"Bibi, apa tawaranmu minggu lalu masih berlaku?" tanya Amera setelah panggilannya terhubung.
"Kau mau pindah ke sini?" tanya Dewi dengan suara riang di ujung telepon.
"Iya. Aku sudah memutuskannya, Bi. Aku sudah ikhlas meninggalkan keluarga Afandi, dan memilih tinggal bersamamu," jawab Amera dengan nada yakin.
"Baiklah, kalau begitu, mulai besok aku akan urus visamu. Setahu bibi akan butuh beberapa minggu sampai semua siap. Kau gunakan saja sisa waktumu, untuk bertemu sahabatmu."
"Dan kamu juga harus bicarakan semua rencanamu pada Danis. Pamanmu itu sudah merawat juga membesarkanmu sejak kau kecil. Dia yang menggantikan kedua orang tuamu yang telah tiada."
Amera hanya mengiyakan semua ucapan bibinya, kemudian telpon ditutup. Amera berjalan ke balkon kamarnya. Pemandangan sore ini terlihat begitu menawan. Mengingat semua kenangannya bersama pamannya, tentu saja membuat dirinya mengharu biru.
Saat itu usia Danis menginjak dua puluh tahun, dan Amera baru berusia sepuluh tahun. Sebuah tragedi kecelakaan pesawat yang menewaskan kedua orang tuanya, sangat membuat dirinya shock juga terpukul hebat.
Sayangnya, hubungan indah itu berubah. Sikap Danis sudah tak seperti dulu. Jika mengingat semua itu, kedua mata Amera memanas. Keluarga Chairul dan Afandi dulunya bersahabat. Lebih dari satu dekade, persahabatan itu terjalin. Danis yang lebih tua sepuluh tahun, membuat Amera memanggil dengan sebutan paman.
Karena takdir yang tak dapat ditebak, umur sepuluh tahun, Amera harus kehilangan kedua orang tuanya, akibat kecelakaan. Sejak saat itu, Danis mengajak tinggal di rumahnya.
Entah apa alasan utamanya, namun Amera merasa tertolong dengan dirinya tinggal bersama Danis. Apalagi kasih sayang dan perhatian yang diberikan lelaki tampan itu selalu tercurah. Seolah, Amera adalah dunia baru bagi seorang Danis Mahendra.
Amera sering diajak jalan-jalan, dibelikan barang yang sedang tren. Semua hal yang dipakai Amera tak pernah sembarangan. Semua orang bisa melihat, bagaimana Amera diratukan di keluarga Afandi.
Amera yang mempunyai sifat lemah lembut, membuat dirinya selalu lengket dengan Danis. Setelah menginjak remaja, gadis itu baru merasakan hal aneh. Perasaan berbunga dan ingin memiliki seutuhnya kepada Danis mulai tumbuh.
Tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, gadis itu ingin mengutarakan perasaan sukanya kepada lelaki yang disebut paman. Tepat di ulang tahun yang ke 17, Danis merayakan ulang tahun yang mewah juga meriah untuk Amera.
Dalam pesta itu, Danis mulai tak bisa menguasai diri karena mabuk berat. Amera menemani pamannya istirahat. Berada dalam satu ruangan dengan lelaki tampan dan selalu memberikan kasih sayang padanya, membuat Amera punya keberanian untuk mencium sang paman.
Amera tak pernah membayangkan dirinya akan seberani sekarang. Keinginan untuk bicara jujur mengenai perasaan semakin menggebu. Namun, saat Danis membuka mata dan mendorong tubuh Amera, hal itu membuat gadis cantik itu bingung.
Amera, apa yang kau lakukan? Kau sudah lupa kalau aku ini adalah pamanmu?" Danis merasa hal yang dilakukan ponakannya adalah hal konyol.
Mata Danis terlihat menyala penuh amarah. Hal itu semakin membuat gadis cantik itu merasa aneh.
"Ya, aku tahu itu. Aku tidak akan lupa. Tapi, kita ini adalah orang asing, diantara kita tak ada hubungan darah, Paman."
"Bukankah, kalau aku punya perasaan cinta pun, tak masalah?"
Danis semakin tak percaya dengan jawaban Amera. Dia tak pernah mengira, kalau gadis yang ia rawat dan besarkan penuh cinta mempunyai rasa sebagai lawan jenis.
"Kau baru saja berumur tujuh belas tahun, Amera. Perbedaan umur kita sepuluh tahun, aku sekarang sudah berumur tiga puluh satu. Lagi pula, mana paham kau dengan suka dan cinta?" Danis mencoba menjelaskan ke Amera.
Namun respon gadis itu di luar dugaan Danis. Gadis yang biasa nurut dan selalu lemah lembut, hari ini dia membangkang.
"Jadi, aku ditolak karena umurku masih tujuh belas tahun? Paman anggap umur ini masih anak kecil? Bukankah, aku juga akan beranjak dewasa?"
Amera menjawab dengan nada seolah tak terima kalau cintanya ditolak oleh pamannya.
"Aku bakal buat paman menyesal dengan penolakan ini. Aku akan buktikan ke paman, kalau aku bisa membedakan rasa suka dan cinta," ucap Amera lagi.
Dengan perasaan dongkol, Amera pergi dari kamar pamannya menuju kemarnya sendiri. Sejak kejadian malam itu, Amera masih berusaha mendapatkan cinta dari pamannya. Bahkan di ulang tahun selanjutnya pun, gadis itu masih berusaha menyatakan cintanya.
Dan hasilnya, Danis tetap menolak cinta Amera. Namun gadis itu pantang menyerah, selain menganggap sebagai malaikat penolong, Amera juga ingin memiliki Danis seutuhnya.
___
Dua bulan lagi adalah hari ulang tahun Amera yang ke 21. Namun, di sudah bertekad tak akan menyatakan cintanya pada sang paman. Karena sebulan lalu, Danis membawa kekasihnya dan dikenalkan kepadanya.
Amera sempat tak percaya kalau Danis bisa membawa seorang wanita ke rumahnya. Setelah bertahun-tahun hidup bersama, dan melihat karakter pamannya, yang tak pernah dekat dengan wanita, kini mengakui punya kekasih.
"Paman tidak beneran punya kekasih, kan?" tanya Amera dengan wajah sedih menahan air mata.
Pertanyaan itu terlontar saat Gina—pacar Danis pergi dari rumah itu.
Danis belum memberikam jawaban, namun sorot mata tajam dengan rahang mengetat itu sudah menjawab semuanya.
"Atau, Paman nyewa seorang wanita hanya untuk membuat aku cemburu? Atau agar aku tak menembakmu lagi saat hari ulang tahunku nanti?" Amera dengan berani memberikan pertanyaan lagi kepada Danis.
"Omong kosong apa itu, Amera? Aku sudah cukup dewasa untuk berpacaran. Kenapa harus menyewa seorang perempuan? Kau pikir aku tak laku?" Danis menjawab dengan nada dingin dan lirikam mata yang sinis.
Tak menunggu lama, Amera memilih pergi dari hadapan Danis. Tak pernah mendapat perlakuan seperti itu dari sosok yang sangat menyayanginya, membuat hati Amera terluka.
Gadis itu hanya bisa menangis semalaman karena sakit hati dengan jawaban juga sikap Danis. Malam itu, Amera tak bisa tidur, pikirannya kacau dengan ingatan melayang jauh mengingat setiap momen kedekatannya dengan sang paman.
Saat pagi menjelang, Amera kembali mendapatkan pesan dari sang bibi.
"Amera, apakah kau yakin dengan keputusanmu untuk ikut aku?"
"Maafkan bibi yang tak bisa menampungmu saat kedua orang tuamu meninggal. Dulu, keadaan bibi sangat buruk. Setelah hamil, kemudian melahirkan, aku sempat syock. Apalagi berita kematian kakakku."
"Sekarang semua sudah membaik, hidupku jauh lebih mapan. Dan aku bisa membiayai sekolahmu di sini. Kalau kamu bersedia, aku dan suamiku akan mengurus semuanya."
"Apalagi, umurmu sudah dewasa, apa kamu mau numpang hidup di keluarga Afandi untuk selamanya? Kamu juga bakal enggak nyaman kalau terus berada di sana. Pikirkan semuanya dengan benar, agar hidup kita tak mendapatkan masalah di kemudian hari."
"Jangan lupa bicara kepada pamanmu itu kalau kamu mau pindah. Dia sudah banyak berkorban dan memberikan kasih sayangnya padamu. Nanti, kalau semua sudah siap, aku akan menelponmu agar kau segera ke sini."
Amera tak memberikan respon pada semua pesan yang dikirimkan bibinya. Dia tak akan meninggalkan Danis. Dia berusaha untuk mendapatkan cintanya dulu. Hanya saja, setelah satu bulan berlalu, semua semakin membuat dirinya terluka.
Danis seolah sengaja mempertontonkan kemesraan bersama kekasihnya itu di hadapannya. Dari bergandengan tangan, berpelukan dan berciuman di depannya, lelaki itu tak merasa canggung.