16. Pernyataan Cinta Daffa

2009 Kata
Antonio berdiri dan salah tingkah di depan rumah kontrakan Nalaya. Banyak tatapan mata yang memandangnya dengan tatapan yang dianggap entahlah. Wajah Nalaya juga tampak syok. Kenapa bisa kebetulan sekali. "Pak Antonio cari Pak Polisi ini? Ini dia juga baru saja datang." Nalaya menunjuk ke arah Daffa yang kini justru tersedak. "Kalo kalian ada hubungan silakan, tapi jangan di rumah kontrakan aku. Aku bukan pendukung jeruk makan jeruk," lanjut Nalaya dan membuat semua orang terkejut. "Eh? Bukan! Enak saja. Kalo dia yang ga normal jangan ikutkan aku sama dengan dia dong! Enak saja. Aku cuma korban!" Antonio tidak terima dengan tuduhan itu. Insiden itu jelas menjatuhkan harga diri dua laki-laki normal dan sejati. Mereka tentu saja sangat normal dan masih suka dengan wanita cantik nan seksi. Nalaya terlalu berlebihan saat memvonis dua laki-laki yang saat ini sedang kebingungan itu. Daffa mengembuskan napas dengan kasar sebelum berbicara. "Maaf, atas kesalahpahaman itu. Saya bertemu Nalaya saat dia ke salah satu toko ponsel untuk menukar ponselnya yang rusak. Saat dia mengisi data, terutama data nomor ponsel, aku pikir miliknya. Tidak tahunya milik Bapak ini. Saya sangat normal dan saya jatuh cinta pada Nalaya." Ungkapan cinta Daffa hanya mendapatkan cibiran dari Nalaya. "Bisa dicari buktinya tentang mantan pacar saya sebelumnya, Nalaya," kata Daffa dengan penuh rasa percaya diri tingkat kecamatan. "Pentingnya buat aku apa, ya? Cari informasi dan data pacar Pak Polisi. Saya bukan pengacara yang artinya pengangguran banyak acara. Ga penting banget buat saya cari informasi tentang siapa mantan kamu. Mau pacaran sama betina atau jantan aku sih ga peduli," jawab Nalaya dengan santai dan membuat semua orang menatap ke arahnya. Merasa mendapatkan tatapan aneh, Nalaya pun heran. Apa yang salah dengan ucapannya? Bukankah itu sebuah fakta? Nalaya tidak akan pernah peduli dengan lawan jenisnya. "Nala! Kamu yang sopan sedikit kalo bicara." Widodo menegur cucu kesayangannya. "Maafkan Nalaya, anak muda. Dia memang suka asal kalo bicara. Saya suka dengan keberanian dan kejujuranmu," kata Widodo membuat Daffa besar kepala saat ini. "Tidak apa. Saya malah suka dengan perempuan yang tidak langsung merespons ungkapan cinta dari lawan jenisnya. Artinya perempuan itu berkelas." Daffa yang sebenarnya kecewa mencoba menghibur diri. "Hah! Saya tidak paham lagi dengan isi kepala Nala. Dia memang jarang terlihat digandeng oleh lawan jenis." Widodo mengeluarkan isi hatinya saat ini. Nalaya kesal dengan ulah sang kakek yang seenaknya saja berkeluh kesah. Bukan hal yang utama ketika harus mempunyai pacar saat ini. Nalaya tidak mau menjadi korban buaya darat berwujud manusia. Laki-laki hanya suka mempermainkan perasaan wanita saja. "Aku ga pacaran karena belum ketemu yang cocok saja. Biarkan Tuhan yang mengatur semua buat aku. Sebagai manusia kalian tidak udah mencampuri urusan sesama manusia." Nalaya dengan angkuhnya mengatakan hal itu. "Jodoh memang urusan Tuhan, tapi kalo ga diusahakan ga akan ketemu. Juga, saingannya berat." Diaz mendadak menimpali ucapan sang adik yang seolah sangat benar dengan pendapatnya. Ucapan Diaz mendapat dukungan banyak orang yang ada di rumah kontrakan Nalaya. Diaz, kisah cintanya saja amburadul, bisa-bisanya menyarankan hal demikian. Mungkin kakak Nalaya itu lupa bercermin akan kisah cintanya yang suram. Sampai saat ini, hilal jodoh Diaz saja tidak kelihatan sama sekali. "Emang jodoh kamu udah dekat?" hina Nalaya dengan ketus dan ingin menertawakan Diaz saat ini juga. Diaz manatap tidak suka pada Nalaya yang seolah sengaja membuka masa lalunya. Nalaya memang kadang kurang bisa mengontrol emosinya dengan baik. Ia selalu saja mengungkit masa lalunya itu. Nalaya tampak santai saja setelah mengatakannya. "Jadi, gimana jawaban kamu tentang perasaan saya?" tanya Daffa yang entah sejak kapan berada di samping kanan Nalaya. "Jawaban apa? Kita ga lagi tes," jawab Nalaya dengan santai. "Perasaan aku atuh." Daffa berusaha menatap mata Nalaya untuk memastikan jika gadis di sampingnya itu memang tidak tertarik padanya. Mata indah Nalaya justru seolah menatap jijik pada Daffa. Polisi tampan itu seolah hama yang membuat semua orang harus menghindar dan pergi jauh. Jangan lupakan tentang Nalaya yang memang sudah mati rasa sejak lama. Penyebabnya adalah Tobi dan Diaz tidak tahu hingga saat ini. "Aku tidak tertarik denganmu. Mungkin cari gadis lain saja yang lebih cocok dengan play boy air comberan sepertimu itu." Ucapan Nalaya tentu sangat menyakitkan hati Daffa, tetapi justru menjadi tantangan tersendiri bagi polisi ganteng itu. "Baiklah." Daffa mengembuskan napas dengan kasar saat ini. "Bagaimana jika kita berteman saja? Tadi aku hanya mengetesmu saja. Ternyata hasilnya sesuai dengan ramalanku. Kamu tidak tertarik denganku dan itu adalah hal yang menakjubkan buatku," lanjut Daffa sambil berusaha tetap tersenyum dan seolah semua baik-baik saja saat ini. Nalaya tertegun mendengar jawaban dari Daffa. Kebanyakan laki-laki yang mendekatinya jika sudah mendapatkan penolakan dari Nalaya, maka akan mundur perlahan lalu menghilang. Adik Diaz itu akan menjawab dengan ucapan yang menyakitkan hati. Ia sengaja melakukan hal itu agar laki-laki itu pergi menjauh dari hidupnya. Semua orang terdiam menyimak pembicaran dua muda dan mudi. Nalaya tetaplah Nalaya yang tidak akan peduli dengan sekitarnya. Selesai makan, Nalaya lantas segera meminum obat yang diberikan oleh rumah sakit tadi. Obat-obatan tidak jelas itu memang harus diminum dengan teratur. Hampir pukul sebelas malam, semua tamu Nalaya akhirnya pulang. Sang kakek memberikan kado spesial untuk cucu perempuan kesayangannya itu. Sebuah jabatan yang mentereng di perusahaan. Seperti biasanya, Nalaya akan selalu menolaknya. "Ya, sudah. Kalo kamu berubah pikiran, kabari Diaz atau Widia dan Jhon." Widodo mengatakannya dengan santai. Percuma saja marah dan memaksa Nalaya, cucu perempuan Widodo itu pasti akan semakin menjauh. Diaz dan yang lainnya sudah paham. Mereka semua akhirnya meninggalkan rumah kontrakan Nalaya. Antonio sudah pergi sejak tadi karena merasa risih dengan adanya Daffa. "Sebelah kayaknya kosong?" tanya Daffa dan membuat Nalaya terkejut karena rupanya sosok polisi sok tampan itu masih berada di rumahnya. "Kosong? Ada kok yang nempati. Cuma kalo malam dia kerja jaga kantor di depan sana," jawab Nalaya yang saat ini berbohong. Daffa tertawa pelan lalu menggeleng pelan. Ia baru saja membaca jika rumah kontrakan sebelah Nalaya itu ada tulisan disewakan. Artinya rumah itu kosong saat ini. "Kenapa ketawa?" Nalaya merasa tidak suka dengan apa yang dilakukan Daffa saat ini. "Ada yang lucu?" ketus Nalaya dengan wajah tampak sangat kesal saat ini. "Bukan. Rumah ini kosong. Itu ada tulisan disewakan dan narahubungnya. Ya, aku maulah pindah ke sini." Daffa langsung mencatat nomor ponsel orang yang tertera dalam informasi itu. Astaga! Nalaya merasa tampak sangat bodoh saat ini. Ia ketahuan berbohong pada polisi yang baru saja menyatakan perasaannya itu. Nalaya mengembuskan napas dengan kasar saat ini. Haruskah pindah ke apartemen? "Selamat malam, maaf, saya Daffa. Apakah benar rumah kontrakan ini masih kosong? Saya berencana akan menyewanya." Astaga! Nalaya kembali dikejutkan oleh ulah Daffa saat ini. Apa-apaan dia itu! Seenaknya saja mau pindah ke sebelah rumah kontrakan Nalaya. Nalaya langsung berbalik badan dan hendak masuk ke dalam rumah kontrakannya. "Masih, Pak. Besok saja kita bertemu. Ini sudah tengah malam." "Baiklah, besok pagi kita ketemu di depan rumah kontrakan." Daffa memegang lengan Nalaya dengan kuat. Ia tahu jika gadis cantik di sampingnya itu mempunyai kemampuan ilmu bela diri di atas rata-rata. Daffa pun terlatih dengan itu semua. Ia tidak mau kalah dari Nalaya. "Lepas!" Nalaya tidak suka dengan cara Daffa saat ini. "Kalo ga juga lepas, aku teriak biar kamu dikeroyok orang kampung sini," ancam Nalaya sambil menatap tajam ke arah Daffa yang saat ini justru cengengesan tidak jelas. "Makanya temani aku sampai pagi. Aku mau ketemu sama yang punya kontrakan." Daffa seperti tidak punya dosa sama sekali saat ini. "Enak saja! Aku mau tidur. Kalo kamu mau tunggu sampai pagi silakan. Ga usah ajak-ajak yang ga bener sama aku!" Nalaya kini sudah berada di depan pintu kontrakannya. "Ingat satu hal, gombalanmu mungkin berlaku untuk semua gadis, tapi tidak denganku," kata Nalaya lantas masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Nalaya segera masuk ke dalam kamarnya yang berada di antara dapur dan ruang tamu. Ia kesal dengan apa yang dilakukan oleh Daffa. Laki-laki pemaksa dan adik Diaz itu paham bagaimana sifat laki-laki pemaksa. Mereka akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan targetnya. Hari ini Nalaya libur bekerja dan memutuskan untuk berada di rumah kontrakannya. Ia sama sekali tidak keluar dari rumah. Untuk keperluan makan, biasa ia akan memesan makanan online atau pesan di warung tetangga sebelah. Nalaya tidak paham dengan urusan dapur sama sekali. "Permisi!" Suara bariton itu terdengar dari luar pintu rumah kontrakan Nalaya. Nalaya masih saja terlelap saat ini. Ia benar-benar lelah dengan aktivitasnya kemarin. Ketukan pintu rumahnya saat ini benar-benar menjadi gedoran. Orang yang bertamu itu rupanya sudah tidak sabar. "Mas mungkin Mbak Nala tidur." Salah satu tetangga Nalaya memberikan kabar. "Kalo hari libur gini biasanya habis sarapan Mbak Nalaya tidur. Sore nanti baru bangun atau paling cepat nanti saat tengah hari," lanjutnya memberikan informasi. "Oh, gitu? Makasih, Mas," kata Daffa yang saat ini terpaksa harus kecewa. Niat hati ingin menemui pujaan hati, tetapi harus menunggu. Pagi ini Daffa hanya ingin mengajak Nalaya sarapan bersama sambil jalan-jalan. Kalau pun Nalaya tidak mau, ia akan berusaha membujuknya. Daffa sudah bertekad akan meluluhkan hati Nalaya. Pukul sebelas siang dan Nalaya terbangun dari tidurnya karena hendak buang air kecil. Matanya masih setengah terbuka dan langsung berjalan menuju ke kamar mandi. Hal yang sudah biasa dilakukan sejak masih zaman dulu. Entahlah, anggap saja salah satu kemampuan Nalaya. Mendengar ada suara gemericik di kamar mandi, membuat Daffa yang sejak tadi duduk di depan teras Nalaya bahagia. Ia akan kembali mengetuk pintu kontrakan Nalaya. Tidak apa menanti gadis itu, yang penting sekarang sudah bangun. Polisi tampan itu mengurungkan niatnya, karena suara gemericik air itu belum juga berhenti. Nalaya memang masih berada di kamar mandi. Ia sedang mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang belum terkumpul. Semalam ia langsung tertidur dan tidak mandi. Bau badannya membuat pusing. Nalaya pun akhirnya memutuskan untuk sekalian mandi. Setengah jam sibuk dengan aktivitas membersihkan badan dan berganti baju, Nalaya memutuskan untuk keluar dari kontrakannya. Ia ingin membeli makanan. Perutnya rupanya meminta jatah untuk diisi. Padahal tadi pagi sudah sarapan dan sangat kenyang. "Hai!" Daffa menyapa Nalaya tepat di depan pintu. "Astaga!" Nalaya terjengit kaget dengan kemunculan Daffa di depan pintu. "Ini aku antar kamu makanan. Aku udah resmi tinggal di sebelah mulai pagi tadi. Jadi, kita sekarang tetangga. Mohon pencerahannya tetangga cantik," gombal Daffa membuat Nalaya muak. "Pencerahan apa? Kulit? Sori, aku bukan Dokter kulit. Kalo mau kulitmu cerah, pergi aja ke Dokter Spesialis Jiwa, mana tahu kamu bisa dicerahkan. Ga cuma kulit, jiwa pun bisa ikut cerah," kata Nalaya sambil berjalan menuju ke teras dan mengunci pintunya. "Kalo Dokternya kamu, aku maulah," kata Daffa yang tidak mau menyerah saat ini. Nalaya menatap malas ke arah Daffa yang saat ini cengengesan. Ucapan Nalaya seolah irama lagu paling romantis saat ini. Nalaya menggedikkan bahu tak acuh lalu berjalan menuju ke salah satu warung makan yang letaknya tak jauh dari rumah kontrakan. Nalaya lapar, padahal Daffa memberikannya satu kardus kue. "Kamu lapar?" tanya Daffa yang kini menyadari kemana langkah Nalaya. "Iya." Nalaya menjawab dengan singkat dan merasa risih karena banyak mata memandang ke arah mereka berdua. "Mbak Nala! Ini pacar barunya?" tanya salah satu tetangga Nalaya yang saat ini memandang ke arah Daffa dengan tatapan memuja. Nalaya menggeleng sebagai jawaban. Akan tetapi, mereka tentu saja tidak akan percaya sama sekali. Sudahlah, tidak perlu menjawab atau menjelaskan pada siapa pun. Sebab, ujung-ujungnya mereka tidak akan paham sama sekali. "Aku tadi ada bawa kue satu kardus makanan. Kenapa ga makan itu aja?" tanya Daffa yang merasa penasaran dengan Nalaya. "Makan apaan? Kardus kue? Maaf, aku manusia normal. Bukan manusia kardus. Aku makan nasi dan sebagainya," kata Nalaya dengan ketus dan membuat Daffa tersenyum geli. "Kamu lucu." Dua kata yang keluar dari mulut Daffa membuat Nalaya menatap tidak suka pada sosok polisi yang ada di sampingnya itu. Nalaya berusaha mempercepat langkahnya meski masih pinjang. Nalaya sudah berusaha tidak menggunakan alat bantu jalan. Akan tetapi, rupanya membuat pergelangan kaki kirinya kini terasa sangat nyeri. Nalaya berpegangan pada salah satu lengan Daffa. Tentu saja Daffa sangat bahagia. "Apa masih sakit?" tanya Daffa dengan penuh perhatian dan menatap ke arah pergelangan kaki kiri Nalaya. Kaki Nalaya kembali bengkak rupanya. Wajah cantik itu tampak meringis menahan sakit yang mendadak menjalar di sekujur kaki kirinya. Astaga! Nalaya lupa nasihat dari dokter Akbar; tidak boleh memaksakan berjalan dengan cepat. Nalaya mengembuskan napas dengan kasar. "Sini." Nalaya menatap Daffa dengan tatapan aneh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN