OWN 9 | Awal Dari Penyesalan Panjang
Aiden mengambil ponselnya diam-diam. Ia kemudian mengirim pesan pada teman-temanya yang terus mengirim pesan dan bertanya mengenai keikutsertaanya.
“Aiden” panggilan diluar kamarnya membuat anak itu buru-buru keluar dengan langkah yang tidak beraturan. “Ada apa? Kenapa berlari? Ada serangga di kamarmu?” Jessica yang berpapasan dengan Aiden di depan pintu tampak terkejut. Terutama saat anak yang hampir tidak pernah berlari itu melangkah dengan tergesah dan risau.
“Itu… Aku…” Aiden melirik sekitar mencari alasan. “Ibu aku hanya ingin ke toilet.” Buru-buru ia segera menuju toilet dan saat itu Jessica membiarkan putra menggemaskannya untuk menyelesaikan urusannya di toilet.
Aiden kebingungan, ia tahu bahwa ia harus membujuk ibunya, sayangnya Jessica bukanlah tipe yang akan terbujuk oleh rayuannya.
Setelah menenangkan diri, Aiden keluar dari kamar mandi dan menemui Jessica yang sudah menunggu dirinya di depan kamar. Sang ibu tersenyum dan memperlihatkan beberapa gambar pada Aiden. “Soal mobil, Aiden mau ganti dengan yang seperti apa?” Aiden diam selama beberapa saat, ia memandangi wajah ibunya yang tersenyum. Ibunya selalu demikian, menganggap serius semua perkataannya seolah perkataan Aiden di atas segalanya.
“Itu… Tidak perlu diganti. Aku hanya asal bicara. Lagipula kan belum lama dibeli.” Aiden tersenyum saat melihat wajah kebingungan ibunya. Sebenarnya ia suka, saat Jessica begitu memperhatikan hal detail terhadap dirinya. “Ibu, sebenarnya dari mana uang yang ibu dapat?” Jessica menatap Aiden seolah tengah menimang jawabannya sendiri.
“Ibu kaya, tidak perlu khawatir.” Jessica menjawab singkat sambil bangkit. Ia menyentuh surai Aiden dan mengelusnya lembut. “Ibu sudah siapkan camilan sore di taman, ayo sayang.” Jessica mengulurkan tangannya, disambut oleh tangan kecil Aiden yang menggenggamnya dengan erat.
Aiden berjalan lebih dulu, diikuti Jessica dibelakangnya.
Keduanya mendatangi taman indah mereka dan duduk di kursi yang memang sudah tersedia. Ibu dan anak itu menikmati teh dengan beberapa kudapan seperti kukis, kue lemon dan cake mint choco. “Ibu, aku mau berkemah.” Aiden berkata tanpa berpikir, ia tahu bahwa jika dirinya terus memikirkan, ia tidak akan mendapatkan izin apapun.
“Tidak boleh.” Jessica menarik nafas dalam–menghirup aroma teh di cangkirnya dengan tenang seolah menolak permintaan Aiden dengan tegas. Ia selalu demikian, mengatur semua kegiatan Aiden meski memenuhi semua keinginannya.
“Semua temanku pergi.” Jessica menatap Aiden lagi. “Lalu kenapa?” Seolah ia tidak tahu dimana letak kesalahannya. “Besok harus berangkat saat pagi, akan menginap satu malam.” Jessica akhirnya meletakan cangkir teh nya dan menatap Aiden lekat-lekat.
“Ibu akan siapkan tempat perkemahan dan-”
“Tidak mau, aku tidak mau berkemah dengan ibu.” Jessica mengernyit. “Ibu pernah berkemah, ibu tahu caranya dan… Ah soal tenda biar Arley yang pasang jadi-”
“Ibu, aku hanya punya sedikit teman dan ibu mau aku kehilangan semua temanku? Sudah kubilang semuanya ikut pekan kemah dan hanya aku yang tidak! Ibu pasti tidak punya teman kan, ibu sejujurnya menghabiskan waktu seperti ini dengan ibu terkadang membuatku terbebani. Ibu kan dulu tidak peduli padaku, kenapa sekarang tiba-tiba menjadi sangat protektif. Akan lebih baik jika ibu kembali seperti dulu!” Aiden bangki, berjalan pergi karena ia cukup terkejut dengan wajah ibunya saat ia meninggikan suaranya.
Aiden bertemu pandang dengan Arley yang baru saja datang dengan kantong belanjaan bahan masakan. Aiden berpikir bahwa pria itu mau membuat ibunya terkesan dengan memasak untuknya lagi.
Pria itu langsung menghampiri Jessica, Aiden tahu bahwa ia akan berusaha menenangkan ibunya padahal hal itu tidak diperlukan. Dari atas kamarnya, Aiden bisa melihat keduanya berdebat. Sebelum ibunya menoleh ke arah kamar Aiden dan berjalan memasuki rumah.
Aiden buru-buru menutup pintu kamarnya dan duduk di meja belajar dengan membuka sebuah buku yang diambilnya dengan asal.
Jessica masuk, menghampiri Aiden dan berdiri di samping mejanya.
Aiden diam sampai akhirnya mengangkat kepalanya ketika sang ibu mengetuk meja.
“Ibu tidak punya teman, saat muda ibu bersekolah di asrama khusus wanita, tapi hampir setiap hari tidur di rumah. Ibu juga terus belajar mengenai ini dan itu, ibu juga harus berlatih dengan waktu yang panjang jadi…”
“Itu…”
“Ibu memang tidak punya teman, meski ada beberapa yang cukup dekat jadi ibu tidak begitu mengerti dan ibu minta maaf.” Aiden memandang wajah ibunya, matanya terlihat risau dan bibirnya seolah tengah menimang kata yang ingin dikeluarkan di bibirnya.
“Kau boleh pergi, tapi Aiden berjanjilah untuk menghindari masalah.” Aiden menatap ibunya lagi, dengan mudah ia bisa meminta maaf pada Aiden saat Aiden bahkan mengatakan hal buruk padanya.
“Aku juga minta maaf ibu, tidak seharusnya aku…” Aiden mendapatkan elusan lembut di pipinya, ibunya tengah tersenyum dengan begitu manis saat ini.
“Tidak apa-apa, meski kau menyakiti ibu jika langsung meminta maaf begini dan tidak membiarkan waktu berlalu dimana ibu sendirian, ibu akan memaafkanmu.” Aiden tersenyum. “Artinya ibu memperingatkanku untuk langsung meminta maaf jika berbuat salah kan…” Aiden mendapati anggukan kecil dari ibunya.
Setelahnya sang ibu keluar dari kamar Aiden. Anak itu kemudian langsung mengirimkan pesan kepada teman-temanya.
Ketika keesokan harinya tiba, dengan alasan bahwa Aiden enggan diperlakukan seperti bayi ia turun di gerbang depan perkemahan dan berpisah dengan ibunya di sana. Sebuah mobil yang kacanya diturunkan menyambut Aiden. Sudah ada teman-temannya di sana dengan ditemani sopir salah satu temannya.
“Yey ayo bermain sepuasnya.” Anak-anak itu akan menginap di satu kamar hotel milik salah satu ayah dari mereka setelah puas bermain. Sayangnya, Aiden meninggalkan ponselnya di dalam tas yang masih ada di bagasi mobil temannya. Meski begitu, mereka menikmati hari menyenangkan itu dengan bebas, Kelimanya bersenang-senang tanpa harus mengikuti pekan kemah yang membosankan. Menikmati camilan sepuasnya, mereka yang kelelahan bermain sambil membuka mainan edisi terbatas di ruang tengah kamar hotel akhirnya diam mematung. Ketika sebuah berita ditayangkan di televisi.
“Ibu…”
Aiden buru-buru minta resepsionis untuk memesankannya sebuah taxi. Sedangkan teman-temannya yang lain dilarang pergi saat salah satu staf tampaknya dihubungi oleh orang tua dari anak sang pemilik hotel.
Aiden yang tiba di sebuah kantor polisi langsung mencoba mengatakan bahwa dirinya adalah anak dari salah satu nama yang ada dalam daftar hilang.
Polisi menghubungi sang ibu dan Aiden sungguh takut ibunya akan marah karena kejadian ini. Terutama, saat sang ibu tidak pernah memarahinya dengan keras sebelumnya. Meski begitu ia hanya ingin menghampiri dan memeluk ibunya saat ini.
Sampai…
“Ahhh jadi maksud Anda, anak itu hidup karena dia membolos? Begitu?” Salah satu ibu dari korban yang mendengar keterangan Aiden saat ditanyai polisi mulai mengamuk.
“Kau anak wanita itu kan?” Aiden menatap wanita bersorot penuh amarah itu terkejut. Ia tidak mengerti mengapa wanita itu begitu marah melihatnya.
“Kenapa anak yang tidak jelas asal-usul sepertinya hidup? Kenapa bukan anakku yang hidup? Dia bahkan tidak berkelakuan baik sama seperti ibunya. Wanita sombong yang hidup dari menjajakan tubuhnya kesana kemari seperti itu, kenapa anak itu hidup sedangkan anakku tidak!” Wanita itu berteriak sambil menangis.
Ia menatap Aiden murka.
“Aku dengar kau anak salah satu pejabat, karena itu kau pikir kau bisa berbuat seenakmu?” Wanita itu berusaha menghampiri Aiden sebelum ditahan petugas.
“Kau!”
“Ibumu pasti melahirkanmu saat usianya masih begitu muda. Wanita yang hanya punya wajah cantik itu pasti berpikir bahwa semuanya akan lebih mudah baginya jika kau tiada. Jadi kenapa kau hidup sedangkan anakku tidak? Kenapa anak haram diluar pernikahan dari wanita yang menjual tubuhnya sepertimu hidup sedangkan anakku tidak!” Aiden langsung digendong untuk dijauhkan dari wanita itu.
Aiden tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Perkataan yang baru saja di dengarnya adalah perkataan tidak baik, Aiden sangat marah mendengarnya.
“Ibu dimana?” Ia bertanya pada petugas yang memberikannya minuman untuk menenangkan diri dari tangisan yang mulai datang.
“Sebentar lagi, tunggu sebentar lagi. Ibumu akan segera datang, hem…” Aiden hanya terus menghitung di dalam pikirannya, waktu cepat berlalu saat ia melakukan hal itu.
Sampai ketika ibunya datang dan kekacauan datang lagi.
Ibunya justru terlihat lebih mengasihani wanita itu ketimbang dirinya.
‘Apa perkataannya benar? Bahwa hidup ibu akan lebih baik tanpaku?’