15. Kata Orang

2018 Kata
Raisa dan Bita selalu membantu Nalaya. Gadis beruntung yang selalu dikelilingi oleh orang-orang baik. Hari ini waktunya kontrol sesuai dengan saran dokter Akbar. Nalaya sengaja datang sendiri karena tidak mau merepotkan orang lain. "Jiah, pincang juga kamu? Gadis bar-bar," cibir Tobi yang saat ini berada di lobi rumah sakit. Nalaya tidak meladeni ucapan Tobi. Ia sangat malas berdebat dengan pemuda renta itu. Saat ini Tobi sudah sembuh dari sakit tubuh bagian belakangnya. Entahlah, ia menggunakan metode pijat atau semacamnya. "Hei! Aku ngomong sama kamu. Main ngeloyor aja." Tobi kesal dengan tingkah Nalaya saat ini. "Oh." Nalaya hanya ber-oh ria saja. "Kamu bisa ga menghargai aku yang lagi bicara? Dari tadi songong banget jadi orang!" Tobi justru sangat emosi saat ini dengan tingkah ajaib Nalaya. "Nona Nalaya, silakan masuk," kata salah satu perawat di depan ruang periksa dokter Akbar. Nalaya meninggalkan Tobi yang masih dalam keadaan emosi saat ini. Ia selalu saja heran dan kesal setiap kali bertemu dengan Nalaya. Wajah gadis itu selalu membuat emosi. Tobi kali ini benar-benar kesal dan memutuskan untuk menunggu Nalaya. Setengah jam kemudian Nalaya sudah keluar dari ruang periksa. Ia hanya menggunakan perban tipis, artinya kondisi pergelangan kaki kirinya sudah membaik. Nalaya tampak tak acuh pada Tobi. Tentu saja membuat emosi Tobi berada di ubun-ubun saat ini. "Kamu! Kita belum selesai, ya!" Tobi berdiri di depan Nalaya dengan wajah kesalnya. "Apa?" tanya Nalaya dengan wajah datar dan tak bersahabat. "Aku ngajak ngomong kamu sejak tadi." Tobi kali marah pada Nalaya. "Ngomong sama aku? Kirain lagi ngomong sama lantai. Mana tahu, kamu lagi memperbanyak keahlian. Salah satunya berbicara dengan lantai. Orang gemar belajar seperti kamu pasti akan mencoba hal baru, salah satunya berbicara pada lantai rumah sakit ini." Nalaya memancing orang yang berkunjung ke rumah sakit ini untuk menoleh ke arahnya. "Hei! Kalian tahu, dia mau jadi ahli bicara sama lantai rumah sakit ini," lanjut Nalaya setelah itu meninggalkan Tobi yang kini melongo karena ulah Nayala. Banyak orang berbisik-bisik. Mereka dengan sengaja mengatakan jika Tobi terkena gejala gila. Astaga! Hilang sudah ketampanan Tobi karena ulah Nalaya. Gadis tak bertanggungjawab itu rupanya sudah keluar dari rumah sakit. Nalaya sudah berada di tepi jalan dan bersiap hendak naik taksi. Tobi berlari secepat mungkin untuk mengejar Nalaya. Ia ingin mengantarkan mantan kekasih dua minggunya itu. Sayang, Nalaya sudah lebih dulu masuk ke dalam taksi. "Mbak, itu ada yang ngejar di belakang." Sopir taksi memberikan kabar pada Nalaya. Nalaya lantas mengoleh ke arah belakang. Ia melihat pemandangan menakjubkan di belakang sana. Nalaya seolah sedang bermain pada sebuah sinetron yang mana laki-laki sedang mengejar wanitanya. Hanya saja kali ini si wanita sedikit unik. "Biarin aja, Pak. Tadi ketemu di rumah sakit. Dia lagi latihan bicara sama lantai rumah sakit," kata Nalaya sengaja menyebarkan aib Tobi pada banyak orang. "Dia gila?" Sopir taksi bertanya pada Nalaya dan diangguki gadis yang sore ini memakai seragam kedai kopi. "Wah! Keren, Mbak. Kalo kata orang-orang, bakal banyak dapat rezeki. Dikejar orang gila itu pertanda mau dapat rezeki besar-besaran," kata sang sopir dengan sangat antusias. Rezeki besar-besaran dari mana? Dikejar Tobi itu lebih mengerikan daripada dikejar hantu. Lebih mirip dikejar oleh rentenir cinta. Semua perasaan di hati laki-laki sialan itu ada nominal uangnya. "Apa Bapak mau gantikan saya dikejar sama dia?" tanya Nalaya dan membuat sang sopir terdiam seketika. Baru kali ini ada pasien sangat aneh. Nalaya menawarkan digantikan oleh sang sopir. Orang gila sesungguhnya juga tahu mana korban yang dikejarnya. Sang sopir akhirnya menggeleng sebagai jawaban. "Mbak itu lucu sekali. Orangnya sangat supel. Aku kasih diskon lima ribu rupiah jadi bayarnya tiga puluh ribu saja," kata sang sopir dengan wajah bahagia seperti habis dapat rezeki dari langit. "Wah ... makasih loh, Pak. Ini uangnya," kata Nalaya sambil mengangsurkan satu lembar uang lima puluh ribuan pada sang sopir. "Wah ... ga ada kembaliannya," kata sang sopir yang saat ini bingung karena baru satu kali dapat penumpang. "Ya, udah, ambil saja uang kembaliannya." Nalaya tersenyum ramah pada sang sopir. "Pak, kata orang, ini namanya dapat rezeki tanpa dikejar orang gila," kata Nalaya dan membuat sang sopir tertawa terbahak-bahak. Sesampai di rumah kontrakan, Nalaya mengecek ponselnya. Banyak panggilan dan pesan masuk. Ia memang sengaja memasang mode diam saat sedang bekerja. Sebab, tak ingin ada yang mengganggunya. Satu pesan dari Daffa sangat menggelitik. Nalaya pun tersenyum saat membacanya. Buaya Air Comberan : "Akhirnya aku bisa dapat nomor ponsel kamu. Apa artinya kita berjodoh?" Daffa. Nalaya memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Ia ingin laki-laki buaya air comberan itu kapok dan tidak lagi usil. Nalaya memang tidak suka jika digombali seperti ini. Bahkan nomor ponsel Daffa pada ponsel Nirina diberi nama Buaya Air Comberan. Nalaya : "Kata orang, membahas jodoh pada lawan jenis adalah karena orang itu tidak laku sama sekali. Poor of you!" Nalaya lantas terkikik geli setelah mengirimkan pesan itu. Buaya air comberan tukang gombal itu pasti setelah ini akan berpikir ulang untuk kembali mendekati Nalaya. Ternyata selucu itu membuat orang lain kesal. Astaga! Nalaya sedikit lupa dengan rasa kesalnya pada Tobi. "Permisi!" Suara laki-laki yang tak asing di telinga Nalaya rupanya datang bertamu. "Siapa sih! Ganggu aja, aku udah mau tidur juga masih ada yang bertamu," kata Nalaya pada diri sendiri dengan nada sangat kesal. "Permisi!" Kedua kalinya suara bariton tidak sabaran itu kembali berteriak dari luar pintu rumah Nalaya. "Ngapain?" tanya Nalaya dengan ketus saat Diaz berada di depan pintu rumah kontrakannya itu. Diaz menghela napas panjang. Ia lalu meletakkan semua makanan yang dibawanya di meja yang ada di teras. Nalaya hanya melirik sekilas. Memang benar sedang lapar, tetapi gengsi juga menerima makanan dari sang kakak. "Antar makanan. Ini Bik Sanah yang masak. Hari ini kamu ulang tahun, makanya dimasakkan makanan spesial." Diaz kali ini menerobos masuk ke dalam ruang tamu Nalaya. Ulang tahun Nalaya? Tunggu dulu, ini hari apa? Jangan sampai Diaz sengaja menjebaknya. Astaga! Baru saja berpikir seperti itu, ternyata sang kakek sudah berada di depan wajah Nalaya. "Ka-Kakek?" tanya Nalaya yang kini terkejut melihat kedatangan Widodo Utara di depan rumah kontrakannya. "Ya, ini Kakek datang beserta dengan pasukan lainnya," kata Widodo sambil menunjuk ke arah beberapa karyawan seniornya yang ikut datang. Nalaya hanya melongo saat satu per satu orang-orang itu masuk. Ada Nyonya Widia, sosok yang sejak dulu sangat menyayangi Nalaya dan Diaz layaknya anak kandung sendiri. Astaga! Mereka membawa kado dan juga nasi tumpeng jumbo. "Ini tanggal berapa memangnya? Kenapa aku ulang tahun? Ga bisa apa ditunda sampai minggu depan?" tanya Nalaya dengan wajah polosnya dan membuat sang kakek terbahak. "Kata orang, kalo sampai lupa hari lahir, artinya sudah punya kekasih. Biasanya kekasihnya yang mengucapkan terlebih dahulu," kata Widodo dengan senyum jumawa. Nalaya langsung mencebikan bibirnya ke depan karena kesal. Boro-boro kekasih, memikirkan lawan jenis saja tidak ada dalam kamus hidupnya. Nalaya hanya ingin menikmati hidup sesuai dengan keinginannya. Tidak muluk-muluk, Nalaya hanya ingin bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. "Mbak Nala kakinya kenapa?" tanya Pak Jhon yang tak lain suami dari Nyonya Widia yang sejak tadi memperhatikan pergelangan tangan Nalaya. Nalaya menatap sinis pada laki-laki paruh baya itu. Kaki yang sakit, tetapi yang dilihat tangan. Astaga! Apakah saat ini yang datang adalah kumpulan orang-orang yang berprofesi sebagai komedian? Lantas, bagaimana kerja mereka di kantor kakek Nalaya dan Diaz? "Yang sakit itu kaki." Nalaya kesal lalu memberengut karena kesal. "Jadi, siapa nama kekasih kamu?" tanya Widodo pada cucu perempuan yang sangat dirindukannya. "Ga ada pacar-pacaran. Ngabisin waktu aja. Nanti kalo udah ketemu jodoh, aku mau langsung nikah aja." Nalaya mengatakannya dengan tegas. Ucapan Nalaya membuat semua orang takjub. Entahlah, sejak kapan otak Nalaya bisa berpikir dengan baik dan benar? Andai seperti ini setiap hari, pasti hidup semua orang akan lebih damai. Tidak ada lagi orang yang sakit kepala. "Kata orang, cucu kesayangan Kakek udah dewasa," Widodo masih saja menggoda sang cucu. Diaz terdiam mendengar ucapan dua orang yang sangat disayanginya. Bukan karena iri, tetapi ia ingat pada kisahnya yang juga sangat menyedihkan. Wanita yang dicintainya memilih pergi. Sampai saat ini, Diaz tidak berani menghubungi gadis itu yang tak lain adalah sahabat baik sang adik. Nalaya menatap Diaz yang saat ini sedang termenung. Ia kesal karena tubuh Diaz ada di sini dan otaknya entah ada di mana. Diaz selalu seperti ini ketika ingat dengan mantan terindahnya. Nalaya lantas mendekati sang kakak. "Aku mau tiup lilin. Kamu sampai kapan mau bengong? Bikin lambat acara saja!" Nalaya memukul pundak Diaz dengan keras dan membuat sang kakak terbatuk-batuk saat ini. Diaz tergagap dan menatap tak enak hati pada semua orang. Nalaya hanya tersenyum miring. Lantas, Nalaya memanjatkan doa sebelum memotong tumpeng itu. Tentu saja potongan pertama untuk sang kakek. Saat sedang asyik makan, tiba-tiba ada tamu tak diundang datang. Nalaya menatap sinis pada laki-laki yang berdiri di depan pintu. Daffa, kini sedang bingung karena rumah kontrakan Nalaya banyak orang. Ia merasa sungkan karena sedang ada acara makan bersama saat ini. "Ngapain di sana?" tanya Nalaya dengan ketus tanpa mempersilakan sang tamu masuk. "Sini masuk-masuk. Kita makan bersama. Kebetulan Nalaya sedang ...." Nalaya langsung membungkam mulut sang kakek. Daffa terkejut saat melihat apa yang dilakukan gadis yang membuatnya jatuh cinta itu. Widodo hampir saja sesak napas karena ulah sang cucu. Antara kasihan dan lucu tidak ada bedanya sama sekali. Semua orang hanya bisa menahan tawa. "Kamu ngapain ke sini? Mau numpang makan?" tanya Nalaya dengan sinis. "Tadinya mau antar makanan ini dan kita bisa makan bersama. Tapi, sepertinya aku salah waktu dan suasana." Daffa mengatakan dengan cepat. "Aku permisi dulu," pamit Daffa saat melihat ada Diaz yang duduk tak jauh dari Nalaya. "Kamu bukan hanya salah waktu dan suasana. Tapi, juga salah alam. Alam kita berbeda. Kamu buaya air comberan dan aku manusia," ejek Nalaya dan membuat sang kakek tertarik dengan Daffa. "Mari sini masuk, kita makan bersama. Maafkan cucu saya, dia memang suka emosi kalo lagi lapar," kata Widodo sambil berjalan menuju ke tempat Daffa berdiri. Daffa merasa mendapatkan angin segar saat ini. Ada dukungan dari pihak keluarga Nalaya. Diaz tampak santai saja melihat kedatangan Daffa. Toh, Diaz bukan rival. Daffa hanya belum tahu jika mereka kakak dan adik. "Wah ... saya senang sekali. Akhirnya bisa makan bersama." Daffa tampak antusias lantas mendekat ke arah Nalaya. "Senang? Pasti karena makan gratis," ejek Nalaya dengan kejam dan membuat semua orang mengulum senyum. "Bukan. Aku senang bisa makan bareng kamu. Ini kaya aku dapat durian runtuh." Daffa mengatakan dengan jujur kali ini, tetapi Nalaya sama sekali tidak percaya. "Kemarin ngomong sama siapa aja gitu? Buaya air comberan 'kan biasanya ngomong hal yang sama ke banyak gadis. Tapi, sori, ya, ga akan berefek sama aku." Nalaya mengatakan dengan ketus. Daffa seharusnya marah karena ucapan itu sudah terlalu menyakiti hatinya. Sayang, jatuh cinta membuat semua ucapan gadis yang ada di depannya itu adalah alunan nada yang sangat indah. Luar biasa sekali efek dari jatuh cinta itu. Semua terasa indah padahal menyakitkan. "Jadi, Mbak Nala sudah punya kekasih? Ini harus kita rayakan, Pak Wid," kata Pak Jhon dengan sangat antusias dan disambut oleh yang lain. Daffa bingung dengan ucapan sosok yang saat ini tersenyum ke arahnya. Ia pun menatap Diaz yang saat ini sedang menyuapi Nalaya. Apakah kekasih yang dimaksud itu adalah laki-laki yang kini dengan sabar menyuapi Nalaya. Mendadak d**a Daffa nyeri karena sakit tak kasat mata itu. "Siapa namamu anak muda?" tanya Widodo yang saat ini tampak tertarik dengan Daffa. "Saya Daffa," kata Daffa sambil menyalami Widodo dengan sopan. Sepersekian detik, Nalaya memperhatikan apa yang dilakukan Daffa. Laki-laki yang dianggap play boy itu ternyata sangat sopan pada orang tua. Ah, pasti hanya pada kakek Nalaya saja. Kita lihat saja nanti bagaimana perlakuannya pada orang lain. "Kamu teman kerja Nalaya? Wajah kalian rupanya sangat mirip," kata Widodo yang saat ini memuji Daffa dengan terang-terangan di depan Nalaya. "Oh, saya polisi, Pak," kata Daffa sambil melirik ke arah Nalaya. Memangnya kalo profesinya sebagai polisi bisa gitu membuat Nalaya jatuh cinta? Daffa tidak tahu siapa laki-laki yang ada di depannya itu. Jika tahu, pasti akan mundur dengan teratur. Daffa bukan siapa-siapa di mata Nalaya. "Wah ... keren! Aku salut dengan anak muda yang suka bekerja keras." Widodo memuji Daffa dan membuat Nalaya mual seketika. "Enggak, Pak. Saya hanya kebetulan dapat pekerjaan ini." Daffa merendah untuk meninggi di depan Nalaya dan keluarganya. "Permisi," seseorang berdiri di depan rumah Nalaya petang ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN