14. Kebaikan Hati

1068 Kata
Tak berapa lama beberapa Dokter datang dan memberikan tindakan medis pada Nalaya. Semua sesuai dengan intruksi dokter Akbar yang merupakan salah satu senior yang ada di rumah sakit ini. Nalaya hanya diam saja dan sesekali meringis menahan sakit. Jika pasien lain pasti sudah berteriak sangat kencang saat posisi tulang sedang dibenarkan. "Sudah selesai, Nala. Kamu harus istirahat selama satu minggu. Tidak boleh melakukan aktivitas berat apa pun." Dokter Akbar memberikan nasihat terbaiknya. "Tunggu, aktivitas berat itu apa? Aku bukan kuli bangunan jadi tidak beraktivitas berat. Aku juga bukan pemain sirkus jadi tidak loncat-loncatan. Pekerjaanku hanya membuat kopi saja, itu sama sekali tidak berat." Semua Dokter menahan tawa saat Nalaya bertanya pada Dokter senior mereka. "Kalian kenapa? Sedang mengheningkan cipta? Ini bukan sedang upacara bendera, jadi mohon dikondisikan. Mengheningkan cipta hanya ada saat upacara bendera saat hari Senin," lanjut Nalaya dan membuat semua orang berkaca-kaca karena harus menahan tawa. Nalaya salah satu contoh pelawak berkedok cucu konglomerat. Sifatnya sangat bertolak bekalang dengan Diaz. Diaz lebih serius dan sangat meyakinkan sebagai cucu salah salah satu konglomerat. Nalaya itu tidak bisa diprediksi sama sekali tingkah lakunya. "Ini resepnya, mohon obatnya diminum dengan teratur. Minggu depan kontrol lagi," kata dokter Akbar tanpa mau menjawab pertanyaan Nalaya sama sekali. "Baik, Dok. Biar saya ambil obatnya dulu di apotek." Diaz menerima resep obat itu dengan cepat dan segera mendorong kursi roda sang adik. Semua tim medis dan Dokter mengantarkan mereka hingga depan pintu sebagai bukti hormat mereka pada cucu pemilik rumah sakit ini. Mereka tidak mau dianggap kurang ajar oleh kakek kedua muda-mudi yang sedang bertengkar mulut itu. Astaga! Nalaya merasa tidak terima saat Diaz mendorong kursi rodanya. "Diam dulu. Ambil obat lalu aku antar kamu ke apartemen. Di sana biar ada yang rawat." Diaz yang tidak mau dibantah kali ini membuat Nalaya marah besar. "Aku mau tinggal di rumah kontrakan! Enak aja ke apartemen. Aku ga sudi!" Nalaya berteriak saat Diaz sudah kembi membawa obat yang baru saja ditebusnya. Petugas apotek sudah mempersiapkan obat itu dengan cepat. Dokter Akbar mengirimkan pesan pada mereka. Tujuannya agar kedua cucu pemilik rumah sakit itu tidak menunggu dengan lama. Salah satu pelayanan pribadi agar bisa tetap bekerja di rumah sakit ini. "Mbak Nalaya? Aku boleh minta foto dan tanda tangan?" tanya salah satu anak kecil yang mendekat ke arah Nalaya yang sedang bersiap mengamuk pada Diaz. "Hah? Apa? Adek kenal saya?" tanya Nalaya yang kini mulai bahagia dan tidak percaya jika ada yang mengenalnya di tempat menyebalkan ini. "Tentu. Aku sering melihat Mbak bertanding futsal." Anak kecil itu tampak sangat antusias ketika melihat idolanya. Nalaya meski bukan atlit nasional, tetapi permainanya sudah dikenal banyak orang. Mungkin sebentar lagi akan dilirik oleh timnas. Semoga saja dan semua bisa terwujud. Andai dilirik oleh timnas, maka sang kakek harus siap jika Nalaya tidak mau bekerja di perusahaannya. "Baiklah. Aku tanda tangan di mana?" Nalaya mencari pulpen dan kertas. "Diaz! Carikan aku spidoal dan kertas!" teriak Nalaya dan membuat Diaz terkejut karena sedang syok saat ini. Diaz langsung mencari dua benda yang diinginkan sang adik. Nalaya langsung memberikan tanda tangannya. Ini adalah hal yang pertama kali terjadi dalam hidupnya. Ada penggemar Nalaya yang masih bocah dengan rambut gundul dan wajahnya sangat pucat. "Adik ini sakit apa?" tanya Nalaya dengan sabar dan penuh perhatian. "Anak saya leukimia stadium tiga." Ibu dari sang bocah itu tampak menahan air matanya. Nalaya terdiam seketika saat ini. Ia menarik tangan Diaz dan meminta sang kakak sedikit menunduk. Nalaya ingin meminta tolong agar bisa bertemu dengan direktur rumah sakit ini. Diaz tanpa pikir panjang langsung mencari sosok direktur itu dengan mengirimkan pesan. "Dia sakit kanker. Bisakah dijadwalkan pemeriksaan rutin tanpa harus menunggu lama?" Nalaya memberikan perintah pada direktur rumah sakit ini. Kejutan bagi kedua orang tua si bocah malang itu. Mereka selama ini harus berangkat dari kampung saat tengah malam dan menunggu hingga malam lagi untuk bisa mendapatkan pemeriksaan. Seperti malaikat, Nalaya datang tepat pada waktunya. Salah satu sifat yang tidak dimiliki oleh Diaz adalah dermawan seperti sang adik. "Baiklah, Nona. Jika itu perintah dari Anda," kata sang direktur yang tidak mau membantah Nalaya. Membantah Nalaya artinya sudah tidak mau lagi bekerja di tempat ini. Gadis yang kini duduk di kursi roda itu juga meminta agar diberikan fasilitas khusus dan juga pengobatan gratis. Entah mengapa, Nalaya merasa jika kedua orang tua bocah malang itu bukan dari keluarga kaya. Mereka pasti kesulitan biaya pengobatan. Nalaya kini sudah berada di rumah kontrakannya. Ia tadi sempat mengamuk pada Diaz. Mereka hampir saja terlibat kecelakaan lalu lintas. Nalaya merebut setir mobil Diaz dan mobil mewah itu oleng. "La, kalo butuh sesuatu jangan sungkan hubungi aku. Aku memang sibuk, tapi kalo kamu butuh bantuan, pekerjaan akan aku tinggal." Diaz tidak mau lagi bertengkar dengan Nalaya. "Gampanglah. Banyak tetangga ini. Mereka pasti akan bantu," kata Nalaya yang dengan halus menolak pertolongan dari Diaz. Diaz hanya menghela napas panjang. Dinding itu dibangun sangat tinggi oleh Nalaya. Hubungan kakak adik di antara mereka hancur begitu saja. Diaz tidak punya celah untuk dimaafkan. "Nal! Kenapa kaki lu jadi pengkor dadakan gitu?" tanya tetangga sebelah kontrakan Nalaya. "Cidera, gue. Besok lagi kita ngobrol. Gue ngantuk habis makan tadi," kata Nalaya yang sudah menguap beberapa kali. Tetangga Nalaya itu paham dan gadis itu masuk ke dalam rumahnya lalu mengunci pintu tanpa pamit pada sang kakak. Diaz pun langsung meninggalkan rumah kontrakan Nalaya yang dianggap kurang layak itu. Diaz hanya bisa bersabar pada sang adik. Pukul satu dini hari, Diaz pun sampai di apartemennya. Pagi datang dengan cepat, Nalaya pagi ini tidak masuk kerja karena cidera yang dialaminya. Ia sudah mengirimkan surat keterangan sakit pada Antonio. Ada satu minggu izin yang diberikan oleh dokter Akbar itu. Hanya saja, Nalaya tidak akan libur kerja selama itu. "Sepi banget ga ada Nalaya. Dia cidera parah kemarin. Makanya dilarikan ke rumah sakit," kata Bita yang mendengar informasi langsung dari Nalaya beserta dengan foto kaki kiri Nalaya yang bengkak. "Eh, iyakah? Pulang kerja nanti kita jenguk dia. Kalo perlu kita menginap saja di kontrakannya. Kasihan dia, pasti kesulitan jalan. Mana kalo habis cidera gitu biasanya pakai acara demam,"kata Raisa yang sudah pernah merasakan retak pada kaki kananya karena jatuh dari motor. "Duh ... ga kebayang gimana cara Nalaya makan dan boker," kata Bita yang sama sekali tidak nyambung dengan topik patah tulang itu. Raisa langsung menggeplak kepala Bita dengan keras. Segara buang air besar ditanyakan. Sungguh tidak berfaedah sama sekali pertanyaan itu. Menyebalkan sekali! "Boker ga udah dibahas, b**o!" Raisa kesal dengan Bita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN