Runa tidak tahu ini mimpi atau bukan. Ia bahkan tidak tahu dirinya terbangun atau tidak atau pingsan atau bagaimana. Kedua matanya terpejam, semuanya gelap, namun bunyi tembakan pistol, teriakan orang-orang, dan bunyi benturan yang keras masih bisa terdengar olehnya.
Gadis itu baru bisa membuka kedua matanya saat mendengar bunyi sirine. Ia membuka matanya perlahan dan melihat beberapa orang berseragam putih sedang mengangkat tubuhnya. Sekujur tubuhnya terasa sakit sekali, namun ia bahkan tidak kuat untuk sekadar bersuara. Ia hanya bisa mengerjapkan kedua matanya perlahan saat di kejauhan, di antara orang-orang yang berkerumun, ia melihat Aiden yang memegangi kepalanya sendiri dengan tangan kirinya.
Tatapan mereka bertemu untuk sesaat. Namun saat Runa mengerjapkan kedua matanya, ia melihat Aiden yang berlari meninggalkannya sesaat sebelum semuanya kembali menjadi gelap ketika ia tidak dapat lagi menjaga kesadarannya.
***
Pip.
Pip.
Pip.
Runa mengerutkan keningnya saat bunyi yang terdengar asing itu terus menjadi semakin keras. Dan saat bunyi itu menjadi semakin jelas di telinganya, Runa perlahan membuka kedua matanya.
“Oh, dia bangun! Felix! Dia bangun!” Bibi Lily yang sejak tadi menunggu di sebelah Runa berseru dengan semangat, membuat Felix yang sebelumnya sedang mengupas buah langsung meninggalkan pekerjaannya untuk melihat kondisi gadis itu.
“Ini di mana?” Runa bertanya dengan suara pelan yang terdengar serak, membuat Felix melebarkan kedua mata padanya.
“Kau lupa ingatan, ya? Ingat aku tidak? Aku kakakmu, kau ingat?” tanya Felix yang membuat Runa mengerutkan keningnya sementara Bibi Lily memukul kepala Felix agar pria itu berhenti macam-macam.
“Tuan, mengapa aku ada di sini? Di mana Tuan Aiden?” tanya Runa yang membuat Felix mendesah kecewa. Padahal ia berharap Runa hilang ingatan saja jadi ia bisa mengaku-ngaku sebagai kakaknya. Setidaknya sekali seumur hidupnya, Felix yang terlahir sebagai anak tunggal ini ingin tahu bagaimana rasanya punya adik perempuan yang bisa bebas disuruh-suruh dan dijahili.
“Kau tidak ingat tentang kecelakaannya?” tanya Bibi Lily.
“Kecelakaan...” Ucapan Runa terhenti begitu saja dan kedua mata gadis itu langsung membesar saat ia ingat pada apa yang terjadi padanya hingga membuatnya jadi seperti ini. Tentang bagaimana dirinya yang menerobos masuk ke dalam bus yang berisi para mafia membuat semuanya menjadi kacau saat Aiden yang menembakkan pistol karena ingin melindunginya ketika seorang pria hendak menyentuhnya.
Runa bersembunyi ketakutan di bawah kursi sementara para mafia itu saling tembak sampai kemudian sopir bus yang kehilangan kendali menabrakkan bus tersebut ke pembatas jalan. Runa tidak bisa mengingat tabrakan itu dengan jelas karena rasanya tiba-tiba saja dirinya sudah berada di rumah sakit ini.
“Aku tidak pernah mengalami kecelakaan seumur hidupku,” kata Runa sambil menatap jarum infus yang terpasang di punggung tangan kirinya. Ia lalu menoleh pada Felix dan bertanya, “Tuan, di mana ponselku?”
“Untuk apa?” Felix belik bertanya sambil menyerahkan ponsel berwarna merah muda itu pada pemiliknya.
“Untuk mengambil foto,” jawab Runa sambil mulai memotret tangannya yang diinfus. “Jarang-jarang aku bisa kecelakaan sampai diinfus seperti ini. Jadi ini harus dijadikan kenang-kenangan.”
Felix dan Bibi Lily saling berpandangan sebelum dengan suara bergumam Bibi Lily berkata, “Anak-anak zaman sekarang, ya.”
“Aduh, kepalaku sakit sekali,” kata Runa yang kembali membuat perhatian Bibi Lily dan Felix terfokuskan padanya. “Apa aku terluka parah? Aku dioperasi, ya? Kakiku patah, tidak? Aku koma berapa lama?”
Felix mendecih saat mendengar rentetan pertanyaan Runa yang menurutnya sangat berlebihan itu. “Kecelakaannya jam 10 pagi tadi dan ini baru jam setengah 12.”
“Jam setengah 12?” tanya Runa. “Jadi maksudnya aku komanya hanya satu setengah jam saja?”
“Kau tidak koma, Nona Kecil. Hanya sedikit tergores saja, tapi sudah bisa langsung pulang jika infusnya sudah habis,” jelas Bibi Lily.
“Tidak, tidak. Kalau aku jadi kau, aku pasti akan pura-pura terluka parah atau sekalian saja pura-pura koma terus,” timpal Felix sambil menatap Runa dengan serius. “Karena kau masuk ke bus sembarangan dan menggagalkan transaksi yang akan Aiden lakukan, dia jadi rugi sekitar 7 milyar.”
Kedua mata Runa terbelalak tak percaya dan itu membuat Bibi Lily memukul lengan Felix dengan gemas karena pria itu sudah membuat Runa jadi sepanik ini.
“Tidak apa-apa. Itu hanya 7 milyar, tidak usah terlalu dipikirkan,” hibur Bibi Lily.
“Ha-hanya 7 milyar?” Runa mengulangi ucapan Bibi Lily dengan suara tergagap. “Bagaimana bisa itu hanya 7 milyar saat diriku saja hanya dihargai dengan 5 botol bir?”
“Pura-pura mati saja,” saran Felix. “Nanti kukasih uang yang banyak untuk kau kabur ke luar negeri. Atau karena sekarang masih di rumah sakit, mau sekalian operasi plastik saja supaya am‒ Aw! Bibi, kenapa memukulku terus!”
Bibi Lily menatap Felix dengan kesal karena terus bicara sembarangan sebelum kembali menatap Runa dengan ekspresinya yang jadi lembut lagi. “Tidak usah khawatirkan apapun. Tujuh milyar itu tidak ada artinya bagi Tuan Aiden karena orang ini saja masih bisa hidup dengan tenang sekarang walaupun sudah merugikan organisasi kami puluhan bahkan mungkin ratusan milyar.”
“Oho, Bibi! Aku sakit hati lho jika kau bicara begitu. Dan lagi, apa itu hidup dengan tenang? Aku sama sekali tidak tahu apa itu ketenangan sejak Aiden berengsek itu menodongkan pistolnya padaku dan memaksaku masuk organisasi ini,” ujar Felix. “Aku masih sangat muda dan polos saat itu, tega sekali dia menodongkan pistolnya padaku?”
Ucapan Felix membuat Bibi Lily kembali menghadiahi lengannya dengan pukulan keras yang menyakitkan hingga membuat pria itu memekik keras.
“Tidak usah bicara sembarangan dan pergi bekerja saja sana!” usir Bibi Lily.
“Memangnya ini bukan pekerjaan? Aiden yang menyuruhku menjaganya, jadi ini termasuk pekerjaan.” Felix membela diri dengan nada tidak terima. Padahal ia sudah meluangkan waktu bersantainya di apartemen Aiden untuk menjaga Runa di sini tapi Bibi Lily malah menganggapnya tidak bekerja.
“Lalu Tuan Aiden mana?” tanya Runa. “Dia juga ada di bus itu tadi. Dia tidak terluka, kan?”
“Tadi ada polisi yang datang, jadi dia harus bersembunyi. Tapi aku sudah mengurusnya jadi mereka tidak akan mengganggumu lagi,” ujar Felix.
Felix kemudian menghela napas panjang saat menambahkan, “Itulah mengapa kau seharusnya tidak langsung berlari keluar saat baru bangun tidur dan belum cuci muka. Kau jadi sial karena masuk ke dalam bus yang dipenuhi mafia, kan.”
Runa juga menghela napas panjang kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menghentikannya mengingat kejadian mengerikan di dalam bus tadi. “Tapi Tuan Aiden baik-baik saja, kan? Dia tidak terluka lagi, kan?”
“Dia tidak meneleponku untuk mengobatinya, itu artinya dia tidak terluka,” kata Bibi Lily berusaha untuk menenangkan Runa. “Setidaknya meski terluka itu tidak terlalu serius sampai butuh bantuanku. Karena itu jangan cemas. Dia tidak akan kenapa-kenapa.”
***
“Kalau hanya pakai plester saja tidak keren. Harusnya diperban supaya kelihatan bagus difoto.”
Malam sudah larut, namun Runa masih belum tidur. Karena tidak ada luka yang serius, ia sudah pulang dari rumah sakit sejak sore tadi dan sekarang sedang sibuk mencari posisi yang pas untuk memotret luka gores di pelipisnya agar bisa dijadikan kenang-kenangan dan diceritakan pada anak-cucunya nanti bahwa dirinya juga pernah mengalami kecelakaan.
“Tapi apa dia tidak akan pulang lagi?” Runa berhenti memotret dirinya sendiri dan menoleh ke sebelahnya, ke arah tempat tidur Aiden yang kosong karena pemiliknya belum pulang.
“Kemarin lengannya tertembak dan hari ini dia mengalami kecelakaan. Bagaimana bisa dia tetap baik-baik saja padahal setiap hari hidupnya dipenuhi bahaya seperti ini? Memangnya dia tidak trauma, ya? Bunyi pistol tadi... Kuharap aku tidak akan pernah lagi mendengar bunyi yang mengerikan seperti itu.”
Runa melihat jam di ponselnya dan menghela napas panjang saat jam menunjukkan hanya beberapa menit tersisa sebelum tengah malam.
“Sepertinya dia memang tidak akan pulang. Kalau begitu aku akan...”
Ucapan Runa terhenti dan kedua matanya membesar saat telinganya menangkap bunyi derap langkah yang mendekat. Gasdis itu buru-buru menarik selimut dan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur sesaat sebelum pintu terbuka.
“Dia sudah tidur,” gumam Aiden saat melihat Runa yang memejamkan kedua matanya. Sambil melepaskan jaketnya, pria itu memperhatikan plester luka yang menghiasi pelipis Runa.
“Seharusnya dia bangun siang seperti biasanya. Kenapa malah bangun pagi dan menyusulku seperti itu?” Aiden berkata dengan nada menggerutu. Meski hari ini ia kehilangan uang 7 milyar, namun hal yang paling membuatnya merasa kesal adalah saat ia melihat Runa tergeletak di dalam bus yang mengalami kecelakaan sementara dirinya tidak dapat melakukan apapun untuk menolong gadis itu sebab ia harus segera pergi sebelum polisi datang.
“Itu benar apa yang Felix katakan,” gumam Aiden. “Seharusnya jika ingin melindungi gadis ini aku tidak membiarkannya untuk tinggal di sisiku. Aku harus membuatnya berada sangat jauh dariku agar yang seperti ini tidak sampai terjadi lagi padanya.”
Aiden mengatakan hal itu pada dirinya sendiri, namun Runa yang sedang pura-pura tidur itu bisa mendengar semua yang Aiden katakan dengan hatinya yang tiba-tiba terasa sangat sakit saat sebuah pemikiran muncul di benaknya.
“Apakah aku akan dibuang lagi karena jadi terlalu merepotkan?”
**To Be Continued**