Chapter 9

1104 Kata
“Kami pulangggg” sapa keduanya kepada rumah kosong dengan lampu yang masih mati dan hawa sedikit dingin akibat ditinggal si pemilik rumah selama beberapa jam. Ini memang kebiasaan keduanya. Selalu bicara bahwa keduanya pulang ketika sampai rumah, meskipun tak ada sipapun didalam sana. Membuat keduanya merasa bahwa tempat yang kini mereka pijaki adalah rumah untuk mereka berpulang. Meskipun... akan sangat menyeramkan jika ada yang menyahuti mereka dalam kondisi rumah kosong. Selesai menaruh sandal dan sepatu masing masing di rak sepatu mungil belakang pintu, keduanya lekas menggunakan sandal rumah biasa dan memasuki kamar keduanya untuk menaruh tas. Rumah ini memang rumah kecil. Sebuah apartement di lingkungan sempit sedikit kumuh dengan kondisi satu kamar sempit pula. Di apartement murah itu, selain satu kamar, setidaknya mereka mendapati kamar mandi mungil dan sedikit space untuk sang ibu menaruh beberapa peralatan memasaknya agar tidak heboh menghambur hamburkan uang hanya untuk makan diluar setiap harinya. “Aiden, jika belum ingin mandi sore, cuci mukamu lebih dahulu” titah Airina yang kini lebih memilih untuk menata beberapa belanjaan untuk kebutuhan pangan mereka selama kurang lebih seminggu. Ini memang masih siang. Hanya dua jam berlalu dari jam makan siang biasanya. Aiden terbiasa mandi sore hari ketika hari sudah mulai menampilkan jingganya, tidak langsung mandi ketika ia sampai dirumah sehabis dari luar. Bocah yang satu itu merasa bahwa ia merasa akan tidur jauh lebih bersih jika mandi benar benar sore hari. Karena sehabis mandi, yang ia lakukan hanya belajar dikamarnya sampai jam tidur tiba. Hal ini tak berbeda jauh dengan apa yang sehari hari Airina lakukan. Jika ia libur bekerja atau sudah ada dirumah ketika matahari masih tinggi, ia tetap akan lebih memilih untuk mandi ketika petang saja. Memang tadi, setelah Airin tergopoh gopoh membawa anaknya pulang menggunakan bus meksipun mereka belum selesai dengan tujuannya kesana hari itu, kedua sempat berhenti di sebuah pedagang kaki lima milik nenek tua yang berjualan beberapa jenis sayur. Seharusnya, tadi setelah Airina mengantar Aiden membeli buku, ia akan pergi ke pasar tradisional saja untuk membeli bahan pangan yang ia perlukan. Huh, ini semua karena pria aneh berstatus raja itu. Jadinya, setelah ia turun dari bus, keduanya mampir membeli dagangan nenek itu sebelum kembali berjalan pulang menuju area rumah mereka. Mendengar kucuran air dari dalam kamar mandi, Airin mengeluarkan beberapa barang dan memasukkannya kedalam kulkas kecil tua yang ia beli dari tukang loak beberapa tahun yang lalu. Sebuah kulkas yang sebenarnya saat ia beli memang kondisinya tak serusak itu hingga masih bisa digunakan beberapa tahun lagi, hanya saja memang sudah tak terlalu dingin dan karat di beberapa bagian sudah banyak yang nampak. Sama sekali tak masalah bagi keduanya. Membuat makanan mereka tahan lama saja sudah cukup. Selesai dengan beberapa bahan yang bisa dicuci dan langsung dimasukkan ke kulkas, kini ia berkutat dengan beberapa jenis bahan yang harus dikupas lebih dahulu sebelum masuk kulkas. Seperti bawang bawangan hingga cabai yang lebih baik dibuang dahulu kulit dan batangnya lalu dimasukkan di satu wadah dengan tisue yang mengelilingi wadah, membuat lembab tak mempercepat kebusukan barang berharga itu. Aiden, disisi lain tengah menggunakan bandana milik ibunya agar air tak membasahi poni depannya. Mencuci mukanya menggunakan air dingin kemudian mengambil sikat gigi dan mulai membersihkan giginya. Dahulu, Aiden sempat menangis dan bertanya pada sang ibu mengapa dirinya tak diperbolehkan memakan makanan manis seperti temannya. Saat itu ia pikir, jika alasan ibunya adalah karena uang, toh ia tidak meminta banyak. Mungkin satu buah jajanan setiap bulannya pun tak apa. Namun ternyata, itu semua dilarang karena dahulu ia sama sekali susah disuruh untuk membersihkan gigi. Aiden dahulu merasa bahwa pasta gigi berasa aneh –meskipun itu pasta gigi anak anak- dan membuatnya malas gosok gigi. Saat itu, dia barulah tahu bahwa ibunya tak akan mau memberikannya jajanan manis jika ia masih keras kepala enggan memberihkan giginya sendiri. Jika giginya rusak, maka pilihannya hanya dua. Membiarkan seluruh giginya membusuk atau membuang banyak uang untuk kedokter gigi. Dari sanalah bocah yang satu itu akhirnya terbiasa menggosok giginya rutin demi bisa jajan tanpa harus mengeluarkan banyak uang ke dokter gigi. “Ada yang ingin kubantu, mama?” Aiden dengan wajah yang masih basah datang menghampiri sang ibu yang terlihat masih memisahkan sampah rumah tangga dengan sampah plastik atau kertas di tempat yang berbeda. “Tak apa, mama sebentar lagi selesai” jawab Airina. Yang jauh lebih muda mengangguk mengerti dan duduk di salah satu kursi plastik tak jauh dari sana, memperhatikannya dalam diam yang malah membuat si ibu melirik kearahnya dengan bingung. “Kenapa hmm sayangnya mama?? Aiden marah pada mama karena mama sakit jadi kau tak bisa membeli buku??” “Sejak kapan aku protes jika mama sakit!!!” keluh Aiden dengan mulut yang sedikit memaju. “Aku tuh khawatir tahu” ujarnya lagi yang malah memancing tawa renyah dari bibir perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu. “Aku.. apa ya...” Aiden malah bingung sendiri harus merangkai kata yang seperti apa. “Aku hanya bingung” ucapnya. “Bingung??” “Mama memang galak, tapi mama tak biasanya kasar terhadap orang asing di detik pertama mama bertemu” ungkap Aiden terang terangan. Subjek yang tengah dijadikan bahan pembicaraan menghentikan gerak tangannya dan langsung termenung berpikir apakah benar yang ia lakukan tadi seperti itu?? Tunggu dulu, memang biasanya dia bagaimana?? “Mama galak hanya kepada orang jahat. Jika kepada orang biasa, mama selalu memasang wajah seperti mama saat bekerja kok” mendengarnya, Airina jadi bingung sendiri dengan anaknya ini. Sudah berapa ribu kali ia dibuat tercengang dengan sisi anaknya yang terus terbuka hari demi harinya. Padahal ini baru tujuh tahun. Entah kejutan macam apa lagi yang akan ia dapatkan semasa Aiden hidup nantinya. Memikirkannya saja membuat ia girang tak tertolong. “Entah lah” jawab Airina sekenanya. “mama juga bingung kenapa mama seperti itu” Airina memang galak, tapi ia hanya galak pada orang jahat dan orang orang yang dirasanya menyusahkan dirinya. Airina tidak sekasar itu hingga langsung membenci orang yang baru ia temui. Ya.. meskipun terkadang hidup dengan wajah yang tercetak sudah galak membuatnya sering mengalami banyak masalah akibat orang salah pamah padanya. Dan benar apa yang dikatakan anaknya tadi. Airina selalu memasang wajah ‘bekerja’ kepada orang asing yang belum ia kenali. Wajah aslinya kepada orang orang baik yang sudah ia kenali dan wajah jijiknya kepada orang b******n yang sudah ia kenali pula. Wajah ‘bekerjanya’ ini terbentuk tak ia sadari, namun amat sangat ia syukuri keadaannya. Ini ia sebut sebagai profesional dalam menjalani hidup. “mama hanya merasa langsung tak nyaman jika kau berada dekat dengannya. Apalagi ia sok kenal begitu padamu” “Nggg??” dengung Aiden tak mengerti. “Mama hanya takut kau pergi dari mama”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN