OWN 10 | Doa Buruk Yang Terucap

1414 Kata
OWN 10 | Doa Buruk Yang Terucap Teman-teman Aiden menyusul, tampaknya mereka menyelinap meski diperintahkan untuk tetap tinggal. Mereka datang dengan mata memerah dan air mata yang sudah menggenang, banyak nama-nama yang diberitakan adalah teman sekelas mereka. Keempat anak itu menghampiri Aiden dan salah satu diantaranya memegang tangan Aiden. “Ibuku sih tidak menangis karena sudah tahu aku tidak ada di sana…” Keempatnya meminta izin apa adanya, berbeda dengan Aiden, karena itu mereka khawatir pada Aiden. Terutama ia takut Aiden dimarahi habis-habisan oleh ibunya karena masalah ini. “Ibuku tidak akan memarahiku, tenang saja.” Aiden menenangkan, meski jauh di dalam lubuk hati terdalamnya ia cukup takut. Ia takut ibunya akan menangis keras, membuat kehebohan dan memarahinya di depan umum. Jantung Aiden berdebar karena itu. Ibunya akhirnya datang… Aiden mengingat, ibunya pernah bertengkar hebat dan memenjarakan orang yang membuat Aiden terluka, Jessica sangat marah kala itu. Kali ini pun akan demikian. Sang ibu pasti akan memarahinya. “Dimana anakku? Kalian tidak mengajak Harry? Harry ikut dengan kalian membolos kan? Katakan bahwa Harry saat ini masih bermain di wahana? Ayo katakan bahwa Harry ikut bersama kalian.” Wanita itu kembali berulah, Aiden tidak begitu takut seperti sebelumnya karena kali ini ada ibu yang akan selalu melindungi dan membelanya. Wanita itu berjalan, berlutut demi memandang Aiden yang terkejut dengan tindakannya. Sangat berbanding terbalik dengan sebelumnya, wanita itu memegang kedua bahu Aiden dan mulai menangis. “Katakan bahwa Harry membolos bersama kalian.” Aiden melirik ibunya, berharap sang ibu segera bertindak dan menjauhkan wanita yang membuatnya ketakutan. Namun apa yang Aiden lihat justru adalah sorot tidak fokus ibunya. Wanita itu kelihatan linglung dan justru terlihat mengasihani wanita yang menyakiti Aiden. Aiden ingin memanggil ibunya, namun sang ibu masih terus fokus memandangi wajah wanita itu. Sampai akhirnya Arley yang menahan tangan wanita itu untuk menjaga Aiden. “Harry lebih suka berkemah daripada membolos jadi-” Aiden menarik nafas, ia enggan menjawab wanita itu, namun karena sudah ada ibu yang akan melindunginya jadi ia menjawab. Namun bentakan yang ia terima, membuatnya kehilangan kata-kata. “Kenapa kau tidak ajak Harry? Harusnya kau ajak! Kenapa kau tidak mengajak anakku!” Aiden kembali melirik ibunya, ibunya harusnya sudah mengamuk melihat Aiden diperlakukan demikian. Namun sang ibu hanya mengulurkan tangannya yang langsung membuat Aiden meraih tangannya. “Tolong siapkan apapun yang mereka butuhkan, ada penginapan di dekat sini dan makanan. Cuacanya juga makin dingin jadi mereka butuh-” “Jessy, aku mengerti. Kembali dengan taksi jangan menyetir dan, istirahatlah.” Arley mengelus pundak Jessy dan tersenyum menenangkan. “Terima kasih…” ‘Kenapa ibu tidak marah?’ ‘Ibu harusnya memarahiku karena berbohong…’ ‘Ibu harusnya marah pada wanita yang membentak dan membuatku ketakutan.’ ‘Ibu harusnya marah kan?’ Sekali lagi, Aiden melihat ibunya melihat sekelilingnya dimana banyak orang tua yang sudah menjadi histeris, terutama saat melihat Aiden dan teman-temannya yang terhindar dari petaka karena kelakuan mereka. Jessica tidak mengatakan apapun saat ia keluar dari tempat itu. Aiden yang mengikuti di belakang menatap punggung ibunya tanpa henti. “Kenapa anak yang tidak jelas asal-usul sepertinya hidup? Kenapa bukan anakku yang hidup? Dia bahkan tidak berkelakuan baik sama seperti ibunya. Wanita sombong yang hidup dari menjajakan tubuhnya kesana kemari seperti itu, kenapa dia hidup sedangkan anakku tidak!” Bagai perekam yang rusak, perkataan wanita itu sebelumnya seolah terngiang di kepalanya. “Kau!” “Ibumu pasti melahirkanmu saat usianya masih begitu muda. Wanita yang hanya punya wajah cantik itu pasti berpikir bahwa semuanya akan lebih mudah baginya jika kau tiada. Jadi kenapa kau hidup sedangkan anakku tidak? Kenapa anak haram diluar pernikahan dari wanita yang menjual tubuhnya sepertimu hidup sedangkan anakku tidak!” Aiden melepaskan genggaman ibunya, untuk pertama kalinya Aiden melihat punggung ibunya. Biasanya, Ibunya selalu berjalan di belakang Aiden dan memastikan Aiden dalam pengawasannya. Aiden, tidak pernah melihat punggung ibunya seperti ini. ‘Apa perkataannya benar? Bahwa hidup ibu akan lebih baik tanpaku?’ ‘Ibu kecewa karena aku masih hidup?’ “Ibu wanita itu tadi memarahi dan membentakku.” Aiden mengadu apa adanya, berharap mendapatkan tindakan yang tepat dari Jessica. “Dia mengatakan hal buruk dan membuatku terkejut.” Jessica mengulurkan tangannya dan mengelus lembut pipi Aiden. “Sudah makan malam? Ibu tidak menyiapkan apapun, bagaimana jika membeli makanan diluar? Aiden ingin makan apa?” Aiden menatap wajah ibunya, ia sadar bahwa sang ibu enggan membahas yang terjadi. “Kita pikirkan sambil mencari taksi yah…” Jessica membalik badan tanpa menggenggam tangan Aiden. Aiden terdiam sambil melihat punggung ibunya yang menjauh. “Apa benar Ibu adalah ibuku?” Jessica terdiam, ia kembali membalik badanya terkejut. “Aiden bicara apa?” Aiden memandang ibunya lagi dan menarik nafas dalam. “Ibu kecewa saat aku kembali hidup-hidup kan? Jika tidak ada aku, Ibu mungkin akan lebih nyaman.” Jessica menatap Aiden, namun ia berusaha untuk tetap tenang dengan situasi. “Aiden, jangan mengatakan hal yang akan kau sesali.” Jessica seolah memberikan peringatan. “Menyesal? Bukankah yang menyesal itu Ibu? Ibu menyesal melahirkanku karena itu Ibu meninggalkan dan membuangku sebelum kembali karena kasihan kan?” Aiden mendongak menatap wajah ibunya. Suara bising kendaraan di sampingnya tidak mengusik pembicaran panas keduanya. “Aku bahkan tidak mirip dengan Ibu, Ibu yakin Ibu adalah ibuku? Lalu siapa ayahku? Benarkah semua yang orang katakan bahwa aku anak haram politikus? Ibu benar-benar mendapatkan uang dari sana? Apa ayahku menyuruh Ibu mengurusku atau Ibu mengurusku demi mendapatkan uang dari ayahku? Mana yang benar?” Jessica mengerjapkan matanya, ia berusaha mengatur nafas mendengar uacpan putranya. “Aiden, kau mendengar sesuatu yang buruk seperti itu dari mana?” Aiden mengepalkan tangannya, tidak ada satupun pembelaan yang keluar dari bibir ibunya. “Jadi itu benar? Bahwa Ibu menyesal melahirkanku?” Jessica tersenyum dengan miris. “Sayang, kepala ibu sedikit pusing, bisakah kita bicarakan ini di rumah? Lagipula Aiden, kau putra ibu satu-satunya mana mungkin ibu-” “Lalu kenapa ibu membuangku dulu?” Aiden bertanya tanpa jeda. “Ibu kan sudah bilang ibu harus kuliah dan ada beberapa hal yang harus diurus.” Aiden memandangi ibunya. Dulu, ia bahkan tidak tahu seperti apa wajah ibu dan ayahnya. Ibunya hanya mengirim uang dan tidak pernah menemuinya sampai ia memasuki usia enam tahun. Saat itu Aiden baru melihat ibunya yang datang dengan wajah cerah seolah tidak memiliki beban apapun, seolah tidak ada yang salah dengan meninggalkan Aiden bersama pengasuhnya tanpa menjenguk sama sekali. Sampai saat ini, Aiden tidak mengetahui wajah ayahnya. Ibunya tidak pernah menyinggung dan ia terlalu merasa canggung membicarakan hal itu lebih dulu. “Ibu kan kuliah hanya empat tahun, setelahnya? Kenapa Ibu tidak menemuiku?” Aiden bertanya lagi… “Ibu adalah Ibu yang buruk…” Aiden menambahkan, memandangi Jessica yang masih tidak mengatakan apapun. “Aku harap, Ibu bukanlah ibuku dan aku bukanlah anak dari Ibu yang buruk sepertimu.” Jessica menahan nafasnya masih dengan mata yang tertuju pada Aiden. “Coba katakan lagi, bintang baru saja berjatuhan. Mungkin permintaan dan keinganmu akan dikabulkan oleh semesta, Aiden.” Aiden melirik langit yang menjatuhkan cahaya, ia kemudian menatap ibunya, ia enggan mengalah. “Aku harap, Ibu bukanlah ibuku dan aku bukanlah anak dari ibu yang buruk sepertimu. Aku harap, Ibu menghilang dan berhenti berpura-pura peduli padaku!” Jessica menatap Aiden, tetesan air matanya mulai berjatuhan dan ia memandang Aiden dengan sorot penuh rasa terluka. Aiden cukup terkejut melihat raut wajah ibunya. Ia segera berbalik dan berjalan tergesah menyebrangi pembatas jalan. Aiden menyentuh dadanya yang terasa sakit dan tidak nyaman, ia dipenuhi amarah namun ia tidak bisa merasa nyaman. “Tidak apa-apa, aku akan hanya perlu minta maaf besok dan semuanya akan kembali seperti semula.” Aiden berjalan lebih cepat saat hitungan mundur semakin menipis. “Ibu kan, selalu memaafkanku…” Sampai…. Sebuah truk putih yang kehilangan kendali terarah pada Aiden. Aiden mematung kala itu, hingga tubuh kecil itu didorong dengan kasar untuk menghindar. Di detik yang sama saat tubuh Aiden terlempar ke trotoar. Aiden mendesah kecil karena lecet di tubuhnya yang terasa perih. Aiden kemudian melihat ke arah tempatnya tadi berdiri dan saat itulah ia melihat tubuh ibunya yang terpental dan jatuh di atas aspal. Genangan darah membasahi aspal hitam dan membentuk pola khususnya sendiri. Aiden melihat ibunya yang masih terus menatapnya, seolah memastikan keadaan Aiden. Aiden terlihat sangat terkejut melihat kondisi ibunya, ia berlari sambil menangis memanggil-manggil ibunya. Penyesalan, tergambar jelas di wajahnya. “Ibu…” Aiden menatap mata ibunya yang masih menangis, bercampur dengan cipratan darah yang menetes di pipinya, jalur merah di kulit putih sang ibu tergambar jelas. “Ibu…” “Ahhh Ibuuuu…” ‘Kenapa Tuhan, mengabulkan doaku?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN