17. Bertengkar

2010 Kata
"Ngapain?" tanya Nalaya saat melihat Daffa berjongkok di depannya karena merasa sedang tidak ikut lomba. "Naik ke punggungku. Biar aku gendong," kata Daffa yang masih berjongkok di depan Nalaya. "Udah deh, ga usah bercanda berlebihan. Aku masih kuat kalo hanya berjalan sampai masuk pintu warteg." Nalaya berjalan dan meninggalkan Daffa yang masih berjongkok. Daffa menggeleng pelan, Nalaya tidak seperti gadis pada umumnya. Lebih memilih menahan rasa sakit daripada harus menempel sana-sini. Salah satu kelebihan Nalaya yang jarang dimiliki oleh gadis lain. Daffa semakin kagum dengan kepribadian Nalaya. "Nala! Dibilang jangan jalan jauh-jauh, suka ngeyel nih orang!" Diaz baru saja turun dari mobil mewahnya dan langsung mengomel. "Itu kenapa teman kamu jongkok?" tanya Diaz semakin curiga dengan tingkah sang adik. Harus curiga tingkat kecamatan memang, karena siapa tahu Nalaya baru saja melayangkan tendangan Taekwondo-nya dan membuat lawannya kesakitan. Nalaya bukan gadis biasa saja. Ia tak segan menghajar lawan jenis yang sengaja berbuat bodoh padanya. Diaz menatap penuh curiga pada sang adik. "Siapa? Dia?" Nalaya menunjuk ke arah Daffa yang bersiap hendak berdiri. "Dia lagi mau start lari. Ikutan lomba lari kampung ini," kata Nalaya dengan asal dan langsung masuk ke warteg langganannya. "Apa?!" Diaz kaget dengan jawaban Nalaya yang dianggapnya sangay aneh. "Kamu ga lagi bercanda 'kan?" tanya Diaz yang sulit percaya pada sang adik. "Serah deh, aku lapar. Berdebat sama kamu tuh bikin energi habis aja. Lagian kamu ada benernya juga. Jangan percaya padaku. Cukup percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Nilai PPKn-mu bagus 'kan? Ingat Pancasila sila pertama," kata Nalaya yang saat ini air liurnya hampir menetes karena melihat tumis cumi hitam cabai hijau. Diaz dan Daffa kini saling pandang dengan aura persaingan. Bagi Daffa laki-laki yang kini berdiri di samping Nalaya adalah saingan terberatnya. Akan tetapi, Diaz tidak peduli dianggap saingan atau semacamnya. Biarkan saja Daffa dengan segala pemikiran bodohnya itu. "Mbak aku nasi cumi item. Porsi satu setengah. Sayurnya tumis kangkung aja," kata Nalaya membuat dua laki-laki tampan itu menoleh dan menatap tidak percaya pada gadis yang saat ini sedang duduk. Nalaya tidak akan peduli dengan porsi makannya. Biarkan saja, toh itu urusan perut. Tidak perlu menyamakan porsi orang lain dengan porsi gadis manis itu. Daffa menelan ludahnya dengan kasar. "Siap, Mbak Nala. Tumben diantar dua cowok? Mana ganteng semua?" tanya Mbak Sarni pemilik warung yang saat ini curi pandang kepada dua laki-laki yang dianggapnya ganteng itu. "Oh, mereka? Mereka tuh mau latihan kayang di warung ini." Nalaya berbicara sangat asal dan tidak peduli dengan sang kakak juga Daffa. "Mbak Nala emang suka bercanda kelewatan. Masa, iya, datang ke warung buat kayang? Orang datang ke warung mau makan atuh," kata Mbak Sarni sambil mengulum senyumnya karena geli dengan tingkah gadis ajaib di depannya itu. "Lah? Ga percaya. Mereka berdua atlet kayang. Aku atlet futsal, jadi mereka sebelum makan biasa kayang dulu." Nalaya masih saja sesuka hati saat berbicara. "Mbak, aku dibungkus aja. Mau makan di kontrakan sambil selonjoran. Eh, baru ingat, aku bisa ga kalo pesan makan dari sini dan diantar ke rumah buat nanti malam?" tanya Nalaya dengan penuh harap. "Bisa, Mbak. Nunggu anak saya pulang kerja dulu," kata Mbak Sarni yang merasa iba saat melihat kondisi kaki Nalaya yang jauh dari kata baik-baik saja. Ucapan Nalaya rupanya celah bagi Daffa. Nanti malam ia yang akan membelikan makanan untuk gadis cantik yang saat ini membuatnya jatuh cinta itu. Kesempatan emas tak akan datang dua kali bukan? Daffa akan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. "Berapa, Mbak?" tanya Nalaya saat Mbak Sarni menyodorkan kantung kresek berisi makanan pesanan Nalaya. "Delapan belas ribu rupiah saja," kata Mbak Sarni sambil melirik ke arah Daffa yang memesona dengan pakaian kasualnya. "Ini uangnya." Nalaya menyodorkan uang pas pada Mbak Sarni. "Makasih, aku pulang dulu. Nanti aku kirimi pesan kalo mau makan malam," lanjut Nalaya dan diangguki oleh Mbak Sarni dengan cepat. Saat menapak pertama kali, pergelangan kaki kiro Nalaya rasanya sangat sakit. Sakitnya sama seperti saat cidera pertama kali. Nalaya pun memegang lengang Diaz sambil meringis. Diaz hanya mengembuskan napas dengan kasar. "Kamu pasti melanggar ucapan dokter Akbar?" tanya Diaz yang sebenarnya adalah tuduhan yang tepat. Nalaya tidak mau berdebat dan meminta Diaz menggendong di belakang. Diaz mengusap kening karena sudah tahu akan menggendong karung beras. Nalaya itu berat, tetapi masih ideal dengan tinggi badannya. Tinggi keduanya hampir sama karena gadis cantik itu memang gemar berolah raga. "Terpaksa." Diaz akhirnya berjongkok dan membuat Daffa geram. Kebaikan Daffa ditolak mentah-mentah dan justru mau saja digendong oleh laki-laki. Saat Nalaya hendak naik ke punggung sang kakak, Daffa menarik lengannya. Tidak ada persiapan sama sekali membuat Nalaya hampir saja jatuh. Daffa dengan sigap menangkap tubuh gadis cantik itu. "Apa-apaan kamu?!" Nalaya kini sangat marah dengan ulah Daffa yang dianggapnya kurang ajar. "Kamu tahu dia itu ...," kata Nalaya yang tidak diselesaikan karena tidak mau membuka hubungan mereka berdua yang ternyata kakak dan adik. "Tadi tidak mau, sekarang kamu minta gendong laki-laki ini. Oh, aku tahu, kamu milih-milih. Kamu milih yang kaya. Matre!" Daffa tidak bisa menahan amarahnya saat ini. "Ternyata kamu sama saja dengan gadis yang pernah aku kencani selama ini," lanjut Daffa sambil memegang lengab tangan Nalaya dengan kasar. Nalaya tersenyum melihat kemarahan Daffa. Lucu bukan main. Siapa dia? Berani mengatai Nalaya matre. Katakan saja jika laki-laki yang berprofesi sebagai polisi itu tidak mampu. "Memangnya kenapa kalo aku matre? Kamu ada masalah dengan sifatku?" tanya Nalaya dengan nada meremehkan. "Sebelum kamu menilai orang lain, lihat diri kamu di depan cermin. Pantas ga kamu sebagai manusia?" tanya Nalaya dengan nada penuh intimidasi. "Kita pergi?" tanya Diaz yang sudah siap hendak menggendong sang adik. Daffa sangat terkejut dengan respons yang diberikan oleh Nalaya saat ini. Gadis yang kini sudaj digendong laki-laki lain itu berani mengintimidasinya. Daffa semakin penasaran dengan Nalaya. Ingat, penasaran akan membuat seseorang menjadi terobsesi bukan mencintai. "Aku seperti pernah lihat wajah teman kamu itu." Diaz mengatakan pada Nalaya. "Wajah itu seperti tidak asing. Kalian sudah kenal lama?" tanya Diaz sambil berusaha mengingat wajah seseorang. "Teman? Ogah. Aku ga ada teman modelan dia. Dia itu polisi. Keganjenan sama setiap cewek. Play boy cap kebawah. Jauh dari kata menengah apalagi ke atas. Modal wajah aja. Padahal wajah itu standar aja. Cewek-cewek aja yang pada sakit mata makanya mau sama dia,"omel Nalaya yang saat ini merasa kesal dengan tingkah Daffa. "Kalian awal aja bertengkar, jangan sampai nanti malah pacaran lanjut ke pelaminan," goda Diaz saat mereka sampai di depan pintu rumah kontrakan Nalaya. "Ogah! Bukan tipe aku laki-laki modelan kaya dia. Menyusahkan aja. Dia itu lebih tepat dibilang toxic!" Nalaya tidak terima dengan godaan Diaz yang dianggapnya berlebihan. Diaz tertawa kecil mendengar penolakan Nalaya. Ia mendudukkan sang adik dengan perlahan. Nalaya segera mengeluarkan kunci dari dalam saku celana pendeknya saat ini. Ia menyerahkan pada sang kakak. "Kamu ngapain datang? Semalam kita sudah ketemu." Nalaya merasa heran dengan kedatangan sang kakak siang ini. Diaz hanya tersenyum saat mendengar pertanyaan sang adik. Nalaya akan selalu langsung pada topik pembicaraan tanpa ada basa-basi terlebih dahulu. Sangat cocok dijadikan pemimpin dalam perusahaan sang kakek. Sayang, Nalaya memilih bekerja sebagai pelayan di salah satu kedai kopi yang masih menjadi perusahaan kopi sang kakek. "Aku butuh bantuan kamu." Ucapan Diaz membuat dahi Nalaya berkerut tanda sedang berpikir keras. "Aku tahu, ini terlalu merepotkan. Tapi, aku hanya percaya padamu saja," lanjut Diaz dengan wajah sangat memohon. "Tunggu, kamu ga lagi diganggu sama seseorang? Em ... maksud aku ada seorang wanita atau semacamnya yang mendekati kamu secara brutal? Atau ada hal lain?" tanya Nalaya penuh selidik karena tidak mau masuk dalam jebakan sang kakek. Widodo meminta Nalaya untuk bekerja di perusahaan kopi milik keluarga mereka. Perusahaan itu sudah sangat besar; berkembang dengan pesat karena campur tangan Widodo. Ya, memang intuisi bisnis sang kakek sangat luar biasa. Hanya saja, Nalaya tidak peduli dengan semua hal itu. "Tidak ada hubungan dengan pekerjaan atau semacamnya. Aku hanya ingin kamu mencari tahu tentang Ifa. Aku ingin menjelaskan semua hal tentang kesalahpahaman itu." Diaz tampak sangat takut saat mengatakan hal ini. Nalaya menatap tajam kepada sang kakak. Seenaknya saja meminta tolong tentang sahabat baiknya. Hidup Ifa hancur setelah kejadian itu. Diaz sama sekali bukan laki-laki sejati. "Pergilah. Aku ingin sendiri saat ini. Jangan pernah datang menemuiku lagi." Nalaya langsung mengusir Diaz tanpa permisi. Diaz mengembuskan napas dengan kasar. Hingga saat ini Nalaya tidak mau membuka mulut tentang keberadaan Ifa. Gadis yang membuat Diaz jatuh cinta dan mabuk kepayang. Kesalahan masa lalunya membuat gadis berkerudung syar'i itu memutuskan untuk pergi. "Oke. Baiklah. Aku akan tetap menunggu kamu memberikan kabar tentang Ifa. Aku tidak pernah tenang saat dia belum memaafkan aku. Aku sangat tersiksa," kata Diaz dengan nada rendah dan menahan air mata. Diaz langsung keluar dari rumah kontrakan Nalaya. Ia tidak mau diusir dua kali oleh sang adik. Cukup satu kali saja Nalaya memintanya meninggalkan rumah kontrakan itu. Diaz tidak akan pernah punya kesempatan lagi jika harus berdebat dengan sang adik. "Memangnya segampang itu memaafkan dan meminta maaf. Kesalahan kamu terlalu banyak dan fatal!" Nalaya marah saat ini tanpa menyadari jika Daffa berada di depan pintu rumah kontrakannya. Daffa memang memutuskan untuk pulang saat melihat gadis pujaan hatinya itu digendong oleh laki-laki lain. Hatinya sakit, tetapi ingin selalu dekat dengan Nalaya. Bucin kalau kata anak muda zaman sekarang. Nalaya memang spesial dan tidak ada duanya. "Hah! Ngapain kamu ke sini?" Nalaya terkejut saat melihat Daffa berada di depan pintu rumah kontrakannya. "Oh, aku tahu, kamu menguping pembicaraanku 'kan? Emang dasar polisi ga ada kerjaan, seenaknya saja menguping obrolan orang," kata Nalaya dengan wajah tampak sangat khawatir saat ini. Nalaya tidak mau hubungan kakak adik dengan Diaz terbongkar. Ia memang sengaja merahasiakan hal itu dari siapa pun. Hanya Ifa saja yang tahu perihal itu. Sahabat baiknya tentu saja tidak akan membongkar fakta yang ada. "Tidak. Tapi, menurutku wajar ketika kamu marah karena kekasihmu ada wanita lain. Mungkin wanita itu jauh lebih baik darimu," kata Daffa dan membuat Nalaya melongo. Luar biasa bukan analisa dari polisi satu ini. Nalaya sekuat tenaga menahan tawanya. Ia menggigit bibir bawahnya agar tawanya tidak pecah. Ya, ampun, jadi Daffa membuat fakta baru jika Diaz adalah kekasih Nalaya. Lucu! "Jangan menggigit bibir seperti itu. Nanti aku ingin ikut menggigitnya," goda Daffa sambil menaik turunkan alisnya yang tebal. Nalaya langsung menutup pintu rumah kontrakannya. Ia tidak sanggup lagi jika harus menahan tawanya saat ini. Wajah Daffa sangat lucu saat menaik turunkan alisnya. Layaknya sosok konyol yang sedang melawak. "Nalaya, permisi, boleh aku masuk?" tanya Daffa yang memang sejak tadi ingin berdua dengan Nalaya. Tidak ada jawaban sama sekali karena Nalaya sudah masuk ke dalam kamar saat ini. Gadis yang saat ini sedang cidera itu sedang tertawa sambil menutup wajahnya dengan bantal agar tidak terdengar oleh siapa pun. Astaga! Apakah hari ini adalah hari lawak sedunia? Lenyap sudah rasa kesal Nalaya pada sang kakak. Polisi bodoh itu berhasil membuat Nalaya tertawa. Semacam hiburan gratis dan dilakukan secara spontan dan sukarela. Haruskah Nalaya memberikan hadiah untuk Daffa? Sementara itu, Tobi saat ini berada di apartemennya seorang diri. Ia memang sudah lama menempati satu unit apartemen mewah itu. Tentu bukan hadiah dari kedua orang tuanya. Anak pemilik perusahaan transportasi itu membelinya dengan tabungannya. Hari libur memang Tobi sangat jarang keluar. Ia lebih suka berdiam diri di apartemennya. Sama persis dengan Nalaya yang lebih suka menghabiskan jatah liburnya di kontrakan. Mereka mempunyai kesamaan dalam banyak hal tanpa mereka sadari sebelumnya. "Ternyata kamu ada di sini?" Suara itu mengejutkan Tobi yang sedang sibuk melamun tentang Nalaya. Sapaan manja itu seharusnya membuat Tobi bahagia saat ini. Sayang, hal itu tidak berlaku lagi. Wanita di depan Tobi menyunggingkan senyum manja dan dulu berhasil membuat Tobi luluh. Kini mantan kekasih Nalaya itu justru sangat muak. "Kamu ngapain? Masuk ke rumah orang tanpa permisi. Tidak sopan!" Tobi memakai piyama putihnya saat ini untuk menutupi d**a bidangnya yang polos. Rasti; salah satu dari deretan wanita koleksi Tobi yang hingga saat ini masih terobsesi dengan anak sulung Nirina itu. Tobi memutuskan wanita dengan gaun merah marun itu secara sepihak karena sudah bosan. Gaya hidup Rasti membuat Tobi muak. Rasti sangat suka memamerkan kekayaan di depan para wartawan. "Aku masuk karena ternyata nomor seri kamar kamu masih sama. Itu tanggal lahir kerabatmu bukan?" tanya Rasti sambil berjalan dengan s*****l ke arah Tobi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN