencarian pun menunjukkan bahwa wajah raja adalah wajah paman. Jadi saat itu, paman tak berbohong, maafkan aku” ujarnya dengan nada menciut di akhir. “Eh?? Aku tidak terlalu meminta maaf sih-“ lanjutnya lagi “-mama selalu berkata siapapun bisa bertindak jahat kepada kita. Berarti paman raja pun begitu” “Ibumu berkata seperti itu??” “Ngg.” Gumamnya sembari mengangguk. “Mama berkata bahwa ada banyaakkk sekali orang baik di dunia ini, tapi tak memungkinkan bahwa tak adanya orang jahat diantara para orang orang baik. Jadi aku harus bisa menjaga diriku sendiri. Jika nanti sudah besar, aku ingin menjadi lebih pintar dan kuat agar turut bisa menjaga mamaku” ujarnya polos namun penuh dengan kesungguh sungguhan didalam nada suaranya. Yang sontak saja membuat Claude dan Victor –yang tentu saja akan terus berada di sisi sang raja- bingung harus kagum atau sedih. “Apa yang diucapkan ibumu benar, nak” ucap Claude masih terus mengelus rambut hitam legamnya. “Omong omong, paman belum mengetahui namamu” Membulatkan bibir kecilnya dengan mata yang sedikit membelalak terkejut, lagi dan lagi bocah yang satu itu menggumamkan maaf karena merasa tak sopan terhadap orang nomor satu di negara mereka. “Namaku Aiden Aldebaran. Paman paman bisa memanggilku Aiden” ucapnya dengan riang. “Aiden” “Ya, paman raja??” “Aiden tadi tak apa??” tanya Claude dengan sorot mata khawatir, yang malah dibalas dengan kerjapan polos dari orang yang ditanya. “Apanya yang kenapa??” tanyanya dengan bingung. “Bukankah tadi Aiden dinakali oleh teman teman Aiden??” “Ah...” bocah itu tersenyum tipis mendengarnya. “aku.. tak tahu apakah mereka bisa disebut nakal atau tidak” ujarnya sembari mengangkat bahunya acuh. “mereka terlihat seperti tidak bersenang senang” “Jadi maksudmu, kau membiarkan mereka bersenang senang dengan membuatmu terluka??” kerutan di dahi Victor semakin terlihat. “aku tidak terluka” jawab bocah itu masih sama acuhnya. “Aku tahu diriku sendiri kok. Jika mereka memang sudah mulai menyakiti diriku, maka aku akan melawan, tentu saja. Sejauh ini, mereka hanya menggangguku. Aku biarkan saja karena kasihan terhadap mereka” Claude yang mendengarnya ikut ikutan bingung. Lagi pula, apa yang perlu dikasihani dengan bocah berpakaian necis dan mengganggunya? Namun, bak bisa mendengar suara hati kedua paman paman yang ada di sekelilingnya, Aiden kembali membuka suaranya. “Sering kali aku mendengar mereka menangis kepada pengasuh atau orang tua mereka, bahwa mereka ingin bermain. Yang mereka lakukan sehari hari hanyalah sekolah, belajar, les ini dan itu. Kurasa ketika jam istirahat seperti tadi, adalah satu satunya saat dimana mereka bisa bebas bertindak” Ah... keduanya mulai mengerti kemana arah pembicaraan saat ini. “Aiden, paman ingin bertanya” “Ya, paman??” “Aiden suka kasihan tidak, jika melihat ada orang jahat??” Yang ditanya terlihat mengetuk ketukan dagunya dengan telunjuk mini, yang malah membuat Claude ingin mengigitnya dengan gemas. “Aku pernah sesekali melihat di televisi cafe milik bibi, dimana para paman dan bibi penjahat yang dihukum. Sejujurnya, terkadang aku kasihan” “Aiden kasihan pada penjahat??” “ng...sedikit???” bingung sembari terkikik diujung kalimat. “aku terkadang berpikir, bahwa apa yang membuat mereka bisa melakukan hal jahat seperti itu. Lalu aku bertanya pada mama. Mama berkata, ada beberapa tipe orang jahat di dunia ini. Orang jahat yang memang jahat tanpa alasan, dan orang jahat dengan berbagai macam alasan kuat dibelakangnya. Alasannya pun berbeda beda, alasan yang baik atau buruk. Aku baru tahu loh, paman, bahwa ada orang jahat dengan alasan baik dibelakangnya” ujarnya dengan mata yang berbinar binar menjelaskan. “jadi, ketika aku melihat televisi, aku berpikir mengenai apa kemungkinan alasan mereka melakukan kejahatan itu. Pun begitu dengan teman teman yang tadi” lanjut Aiden kembali ke awal pembahasan. “Mungkin alasan mereka melakukan hal tersebut hanya untuk melampiaskan keinginan terpendam mereka padaku, namun dengan cara yang salah. Selama aku tak merasa amat dilukai, aku tak apa” Lagi. Lagi dan lagi kedua pria dewasa disana bingung harus merasakan kagum atau sedih. Sedih dimana artinya bocah ini sudah mengalami hal tersebut cukup lama dan tanpa sadar berpikir bahwa ia pantas untuk menjadi tempat pelampiasan. “Aiden..” suara Claude kembali terdengar. “Jika Aiden tidak berujar kepada mereka, bahwa apa yang mereka lakukan itu tak baik, apapun alasannya, maka mereka akan terus berpikir bahwa apa yang dilakukan adalah hal yang normal atau benar. Takutnya, mereka akan terbiasa dengan hal hal jahat seperti tadi lalu melakukan kejahatan yang lebih parah. Aiden tak mau ‘kan teman Aiden dihukum seperti paman dan bibi penjahat di televisi??” “...tidak” jawabnya dengan suara mengecil dan wajah terlihat jelas bahwa ia sedang berpikir keras. “Maka dari itu, Aiden harus berkata bahwa mereka melakukan hal yang salah, ya?? Oke?? Janji pada paman??” “Ngg.. aku tidak dapat berjanji, tapi akan kuusahakan” ucapnya dengan serius ala orang dewasa yang malah memancing gelak tawa dari kedua orang dewasa disana. “Memangnya guru guru tidak ada yang tahu perihal ini??” tanya Victor yang tentu saja masih penasaran. Sekolah sebagus ini amat sangat tak mungkin kurang pantauan dari puluhan guru yang bergantian mengajar, belum lagi para staff yang akan terus mondar mandir selama sekolah belum ditutup saat sore hari. Mendengar pertanyaan itu, lantas kilas balik masa lalu seakan masuk kedalam otaknya. Dimana saat itu, teman satu satunya, teman paling dekat dengannya sudah muak melihat dirinya diperlakukan sedemikian rupa oleh orang lain. Ia dengan wajah sebal dan air mata yang membasahi pipi –ya, Aiden yang ditindas namun temannya yang sering menangis karena tak tega- melapor kepada banyak guru mengenai hal tersebut. Namun yang kedua anak polos ini dapatkan hanyalah kalimat kalimat berupa ‘hal tersebut hanyalah candaan’ ‘maafkan mereka’ ‘dengan teman harus saling memafkan’ dan sebagainya. Sang ibupun –Airin bukannya tak tahu mengenai hal ini. Temannya mengadu pada orang tuanya, dan orang tuanya kembali mengadu kepada Airin. Akhirnya, kedua orang tua itu memutuskan datang kesekolah. Nyatanya, bukannya para guru menormalisasikan hal ini. Orang tua dari oknum oknum pembuli adalah orang tua dengan donasi paling tinggi disekolah ini. Sekolah swasta tanpa bantuan kucuran dana pemerintah seperti ini amat sangat bergantung kepada orang tua murid dengan uang yang berlebih itu, jadi mau tak mau, mereka seakan harus menutup mata. Meskipun orang tua dari temannya Aiden salah satu orang yang lahir dengan sendok emas dimulut, tentu saja tak dapat menyaingi ekonomi dari belasan orang tua secara sekaligus. Jadi yang keduanya lakukan sejauh apapun, sialnya akan kalah ketika semua orang yang mereka lawan mengeluarkan uang. Aiden masih terus terdiam. Masih belum ingin menjawab pertanyaan dari kedua orang dewasa ini karena takutnya ia salah ucap yang malah mengakibatkan masalah ini semakin panjang. Berbanding terbalik dengan Aiden yang masih berpikir, Claude malah salah fokus hingga akhirnya memandangi wajah bocah yang satu itu dengan lamat lamat. Kesan pertama yang ia dapat ketika keduanya tak sengaja bertemu di halte saat hujan deras adalah bocah ini tangguh. Bagaimana ia tak menangis atau panik ketika basah kuyub dan berkata bahwa sekolahnya masih jauh sedangkan ia tak memegang uang. Bagaimana ia berani menjulurkan kepalan tangannya karena merasa bahwa ia dan si pengawal adalah orang berbahaya. Bagaimana cara berpikirnya hingga ia dengan santai memaafkan- dan malah mengasihani orang orang yang menyakiti dirinya. Sosok yang memegang tahta itu bahkan sedikit tak percaya bahwa orang dihadapannya ini masih ada di usia sekolah dasar awal. Wajahnya tampan. Dengan gigi yang rapih, rambut hitam legam tebal, bola mata hitam jernih dan senyum manis yang ia miliki. Entah kenapa membuat Claude jadi berandai andai jikalau ia memiliki anak seperti ini, apakah hidupnya yang selama ini datar akan menjadi berwarna?? Ugh.. omong omomg anak. Ia jadi mengingat ucapan sang ayah alias mantan raja yang terus terusan membuatnya kencan buta hanya untuk mendapatkan pasangan hidup. “Ng.. paman akan terus membuatku diam disini??” konklusi akhirnya adalah, Aiden enggan menjawab pertanyaan terakhir yang dilontarkan oleh pria yang ada disampingnya. “Sepertinya beberapa menit lagi waktu istirahatku sudah selesai. Aku harus kembali ke kelas untuk menerima pelajaran” ucapnya dengan senyum simpul manis yang tanpa sadar membuat Claude sebal karena waktu mengapa berjalan sebegitu cepatnya. “Baiklah... baiklah... anak rajin” gemasnya memencet kedua pipi Aiden menggunakan satu tangan saja. “Jika nanti kita bertemu lagi, Aiden berhutang banyak cerita, loh, kepada paman” “Aku rasa, aku tak harus menceritakan segala hal kepada orang asing, meskipun paman adalah raja, hehe” “Hmm??? Pintar sekali ajaran ibumu???” gemas Aiden yang kini malah memainkan wajah Aiden dengan cara meremat remat gemas. “Pokoknya, jika nanti kita bertemu lagi. Kau harus menyapa paman, oke???” “Aku tidak berjanji~~ Hahahahha” dengan tawa jenaka, Aiden bangkit dari duduknya dari berlari menuju koridor dimana kelasnya berada. Aduh.. rasanya hati Claude tak sanggup untuk berpisah dengan bocah manis menggemaskan itu. Otaknya sudah mulai membuat rencana jahat dimana ia diam diam akan pergi tanpa sepengetahuan Victor jika ada waktu luang, untuk mencari Aiden. Ah, omong omong. Beruntung sekali jadwal kunjungannya kali ini adalah mengunjungi sekolah elite tersebut. Dari sinilah ia bisa bertemu kembali dan mendengar banyak hal dari Aiden. Hm.. siapa ya yang membuat jadwal ini. Sepertinya Victor. Ya.. kalian mungkin bertanya tanya apa pekerjaan sebenarnya yang dilakukan pria itu. Terkadang manager, supir, pembawa kantung belanjanya. PADAHAL seharusnya yang ia lakukan hanyalah mengawal yang mulia agar selalu terbebas dari ancaman bahaya. “Victor, kau pintar sekali. Kemari, akan kutepuk kepalamu” “?????????”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN