Nasib Yang Mirip

1539 Kata
“Tapi aku bukan anak kecil Tuan. Aku ini sudah 18 tahun, sudah dewasa!” Runa berdiri di sebelah Aiden yang sedang memenuhi keranjang belanja dengan berbagai jenis es krim dan kelihatan tidak peduli dengan protesnya. “Dan aku tidak sesuka itu pada es krim. Kenapa belinya banyak sekali?” “Mana mungkin ada anak kecil yang tidak suka es krim?” Aiden bertanya dengan nada menyangkal sambil terus memasukkan es krim ke dalam keranjangnya. Ia jadi belanja sebanyak ini karena alih-alih memberinya uang 10 ribu, Felix justru memberinya segepok uang berjumlah 10 juta. Sepertinya sengaja agar Aiden bisa pergi jalan-jalan lebih lama dan membuat hidupnya tenang lebih lama tanpa kehadiran bosnya itu. “Sudah kubilang aku ini wanita dewasa, Tuan! Apanya yang anak kecil, uh?” Runa kembali menyuarakan protesnya, namun itu membuat Aiden jadi semakin ingin menjahilinya. “Harus jadi tinggi dulu baru bisa disebut dewasa. Ini, apa kau bisa mengambilnya? Kau cukup dewasa untuk bisa meraih es krim ini?” tantang Aiden seraya mengangkat sebungkus es krim di atas kepala Runa. “Lihat siapa yang bersikap kekanakan sekarang.” “Kau tidak bisa, kan?” “Tentu saja aku bi‒ Tuan! Jangan tiba-tiba ditinggikan seperti itu!” Runa merengek saat Aiden mengangkat tangannya tinggi-tinggi ketika dirinya hendak meraih es krim tersebut hingga ia tidak dapat menjangkaunya. “Tidak bisa, kan? Tentu saja itu karena kau masih kecil. Makan es krim yang banyak supaya cepat besar,” kata Aiden seraya melemparkan es krim yang tidak dapat Runa raih ke dalam keranjang belanjanya. “Es krimnya sudah cukup, Tuan. Ayo beli obat merah dan plester luka sekarang. Sekalian beli alkohol, kapas, dan perban juga. Tuan harus punya yang seperti itu karena Tuan sering terluka.” “Anjing jalanan sepertiku tidak perlu diobati jika terluka. Cukup dibiarkan saja nanti juga pasti sembuh sendiri.” “Tapi Tuan ini bukan anjing jalanan. Tuan ini pahlawanku dan aku sedih setiap kali melihat Tuan pulang dengan luka baru yang lebih banyak.” Ucapan Runa membuat Aiden berhenti memilih es krim. Ia menolehkan kepalanya pada Runa dan mendapati gadis itu sedang menatapnya dengan kekhawatiran yang tampak begitu tulus di kedua matanya. “Tuan ingin aku cepat besar dan aku akan menurutinya, karena itu Tuan juga harus menuruti permintaanku sekarang. Aku ingin luka Tuan diobati agar cepat sembuh, jadi tolong beli obat untuk luka sekarang.” *** “Sepertinya Tuan jauh lebih menyukai es krim dari aku,” kata Runa yang saat ini sedang duduk di ayunan yang berada di sebuah taman kecil tidak jauh dari gedung apartemen Aiden saat melihat pria itu membuka bungkus es krim ketiganya. “Atau Tuan lapar? Belum makan nasi, kan?” “Tidak, tuh. Aku tidak lapar,” bantah Aiden yang sudah mulai makan es krim ketiganya sementara es krim pertama Runa masih belum habis. Pria itu menghabiskan es krimnya dengan cepat karena alih-alih menikmati rasanya dengan menjilatinya, Aiden justru langsung menggigitnya dalam gigitan-gigitan besar. “Memangnya ada orang yang tidak menyukai es krim, uh?” “Aku tidak suka,” jawab Runa yang membuat Aiden menoleh padanya dengan kening berkerut, kelihatan agak kecewa karena sekarang ia menenteng kantong plastik yang dipenuhi aneka macam es krim yang ia belikan untuk gadis itu tapi Runa malah bilang jika dirinya tidak suka es krim. “Ah, sebenarnya bukan tidak suka. Tapi karena sangat enak, aku melarang diriku untuk menyukainya. Mamaku tidak suka melihatku bahagia sebab itu akan membuatnya kesal, karena itu aku tidak melakukan hal-hal yang membuatku senang di depan Mama agar dia tidak semakin membenciku. Aku tidak berani makan es krim di depannya karena saat aku melakukannya dan jadi sangat senang karena es krimnya enak, Mama akan menangis. Katanya berani sekali aku jadi bahagia saat aku sudah membuat seluruh hidupnya hancur.” Es krim ketiga Aiden masih tersisa separuhnya, namun rasanya ia sudah tidak dapat melanjutkannya lagi. Dadanya jadi merasa sesak mendengar bagaimana Runa menceritakan masa kecilnya yang sangat suram itu dengan sangat santai sambil menikmati es krimnya seolah itu bukan apa-apa. “Habiskan itu!” Runa menunduk menatap kantong plastik berisi es krim yang diletakkan di pangkuannya sebelum beralih menatap Aiden yang juga sedang membalas tatapannya. “Semua es krim yang tidak bisa kau makan saat kecil, kau harus memakan semuanya sekarang.” “Tapi aku tidak suka es krim,” kata Runa seraya mengembalikan kantong plastik tersebut pada Aiden. “Aku tidak bisa menyukainya. Jika aku menikmati es krimnya dan jadi senang sekali... Pasti akan ada kejadian buruk setelahnya.” “Mamamu sudah tidak ada dan hanya ada aku di sini. Aku tidak akan memarahimu apalagi sampai menangis hanya karena kau makan es krim. Karena itu habiskan semuanya.” Aiden kembali meletakkan kantong plastik tersebut di pangkuan Runa. Aiden menatap gadis itu dengan tatapan tajam saat mulutnya justru mengatakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia katakan secara jujur pada orang lain namun kini dengan mudahnya disampaikan pada Runa yang menurutnya akan paling memahami rasa sakitnya. “Aku tahu bagaimana rasanya mempunyai orang tua berengsek begitu. Mereka yang membawa kita ke dunia ini tapi memperlakukan kita sebagai sampah yang tidak berarti. Itu melegakan karena baik orang tuaku atau mamamu yang jahat itu sudah tidak ada di dunia ini lagi sekarang.” “Tapi orang tuaku tidak berengsek.” Runa menyangkal ucapan Aiden dengan suara yang terdengar sedih. “Mamaku tidak jahat. Dia hanya seorang anak 15 tahun yang terpaksa harus melahirkanku dan menderita sepanjang hidupnya. Jika dia hidup tanpa pernah memilikiku atau bertemu dengan Papa, Mama pasti akan jadi wanita cantik yang baik sekali. Tuan tidak mengenalnya, jadi jangan bicara buruk tentang mamaku. Tentang papaku juga. Dia yang merawatku selama ini, jadi jangan dibilang berengsek.” “Kau ke mana saja selama ini?” tanya Aiden yang kembali membuat Runa menatapnya dengan bingung. “Kita harusnya bertemu lebih cepat. Aku seharusnya mendengar yang seperti ini lebih cepat.” “Kenapa?” Aiden tidak menjelaskan maksud ucapannya, membiarkan Runa kebingungan dan memilih untuk beranjak dari duduknya lalu membuang es krimnya yang sudah mencair ke dalam tempat sampah. Ia benar-benar sudah kehilangan nafsunya untuk menghabiskan es krim tersebut. Sambil membersihkan lelehan es krim yang mengotori telapak tangannya, Aiden teringat pada kejadian yang sudah berlalu belasan tahun. Sepertinya dirinya seusia dengan Runa saat ini ketika malam itu ia berdiri di depan tubuh papanya yang terkapar di atas lantai, sekarat dengan penuh kesakitan sementara dirinya tidak melakukan apapun selain hanya menatapnya dengan dingin sambil menunggunya untuk meninggal. “Tuan, es krimnya bisa cair.” Aiden tersadar dari lamunannya saat merasakan tangan Runa yang mengambil alih kantong plastik yang ada di tangannya. Gadis itu tersenyum padanya saat berkata, “Aku akan berlari pulang dan segera memasukkannya ke dalam freezer. Tuan menyusulnya santai saja. Aku akan menunggu Tuan di rumah lalu mengobati luka di wajah Tuan.” Aiden tidak mengatakan atau melakukan apapun selain hanya terus diam di tempatnya berdiri seraya memperhatikan Runa yang sudah berlari pulang dengan menenteng kantong plastiknya. Itu Runa dengan rok selutut dan rambut panjangnya yang terurai yang berlari meninggalkannya, namun perlahan Aiden melihatnya berubah menjadi seorang anak laki-laki yang berlari ketakutan sambil menangis sesenggukan ke arahnya. “Tolong. Tolong aku...” Anak laki-laki itu menabrakkan tubuhnya pada Aiden lalu memeluk kedua kakinya dengan sangat erat sambil terus menangis. Anak laki-laki itu lalu mendongakkan kepalanya, menatap Aiden dengan wajah memerahnya yang dipenuhi air mata. “Aku takut sekali. Tolong aku. Aku ingin pergi dari sini.” Aiden menatap wajah anak itu dengan napas yang terasa tercekat. Perlahan, tangan kanannya terangkat. Ia mengulurkannya untuk menyentuh anak laki-laki itu, yang kemudian menghilang dari hadapannya sebelum tangannya sempat menyentuhnya. Aiden mengerjapkan kedua matanya dengan telapak tangan kanannya yang masih tergantung di udara. Pria itu lalu memejamkan kedua matanya, menyadarkan dirinya jika itu semua hanya khayalannya tidak pernah terjadi. Tentang bagaimana ia berharap bisa menolong dirinya yang masih kecil yang selalu merasa ketakutan setiap hari dan membawanya pergi ke tempat yang sangat jauh yang tidak akan pernah bisa tersentuh oleh tangan kotor papanya. Aiden sudah dewasa sekarang. Ia sudah tidak memiliki rasa takut atas apapun lagi dan kekuasannya membuatnya bisa melakukan apa saja. Kecuali satu, yaitu kembali ke masa lalu dan menolong dirinya yang menderita di masa kecilnya yang terus meninggalkan trauma dan kebencian dalam dirinya hingga kini. “Gadis itu tidak boleh jadi sepertiku,” batin Aiden sambil mengingat wajah menangis Runa di pertemuan pertama mereka yang kelihatan sangat ketakutan karena dijual di rumah bordil untuk dijadikan sebagai seorang wanita penghibur oleh papanya sendiri. Sejak pertama kali melihat Runa yang menangis ketakutan karena apa yang sudah papanya lakukan, Aiden merasa seperti melihat dirinya di masa lalu. Dirinya yang masih kecil, yang selalu menangis ketakutan karena memiliki papa yang sangat kejam pada semua orang bahkan pada dirinya yang merupakan anak satu-satunya. Ia merasa ketakutan setiap hari dan selalu ingin melarikan diri, namun tidak memiliki kekuatan atau keberanian untuk melakukannya karena masih sangat kecil. Namun sekarang ia telah tumbuh menjadi pria dewasa yang bisa melakukan apa saja dengan kekuasaannya. Dan karena ia tidak bisa lagi melakukan apapun untuk dirinya yang menderita seorang diri di masa lalu, ia akan melakukannya pada Runa sekarang. “Kau gadis polos yang naif sekali. Aku akan menjagamu untuk tetap jadi seperti itu, jadi kau tidak perlu berubah menjadi monster kesepian yang kesepian sepertiku, gadis kecil.” **To Be Continued**
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN