BOS MAFIA SADIS
"Tuan ..."
"Umhh!"
Rintihan itu berasal dari bIbir tebal seorang wanita yang sedang bersimpuh di lantai. Matanya yang bulat terangkat ke wajah rupawan pria yang sedang duduk pada sofa di hadapannya.
Sepuluh jemarinya memegang benda keras milik pria itu. Sesekali ia mengusapnya perlahan, lantas kembali dimasukkannya ke dalam mulut.
"Lakukan dengan benar dan jangan sampai ada yang tercecer sia-sia. Kau paham, J4lang?!"
Pria tanpa busana itu menggertak wanita yang sedang bersimpuh di depannya.
Matanya melotot merah dengan rahang mengencang kuat. Sudah nyaris satu jam wanita itu memainkan miliknya. Namun, dia tidak merasakan apa pun selain rasa geli.
Benar-benar si4l!
Entah seperti apa rasanya, dia tidak tahu. Meski sudah banyak wanita yang di bayar olehnya, tapi tak satu pun yang bisa membuatnya merasakan sensasi yang sedang dia cari.
Si wanita mengangkat sepasang matanya. Dipandangi wajah tampan blasteran Turki-Italia di hadapannya kini. Dia terlalu sempurna bak Dewa Yunani, tapi sifatnya tak jauh berbeda dengan iblis yang buas.
Michele Lazzaro Riciteli, pangeran dari keluarga Mafia Riciteli yang tersohor di seluruh Roma-Italia.
Setelah ayahnya, Don Lazaro Riciteli wafat, hak waris dan semua koneksi Mafia jatuh ke tangannya. Usianya baru 30 tahun dan dia terlihat begitu berkharisma sebagai bos komplotan para Mafia di kota itu.
"Umhh!"
Wanita itu menger4ng. Wajahnya berangsur pucat saat benda keras di mulutnya terasa mengembang dan akan segera meledak. Dia tak tahan dan ingin melepaskannya.
Namun, dengan kasar Michele menjambak rambut merah wanita itu. Dia mendesak dan memaksanya menel4n semua yang keluar.
"Ueeek!"
Wanita itu muntah ke lantai. Bahkan mengenai tungkai Michele. Akibatnya pria itu menjadi murka. Dia langsung menyambar rahang wanita itu dengan sekali tangkap.
"Beraninya kau mengotori kakiku!" gertak Michele dengan mata berapi-api.
Wanita itu tergugup dengan mata yang basah."Tu-Tuan, maafkan saya. Itu terlalu kental dan banyak. Saya tak mampu menelan semuanya," lirihnya ketakutan.
Masih dengan wajah yang dipenuhi emosi, Michele pun bangkit.
"Itu bukan urusanku! Aku sudah membayarmu! Kau benar-benar payah!" gertaknya seraya melempar wanita itu sampai terjerembab ke sofa.
"Ma-maafkan saya, Tuan." Wanita itu berusaha bangkit, lantas mundur ketakutan saat Michele mendekat.
Pangeran Mafia Riciteli, dengan tubuh polos tanpa sehelai benang pun berdiri di depan wanita itu. Dia menatapnya sudah seperti iblis yang ingin makan orang.
Percuma dia membayar mahal pada Madam Rose, ternyata wanita ini tidak mampu membuatnya merasakan 0rg4sm3.
Dengan gerakan tak terduga, Michele menyambar revolver yang tergeletak di atas meja. Dia lantas menodongkan senjata itu ke dahi wanita di depannya.
Wanita itu dibuat sangat terkejut sekaligus ketakutan. "Tuan, tolong maafkan saya. Jangan bunuh saya," lirihnya dalam tangis dan tubuh yang gemetaran.
"Kau tidak mampu membuatku pu4s. Matilah kau."
Duar!
Mata wanita itu membulat penuh, dengan mulut sedikit terbuka tanpa suara. Tubuhnya yang polos ambruk ke sofa seketika. Lubang peluru tercetak di dahinya dengan sempurna. Matanya masih melotot saat tubuhnya terhempas tak bernyawa.
Mendengar ada suara tembakan dari dalam kamar VIP di mana bosnya berada, Sergio dan dua orang bodyguard bergegas memeriksa.
"Bos, apa yang terjadi? Anda baik-baik saja?" tanya Sergio dengan wajah panik saat memasuki kamar. Mereka terkejut melihat wanita yang semalam mereka bawa sudah tergolek di sofa dengan kondisi mengenaskan.
Michele sedang berdiri sambil menutup kancing lengan kemejanya. Wajah pria itu tenang-tenang saja.
"Cepat singkirkan sampah itu dari sini!" perintahnya acuh tanpa memalingkan pandangan dari siluet yang muncul pada standing mirror di depannya.
"Baik, Bos!"
Sergio segera menyuruh dua orang bodyguard untuk mengurus m4yat wanita di sofa. Dia tidak banyak bertanya pada Michele.
Sergio Lorenzo, pria itu sudah bekerja pada ayah Michele sejak lama. Hingga saat Bos Besar Mafia tiada, Sergio mengabdikan seluruh hidupnya pada Michele selaku ahli waris Kerajaan Mafia peninggalan Don Lazaro Riciteli selanjutnya.
"Bos, Tuan Alberto ingin menemui Anda." Empat jam berlalu, Sergio menemui Michele yang sedang duduk santai di teras balkon sambil menikmati batang cerutunya.
"Mau apa pria tua itu menemuiku? Apakah dia sudah bosan hidup?" Michele menanggapi dengan acuh. Bibirnya mengulas senyum tipis melihat seekor kupu-kupu yang sedang hinggap pada kuntum-kuntum Jacaranda.
Sedikit ragu Sergio menjawab, "Sepertinya Tuan Alberto ingin melihat putrinya."
Michele masih bergeming dengan pandangan dingin ke arah makhluk indah di luar jendela. Entah apa yang pria itu pikirkan.
Ada rumor yang mengatakan jika Michele tak hanya mengidap penyakit langka, tetapi dia juga seorang psikopat.
Menghabisi nyawa orang sudah menjadi hobinya. Bahkan, dia selalu membawa pistol ke mana pun dirinya pergi, dan menyimpannya di bawah bantal saat ia tidur.
Baginya, kupu-kupu tak berbeda dengan para jalang yang sudah dirinya bayar. Mereka payah dan tidak berguna.
Sergio hanya memandangi dengan perasaan tak habis pikir. Kenapa Tuan Muda Riciteli memiliki kelainan seperti itu?
Tak hanya gemar menyiksa makhluk kecil semacam kupu-kupu, Michele juga sering menyayat lengan para pelayan di mansionnya jika sedang bosan. Bahkan menembak para bodyguard tanpa alasan.
Dia tidak hanya psikopat, tetapi juga monster yang mengerikan!
Sergio sangat terkejut saat Michele menoleh ke arahnya. Manik kebiruan pria itu membuatnya takut. Dia bergerak mundur satu langkah saat Michele mendekat.
"Katakan, apa gadis bodoh itu masih hidup?" tanya Michele pada Sergio sambil memainkan pistol di tangannya.
"Masih, Bos. Namun, sepertinya dia sudah sekarat."
Sergio dibuat terkejut saat Michele melotot padanya. Apakah dia salah bicara?
"Kenapa dia belum mati juga? Aku tak mau Alberto kembali berkumpul dengan putrinya," desis Michele ke wajah Sergio.
"Jika itu keinginan Anda, maka aku akan menghabisinya, Bos." Sergio berusaha tenang meski tatapan tajam Michele nyaris membunuhnya dalam rasa ketakutan.
"Kau sudah bekerja keras selama ini, kali ini biar aku yang mengurus gadis sialan itu. Kau pergilah, hubungi Alberto dan katakan jika putrinya akan segera di pulangkan," ucapnya, lantas mundur dari hadapan Sergio disertai seringai tipis yang mengerikan.
Sergio menghela nafas panjang. Apa yang mau Michele lakukan pada gadis malang itu? Dipandangi punggung lebar Michele menjauh darinya.
"Selamat sore, Bos!"
"Silakan masuk!"
Michele berjalan cepat memasuki ruangan yang berada di lantai bawah tanah markasnya. Dua orang bodyguard membuka pintu untuknya dan mengantarnya masuk.
Ruangan dengan pencahayaan remang menyambut, Michele menghentikan langkah agak jauh dari beberapa pria yang sedang mengelilingi sebuah meja biliar.
Di tengah meja biliar itu tampak seorang gadis yang terlentang pasrah tanpa busana. Tangan dan kakinya terikat ke masing-masing sisi meja. Kondisinya sangat mengenaskan.
"Berikan aku kabar terbarunya," ucap Michele seraya menaruh satu cerutu di mulutnya dengan santai.
"Gadis itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Orang-orang politik sudah melakukan koalisi."
Seorang bodyguard bergegas maju dan langsung menyalakan korek api untuk bosnya. Michele menghembuskan asap cerutunya ke udara. Kemudian dia berjalan menuju gadis itu.
"Kami sudah membantainya dua hari ini. Dia cukup tangguh," ucap seorang pria yang berdiri di sekitar. Mereka anak buah Michele.
"Benarkah?" Michele menyeringai tipis sambil memandangi gadis yang sedang tergolek tak berdaya di hadapannya.
Tubuh gadis itu dipenuhi luka gigitan dan sayatan. Michele tersenyum miring melihatnya.
Tiga hari yang lalu orang-orangnya menculik gadis itu dari kampus. Dia putrinya Alberto si pesaing partai kolega Michele. Mereka hanya di bayar untuk menculiknya karena perang politik yang sedang terjadi di antara dua kubu partai.
Emily, gadis tak berdosa itu harus menjadi korban penculikan, penyekapan dan kekerasan s3ksu4l yang dilakukan komplotan para Mafia.
Usianya 20 tahun, dia nyaris tewas karena penyiksaan yang dialaminya dua hari terakhir.
"Tinggalkan aku sendiri!" perintah Michele pada semua anak buahnya.
"Baik, Bos!"
Semua orang pergi. Tinggalkan Michele dan Emily di ruangan itu.
Pria tinggi dengan gambar tato di pergelangan tangannya tersenyum manis seraya mencondongkan wajahnya pada Emily. Gadis itu menatap Michele penuh amarah dan ketakutan.
"Gadis belia yang malang. Sebelum mati kau harus tahu siapa orang di balik semua ini," bisik Michele ke wajah Emily yang pucat. Jemarinya membelai pipi hingga rahang lebam gadis itu.
"Tuan, kumohon lepaskan aku. Biarkan aku pulang," lirih Emily dengan tatapan sendu. Suaranya nyaris tidak terdengar.
Michele menggeleng."Tidak, Sweetie. Jika kau pulang maka para gengster akan menangkapmu. Ayahmu memiliki banyak masalah. Dia yang membuatmu berada di sini," bisiknya lagi.
"Itu tidak mungkin," lirih Emily.
"Mungkin saja, karena ayahmu lebih memilih partainya daripada putrinya sendiri. Kau tahu itu?" desis Michele, lantas menyeringai tipis.
Emily terdiam dalam rasa kecewa. Teganya sang ayah telah menjadikan dia korban untuk kelancaran partainya. Dia tak bisa percaya semua ini.
Melihat Emily menangis, Michele mulai muak dibuatnya. Kemudian diraih kawat baja dari saku jas hitam yang membalut tubuh atletisnya. Dengan cepat dia menjerat leher gadis itu.
"Aarkkhh!" Emily sangat terkejut saat Michele menjerat lehernya.
Dia mengerang saat kawat baja mencekik lehernya begitu erat. Dia tak bisa berontak, sebab kedua tangan dan kakinya diikat.
Matanya yang basah menatap ke wajah Michele. Tatapan itu memohon padanya. Namun, Bos Mafia sadis menolaknya. Tangannya semakin kuat menjerat leher gadis itu.
Tangan dan kaki Emily berhenti bergerak. Mata basah gadis itu melotot ke atas.
Kawat baja Michele meninggalkan bekas luka yang cukup dalam di sekitar leher Emily. Darah segar mengucur dari sana. Dia terlihat seperti seekor lembu yang habis di sembelih.
"Tidurlah, Sayangku. Tugasmu sudah selesai di sini," bisik Michele ke telinga Emily. Bibirnya menyeringai tipis melihat gadis itu sudah tak bernyawa lagi.
Ada kenikmatan tersendiri saat dia melenyapkan nyawa seseorang. Seperti rasa gula-gula yang ia nikmati di pekan raya sewaktu kecil. Sungguh nikmat.