Chapter 4

1285 Kata
Jika ada yang bertanya, apakah bocah yang satu ini sering memiliki pikiran pikiran buruk yang terlintas di kepalanya, jawabannya adalah sama sekali tidak. Tak peduli apa yang diucapkan oleh orang lain, tak peduli apa yang dilakukan orang lain padanya, tak peduli apapun yang ia rasakan, ia sama sekali tak memiliki niat buruk terhadap dirinya sendiri –dan orang lain. Pernah ada sebuah pepatah yang berkata, jika seseorang sudah terlahir kembali berkali kali, maka alam bawah sadarnya langsung memberi peringatan tanpa disadari terhadap si tubuh dan otak untuk berpikiran lebih bijak dibandingkan dengan orang orang yang baru pertama kali terlahir. Untuk kasus bocah yang satu ini, entah ini sudah reinkarnasi keberapa untuknya karena dari cara berpikir dan bicara, ia jauh terlihat lebih dewasa dibandingkan teman temannya yang lain. Bahkan orang tua dari teman temannya. Belum ada yang bisa memastikan atau memberi bukti yang amat sangat jelas mengenai fenomena terlahirkan kembali itu. Namun, jika memang nanti sudah terbukti, maka orang orang yang mengenal anak satu ini akan yakin seratus persen bahwa ini bukan kehidupan pertamanya. Untuk subjek yang dibicarakan sendiri, ia malah merasa bersyukur karena jika memang ia terlahirkan kembali, ia lahir dari dekapan seorang ibu yang amat ia sayangi dan menyayanginya. Namanya Aiden Aldebaran. Sosok bocah berumur tujuh tahun yang baru saja menginjakkan dirinya di bangku tahun pertama sekolah dasar. Memiliki nama belakang Aldebaran karena itulah rasi bintang taurus paling terang dilangit. Menurut sang ibu, dirinya lahir ketika si ibu merasa diselimuti gelap yang amat sangat, lalu dirinya muncul bagai sinar bintang paling terang malam itu. Aiden yang kini berjongkok memunguti nasi nasi dan lauk yang sudah berserakan di lantai, sembari tetap sabar seperti dirinya yang biasa. Aiden yang kini membawa kembali nampan makanan yang tadinya akan ia santap, menuju dapur umum dimana para staff dapur akan mencuci bekas murid yang telah digunakan. Sepertinya, dari mulai siang ini, ia harus menahan laparnya dengan air mineral saja sampai ibunya pulang bekerja nanti. Mau bagaimana lagi. “Bagaimana bisa anak tak jelas identitas orang tuanya dan sangat miskin itu bersekolah disini???” “Kurasa karena orang tuanya berteman dengan orang tua salah satu anak yang satu kelas dengannya. Ituloh, anak dengan tinggi diatas rata rata dan jago bermain musik” “Aduh.. kenapa juga keluarga terpandang seperti mereka mau berteman dengan orang orang seperti itu. Dengan mereka ada di satu lingkungan yang sama dengan kita, bisa jadi seluruh penghuni sekolahan ini akan dianggap jauh lebih rendah levelnya karena berani menerima anak orang miskin seperti itu” Bisik bisik dan keluh yang masuk ke indra pendengarannya sama sekali tak digubris oleh Aiden. Dia malah masih dengan senyum tipis di bibirnya menunduk sopan ketika melewati para orang tua, dan memasuki kelasnya yang masih kosong melompong. Tentu saja, karena para murid lainnya masih ada di kafetaria sekolah untuk mendapatkan makanan masing masing. Inilah mengapa tadi aku menyebutkan bahwa Aiden bahkan bisa lebih dewasa dibandingkan orang tua para murid. Memang, dahulu Aiden sempat bingung dan bertanya tanya mengapa ia diperlakukan berbeda hanya karena miskin- padahal dahulu tempat penitipan anak yang sering ia kunjungi ketika ibunya bekerja bukanlah tempat elite seperti sekolahnya ini. Kini, dengan lingkungan yang lebih elite, bukannya semakin merasa terbelakang, Aiden menjadi salah satu orang yang sedikit lebih maju dibandingkan yang lainnya dengan hanya bermodalkan otak yang diwariskan orang tuanya. Sekolahnya ini memanglah sekolah elite, dimana hanya orang orang kelebihan uang dan tahta saja yang bisa memasukkan anak mereka kedalam sana. Sekolah yang dibuat pihak swasta sehingga memang negara tak memiliki andil apapun untuk merecokkan sistem penerimaan siswa disana. Sekolah yang bayarannya dalam sebulan, jika dihitung hitung tak dapat dibayarkan oleh gaji Airen selama satu tahun. Sekolah dimana segala fasilitas terbaik memang ada disana, hingga asupan sehat pun harus ada demi menjaga stamina dan imun para murid agar terus berkembang secara optimal. Jangan lupakan psikolog anak yang ditugaskan khusus untuk sekolah itu demi memantau laju mental murid muridnya. Dari mana Airen bisa menyekolahkan Aiden kesana?? Beasiswa?? Hahahaa.. jangan membuat ibu satu anak itu tertawa. Entah bagaimana konsepnya, namun sekolah ini sama sekali tak menawarkan beasiswa kepada orang orang kurang mampu namun memiliki otak cermerlang. Toh, mereka menganggap ini masihlah sekolah dasar, dimana semua yang masuk tingkat ilmunya masih sama dan tak bisa dibandingkan. Kecuali- jika ada seseorang yang membayar mahal untuk sekolah ini, misalnya pembangunan, atau membangun ruangan khusus anaknya yang nanti setelah anaknya lulus bisa menjadi milik sekolah, atau membayar langsung kepada si pemilik sekolah, maka mereka bisa memberikan ‘surat kuasa’ bahwa si anak memang masuk kesana menggunakan beasiswa. Kau tahu.. seperti... untuk meningkatkan portofolio hidup sang anak. Sayang sekali, anak sekecil itu, skenario hidupnya sudah diatur sedemikian rupa oleh orang tuanya hingga dewasa. Memang benar apa yang dibicarakan oleh tante tante berisik tadi, bahwa Aiden berhasil bersekolah disana karena sang ibu berteman dengan seseorang yang amat sangat kaya raya. Seseorang yang menyayangi bocah itu bak anak atau keponakannya sendiri. Seseorang yang juga ikut mengamati tumbuh kembangnya sedari ia lahir. Seseorang yang melahirkan anak lelaki tinggi tampan yang kini menjadi orang yang satu satunya mau berteman dengannya. Hahh.. kasihan sekali temannya itu. Sehabis bermain ke taman di area gunung kemarin bersama sang ayah, ia terserang demam berdarah yang membuatnya sudah ada di rumah sakit untuk dirawat beberapa bulan kebelakang. Yang mana artinya, Aiden benar benar sendirian karena temannya tak ada. Omong omong, jika teman berisiknya itu tahu bahwa ia di riksak saat si teman tak ada, pasti ia akan diomeli habis habisan. Ugh.. membayangkannya saja membuat Aiden merinding. Memang bagus keputusannya untuk tidak bercerita hal ini kepada siapapun. Ya. Siapapun termasuk ibunya. Ibunya itu.. meskipun terlihat galak, ia sebenarnya orang yang sangat khawatiran dengan hati yang lembut. Aiden tak ingin membuat orang yang ia sayangi khawatir karena dirinya. Belum sempat kakinya berhasil melangkah masuk kedalam kelas, Aiden naasnya sudah lebih dahulu jatuh akibat dijegal oleh temannya yang berbondong bondong berlari kearahnya. Entah secepat apa mereka makan atau mereka membuang makanan sehat dan enak tadi –ya, mereka akan dengan mudah tak peduli dengan makanan kantin karena terbiasa dengan makanan mewah seumur hidupnya- dan lebih memilih untuk mengganggu Aiden disela sela jam istirahat mereka. ‘”Teman teman, bisakah kalian tidak menggangguku??” ucap Aiden pelan sembari mencoba bangkit meskipun luka yang ada di lututnya terlihat sedikit mengeluarkan darah. “JANGAN MEMANGGILKU TEMANMU!!” pekikan khas anak kecil terdengar dari salah satu bocah yang mengelilinginya. “Ibuku berkata, bahwa kita harus memilih teman. Karena teman bisa mencerminkan seperti apa kita. Ihh.. aku jijik jika harus berteman denganmu” ucap bocah lainnya yang memancing tawa cempreng dari banyak bocah bocah lainnya. Entah sang ibu yang salah menjelaskan, atau memang ada tipe ibu dengan mulut seperti itu di dunia ini. Inilah sebabnya Airin terkadang terdiam lebih dahulu sebelum menjawab buncahan pertanyaan yang keluar ari mulut putranya. Ia tak ingin bahwa putranya mengingat hal buruk dari mulutnya, yang tanpa sadar membuat karakter tertentu di diri si anak. Menghela nafas sabar, Aiden masih mencoba sedikit tersenyum untuk meredakan keadaan. “Ya, aku tak akan menjadi teman kalian, jadi bisakah kalian tak menggangguku??” “Berani sekali kau memerintah, orang miskin” salah seorang bocah gendut mendorongnya hingga terjatuh lagi. Kini dengan sedikit benturan di kepalanya –yang tidak sakit, namun membuatnya cukup pusing-. Haruskah Aiden kesal?? Bolehkah Aiden berucap marah marah?? Ah.. tapi ia yakin bahwa ibunya tak akan suka dengannya jika ia bersikap jahat seperti itu. Tanpa sadar, kebiasaan Airin yang memiliki jeda waktu berpikir ketika bercakap cakap ditularkan pula kepada Aiden. Bocah itu acap kali diam selama beberapa detik untuk memikirkan apakah kalimat yang ia keluarkan selanjutnya sudah benar atau belum. Belum sempat Aiden balik bicara, matanya menangkap dua sosok pria asing tapi sedikit familiar yang muncul bergerak kearahnya dengan raut wajah yang tak dapat dimengerti. “....paman raja??”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN