"Ahh ...!"
"Kau terlihat sangat cantik kalau seperti ini, Sayang."
"Benarkah? Kau tidak sedang merayuku bukan?"
"Ahh .... Kau membuat aku melayang, Sayang.
"Nikmatilah. Karena malam ini, aku akan membawamu terbang menikmati indahnya surga dunia."
Tangan terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Air mata berderai tak bisa dihentikan. Saat telinganya mendengar semua suara merdu nan indah, dari kamar pamannya.
Amera tak perlu penjelasan lagi mengenai suara aneh yang dia dengar. Dia bukanlah anak balita yang tak paham apa-apa. Hatinya hancur lebur, semua rasa cintanya tak tersisa. Dia tak jadi mengetuk pintu kamar pamannya.
Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia kembali ke kamarnya. Mencoba memejamkan mata, agar suara l@kn@t itu tak terus terngiang di telinga. Nyatanya, Amera tak bisa tidur nyenyak. Bayang-bayang mengenai dua orang yang sedang bergelung di kamar sebelah itu begitu nyata.
Menagis tersedu di bawah selimut, membuat bantal menjadi basah oleh air mata. Amera tak menyangka, rasa cintanya kepada sang paman bisa memberinya luka yang begitu dalam. Dia pikir jatuh cinta itu mudah, nyatanya dia harus bersusah payah berjuang hampir empat tahun lamanya.
Hasilnya adalah tetap sama, hanya penolakan yang berujung luka. Sejak kecil hidup bersama, diberikan kasih sayang yang berlimpah, nyatanya tak bisa membuat kita bisa memiliki rasa itu seutuhnya.
"Kenapa aku harus jatuh cinta padamu, Paman?"
"Tapi dia tak mencintaiku?"
Dalam isak tangisnya, Amera bertanya pada dirinya sendiri. Setelah beberapa menit berlalu, dengan bodohnya ia keluar kamar dan berdiri tepat di pintu kamar sang paman. Dan dia juga sudah memutuskan untuk menyerah. Rasanya, cintanya tetap akan sia-sia, usahanya selalu dipandang sebelah mata.
Setelah hampir satu menit di sana, Amera kembali masuk ke kamarnya. Tak ada lagi suara desahan itu, dia kembali menjatuhkan tubuhnya di kasur dan mencoba memejamkan mata. Tepat jam tiga pagi, dia baru bisa tertidur dengan nyenyak, dengan sisa-sisa air mata yang masih membasahi pipi.
___
Amera mengangkat pandangannya, setelah ia mendengar derap langkah dari pintu utama. Kedua mata sipit itu bersitatap dengan manik Danis. Lelaki itu mengeryit karena tak biasanya Amera duduk sendirian di sana.
Secara reflek, Danis menoleh pada jam dinding yang menunjukkan angka dua belas. Meski dalam hati merasa heran, dia tak mengatakan satu kata pun, dan langsung melanjutkan langkah menuju kamarnya. Hal itu membuat Amera sedih.
Air mata kembali menetes, dengan cepat, dia mengusap pelan pipinya yang basah. Tak lama, Amera juga masuk ke kamarnya. Setiap hari yang ia lewati berubah menyeramkan. Sikap dan perilaku Danis pun tak sehangat dulu.
Tiga tahun terakhir yang ia lalui sangat melelahkan. Hanya karena dia mengungkapkan cinta, semua ketulusan yang ia dapatkan lenyap seketika. Amera tak ingin menangisi kisah cintanya. Namun semakin ia tahan, rasanya semakin sesak di d**a.
Dia pernah sekaligus kehilangan dua orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Nyatanya, kesedihan yang ia rasakan tak sedalam ini. Waktu itu, dia begitu hancur, namun tak seremuk sekarang.
Pagi menjelang, Amera langsung menelpon bibinya. Dering pertama dan kedua baru terdengar suara lembut sapaan dari bibinya.
"Iya, Amera kau jadi ikut bibi dan berkumpul dengan keluargaku di sini."
"Iya, Bi. Aku akan ikut bersama Bibi," jawab Amera dengan suara yakin.
"Baiklah, aku akan segera urus semuanya. Jangan lupa pesan bibi waktu itu."
"Iya, Bi."
Hembusan nafas panjang terdengar begitu berat. Setelah telpon terputus, Amera memilih untuk membersihkan diri.
___
Amera menelan pelan sadwich yang ia kunyah. Sudah terbiasa dengan keadaan apa pun. Entah makan siang atau malam, tak ada lagi Danis di sana. Namun pagi ini terasa begitu berbeda, lelaki itu duduk di sana dan sarapan dalam diam.
Amera melirik sekitar ruang makan, tak ada pergerakan dari kedatangan seorang Gina.
'Sepertinya, dia tidak menginap,' gumam Amera dalam hati.
Sampai Amera menyelesaikan sarapannya, dia tak mendengar suara lelaki tampan yang duduk dalam diam itu. Gadis itu buru-buru pergi dari sana. Berlama-lama dengan Danis, hanya akan membuat dia mengingat segala luka yang tercipta.
"Kenapa buru-buru? Kamu mau ke mana?" tanya Danis dengan suara dingin.
Amera yang sudah melangkah sedikit jauh lantas berhenti. Lalu, ia menoleh menatap Danis yang menatapnya dengan tatapan intimidasi.
"A-aku ada pekerjaan yang belum aku selesaikan," jawab Amera sekenanya.
Danis tak lagi menghentikan langkah Amera, dia hanya menatap puggung gadis itu yang sudah menjauh. Tak lama, Amera kembali turun. Kali ini, dia sudah rapi dengan tas laptopnya. Danis yang masih duduk di sana, menoleh saat mendengar derap langkah.
"Paman, aku akan mengerjakan tugas bersama teman-temanku. Kalau boleh, aku mau ikut mobilmu, sekalian pergi ke kantor," ucap Amera meminta izin dengan suara lirih.
"Pergi saja sendiri, kamu juga punya mobil kan? Gunakan saja kendaraan itu untuk keperluanmu. Aku ada urusan bersma Gina," jawab Danis tanpa menatap Amera.
Sekali lagi, dia mendapat penolakan. Dulu, Danis tidak akan pernah menolak apa pun yang ia inginkan. Bahkan mau mengantar jemput ke tujuan manapun. Dia rela meninggalkan pekerjaan penting hanya untuk menemaninya.
Semua itu terjadi sepuluh tahun silam. Setelah dirinya mengutarakan perasaannya, Danis mencoba menjauh dan memberikan dinding yang begitu tinggi untuknya.
Sudah tiga tahun belakangan, Danis juga tidak pernah menemaninya makan di meja makan. Padahal, lelaki itu tahu, kalau ia sangat membenci duduk sendiri di meja makan.
Setelah mengingat semua hal itu, Amera meneruskan langkah menuju halaman. Di mana ia akan mengeluarkan mobil yang sudah lama tak ia pakai. Amera menghembuskan nafas panjang, setelah duduk di dalam mobil, ia menjadi gemetar.
Rasanya jantung berdetak semakin kencang. Dia tak pernah belajar menyetir sebelumnya. Hanya sekadar tahu bagaimana semua fungsi di depannya ini hingga mobil bergerak pelan meninggalkan rumah mewah itu.
Danis secara diam-diam menatap kendaraan warna putih itu meluncur meninggalkan pekarangan rumahnya. Dia juga segera masuk ke area kemudi dan mulai pergi dari rumah untuk bekerja.
Kembali ke Amera, gadis itu berbohong jika akan mengerjakan tugas bersama teman-temannya. Dia akan datang ke sebuah tempat, di mana ia dan kawannya mulai membuka usaha.
Amera mendatangi ruko yang letaknya tak begitu jauh dari rumah. Tempat iti disewa selama satu tahun. Di situlah, Amera menuangkan kebisaannya mendesain lalu menjahitnya sendiri.
Dia belajar secara otodidak, mengenai menjahit dan memberikan pola. Sehingga Amera berhasil membuat beberapa baju juga gaun yang sangat bagus.
Amera mempunyai banyak pikiran, dan dia tak bisa mengungkapkan semua yang ada di kepalanya. Ada banyak hal keinginan yang harus ia wujudkan, sebelum ia pergi dari Indonesia.
"Tumben kamu bawa kendaraan sendiri? Kemana perginya pangeran tampan yang selalu ada di sisimu?" tanya Sarah—teman Amera.
"Aku sengaja pergi sendiri. Sekalian uji nyali," jawab Amera dengan kekehan khasnya
"Jangan-jangan kau sudah tidak di ratukan lagi," celetuk Sarah yang sialnya semua ucapan itu benar.
"Jangan ngaco! Ayo cepat masuk dan kita kerjakan biar saat acara nanti semua sudah selesai dan tidak satu hal pun dapat mengganggu kelancaran acara," ucap Amera sambil menarik lengan Sarah.
Kedua perempuan itu sangat sibuk dengan segudang pekerjaan yang benar-benar menumpuk. Anggap saja, ini adalah cara ampuh melupakan segala rasa kecewa yang ada. Sejak tiga tahun berlalu, Amera memilih menjadi perancang busana, bersama Sarah.
Dua minggu lagi, akan ada event penting, keduanya akan ikut dan berharap semua gaun yang ia rancang habis terjual.