Chapter 2

2001 Kata
Deru mesin mobil seakan berseteru langsung dengan hujan badai yang mengiringi perjalanan mereka. Langit yang seharusnya sudah cerah benderang memamerkan silauan sang matahari malah berujung dengan gelap dan gemuruh karena awan yang lebih mendahului. Pandangannya terus terpaku ke luar jendela, melihat bagaimana rakyat biasa beraktifitas sebagaimana biasanya meskipun cuaca yang sedikit menghambat pergerakan. “Ingin ku nyalakan pemanas, yang mulia?” Pria berambut hitam yang duduk didepan membuka suara. Sesosok pria yang lebih tinggi dari raja, berwajah tegas yang digadang gadang sebagai ksatria hitam berdarah dingin. Sosok yang kabarnya tak akan memandang siapapun yang ada di hadapannya jika mereka berusaha untuk membahayakan rajanya. Sesosok manusia yang menurut kabar burung tak bertuhan dan hanya akan menyembah rajanya. Jika diingat ingat, yang menjadi raja malah ingin tertawa ketika berkali kali mendengar kabar tersebut dari bisik bisik orang asing yang kebetulan ada di satu tempat dengannya. “Berhenti berkata yang tidak perlu” “Jadi kau ingin aku mengumpatimu? Begitu?” Lagi dan lagi kekehan terdengar dari bibir tipis si rambut perak. “Hoi, aku ini rajamu” yang tentu saja dibalas gumaman sebal dan rutukan candaan sebagai tanggapan. “dasar plin plan dan hobi menyelewengkan kekuasaan” ucap yang lebih tua. Ya. Victor memang dua tahun lebih tua dibandingkan yang mulia Claudius Zevane. Victor tumbuh sebagai anak dari kepala panglima kerajaan, yang berakhir menjadi teman bicara dan belajar Claude kecil. Tumbuh dan berkembang bersama sama membuat kedua pria itu lebih dekat dari apa yang dipikirkan oleh orang lain. Claude yang hanyalah seorang anak tunggal, dan Victor yang berakhir menjadi sebatang kara karena kedua orang tuanya tewas dalam bentrok beberapa tahun silam. Bentrok yang melibatkan pamannya dalam usaha mengambil alih negara dari tangan ayahnya. Paman yang ia temui kemarin sore di dalam Colloseum. Sejujurnya, jika beliau merupakan sosok yang dianggap mampu dan rakyat menyetujuinya untuk menjadi kepala negara mereka, maka keluarga Claude tak akan repot repot harus mempertahankan gelar tersebut. Toh ayahnya dan dirinya menjadi raja dan calon raja saat itu merupakan moment yang cukup memberatkan pundak, yang beberapa kali membuat mereka berpikir mengenai bagaimana rasanya hidup tanpa adanya beban tanggung jawab untuk berjuta juta orang sebagai rakyatnya. Namun, dengan watak dan segala keserakahan yang dimiliki pamannya, membuat mereka tak akan sudi memberikan negara mereka yang aman damai itu ke tangan orang yang akan menghancurkannya. Seluruh rakyat pun sudah mengetahui mengenai sifat beliau karena beberapa kali tersandung kasus perjudian dan korupsi saat berbisnis dengan orang dari negara sebrang. Perang saudara yang akhirnya membunuh banyak orang tak berdosa itu berakhir dengan dirinya pergi ke negara lain, menyalak dengan sangat kencang bahwa dirinya tak akan sudi kembali ke negara mereka yang katanya tak sebaik apa yang dilihat oleh orang luar. Persetan dengan gosip yang ia buat. Yang pasti, ayahnya- dan kini Claude sendiri akan mempertahankan negara mereka dengan sebagaimana mestinya. “Ya, oleh karena itu, kau membutuhkan istri dan seorang anak” suara Victor kembali memasuki indra pendengarannya. Tunggu dulu, apakah ia bergumam terlalu kencang hingga pria yang kini sedang menyetir itu bisa mendengarnya? “apa hubungannya” ketus pria itu sembari menyenderkan kepalanya yang terasa berat ke sandaran mobil. Perjalanan darat dari negara tempat mereka berkunjung kemarin hingga sampai ke istana setidaknya membutuhkan waktu hampir sepuluh jam. Enggan menggunakan helikopter kerajaan atau setidaknya membawa supir, membuat Victor harus dilanda pegal pegal karena menyetir bolak balik demi teman kecil sekaligus rajanya ini. “Aku tetap bisa memimpin negara tanpa membutuhkan sosok yang tak terlalu membantu itu” lanjutnya lagi. “omong omong, tak perlu terburu buru. Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaan. Jadi kita sampai agak sore pun tak masalah” Victor sedikit melirik ke spion untuk melihat bagaimana kondisi, atau setidaknya raut wajah teman kecilnya itu. Tersenyum kecut karena sangat menyebalkan bahwa wajah rupawan itu tak berubah sedikitpun meskipun si empunya badan telah melewati jam jam yang cukup memuakkan sebelumnya. Jika diingat ingat, Claude kecil dengan wajah yang sangat menggemaskan tumbuh menjadi pria rupawan dan disegani meskipun seluruh aspek sudut wajahnya tak ada yang berubah sedikitpun. Paling hanya pipinya yang tak lagi tembam, dan tersisa garisan rahang yang sangat tajam. Ingatkan pria itu bahwa ia harus terus merubah pola makan yang acak acakan milik penerus tunggal raja sebelumnya itu. Jika orang pertama kali mengetahui wajahnya lewat foto foto yang beredar di selebaran atau setidaknya sosial media kerjaan, maka impresi pertama yang akan mereka pikirkan adalah sosok yang satu ini sangatlah tangguh namun lembut di saat yang bersamaan. Memberi efek pada indra pengelihatan sebagai sosok manusia yang tahu bagaimana cara menempatkan diri. Beliau digadang gadang sebagai sosok yang sangat halus namun jika ada sesuatu yang tak berjalan dengan semestinya, maka tatapan lembut tadi akan berubah tajam dengan rahang yang mengeras. Namun, jika orang pertama kali melihatnya secara langsung, maka hal pertama yang terbesit di pikiran mereka adalah sosok yang satu itu sangat tak mudah untuk didekati. Sosoknya sangat dekat, namun jauh disaat yang bersamaan. Sosok yang terlihat akan membantu segala hal, namun sebenarnya dia hanya akan mengurus apa yang menjadi urusannya. Dan karena kini dia memegang tahta yang sangat tinggi, maka seluruh rakyat beserta negerinya itu merupakan urusannya yang harus ia kendalikan dengan sangat baik. “Jika aku tak salah ingat, aku bukan hanya mengingatkanmu mengenai istri. Kau pun harus memiliki anak, yang mulia” Victor kembali membuka suara ketika yang duduk di kursi belakang membuka matanya disaat menyadari tak ada balasan selama beberapa menit. Bukannya tak suka didiamkan, hanya saja ia khawatir pria berambut hitam legam itu kelelahan hingga tertidur dan menyebabkan mereka berdua celaka. “Kau harus memiliki istri untuk bisa memiliki anak. Yang nantinya tentu saja akan mewarisi negeri ini saat kau sudah tak sanggup nanti” “Bisakah aku memiliki anak tanpa memiliki istri?” “Ya menurutmu, memangnya bisa?” Mengendikkan bahunya acuh, pria yang memiliki lesung pipi dalam di bagian kanan itu kembali memejamkan matanya malas. “entahlah, aku ingin mengadopsi saja rasanya. Atau mungkin menculik anak orang” “Yang mulia, jika aku boleh mengingatkan, segala bentuk kejahatan akan mendapatkan ganjaran yang semestinya. Peraturan itu sudah aja sejak lama dan selalu kau lakukan” Victor memutar bola matanya malas. “Lagi pula, memangnya sejak kapan kau tidak ingin menikah? Dahulu saja saat masih sekolah dan kuliah, kau beberapa kali berganti pasangan” “Aku bertobat” “Bullshit” “Victor, sekali lagi kuingatkan, aku ini rajamu” Inilah Claude yang asli. Claudius Zevani yang asli adalah sesosok pria yang tak bisa dibilang lembut, namun memang tak bisa dibilang kejam pula. Sosok asli yang hanya akan ia perlihatkan dihadapan satu satunya teman terdeakat dan sang ayahanda. Ia hanyalah sesosok pria matang yang masih suka sesekali bercanda untuk meringankan kekakuan di wajahnya akibat terus menerus harus bersikap elegan sebagaimana keluarga kerajaan di mata dunia. “Aku... apa ya” gumamnya lagi. “Aku ini bukannya tak ingin menikah. Hanya saja untuk saat ini, keinginan untuk itu benar benar turun drastis. Yang aku pikirkan saat ini hanyalah bagaimana mengurus negeri ini dengan benar. Bagaimana caraku bertanggung jawab atas hidup jutaan orang. Aku tak memiliki waktu untuk mencari pasangan” ungkapnya. “Kau masih memiliki banyak calon untuk dikenalkan. Listnya ada padaku, omong omong” Claude menggeram lelah mendengarnya. Jika diingat ingat, semenjak ia menjabat sebagai raja negeri ini, satu satunya yang ia lakukan selain kegiatan di kamar mandi, kamar tidur dan ruang makan, hanyalah mengurus negara dan bertemu dengan banyak wanita yang sudah dipilihkan ayahnya. Wanita yang katanya akan banyak membantunya dalam hal mengurus negara. Tidak spesifik memang. Mungkin yang ia maksud adalah saling membagi beban, saling bercerita, mencinta, memberi kasih sayang bisa membuat Claude lebih ringan menjalani hidupnya sehari hari. Ayahnya tentu saja tak mengusulkan wanita yang macam macam. Beliau banyak memberikan saran mengenai wanita tersebut karena mereka anak anak dari rekannya selama menjabat. Entah itu anak dari negara sebelah, anak dari kepala panglima yang baru, anak dari pemiliki perusahaan ini dan itu, hingga anak dari sahabat sahabat ayahnya dahulu. Penyesuaian kasta katanya. Lelucon sekali bukan? Sebelum terlahir dan hidup menjadi rakyat negeri ini, menjadi orang dengan ‘kasta’ tertentu. Mereka terlahir sebagai manusia. Manusia yang sama dimata Tuhan. Manusia yang tak tahu apa apa namun harus langsung bergelut dengan sistem dunia yang semakin aneh saja. Orang selalu berkoar koar mengenai kebijakan yang baik oleh pengurus negara mereka. Pun dengan segala kata bijak dan nasihat yang keluar dari mulut sang ayah, namun tanpa sadar, sosial membangun dinding dinding tak kasat mata. Sebuah dinding yang memberi jarak mengenai komunitas tertentu dengan masyarakat sisanya. Pria yang terlahir dengan rambut perak itu muak dengan segala hal yang ia dengar mengenai hal tersebut. “Sejujurnya, aku saat ini benar benar tak ingin memiliki pasangan, pun juga anak. Aku bahkan tak ingin hidup lama” ungkapnya yang dibalas kerutan khawatir dari yang sedang menyetir. “namun bagaimana jika saat ku mati, dan saat itu aku tak memiliki anak, seseorang yang menjadi penerusku, yang akan mengemban masalah negeri ini, yang akan membimbing negeri ini adalah sosok yang tak baik. Aku tak ingin rakyat rakyatku hidup menderita kedepannya” Tak membalas karena pria yang satu itu mengerti hanya dengan melihat sekilas, bahwa rajanya itu tengah ingin berpikir dengan tenang. Berpikir sendiri, bergumam dengan hati dan kepala yang berdenyut sakit. Maka siapalah ia berani membuka mulut untuk menghancurkan suasana yang dibuat. Suara petir dan angin kencang yang sesekali muncul karena hujan yang masih deras ini, setidaknya membantu pria itu untuk berpikir tenang tanpa harus mendengar suara suara lain dari luar sana. Jika diperhatikan, sepertinya mereka sudah hampir sampai ke istana. Jaraknya hanya sekitar tiga puluh sampai empat puluh menit lagi. Terlihat dari berbagai macam bangunan hingga ruko yang tak asing menghiasi jalan. Jalanan tak lagi semacet biasanya. Toh ini sudah pukul sepuluh pagi, dimana orang kantoran dan anak sekolahan sudah berdiam di meja masing masing dengan setumpuk kewajiban mereka sejam satu jam yang lalu. Maka yang sedari tadi bisa ia perhatikan dari dalam mobil adalah toko toko yang terbuka namun sepi pembeli, atau orang orang yang berjalan kaki membawa payung menuju minimarket yang tak jauh dari sana. Atau pun juga seorang anak kecil dengan kondisi basah kuyub yang sedang meneduh di halte bus. Eh tunggu dulu- apa tadi? “Victor, berhenti disini” suranya menegas. Suara raja kalau Victor boleh mengklasifikasi jenis suara beliau.  Suara yang hanya dipakai jika ia melakukan tugas negara, atau sesuatu yang tak ingin dibantah. Maka dari itu, yang dititah dengan berhati hati memparkirkan mobilnya di sisi jalan. Tolong ingatkan Victor jika ada aparat yang dengan tegas menilangnya, ia harus mengatakan bahwa itu perintah yang mulia. Tolong hukum saja pria yang satu itu! Tapi mana berani dia berkata seperti itu. Tanpa peduli bajunya kini menjadi sama basahnya dengan sosok yang ia dekati, Claude dengan tergopoh gopoh melebarkan jas yang tadi ia bawa dari mobil untuk melingkupi tubuh bocah yang kini kebingungan menatapnya. Berjongkok meskipun pakaiannya kotor karena cipratan air hujan yang terkena trotoar- “bukankah ini waktu sekolah? Kenapa kau masih ada di sini?” tanyanya sembari akhirnya mengusap wajahnya yang basah ketika Victor sudah sampai bersama dua payung yang ia bawa. “Paman siapa? Aku dilarang berbincang dengan orang asing” “Bukan siapa siapa. Paman hanya bertanya” “Tadi bus yang aku taiki dari rumah mogok karena hujan besar. Tapi paman bus tadi tak mengembalikan uangku, jadinya aku berjalan untuk menuju sekolah, namun hujan semakin besar” “Mau paman antar” “Paman siapa!?” decitnya sembari mencoba memasang mimik garang dan memberikan kepalan tinju. “aku bisa bela diri. Jika paman ingin menculikku, maka itu keputusan yang salah” celotehnya. Yang dituding seperti itu hanya bisa tersenyum kegemasan. “Kau bisa memanggilku paman raja” “Paman raja? Paman adalah raja?” ia bertanya tentu saja dengan wajah curiga. Siapa yang tidak curiga dengan om om yang datang lalu bersikap sok kenal dan mencoba membawamu pergi menggunakan mobil hitam yang meskipun terlihat berbeda dengan mobil hitam yang biasanya ada di film penculik. “Ng!” Claude bergumam dengan gemas, mencoba menyamakan nada suara dan tinggi badannya agar yang jauh lebih kecil nyaman untuk bicara dengannya. “ingin membuktikannya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN