“Dia tidak kembali. Harusnya aku tidak berlari meninggalkannya tadi.”
“Biarkan saja. Itu bagus jika dia tidak kembali jadi kau bisa tidur di atas kasurnya malam ini.”
Malam semakin larut, namun Aiden tidak kembali lagi setelah mereka berpisah di jalan sepulangnya dari beli es krim pagi tadi. Runa sudah menunggunya sejak tadi, namun sampai malam begini pria itu tidak kunjung kembali.
“Ambilkan aku es krim lagi. Yang rasa pisang,” perintah Felix yang saat ini duduk bersandar di atas tempat tidur Aiden. Posisinya tampak santai sekali dengan tangan kiri yang memegang ponsel dan tangan kanan membelai kepala kucing hitam yang sedang tidur di atas perutnya sementara bungkus-bungkus es krim berserakan di sekitarnya.
Runa yang kebetulan baru membuka es krim rasa pisang‒yang sebenarnya Felix jadi menginginkannya karena melihat miliknya‒mengurungkan niatnya untuk memakan es krim tersebut lalu menyerahkannya pada Felix.
“Tapi dia pasti pulang, kan? Tidak akan pergi sampai berhari-hari seperti kemarin, kan?” Runa bertanya dengan nada khawatir yang terdengar jelas dalam suaranya.
“Dia itu mafia, lho. Mafia,” kata Felix sambil mengunyah es krimnya. “Kau tidak takut berduaan saja dengannya di sini? Bukannya hidupmu akan lebih aman jika jauh-jauh darinya?”
“Justru karena dia itu mafia aku jadi aman, kan? Aku tidak perlu khawatir akan ada orang jahat yang menyakitiku lagi karena ada Tuan Aiden bersamaku.”
Felix mengerutkan keningnya, namun wajahnya menunjukkan kekhawatiran saat berkata, “Hidupmu pasti sangat buruk, uh? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jahatnya orang-orang yang pernah kau temui sampai kau berpikir jika pria seperti Aiden itu adalah orang baik yang akan melindungimu.”
“Tapi Tuan Aiden itu benar-benar sangat baik.”
“Aku jadi semakin kasihan sekarang.”
“Tidak perlu dikasihani sampai seperti itu, kok. Aku sudah baik-baik saja sekarang.”
“Iya, iya.” Felix bangkit dari duduknya, membuat kucing yang berada di atas perutnya melompat turun. “Tapi ini sudah malam. Tidak usah menunggunya lagi dan pergilah tidur agar besok tidak jadi tuan putri yang bangun kesiangan lagi.”
Setelah Felix pergi, kini hanya tinggal Runa sendirian di dalam kamar itu. Ia melihat jam dan menghela napas panjang karena Aiden yang tidak kunjung pulang padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.
“Kemarin dia pulangnya jam 11 lewat. Mungkin malam ini juga,” pikir Runa.
Runa memutuskan untuk menunggu Aiden sedikit lebih lama, namun karena tidak memiliki apapun untuk dikerjakan di dalam ruangan kecil itu ia jadi merasa bosan dan tidak bisa menahan kantuknya. Bahkan tidak kuat untuk sekadar pindah ke atas tempat tidur hingga membuat Aiden melihatnya tertidur dalam posisi duduk bersandar di dinding ketika pria itu pulang sekitar pukul 11 malam.
“Apa yang dia lakukan hingga tidur di sini?” gumam Aiden. “Kalau begini bagaimana aku bisa tidur sambil memeluknya?”
Semenjak tahu bagaimana rasanya tidur dengan memeluk Runa, entah mengapa Aiden jadi merasa ketergantungan dengan hal itu. Entah itu di atas kasurnya atau hanya di lantai, Aiden merasa tidurnya jadi jauh lebih pulas jika ia tidur dengan memeluk tubuh kecil gadis itu.
“Aku akan memindahkannya pelan-pelan ke atas kasur lalu...”
Bruk!
Aiden mengerjapkan kedua matanya, tidak berani melihat ke arah Runa saat kedua tangannya yang hendak meraih tubuh gadis itu ke dalam gendongannya justru membuat tubuh Runa jatuh ke lantai dengan diiringi suara geramannya.
Setelah beberapa saat tidak terdengar suara yang lain lagi, Aiden menundukkan kepalanya. Runa tidak terbangun, gadis itu masih terlelap pulas dengan posisi tubuhnya yang meringkuk seperti bayi.
“Malam ini jadi harus tidur di lantai lagi,” gumam Aiden diiringi helaan napasnya.
Aiden melepaskan jaketnya lalu dengan hati-hati menyelimutinya di atas tubuh Runa. Kemudian ia membaringkan tubuhnya di sebelah Runa dengan posisi meringkuk yang sama dengan gadis itu sementara wajahnya berada dalam satu garis lurus dengan Runa hingga ia bisa menatap wajah gadis itu dengan leluasa.
Sambil menatap wajah Runa yang terlelap dengan pulas, Aiden memikirkan tentang perasaan macam apa sebenarnya yang ia rasakan pada gadis ini. Tentang mengapa ia selalu ingin melindungi Runa padahal selama ini ia tidak pernah berusaha untuk melindungi siapapun atau apapun dalam hidupnya yang menurutnya memang tidak memiliki apapun yang berharga untuk dilindungi.
Selama ini, Aiden tidak pernah berurusan dengan wanita kecuali untuk urusan ranjangnya. Ia hanya berurusan dengan wanita untuk melayani jiwa lelakinya yang meski hidup dalam dunia mafia yang sangat keras namun tetap membutuhkan sentuhan lembut wanita untuk memuaskan hasratnya.
Namun Runa berbeda. Bahkan meski ia berbaring dengan jarak yang sedekat ini sambil sebelah tangannya memeluk tubuh gadis itu, Aiden sama sekali tidak memiliki keinginan lebih seperti yang selalu dirasakannya saat berhadapan dengan wanita lainnya. Ia memeluk Runa bukan karena berhasrat pada gadis itu, melainkan hanya karena dirinya yang ingin memeluknya tanpa maksud apapun.
“Ini apa yang sangat kuinginkan dulu,” gumam Aiden sambil memejamkan kedua matanya. Dalam benaknya, ia teringat pada dirinya yang masih kecil yang tidur sendirian dengan posisi meringkuk di atas lantai dengan betis yang dipenuhi luka bekas pukulan rotan setelah papanya menghukumnya karena ia tidak berlatih bela diri dengan baik padahal usianya baru 6 tahun.
“Aku tidak bisa memeluk anak malang yang ketakutan dan kesakitan seorang diri itu, jadi aku akan memelukmu sekarang. Aku akan terus memelukmu seperti ini jadi kau tidak perlu merasakan ketakutan, kesedihan, dan kesakitan seperti yang kurasakan dulu.”
***
Ini sepertinya sudah pagi, namun Aiden tidak tahu jam berapa sekarang. Ia sudah terbangun sejak beberapa saat yang lalu, namun terus memejamkan kedua matanya dan pura-putra tidur agar tidak mengganggu apa yang sedang Runa lakukan pada wajahnya sekarang.
“Sayang sekali karena wajah setampan ini harus ditato. Luka-lukanya juga banyak. Orang-orang jadi tidak bisa melihat ketampanannya.” Runa menggerutu dengan suara berbisik sambil membersihkan luka di wajah Aiden yang menyisakan darah yang mengering itu dengan kapas yang telah dibubuhi obat merah. Melakukannya dengan sangat hati-hati agar tidak membuat Aiden merasa sakit dan membuatnya terbangun dari tidurnya.
“Jadi menurutmu aku tampan?”
“Tentu saja. Tuan itu tampan sekali, sayangnya...” Runa menghentikan ucapannya begitu juga dengan gerakan tangannya yang membeku di udara saat menyadari jika Aiden yang kedua matanya masih terpejam itu baru saja bicara padanya.
Aiden perlahan membuka matanya. Ia mengerjapkan matanya sekali sebelum menatap Runa dengan fokus saat bertanya, “Sayangnya kenapa?”
Runa mengerjapkan kedua matanya dengan cepatm merasa kikuk karena Aiden yang ia pikir masih tidur sudah terbangun entah sejak kapan dan mendengar pujiannya tentang ketampanan pria itu. “Tuan bangunnya sejak kapan?”
“Sejak tadi. Aku tidak bisa membuka mataku karena kau sedang mengobati lukaku. Tapi sepertinya kau lebih banyak terdiam menatap wajahku daripada mengobati lukanya, uh?”
Aiden sengaja mengatakan sesuatu yang membuat Runa jadi semakin malu karena ia sedang ingin menggoda Runa yang kedua pipinya sudah bersemu merah itu.
“Aku bukannya terdiam. Aku hanya melakukannya dengan sangat hati-hati karena tidak ingin mengganggu tidur Tuan,” elak Runa.
“Cepat selesaikan!” Aiden memberi perintah sembari kembali memejamkan kedua matanya. “Aku harus pergi setelah ini.”
“Pergi lagi? Ke mana?” tanya Runa sembari kembali mengobati luka di wajah Aiden.
“Ke mana saja. Itu bukan urusanmu.”
Jawaban Aiden yang terdengar ketus membuat Runa mendengus kecewa. “Tadi malam pulang jam berapa? Kenapa Tuan tidur di sebelahku saat aku bangun?”
Aiden tidak menyahuti ucapan Runa, namun gadis itu tahu jika Aiden hanya pura-pura tidur agar bisa menghindari pertanyaannya. Karena itu gadis itu mengejarnya dengan kembali bertanya, “Apa Tuan tidur dengan memelukku lagi semalam?”
“Mana kutahu! Aku kan sedang tidur, mana mungkin tahu aku memelukmu atau tidak!” Aiden menjawab dengan ketus tanpa membuka kedua matanya. “Aku memang suka jatuh dari kasur jika tidur. Mungkin semalam aku juga jatuh dan berguling sampai ke tempatmu.”
“Tapi saat aku bangun Tuan memelukku. Aku kaget sekali.”
Ucapan Runa membuat Aiden membuka kedua matanya tepat saat gadis itu menempelkan sebuah plester luka di dekat alisnya. “Kau tidak suka dipeluk?”
“Aku hanya takut Tuan salah paham,” ujar Runa. “Tuan menganggapku pergi sendiri ke rumah bordil untuk jadi wanita penghibur. Aku khawatir jika Tuan bangun lebih dulu dan melihat posisi tidur kita Tuan akan berpikir jika aku sengaja ingin merayu Tuan dan‒”
“Kenapa aku bisa berpikir begitu padahal aku yang memelukmu?” Aiden menyela ucapan Runa dengan nada yang terdengar tidak senang. Kelihatannya sudah lupa jika sebelumnya ia berpura-pura tidak tahu apa-apa mengenai dirinya yang tidur sambil memeluk gadis itu.
“Tuan menganggapku sangat rendah sampai berpikir aku rela menjual diriku sendiri di rumah bordil seperti itu.”
“Itu kan hanya salah paham!”
“Tapi Tuan belum minta maaf padaku.”
“Kenapa aku harus ninta maaf?”
“Karena aku sakit hati.” Jawaban Runa membuat Aiden berhenti mendebat gadis itu. Ia bisa merasakan dengan jelas jika kedua mata gadis itu memancarkan luka karena sakit hatinya saat kembali membahas tentang apa yang dikatakannya malam itu ketika mereka kembali bertemu di rumah bordil.
“Tuan menuduhku semudah itu padahal belum mendengar apapun dariku. Itu membuatku jadi sakit hati,” jelas Runa. “Dan setelahnya, Tuan bersikap biasa saja tanpa meminta maaf. Sakit hatiku jadi tidak bisa sembuh.”
“Tapi aku membawamu keluar dari rumah bordil, memberimu tempat tinggal, dan juga membelikanmu banyak es krim. Mengapa kau masih terus merasa sakit hati padaku padahal aku sudah melakukan semua itu untukmu?” Aiden bukannya ingin membela diri atau mengungkit semua yang telah dilakukannya untuk Run. Namun ia mengatakan semua itu karena benar-benar tidak paham mengapa Runa masih harus menyimpan rasa sakit hati atas kesalahpahamannya itu.
“Karena bagiku Tuan adalah orang yang paling baik di dunia ini.” Runa mulai menjelaskan. Dan apa yang kemudian gadis itu katakan padanya membuat Aiden sadar jika ia benar-benar telah melukai hati gadis muda di hadapannya ini.
“Tuan satu-satunya orang yang mengulurkan tangan padaku saat kupikir aku akan benar-benar jatuh ke dalam lubang hitam yang mengerikan. Aku ingin berterima kasih pada Tuan dengan menjalani hidupku baik-baik, tapi Tuan justru melihatku berada di rumah bordil lagi dan memiliki pikiran seburuk itu padaku. Aku tidak ingin Tuan salah paham, tapi Tuan justru jadi sangat marah dan terus mengatakan hal-hal yang buruk dan bahkan merobek pakaianku. Aku tidak peduli jika orang lain yang melakukannya, tapi rasanya jadi sangat menyakitkan karrena itu Tuan yang bersikap seperti itu padaku.”
Aiden termenung untuk beberapa saat sampai kemudian tangan kanan Runa yang terulur padanya mengalihkan padanya.
“Ayo minta maaf,” kata Runa. “Aku sudah memaafkan Tuan, tapi sakit hatiku akan benar-benar hilang jika aku mendengar Tuan minta maaf.”
“Aku ini Aiden,” kata Aiden yang mengabaikan uluran tangan Runa untuk menatap kedua mata gadis itu dengan tajam. “Aku tidak pernah meminta maaf pada siapapun tidak peduli apa yang telah kulakukan. Berani sekali gadis kecil sepertimu menyuruhku untuk minta maaf seperti ini?”
Runa mengerjapkan kedua matanya dengan gugup dan buru-buru menarik tangannya menjauh dari Aiden saat menyadari jika situasinya telah berubah. Kedua bola matanya bergerak gelisah, menghindari tatapan Aiden yang menghunus tajam ke arahnya.
“Maafkan aku. Aku hanya‒”
“Apa pelukan tidak cukup?” Aiden menyela ucapan Runa sambil menarik tubuh gadis itu ke dalam dekapannya. Membuat kedua mata Runa terbelalak kaget karena tiba-tiba tubuhnya dipeluk seperti ini.
“Aku memang tidak pernah minta maaf, tapi aku memelukmu seperti ini setiap malam. Apa itu tidak cukup untuk membuktikan jika aku menyesal karena telah mengatakan sesuatu yang menyakiti hatimu?”
**To Be Continued**