13. Korban

1052 Kata
Daffa merenungi ucapan Roni kali ini. Ia juga tahu siapa Diaz Ibrahim itu. Jelas kalah telak jika harus bersaing dengan sosok yang tadi merangkul Nalaya dengan mudahnya. Roni tampak mengulum senyumnya saat ini. "Udahlah, yang jelas mereka bukan dari kalangan biasa saja." Roni kembali mengingatkan Daffa. "Tidak. Aku ga akan nyerah sama sekali." Daffa masih berusaha mengumpulkan semangatnya untuk mengejar Nalaya meski hasilnya itu mustahil. Sementara itu, Nalaya mulai meringis kesakitan saat ini. Tubuhnya pun mendadak demam. Pergelangan kakinya pun terasa sangat nyeri saat ini. Diaz melihat wajah sang adik mulai memucat saat ini. "Sabar, La, bentar lagi Dokternya akan sampai." Kalimat yang jelas salah jika diucapkan saat ini pada Nalaya. "Emang Dokternya lagi ngapain? Rumah sakit sebesar ini ga ada Dokter jaga atau gimana? Atau mereka jalan sambil kayang tiap lima langkah?" Nalaya sangat kesal saat ini karena pergelangan kakinya sudah sangat sakit. "Harusnya ga usah ke rumah sakit ini. Pelayanannya jelek bener," oceh Nalaya dengan sisa tenaganya itu. "Maafkan kedatangan kami yang terlambat, Nona Nalaya," kata salah satu Dokter senior yang baru saja datang. "Maaf, maaf, lebaran masih jauh kali. Ini kaki kanan aku sakit. Tuh liat jadi gemuk." Nalaya menunjuk ke arah kaki kirinya. Dokter selalu saja takjub dengan tingkah laku Nalaya. Sejak kecil memang sudah sangat membingungkan. Kaki kiri yang sakit dibilang kaki kanan. Bisa saja saat sakit, Nalaya menjadi bertambah tingkat keerorannya. "Ini kaki kiri, Non." Dokter senior itu menahan tawanya. "Pokoknya kaki aku tuh sakit. Duh, sialan emang tuh polisi wanita. Mainnya kasar banget. Untung aja udah sempat aku tendang tadi. Muntah-muntah dia. Nah, siapa suruh aku lagi sundul bola malah dia mendekat. Jadilah kena tendangan aku!" Nalaya mengoceh tidak jelas saat Dokter dan tim medis lainnya memeriksa kaki kiri Nalaya. "Ini ada retak tulang. Tapi, untuk lebih yakin kita akan memeriksanya dengan CT-scan. Kita akan lihat di mana letak retakan atau patahannya." Dokter Akbar mengatakannya dengan sabar karena sudah tahu sikap dan sifat Nalaya yang sedikit banyak bisa membuat orang lain jantungan. "Memeriksa apa?" tanya Nalaya yang tidak paham dengan istilah alat-alat kedokteran saat ini. Diaz yang sejak tadi diam sekarang menjadi gemas dengan tingkah sang adik. Nalaya bisa kapan saja dan mendadak lemah otak. Kadang lemah otaknya membuat orang lain kesusahan. Tentu saja Diaz tidak akan tinggal diam saat ini. "Periksa kaki kamu itu loh, Na. Masa iya yang sakit kaki yang diperiksa kepala!" Diaz sangat kesal saat ini. Nalaya menoleh ke arah Diaz. Ia baru sadar jika sejak tadi bersama sang kakak laki-lakinya. Semua orang tahu jika hubungan mereka retak karena masalah pribadi. Masalah yang membuat Nalaya marah besar pada Diaz. "Heh! Sejak kapan kita jadi akrab? Kamu di sini bikin aku tambah sakit aja. Udah pergi aja sana! Suka heran aku, selalu aja ngintilin. Dah kaya rentenir nagihin utang orang-orang kamu!" Astaga! Ucapan Nalaya membuat semua orang diam. Mereka diam karena ingin tertawa, tetapi takut dianggap tidak sopan. Kesadaran Nalaya memang setipis tisu. Memang sejak tadi siapa yang mengantarkannya ke rumah sakit? Dokter Akbar bahkan sampai menepuk jidatnya sendiri; tidak mungkin menepuk jidat orang lain karena termasuk tidak sopan. "Nona, sejak tadi itu Anda bersama Tuan Muda Diaz. Beliau yang mengantarkan Anda ke sini," kata dokter Akbar dengan sabar dan menahan tawanya. "Oh, ya? Mungkin mata aku yang salah. Aku kira dia Bang Ney." Nalaya semakin tidak jelas lagi. Diaz hanya perlu menambah kemampuan meningkatkan kesabaran dosis tinggi. Menghadapi Nalaya yang sedang emosi dan juga manahan sakit harus lebih sabar. Tingkat kesabaran itu bukan hanya tingkat kecamatan setempat. Harus tingkat kesabaran internasional karena kejadian aneh bisa saja mendadak terjadi dan tidak bisa diprediksi sama sekali. "Kita bawa ke laboratorium dulu," kata dokter Akbar yang sejak tadi manahan tawanya. "Aduh, kan bisa tuh langsung aja kaki aku dibenerin. Ga usahlah ke laboratorium," kata Nalaya yang menolak karena takut jika disuntik. "Lah, harus CT-scan. Mana tahu kelapa kamu ada yang retak otaknya," kata Diaz sambil mendorong cepat kursi roda Nalaya saat ini. Nalaya berada di ruang pemeriksaan. Tidak terdengar suara gaduh saat ini. Diaz sedikit lega karena mungkin Nalaya patuh. Baru saja bahagia, rupanya Nalaya membuat onar. "Ada apa, Sus?" tanya Diaz yang ikut panik saat melihat salah satu perawat keluar dengan tergesa-gesa dari ruangan. Diaz takut sesuatu buruk terjadi pada adik perempuannya itu. Meski sangat menyebalkan dan membuat sakit kepala, Diaz sangat menyayangi Nalaya. Hanya saja mereka lebih sering menghabiskan waktunya untuk bertengkar. Nalaya selalu saja mengingatkan kesalahan Diaz di masa lalu. Diaz dianggap laki-laki kurang ajar. Nalaya juga hilang rasa hormat dan peduli pada Diaz. Diaz paham, Nalaya membela sahabat baiknya. "Itu, dokter Akbar disuntik obat bius sama Mbak Nala." Diaz terkejut saat mendengar ucapan perawat tadi. "Beliau mati rasa pada tangannya. Dan saya harus mencari Dokter lain agar menangani Mbak Nala," lanjut perawat itu yang saat ini berlari menuju ke ruangan Dokter jaga. Diaz pun segera masuk ke ruangan Nalaya. Adiknya tampak sedang kebingungan. Dokter Akbar berusaha menenangkan cucu dari konglomerat pemilik rumah sakit ini. Astaga! Mengapa sangat konyol tingkah Nalaya? "Nala! Apa yang kamu lakukan itu kriminal!" Diaz marah dengan apa yang dilakukan oleh Nalaya saat ini. "Aku hanya mencoba bagaimana reaksinya. Ternyata benar-benar mati rasa. Jadi, aku mulai percaya dengan obat-obatan medis ini." Nalaya tidak merasa bersalah sama sekali. "Dokter harus lebih dahulu mencoba semua obat yang ada sebelum memberikannya pada pasien. Dengan demikian tidak ada kasus mal praktik nantinya," lanjut Nalaya yang merasa sangat bangga dengan percobaannya. Dokter Akbar hanya tersenyum kecut mendengar penjelasan Nalaya. Sudah bisa diprediksi kedatangan Nalaya menjadi musibah bagi Dokter yang sedang berjaga. Korban malam ini adalah dokter Akbar. Entah siapa lagi yang akan jadi korban betikutnya. "Dok, ini aku di rumah sakit gini ga ada apa makanan yang dikasih ke aku. Aku lapar sangat. Habis main futsal dan belum makan malam." Nalaya masih sempat memikirkan malan malam untuk dirinya sendiri. "Sebentar, Non. Nanti ada perawat yang akan memberikan makanan untuk Nona." Nalaya kesal dengan dokter Akbar saat ini. "Nona, nona! Panggil aku Nalaya! Umumkan pada semua orang panggil aku Nalaya atau Nana atau Lala saja tanpa embel-embel apa pun. Jika Dokter masih melanggar, maka aku akan menyuntikkan lagi suntikan ini." Nalaya mengancam Dokter Akbar dengan nada dingin. Nalaya selalu berhasil mengancam siapa pun saat ini. Tidak peduli apa jabatan orang itu. Mereka akan patuh dan tunduk seketika. Salah satu kebanggaan sang kakek karena Nalaya bisa jadi pemimpin perusahaan di masa yang akan datang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN