Chapter 3

2164 Kata
“BAGAIMANA SIH, KOK KAU TIDAK TAHU APA APA” “Maafkan saya, pelanggan” “MEMANGNYA PERMINTAAN MAAFMU BISA MEMBANTUKU?? AKU INGIN BERTEMU MANAGERMU SEKARANG JUGA!!!” dengan menunduk berkali kali memohon maaf, wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu akhirnya diseret pergi oleh rekan sesama pekerjanya, sedangkan salah satu senior disana menggantikannya untuk bicara dengan pelanggan yang satu itu. Dengan senyum profesional yang dipaksakan, wanita kembali bergerak untuk menuju tempat dimana ia seharusnya berada. Menghela nafasnya kasar, akhirnya ia memutuskan untuk berjongkok dan mengambil beberapa barang yang masih tersimpan rapih didalam kardus kardus besar untuk dibawa dan dipajang di rak khusus produk tersebut. Perkenalkan, namanya Airina. Seorang gadis berusia dua puluh tujuh tahun yang sampai saat ini merupakan pekerja lapangan kasar, berbanding terbalik dengan apa yang ia impikan sejak kecil. Tidak muluk muluk, tak perlu jabatan yang tinggi atau gaji yang melimpah ruah, ia hanya membutuhkan pekerjaan membosankan dihadapan komputer dengan gaji yang rata rata saja. Ia lebih baik mati kebosanan dengan pekerjaan itu setiap tahunnya dibandingkan harus berurusan dengan manusia, apalagi yang memiliki tempramental buruk seperti tadi. Bagaimana ya... ia tidak bisa dibilang membenci manusial secara general, namun memang dirinya membenci kebanyakan manusia yang ada di bumi ini saja. Jikalau bisa meminta, mungkin dahulu ia akan bernegosiasi dengan Tuhan bahwa ia ingin diciptakan menjadi batu saja. Atau sudah?? Entahlah, dirinya sama sekali tak ingat masa masa dimana dirinya belum dilahirkan. Jika sudah, entah dia yang terlalu bodoh karena tidak melihat standar dan ketentuan yang berlakunya, atau memang Tuhanlah yang kejam padanya dengan menyembunyikan fakta bahwa jalan hidupnya akan seperti ini. Tapi.. jika mengingat bahwa ia hanyalah lulusan sekolah menengah atas yang hidup dalam kemiskinan, hidup seperti ini pun sudah bagaikan anugrah. Anugrah yang terkadang dimaki maki oleh dirinya sendiri. Pandangannya bergulir, memperhatikan bagaimana riuhnya manusia yang keluar masuk melalui pintu kaca raksasa yang dijaga oleh dua orang berpakaian putih khas disana. Memperhatikan banyaknya tipe individu dengan cara mereka menimang nimang keputusan. Bertahun tahun bekerja disana, mungkin tanpa disadarinya membuat ia bisa memilah beberapa jenis karakter, yang sebagiannya membuat ia sirik hingga ke ulu hati. Ada tipe orang yang berpikir berpuluh puluh- atau mungkin ratusan kali hanya untuk memasukkan mengambil satu buah barang, ada pula tipikal orang yang bahkan main melemparkan barangnya begitu saja tanpa melihat harga atau kualitas dari barang yang ia ambil. Tipikal orang yang membuat gadis itu sirik karena ia bahkan harus berkeliling tempat yang berbeda untuk melihat harga yang lebih murah. Hah... Tuhan. Mungkin engaku sudah bosan mendengar umatmu yang satu ini mengeluh, namun sejujurnya tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain mengeluh. Ia bukanlah pemeran utama wanita dalam film film terkenal yang akan memiliki akhir yang bahagia, atau akhirnya amat sangat mengenaskan. Ia adalah orang yang ada di tengah tengah saja, hingga tak bisa merasakan bahagia yang cukup, pun tak bisa tersedu sedu meratapi nasibnya karena banyak orang yang mungkin kini lebih parah dibandingkan dirinya. SS Market. Itulah tempat Airin bekerja saat ini. Bukan sebagai staff langsung dari supermarket ini, melainkan pegawai wanita dari perusahaan manufaktur besar yang ditempatkan langsung disana untuk melayani orang yang akan membeli barang barang yang diproduksi perusahaannya saja. Mengapa tadi kubilang pekerjaan kasar, meskipun mungkin banyak orang hanya akan berpikir bahwa seorang sales wanita hanya akan menampilkan senyum manisnya dan menawarkan produk kepada calon pembeli, jawabannya adalah mereka tidak semudah itu hidupnya. Tidak seekstrim pekerja lapangan bangunan, tentu saja, yang harus berecok dengan barang barang kotor dan keringat, jangan lupakan sinar matahari yang terik. Ia sudah cukup beruntung ditempatkan di supermarket besar yang dingin karena air conditioner, bukannya ditempatkan di ruko ruko besar pasar tradisional yang sudah dipastikan akan lebih banyak orang dan panas. Namun, mulai dari barang yang bertruk truk itu masuk ke area belakang supermarket, hingga dipajang di rak rak sesuai jenisnya, itu merupakan hal yang harus diurus seorang diri oleh para karyawan masing masing perusahaan. Pun begitu dengan Airin. Dari truk yang berjejer besar, ia dibantu supir dan pemantau barang mengeluarkan ratusan kardus besar dari dalam truk hingga sampai di teras belakang supermarket. Dari teras, ia kini berjuang sendirian untuk memasukkan ratusan kardus yang berat tiap kardusnya bervariasi itu –bisa setengah kilo hingga dua belas kilo- kedalam gudang hanya menggunakan troli yang tiap trolinya hanya bisa diisi sampai paling banyak sepuluh kardus kecil atau lima kardus besar. Dari gudang, ia harus memilah lagi mana barang yang akan dipajang di area pembeli dan memastikan apakah barang barang yang benar benar dicari pelanggan harus ada di tempatnya ketika mereka pergi ke lorong yang mereka tuju. Bukan hanya barang, laporan harian, mingguan, bulanan, laporan masuk keluar barang, barang rusak dan lain lainnya diatur oleh dirinya sendiri karena hanya ia yang ditempatkan disana oleh perusahaannya. Airina sendiri, entah harus sedih atau senang karena hal tersebut. Sedih karena rasanya setiap hari ia harus merasakan tubuhnya seakan hancur, atau senang karena ia merasa jam bekerja dengan cepat saking ia sibuk dengan urusannya sendiri. Namun, tak semua orang akan mengerti akan kesibukan gadis yang satu itu. “Kau sudah bosan bekerja, ya?” Seperti orang yang satu ini. Sang manager lapangan. Tahu bahwa akan dimaki habis habisan, gadis itu hanya terdiam dan mencoba menulikan dirinya sendiri sembari matanya tetap menatap mata sang atasan tanpa mau melepaskannya barang sedetikpun. Dirinya dari dulu selalu berpegang teguh, bahwa jika ia dalam situasi bahwa ia dirugikan, mengalihkan pandangan akan membuatnya semakin ‘kecil’ dan lemah. Dan ia sama sekali tak sudi jika harus terlihat seperti itu saat ini. “Yang pelanggan tadi tanyakan bukan bagianku. Pun jikalau aku ingin membantu, aku sama sekali tak tahu karena berbeda jauh aspeknya dengan produk yang kutawarkan. Bukan maksudku tak memperdulikannya. Aku sudah menjelaskan sejelas jelasnya, namun ia tak peduli” ujar Airin mencoba menjelaskan. “Ya siapa juga yang sudi untuk peduli dengan pegawai rendahan seperti mu” lagi. Kalimat kalimat menyakitkan seperti ini lagi. Sejujurnya, jika dipikir pikir, posisinya sekarang menjadi sales bukanlah posisi yang rendahan. Setiap perusahaan dagang maupun manufaktur tak akan berjalan dengan optimal jika tidak ada orang yang bertugas untuk menjual dan mempromosikan barang dagangan mereka. Pun, orang yang memakinya kini bahkan tak memiliki derajat atau pangkat setinggi itu untuk bisa asal mengucapkan kalimat yang tak seharusnya dilontarkan seperti tadi. “Kau bisa cari pegawai di bagian tersebut dan mengarahkan pelanggan tadi padanya” “Sudah” ucapnya sembari menahan geram dengan mencubit keras lapisan kulit antara jempol dan telunjuknya. “Sudah kulakukan, namun tak ada satupun dari mereka yang ada ditempatnya. Memangnya itu salahku??” Hampir saja panas dari hantaran sebuah tamparan pelak di pipi mengenai gadis itu. Jikalau saja tadi tak ada yang mengetuk pintu ruangan, maka mungkin Airin akan pulang dengan sedikit memar di ujung bibirnya- atau minimal merah yang bertahan cukup lama di pipi mulusnya-. “Jangan sampai kejadian ini kulaporkan pada team leadermu, jalang” “Lakukan saja” ucap Airin tak peduli. Bertahun tahun bekerja di perusahaan yang sama, bahkan enggan keluar masuk seperti rekan rekannya yang lain, Airin tahu pasti bahwa perusahaannya tak akan membiarkan karyawannya melayani orang lain yang menawarkan produk saingan. Jika si b******k tadi benar benar bicara dengan atasannya, maka itu bisa menjadi bumerang kembali untuk dirinya sendiri. Meksipun... resikonya akan lebih banyak ditanggung Airin tentu saja dibandingkan dirinya. Bisa apa kacung seperti dirinya jika menuntut keadilan. Jangan bercanda. Keluar dari ruangan sang manager, gadis itu kembali ke tempatnya tadi dan merapihkan berbagai macam produk paling laku, yang bahkan dalam kurun waktu satu jam di akhir minggu sudah lenyap habis. Mau tak mau membuatnya bolak balik gudang setiap satu jam sekali untuk kembali mengambil puluhan barang yang diperlukan. “Apa yang dikatakan manager, tadi? Kau tak apa??” banyak rekannya memberondongi ia pertanyaan ketika ia sudah kembali ke area pelanggan. Yang mana, orang orang ini tadi hanya memperhatikannya dimaki maki tanpa ada niatan menolong sama sekali. Pertanyaan mereka satu ini hanya berujung dua hal, benar benar merasa bersalah dan khawatir atau hanya untuk mengorek informasi agar mereka tak mengalami kejadian yang serupa. “Ya.. begitu lah” ucapnya ambigu dan pergi dari sana tanpa ingin berujar banyak. Ada banyak tempat yang harus ia periksa displaynya untuk memastikan apakah ada yang kosong atau tidak. Dengan banyak pegawai yang keluar masuk tiap tahunnya, membuat gadis yang satu itu enggan berinteraksi lebih banyak jika tidak mengenai pekerjaan yang ada hubungannya dengannya. Setiap orang yang berpindah tempat penempatan, atau bahkan berpindah kerja hingga memutuskan untuk berhenti bekerja karena memulai kehidupan menikah misalnya, membuat ia lebih memilih menggunakan tenaganya untuk bekerja saja dan berisitirahat sebisa mungkin ditengah tengah kesibukannya. Terkadang, harus berinteraksi dengan banyak orang akan sangat melelahkan. Kita harus memilah kata kata agar mereka tak sakit hati dengan perkataan kita, belum lagi, jika pembahasannya berbeda, maka mau tak mau harus memasang topeng dan berlagak menyukai apa yang tengah sebuah circle bahas, meskipun ia sama sekali tak suka. Ditahun pertama, ia pun seperti itu. Masih naif dan mencoba membuat lingkungan kerjanya nyaman menurut definisi banyak orang. Ia tak mau membuat dirinya kesusahan dan dibicarakan banyak orang sebagai anak muda baru yang tak mau berinteraksi dan tak tahu diri. Namun, ditahun kedua, setelah semakin banyak orang yang keluar masuk, ia memutuskan untuk menutup mulutnya untuk hal yang menurutnya tak penting. Toh, manusia diciptakan untuk sendirian. Lahir sendirian dan akan berakhir sendirian pula. Sesosok teman kerja yang tak berguna tak akan dibutuhkan olehnya. Lagi, retina indahnya bergulir menuju pemandangan dibalik pintu kaca yang memperlihatkan lapangan parkir yang amat sangat luas, karena ia kebetulan kini tengah berada di lantai dasar. Jauh dari balik dinding yang mengkotaki area parkir, ia bisa melihat dengan sekilas bagaimana langit sudah berubah menjadi kejinggaan yang semakin lama semakin ditutupi oleh awan awan hitam. Entah pertanda akan hujan atau memang hitam akibat matahari yang semakin lama semakin enggan menampakkan diri. Gadis itu melirik jam tangan usang yang dipakainnya. Sekitar lima belas menit lagi, shift bekerjanya akan berakhir. Bersiap siap untuk pulang, ia memutuskan berkeliling sekali lagi untuk memastikan bahwa produk cukup sampai dimana ia kembali lagi esok. Kemudian kearea belakang khusus dimana para staff berada dan mengambil barang barang bawaannya di loker yang sudah disediakan. “Kau besok shift apa??” tanya seorang satpam wanita yang tengah mengecheck seluruh tubuhnya. Jaga jaga jika orang yang bekerja disana melakukan pencurian diam diam terhadap barang. Jangan salah, barang barang kecil pun harganya akan sangat mahal jika memang berguna dan dari brand tertentu. Seperti alat rias, contohnya. “Pagi, kurasa. Seingatku pagi” ucapnya dengan kuap yang ditutup dengan telapak tangannya yang kotor. Ah.. ia lupa mencuci tangannya sehabis membawa bekas bekas kardus tadi ke ruang khusus pengumpulan kardus bekas. “Jika memang pagi, esok tak ada satpam wanita yang akan berjaga. Kau panggil kasir wanita untuk memeriksamu” titah wanita dihadapannya itu yang hanya diangguki malas oleh Airin. Selangkah keluar dari area belakang supermarket, gadis itu bisa merasakan nyaman tersendiri ketika wajahnya merasakan dingin khas dari angin sore. Enggan menggunakan jaket yang sudah ia bawa, ia beranjak pergi dari sana dan menuju halte terdekat dan menunggu bus yang akan membawanya pulang. Baru saja ia akan tersenyum senang ketika memasang handsfree ke telinganya dan mendengarkan lagu kesukannya belakangan ini, itu semua buyar ketika gerombolan pemuda bau dan acak acakan saling berbisik bisi sembari melirik dirinya dan melontarkan ucapan tak menyenangkan. “Kami harus bayar berapa untuk bermain denganmu?? “Kau mau, kan, dipakai bergantian??” “Tentu saja mau, lihat saja wajah seperti itu, adalah wajah wajah jalang” Enggan menanggapi, gadis itu hanya memperbesar volume lagunya dan mengeratkan genggamannya pada stunt gun yang selalu ia bawa setiap harinya itu. Alat berbentuk kotak seukuran ponsel namun tebal yang jika dipencet akan mengeluarkan listrik itu sudah menemaninya bertahun tahun melewati hidup yang lelah ini. Terkadang, orang lain berpikir bahwa profesinya ini adalah profesi yang hanya dilakukan oleh wanita rendahan. Padahal, tak semua pegawa menggunakan pakaian minim bahan untuk bekerja. Dalam kasusnya, perusahannya memberikan semua pegawainya kemeja kerja atau blouse kerja panjang atau lengan midi untuk bekerja, yang mana bawahnya mereka semua harus menggunakan celana bahan hitam panjang. Pun, jika beberapa orang menggunakan seragam yang mini, bukan artinya mereka adalah orang yang bisa dilecehkan –baik verbal maupun non verbal- hanya karena pakaian dan pekerjaannya. Sial, manusia manusia ini membuatnya jijik dan kembali memohon kepada dirinya sendiri agar jika nanti ia dilahirkan kembali, ia ingin hidup bahagia saja menjadi tebing air terjun atau gunung di dataran yang tinggi. Bus dengan nomor yang dituju datang, gadis itu langsung naik dan duduk di bangku yang ada dan sedikit memejamkan matanya lelah. Perjalanan selama dua puluh menit hampir saja membuatnya masuk ke alam mimpi, jika ia tak bersikeras harus terjaga. Terlelap di tempat sendiri pun bisa menjadi sangat berbahaya tergantung situasi, apalagi terlelap di tempat yang asing. Turun dari busnya, ia masih harus berjalan sekitar lima menit lagi melewati pertokoan yang beberapanya sudah tutup karena usaha mereka memang dilakukan di siang hari. Hingga kakinya sampai disebuah apartement kumuh dan murah, yang menjadi tempat tinggalnya bertahun tahun itu. Mengetuk pintu pelan, ia menarik simpul bibirnya keatas ketika menyadari bahwa sesosok menggemaskan menyambutnya dengan riang. “Aiden, mama pulang”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN