11. Memalukan

1507 Kata
Harga diri Tobi hancur seketika saat Nalaya mengatakan hal itu. Mantan kekasih dua minggunya itu selalu bermulut pedas tanpa basa-basi. Sosok yang dulu ramah sudah berubah. Kali ini Tobi dalam masalah besar. "Kamu bilang apa? Tidak ada salahnya aku bekerja di sini. Memang ini milik Papaku, lalu apa hakmu marah?" tanya Tobi sambil beranjak dari duduknya dan seolah lupa dengan rasa sakitnya itu. Tobi menahan rasa sakit yang mendera tubuh bagian belakangnya. Ia menatap tajam Nalaya yang saat ini tampak tersenyum dengan lebar. Entah apa isi otaknya, karena saat ini tidak ada yang melawak. Nalaya lantas mendekat ke arah Tobi yang saat ini berdiri dengan tidak seimbang. "Lihat dirimu, pemuda renta. Usia boleh muda, tapi fisik kaya manula. Dasar pemuda renta!" Nalaya kembali menghina Tobi dan setelahnya meninggalkan ruangan rapat terkutuk ini. Nalaya berjalan dengan cepat dan membuat Antonio harus sedikit berlari kecil. Secara fisik Nalaya jauh lebih sangar jika dibandingkan dengan Antonio. Sosok gadis manis itu tengah menahan rasa marahnya. Ia tidak mungkin mengamuk di tempat ini. "Na, tungguin! Astaga! Udah kaya rentenir aja cara jalan kamu itu!" Antonio merasa kelelahan mengejar langkah Nalaya. Nalaya tidak peduli dan segera menuju ke mobil. Tarno parkir tak jauh dari gedung perkantoran milik Gaara Grup. Nalaya benar-benar sangat emosi. Ia bisa mendadak tersenyum ketika sudah sangat emosi. "Jalan, Pak. Pak Antonio mau olah raga jalan cepat katanya," kata Nalaya memberikan perintah yang sangat sesat. "Oalah, kok makin aneh Pak Antonio itu, ya. Yo, wes, kalo gitu tinggalkan saja dia," kata Tarno yang kini justru lebih patuh pada Nalaya dibandingkan dengan atasan mereka berdua. Antonio melongo saat melihat mobil kedai meninggalkannya tanpa permisi. Astaga! Apakah mereka tidak menyadari jika penumpangnya kurang satu? Antonio langsung menghubungi Nalaya, sayang ponsel gadis itu mati. Akhirnya, ia memutuskan naik ojek online daripada harus repot menunggu Tarno. Pukul dua belas siang tepat, banyak pengunjung di kedai kopi. Rata-rata mereka adalah karyawan dari gedung sebelah. Di kedai kopi hanya sekedar minum kopi dan merilekskan tubuh dari penatnya pekerjaan. Tampak ada beberapa polisi yang juga duduk sambil menikmati kopi. "Tuh orangnya baru datang," kata salah satu teman Daffa saat melihat Nalaya baru saja masuk ke dalam kedai. Wajah Nalaya sangat keruh dan langsung masuk ke dalam ruangan khusus karyawan. Ia meminum air putih dingin sebanyak-banyaknya. Astaga! Tobi benar-benar menguras emosi Nalaya. Seenaknya saja menghina profesi gadis pekerja keras itu. "Na, ada polisi ganteng-ganteng banget. Kayaknya salah satu dari mereka yang jemput kamu kemarin," kata Bita yang kini tampak sangat memuja empat laki-laki berseragam cokelat itu. Nalaya hanya diam saja dan langsung menuju wastafel karena banyak sekali cangkir yang kotor. Ia lantas mencuci semua dengan cepat. Selesai mencuci, Nalaya pun mengerjakan hal yang lain. Bertepatan dengan itu, Antonio datang dan langsung mencari sosok anak buah kurang ajar itu. "Na ...." Antonio tidak melanjutkan ucapannya karena ponselnya berdering. Antonio hafal dengan nomor baru yang menghubunginya. Daffa sedang menelepon dari tempat tak jauh dari mereka. Antonio pun segera mengangkat panggilan itu. Daffa tampak tersenyum pada Nalaya, tetapi diabaikan oleh gadis itu. "Sayang, aku datang minum kopi di kedai tempat kamu bekerja. Senang melihat kamu datang." Suara itu masih bisa terdengar oleh Nalaya dan beberapa pelanggan lainnya. Nalaya menatap Antonio dan Daffa secara bergantian. Antonio tidak paham dan mengikuti arah pandang Nalaya. Astaga! Ternyata sesama laki-laki. "Maaf, saya normal!" Antonio langsung mematikan ponselnya dan menatap tidak suka pada Nalaya. "Ja-jadi kalian?" Nalaya sedang mendramatisir kejadian yang baru saja terjadi antara dua laki-laki. Pengunjung pun menyaksikan semua itu sambil menahan tawanya. Entah siapa yang salah? Nalaya tidak paham lagi. Astaga! Daffa saat ini wajahnya memerah karena menahan rasa malu yang luar biasa. "Antonio mendekat ke arah Daffa dan tiga orang lainnya. Ia sangat kesal siang ini. Jadi, sejak kemarin sore orang di depannya itu yang mengusilinya. Antonio sangat marah saat ini. "Kalo Anda mempunyai orientasi aneh, lebih baik cari korban lain. Malu sama seragam!" Antonio tidak bisa lagi membendung amarahnya. "Pantas sejak kemarin kirim pesan ga jelas!" bentak Antonio yang merasa dilecehkan oleh oknum polisi itu. "Maaf, aku pikir itu nomor Nalaya. Saya melihatnya saat dia mengisi formulir." Daffa kini menjadi pusat perhatian banyak orang. "Alasan saja!" Antonio tidak mau mendengar alasan Daffa. "Maaf, kedai ini menolak kaum abu-abu. Anda bisa meninggalkan kedai ini saat ini juga," kata Antonio dengan tegas. Daffa dan yang lainnya langsung meninggalkan kedai kopi itu. Ia tidak mau memancing keributan. Sepertinya ada yang tidak beres. Entah Nalaya sengaja mengerjai atau memang Daffa yang salah menyalin nomor ponsel itu? Nalaya terbahak-bahak saat duduk di belakang kantor. Ia tidak makan siang saat ini. Perutnya mendadak kenyang karena lawakan polisi bodoh itu. Sudah buaya air comberan, sekarang bodoh pula. Nalaya kini harus waspada karena diam-diam Daffa menyalin salah satu nomor yang dituliskan saat menukar ponselnya kemarin. Antonio lantas memblokir nomor Daffa dengan cepat. Menjijikkan sekali tingkah polisi itu. Apalagi kejadian tadi disaksikan oleh banyak pengunjung. Untung Antonio bersikap tegas layaknya seorang laki-laki. "Duh ... maaf Pak Antonio, habisnya lucu banget tingkah polisi aneh itu." Nalaya tidak bisa berhenti terbahak saat ini dan menganggap kejadian itu adalah sebuah lelucon. "Bagian mana yang lucu? Harusnya kamu dan yang lainnya prihatin. Lihat atasan dilecehkan kok malah pada ngakak!" Antonio tidak terima dengan ulah Nalaya dan yang lainnya. Nalaya langsung menghentikan tawa riangnya. Otaknya berkelana tidak jelas dan membayangkan hal-hal itu. Ia bergidik ngeri saat membayangkannya. Apakah mereka sudah lama berhubungan? "Emang Bapak dah lama digituin sama buaya air comberan itu?" tanya Nalaya dengan wajah polosnya tanpa dosa sama sekali. "Astaga! Enggak! Jangan sampai. Saya itu sangat normal dan doyan perempuan. Dia kalo mau jeruk minum jeruk salah sasaran. Enak saja!" Antonio kesal saat ini dan tidak terima dengan pertanyaan Nalaya. Ada saja kejadian hari ini. Saat Antonio sedang harap-harap cemas menunggu kabar kerja sama dengan Gaara Grup mendadak ada masalah baru; Nalaya marah pada menejer Gaara Grup. Entah ada masalah apa di antara mereka sebelumnya karena Nalaya tampak sangat tidak suka pada Tobi. Antonio tidak mau menduga-duga karena memang Nalaya adalah orang yang banyak masalah selama ini. Sementara itu Daffa kali ini tampak sangat stres. Baru kali ini ada seorang gadis yang menolak pesonanya. Dia adalah Nalaya yang juga berani mengerjainya. Tidak main-main, gadis itu membuat seolah Daffa adalah sosok yang tidak normal. Astaga! Daffa mengembuskan napas dengan kasar. "Tandanya dia bukan cewek gampangan seperti yang udah-udah," kata salah satu rekan kerja Daffa. "Emang sih! Tapi, ha kaya gini juga. Jatuh harga diriku. Pasti ada yang lagi gibahin aku di kedai kopi itu!" Daffa tampak sangat kesal. "Makanya lihat dulu bagaimana karakter cewek yang mau kamu dekati. Ga semua cewek bisa didekati dan dipacari begitu saja. Lihat juga, dia udah punya pacar belum, jangan sampai kamu dihajar sama pacarnya. Dia jago bela diri 'kan?" tanya Roni yang sejak tadi manahan tawanya. "Entahlah. Aku heran sama kelakuan Nalaya. Pokoknya aku harus bisa dapatkan hatinya," kata Daffa dengan penuh semangat. Semua teman Tobi menggedikkan bahu dengan acuh karena tidak tahu lagi dengan kebiasaan Tobi yang satu ini. Sudah menjadi kebiasaan Daffa bergonta-ganti perempuan sesuka hati. Entah apa yang dicarinya. Daffa seperti sedang terkena karma ketika berhadapan dengan Nalaya. Sementara itu, Tobi di kantor hanya uring-uringan saja sejak Nalaya meninggalkan tempat rapat. Antara sakit badan dan hatinya yang kesal. Entah mengapa ia marah saat mendengar candaan gadis itu. Padahal hanya candaan biasa saja dan mampu membuat hati Tobi sakit. "Sudahlah, lebih baik Bapak fokus saja dalam bekerja. Sebentar lagi Tuan Besar akan datang ke sini." Gandhi mengingatkan bos-nya yang saat ini sedang kesal. "Kamu ga bilang kalo Papaku mau ke sini." Tobi semakin kesal saat ini. "Itu tadi aku bilang. Tuan Besar juga udah di lobby kantor kok." Gandhi mengejutkan Tobi saat ini. Tobi menatap tajam ke arah Gandhi yang seolah sengaja tidak memberikan kabar padanya. Mereka semua sudah tahu bagaimana hubungan ayah dan anak itu. Reza sangat marah dan malu karena ulah Tobi. Seperti Daffa, mereka gemar mempermainkan wanita. "Sedang apa kamu?" tanya Reza yang mendadak sudah masuk ke dalam ruangan Tobi tanpa mengetuk pintu. "Jangan terlalu galak sama anak kita, Pa. Biarkan dia bekerja," kata sang istri yang siang ini ikut bersama Reza. Nirina--istri Reza membawa makan siang untuk sang putra sulung dan juga asistennya itu. Nirina sengaja merengek ikut karena takut Reza akan memarahi Tobi habis-habisan. Hingga dua bulan, Tobi belum menunjukkan hasil kerjanya sama sekali. "Kaliam makan siang dulu baru nanti bicara bisnis. Ingat bicara bisnis juga butuh asupan gizi. Jangan sampai kalian gagal bicara hanya karena lapar. Itu sangat memalukan," kata Nirina dan langsung mendapatkan pelukan dari Tobi. Tobi memang lebih dekat dengan sang mama daripada sang papa. Papanya itu sangat keras dan suka sekali marah. Apa pun yang dikerjakan oleh Tobi selalu salah. Sebenarnya tidak juga, Reza tidak suka jika Tobi mempermainkan kaum hawa. "Kenapa kamu jalan kaya gitu?" tanya Reza saat melihat cara jalan aneh Tobi. "Anu, Tuan, Mas Tobi dibanting sama cewek katanya," adu Gandhi dan langsung membuat Nirina terbahak. "Kenalkan pada Mama. Dia pasti sangat istimewa." Nirina langsung meminta hal yang aneh di mata Tobi. Mau bertemu bagaimana? Mereka saja bermusuhan saat ini. Nalaya bukan lagi gadis yang ramah. Ia menjelma sebagai tukang jagal. Korbannya pasti banyak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN