Bab. 3. Tak Lebih Berharga Dari Sebuah Jaket.

1133 Kata
Sore harinya, Amera kembali ke rumah. Dia berjalan pelan ke dalam rumah sambil membawa semua barangnya. Sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Tatapannya tertuju pada dua orang yang sedang asik tertawa dengan kemesraan yang terlihat sempurna. Helaan nafas panjang terdengar berat lolos begitu saja dari bibir Amera. Dia melanjutkan langkahnya, hingga semakin dekat dengan kedua sejoli yang sedang dimabuk asmara. "Paman ...!" Suara pelan Amera membuat Danis menoleh dengan tatapan aneh. "Ada apa? Kenapa kau sengaja menggangguku?" Danis menjawab dengan sebuah pertanyaan yang membuat Amera menahan tangis. "Ma-maaf. Aku tidak bermaksud mengganngu. Aku hanya akan memberitahu kalau aku akan pindah kamar," jelas Amera. "Kenapa harus lapor padaku? Lakukan saja apa yang kau mau!" Danis menjawab dengan suara tegas. Amera mengangguk, dia kembali berjalan ke arah lantai dua, di mana kamarnya berada. Tatapan Amera menatap seluruh isi kamar yang dipenuhi dengan perabotan mewah. Ingatannya kembali tertuju pada sepuluh tahun yang lalu. Di mana saat itu, Danis memberikan kamarnya dengan suka hati. Lelaki itu menganggap, kalau Amera adalah tuan putri dan harus mendapatkan hal yang terbaik. Namun setelah ungkapan cintanya, di ulang tahun ke tujuh belas waktu itu, semua berubah total. Yang ada hanya rasa hampa, seiring hilangnya rasa kasih dan cinta yang diberikan Danis selama ini. Amera tentu saja merasa menyesal, jika saja waktu itu tak ia ungkapkan rasa cintanya. Mungkinkah semua masih sama seperti sedia kala? Amera juga tidak bisa menjamin semua itu tidak terjadi. Hanya saja, ia sudah kehilangan sosok Danis yang lemah lembut penuh perhatian. Gadis itu mencari apa saja yang bisa ia jadikan wadah untuk memindahkan semua barangnya. Waktu berlalu, akhirnya semua sudah terkemas rapi dalam koper juga beberapa kardus. "Ya Allah, capek sekali. Nanti saja aku bawa turun. Rasanya pinggangku sakit sekali," keluh Amera sambil duduk berselonjor di lantai kamarnya. Mulai besok atau malam ini, dia akan mengosongkan kamar ini. Semua bukan miliknya. Dirinya hanya parasit yang terus menempel pada diri Danis. Sekarang, dia paham itu. Semua yang ada tak akan pernah menjadi haknya. Mungkin jika berjodoh, Gina adalah pemilik semua yang ada di rumah mewah ini. ___ Pagi harinya, Amera mulai mengangkut semua barangnya. Semalam setelah rumah sepi tak ada aktivitas, dia turun ke kamar di ujung lorong lantai satu. Ruangan yang sudah lama tak digunakan itu dibersihkan oleh Amera. Penuh debu dan kotoran, menyita waktu istirahat gadis itu. Namun, ia tak mengeluh capek sama sekali. Dengan tekad yang dia punya, Amera akhirnya selesai di jam setengah dua. Dia bawa beberapa barangnya ke bawah. Sisanya akan ia angkut nanti. Karena dia juga sedang menghitung beberapa barang pentingnya. Dia akan gunakan barang itu nanti di saat yang tepat. Entah mengapa, pagi ini cuaca begitu buruk. Hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya. Dan Amera ada rencana untuk mengurus visa agar dia bisa secepatnya ke luar negri. Ia menaruh dokumen penting ke dalam tas agar tak basah. Danis sedang duduk di ruang tamu, entah sedang apa, Amera tak ingin tahu. Dia tak lagi menyapa seperti biasanya. Dia menunduk kemudian lewat begitu saja. Danis merasa aneh dengan sikap Amera. Atau bisa dikatakan tidak suka dengan diamnya Amera. Tapi, pagi ini, semua terjadi. Hingga lelaki itu tak bisa terus diam karena perubahan Amera. "Amera ...." Gadis berambut panjang warna hitam dengan mata sipit dan punya hidung mancung itu menoleh. "Mau kemana? Pagi ini hujan lebat, kalau tidak ada urusan penting, lebih baik kau di rumah saja," ucap Danis. Amera terdiam, sudah sangat lama, dia tak mendegar semua kata-kata manis dari Danis. "Meski hujan, bukankah hari ini menuju akhir pekan, apakah kamu tidak mau berkencan?" Amera hanya bertanya lirih. Entah Danis mendengar atau tidak, dia merasa tak peduli. "Kau bicara apa? Aku tak mendengarnya!" Amera mendongak, menatap wajah tampan di hadapannya. Saat dia akan membuka mulutnya untuk menjawab, suara bel terdengar begitu nyaring. Amera membuka pintu, mendapati Gina yang tersenyum ke arahnya. Dia hanya mengangguk sekilas saja tanpa ingin membalas senyumannya. Gadis itu menatap kalung berliontin permata warna merah delima. Dia teringat berita beberapa hari lalu yang ia baca pada sebuah koran. Di mana dalam berita tersebut menyebutkan, kalau Danis membeli kalung mewah nan langka di sebuah acara lelang. Amera sempat berpikir, kalau barang itu akan diberikan padanya. Nyatanya, dia melihat kalung itu melingkar indah di leher Gina. Menambah kecantikan terpancar, apalagi pagi ini wanita itu memakai dres merah maron pas badan. Rambut panjangnya menjuntai hingga hampir ke pinggang. "Danis, hadiah ulang tahunmu sungguh indah. Terima kasih ya?" Gina berucap dengan suara manja dan bergelayut mesra pada lengan kekasihnya. Setelah Gina masuk dan memeluk Danis, saat itu juga, ia bergegas pergi meninggalkan dua sejoli yang di mabuk asmara. Namun, lagi dan lagi, Danis memanggil, mengharuskan Amera menghentikan langkahnya lagi. "Kau tetap tak mendengarku, Amera? Jangan buru-buru pergi, cuaca sedang tidak bagus, ayo aku antar!" Perkataan dari Danis membuat Amera tertegun. Sudah lama, tidak mendengar suara nan halus penuh perhatian. Amera juga tidak mempermasalahkan dengan keberadaan Gina. Meski dia sakit hati pun, akan terasa percuma. Karena Danis, akan terus membawa wanita itu di sisinya. Setelah berada di dalam mobil, Amera memilih menikmati pemandangan luar yang sedikit buram, karena hujan yang begitu lebat. Pepohonan terlihat bergoyan diterpa angin yang sedikit kencang. Bahkan, cuaca pun begitu dingin. Jika ia tak memiliki urusan penting, dia akan memilih mengunci diri di kamar saja. Sedangkan Danis dan Gina seolah lupa, jika di kursi belakang ada manusia yang melihat kemesraan juga obrolan aneh mengenai sepasang kekasih. Setelah lama, Gina menoleh ke belakang dan bertanya, "Amera, kamu kan cantik, seksi pula, apa kamu tidak punya cowok agar bisa menemani kamu kemanapun?" Amera menatap wajah cantik itu, "A-aku tidak suka pacaran." "Wow, hal yang sangat langka, kebanyakan cewek sekarang sudah gonta-ganti cowok, bahkan kebanyakan wanita juga sudah tak bersegel," ucap Gina. Amera hanya tersenyum tipis, kemudian dia mengalihkan pandangannya ke jendela. "Sayang, cuaca begini membuat aku kedinginan. Aku lupa tak membawa jaket. Maukah kau memutar arah dulu agar aku bisa mengambil jaket?" Gina merengek seperti anak kecil. Tanpa menjawab ucapan kekasihnya, Danis menekan rem dengan gesit. Membuat kendaraan roda empat itu seolah berhenti mendadak. "Amera, kantor imigrasi tidak jauh lagi dari sini. Turunlah dan pesan taksi. Aku tidak bisa kalau harus bolak-balik, karena rumah Gina dan tujuanmu beda arah!" Amera tak segera turun, dia menatap kanan dan kiri yang terlihat sepi. Dia merapatkan jaketnya kemudian turun dari mobil mewah itu. Menunggu sejenak di halte, sambil menatap kendaraan yang ditumpangi pamannya semakin menjauh. Tak terasa sebulir air mata jatuh di pipi, rasanya, dia sudah menjadi gadis yang terbuang. Bahkan, dia sudah tak dianggap keluarga oleh Danis. Jika masih dianggap keluarga, seharusnya, Danis tak meninggalkannya di jalan, demi sebuah jaket untuk kekasihnya. "Tidak apa-apa, Amera, semua akan baik-baik saja. Semoga sebentar lagi akan ada taksi lewat, atau pesanan gojek bisa segera datang." Amera bicara sendiri dengan isak tangis yang tak bisa dia tahan. Rasanya, dia semakin ingin mempercepat hari keberangkatan agar segera pergi dari sisi pamannya.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN