Seorang pria terlihat berjalan cepat setelah keluar dari sebuah kedai ayam goreng di pinggiran kota.
Jaket hitam seharga 20 dolar yang ia kenakan terlihat cocok membalut tubuhnya yang tinggi sekitar 1,85m dan memiliki postur atletis.
Topi hitam membuat wajahnya tidak kelihatan jelas meski lampu di sepanjang jalan berhasil menciptakan bayangan tubuhnya.
Sambil menenteng bungkusan berisi potongan ayam goreng, pria itu berjalan menyusuri lorong kecil menuju tempat pembuangan sampah.
Aspal masih tampak basah akibat hujan lebat yang mengguyur kota petang tadi. Pria bertopi melanjutkan langkahnya menuju sebuah gedung kosong yang berada di belakang tempat pembuangan sampah.
Setelah membuka gembok pintu gedung di depannya, ia bergegas masuk. Sepatu boot hitam terayun memasuki ruangan dengan pencahayaan remang.
Seorang pria dengan banyak luka perban di tubuhnya mengangkat sepasang matanya melihat dia datang. Alberto Castato, pria yang tubuhnya dipenuhi perban itu.
"Aku tak bisa berlama-lama di sini, makan dan segera tidur. Besok pagi mobil-mobil sampah akan datang untuk melakukan tugasnya, kau naiklah saat mereka lengah," ucap Pria bertopi lalu berjongkok di depan Alberto.
Dia mengangkat wajahnya sampai sinar lampu berhasil menerpa. Jose, kali ini wajahnya terlihat dengan jelas.
"Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau menolongku? Aku tak mau hidup lagi, putriku telah mati di tangan para anjing liar itu, aku tak mau hidup lagi!" Alberto meraung sambil memukul-mukul tubuhnya.
Jose menatap pria di depannya dengan perasaan iba."Kau harus tetap hidup jika ingin membalas mereka, bukan?"
"Membalas mereka?" Alberto menatap tak percaya pada Jose. "kau pikir siapa mereka? Bahkan hewan saja takut mendengar namanya."
"Jadi, kau tak mau membalas perbuatan mereka terhadap putrimu?" Jose menautkan sepasang alisnya.
Alberto menghela nafas panjang lantas memalingkan wajahnya ke lain arah.
"Roma berada dalam genggaman mereka. Bahkan, kejaksaan pun tak berani padanya. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghukum mereka? Para polisi, Carabinieari, semua takut padanya."
"Kau putus asa?" tanya Jose dengan tatapan sendu.
Alberto mengangguk. "Karena tak ada yang bisa aku lakukan untuk mendapatkan keadilan atas kematian putriku," lirihnya lalu menggeleng dengan wajah sedih.
Jose tidak bertanya lagi. Dia hanya meremas satu bahu Alberto lantas memalingkan wajah ke lain arah. Miris sekali, mengapa kota ini berada di bawah kekuasaan pada Mafia busuk itu?
Di sisi lain, tepatnya di club Madame Rose, tempat di mana para taipan tua menghabiskan uang mereka untuk bermain poker dan membeli wanita muda di sana.
Kelap-kelip lampu kristal, musik remix yang di putar tanpa jeda, juga riuhnya suara orang-orang di tempat itu membuat Carlo menutup kedua daun telinganya.
"Astaga, tempat apa ini?" gumam remaja laki-laki enam belas tahun itu sambil berjalan cepat mengekor di belakang Michele.
Dia baru saja kembali dari sekolah saat Ferrari merah menjemputnya. Michele langsung membawanya ke tempat asing ini.
"Hei, kau! Ayo tambah lagi anggurnya! Astaga, gaunnya jelek sekali! Cepat buang itu dan ganti dengan yang aku siapkan. Dasar!" Wanita paruh baya dengan riasan glamour yang berkoar.
Madame Rose, semua orang memanggilnya begitu. Usianya sudah nyaris lima puluh tahun, tapi dia berpakaian sudah seperti remaja dua puluh tahunan. Dia pemilik club itu.
"Madame," ucap seorang pria berpakaian formal yang tiba-tiba menghampiri Madame Rose lalu berbisik.
Wanita dengan mini dress warna merah terang itu memekik senang setelah mendengar apa yang di bisikan oleh anak buahnya. Matanya mulai mencari-cari di antara ratusan tamu yang menenuhi club miliknya.
"Michele," ucapnya setelah menemukan apa yang dia cari.
Michele berjalan gagah menuju meja VIP di mana dia biasa menghabiskan uangnya. Carlo yang berjalan di belakang sang kakak tampak cengar-cengir tak jelas sambil melihat ke sekitar.
"Selamat datang, Tuan Muda Riciteli! Silakan duduk!" ucap seorang pelayan wanita seumuran Meghan. Dia menyambut Michele sambil tersenyum manis.
Michele yang tadinya acuh mulai menatap pelayan wanita itu. Wajah Meghan yang dilihatnya, dia terkejut sekaligus senang. Dengan cepat disambar lengan wanita itu lantas menyambar bib!rnya dengan rakus.
Carlo membulatkan sepasang matanya sambil menganga melihat apa yang sang kakak lakukan. Michele m3ncium pelayan wanita itu dengan begitu gila di depan matanya.
Benar-benar gila!
"Ah, Tuan!" Wanita itu mulai meringis saat jemari Michele menjalar ke punggung lalu menyentuh bagian depan tubuhnya yang bulat.
Carlo menggeleng jengah melihat aksi gila sang kakak. Kemudian dia bergegas duduk dan sibuk dengan aktivitas ponselnya.
Michele masih sibuk melampiaskan h4srat li4rnya pada pelayan wanita itu. Dia menggigit leher si pelayan sampai wanita itu mengerang kesakitan.
Apa dia Vampir?
Brak!
Carlo yang sedang bermain game dibuat terkejut saat seorang wanita terjerembab ke meja di depannya. Matanya terangkat ke wajah Michele yang tampak murka.
"Enyah dari hadapanku! Dasar Jal4ng sial4n!" umpat Michele pada pelayan wanita itu.
Si pelayan buru-buru bangkit lantas pergi dengan rasa takut tak terkira. Sementara Michele hanya mengusap wajahnya dengan kasar, lantas duduk pada sofa kosong di samping Carlo.
Sang adik hanya menatapnya heran, lantas kembali sibuk dengan aktivitas ponselnya.
"Kampret! Aku benar-benar membutuhkan Meghan." Michele mendenggus kesal.
"Halo, Tuan Muda Riciteli yang tampan. Apa ada yang bisa kubantu, hm?"
Madame Rose menghampiri Michele dengan wajah manisnya. Bibirnya menyeringai tipis melihat bagian depan celana Michele yang tampak kencang. Sesuatu terlihat menyembul dari sana.
Michele hanya memalingkan wajah dengan ekspresi jengah. Miliknya sedang menegang tapi dia tak mau wanita lain kecuali Meghan Crafson.
"Enyahlah! Aku sedang tak ingin melihatmu," desis Michele saat Madame Rose nyaris duduk di sampingnya.
Wanita paruh baya berpakaian seksi itu mengatupkan bibirnya. "Okay! Aku tidak akan mengganggumu. Hubungi aku jika kau membutuhkan sesuatu yang asyik," ucapnya lantas tersenyum nakal sebelum bergegas pergi.
Michele hanya menggelengkan kepalanya dengan ekspresi sebal. Tak lama kemudian dua orang pria berpakaian formal datang menghampiri.
Mereka merupakan orang-orang dari salah satu gengster yang masih di perhitungkan oleh Michele.
"Kami memiliki seratus gadis muda untuk di kirim ke Jepang dan Pietnam. Bos kami ingin mengajak Anda untuk bergabung dengan bisnis kami," ucap pria bernama Matteo, dia kaki tangan Georgino, orang yang sudah menyuruh Federico menipunya.
"Berapa usia mereka?" tanya Michele pada Matteo acuh tak acuh sambil memutar batang cerutu yang terselip di sela-sela jemarinya
Matteo menoleh lebih dulu pada dua rekannya sebelum menjawab, "Mereka masing-masing berusia tiga belas sampai enam belas tahun," jawabnya.
Michele tertawa kecil, lantas menyambar kerah jas Matteo dengan tatapan buas. "Aku tak mau menjual para gadis di bawah umur. Katakan pada bos kalian yang kampret itu, aku ingin bertemu langsung di Milan untuk urusan lain," ucapnya lantas melepaskan Matteo dengan kasar.
Matteo menatap kesal pada Michele seraya membenarkan posisi duduknya setelah pria itu membuatnya terjerembab.
"Bagaimana dengan narkoboi yang aku pesan? Apakah sudah disiapkan?" Michele bertanya lagi sambil mengendurkan simpul dasinya.
Sebenarnya dia sedang ingin menipu Georgio dan akan menguras seluruh uang pria itu. Namun, untuk menangkap seekor hiu, dia harus benar-benar teliti saat memancingnya.
Matteo masih tampak sebal pada Michele. "Bos kami sulit untuk di temui, baiknya kau saja yang datang ke markas kami," ucapnya dengan wajah dingin.
Michele menyeringai tipis. "Apa ada seekor singa jantan yang mendatangi kandang babi potong? Kurasa ini penghinaan," ujarnya lalu menoleh pada dua anak buahnya.
Tanpa diberi perintah, dua orang pria bertubuh kekar itu segera maju dan langsung menangkap kedua tangan Matteo. Pria itu berontak dengan mulut tak henti mengumpat.
"Bawa dia ke markas," perintah Michele lantas mengedipkan satu matanya sambil tersenyum manis pada Matteo.
"Cacingan kalian semua!"
Michele hanya mengibaskan tangan saat orang-orangnya membawa Matteo pergi.
"Apa kau tidak bosan membunuh orang? Astaga, kau mirip dengan karakter dalam game ini, loh! Tubuhnya mengecil dan lemas jika tidak membunuh orang!" Carlo tiba-tiba menyela. Sementara mata dan tangannya sibuk dengan ponselnya.
Michele menoleh ke arah sang adik lantas tersenyum. "Aku sudah menghubungi dinas rehabilitasi, besok pagi mereka akan menjemputmu."
Carlo sangat terkejut mendengarnya. Dia bergegas menoleh pada Michele. "Kau tidak serius, kan?"
"Aku serius, Baby Boy. Kau sudah nyaris menjadi zombie karena ponselmu itu. Kau butuh refreshing." Michele tersenyum manis seraya mengacak-acak rambut Carlo.
Remaja laki-laki enam belas tahun itu mengerucutkan bibirnya. "Kau kejam bahkan pada adikmu juga," lirihnya merajuk.