Hari ini Aiden sengaja bangun lebih pagi, berencana untuk bergegas pergi sebelum Runa terbangun agar gadis itu tidak tahu jika dirinya pulang dan ia tidak perlu menjelaskan apapun yang mungkin akan Runa tanyakan padanya terkait apa yang terjadi kemarin.
Namun rupanya Runa justru bangun lebih pagi darinya. Saat Aiden membuka kedua matanya, ia tidak menemukan gadis itu di atas kasurnya. Pandangannya teralih ke pintu balkon yang terbuka, dan siluet Runa yang sedang berada di sana mengundang kaki Aiden untuk melangkah menghampirinya.
“Apa yang kau lakukan?”
“Oh!” Runa yang sedang menjemur pakaian itu berjengit kaget saat tiba-tiba ada suara berat yang terdengar serak bicara di belakangnya. Ia menolehkan kepalanya ke belakang dan tersenyum saat melihat Aiden yang berdiri di belakangnya.
“Selamat pagi,” sapa Runa sambil menggantung pakaian terakhir milik Aiden yang dicucinya di tali jemuran. Ia lalu mengelap tangannya yang basah pada pakaiannya dan kembali tersenyum saat menatap Aiden. “Aku sudah siapkan sarapan. Tuan mau langsung makan sekarang atau mau mandi dulu?”
“Aku mau merokok saja,” sahut Aiden. “Kenapa bangun pagi sekali? Kau mau pergi ke suatu tempat?”
“Aku bangun pagi agar bisa menyiapkan sarapan untuk Tuan.”
Aiden menolehkan kepalanya ke dalam kamarnya, melihat dua piring yang masing-masing berisi dua buah roti isi selai coklat dan dua gelas s**u yang diletakkan di meja kecil di depan tempat tidur.
“Apa itu sarapan untuk anak SD?” tanya Aiden. “Bagaimana aku bisa kenyang jika hanya sarapan seperti itu?”
“Ah...” Runa bergumam kecewa dan itu bisa terlihat jelas di kedua matanya. “Aku tidak bisa masak. Tapi kalau hanya mie instan saja‒”
“Aku mau merokok saja,” potong Aiden sambil kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ia mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya di antara kedua bibirnya dan menyalakannya sambil kedua matanya menatap Runa yang kini sudah berdiri di sebelahnya.
Aiden tidak mengatakan apa-apa, namun tatapannya yang tertuju pada plester luka yang menutupi luka di pelipis Runa membuat gadis itu sadar jika Aiden sedang mengkhawatirkannya.
“Ini tidak apa-apa,” ujar Runa sambil menyentuh luka di pelipisnya. “Hanya tergores sedikit dan tidak sakit sama sekali. Jadi Tuan tidak usah khawatir.”
“Memangnya aku bilang jika aku khawatir?”
“Kelihatan jelas jika khawatir,” sahut Runa yang membuat Aiden mendengus. “Benar-benar tidak sakit. Jadi tidak usah khawatir, uh.”
“Makan sarapanmu.”
“Tuan mau ke mana?” Runa buru-buru menyusul Aiden saat melihat pria itu berjalan meninggalkannya. Ia mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Aiden, namun saat ingat jika tangan Aiden masih diperban ia beralih meraih ujung jaket Aiden untuk menahan langkahnya. “Tidak makan roti yang kusiapkan? Aku menyiapkannya dengan susah payah.”
“Apanya yang susah? Itu hanya dua lembar roti yang diolesi selai.”
“Bisa bangun paginya ini yang susah sekali, Tuan. Jadi jangan pergi begitu saja tanpa menyentuh roti yang sudah kusiapkan!”
Runa melepaskan genggamannya pada jaket Aiden lalu mengambil roti yang sudah ia siapkan untuk pria itu dan dengan sopan menggunakan kedua tangannya saat menyodorkannya pada Aiden. “Ini. Silakan dimakan.”
Aiden mendengus lagi, namun akhirnya tetap menerima roti tersebut untuk menghargai usaha Runa yang bangun pagi demi menyiapkan sarapan untuknya. Ia tahu bagaimana Runa suka tidur sampai siang dengan air liur yang mengalir dari mulutnya yang terbuka, jadi saat berpikir jika gadis itu berusaha unruk bangun lebih pagi demi menyiapkan ini untuknya Aiden berpikir jika Runa benar-benar telah berusaha keras.
“Makannya sambil duduk,” kata Runa seraya menarik tangan kiri Aiden hingga membuat pria itu duduk di atas lantai. “Aku akan mengambil peralatan untuk mengganti perban Tuan.”
“Tidak usah diganti. Cukup lepaskan saja perbannya,” pinta Aiden sementara Runa sudah menghampirinya dengan membawa perban dan peralatan lainnya yang Bibi Lily percayakan padanya.
“Harus diganti, Tuan. Bibi Lily bilang harus diganti setiap hari sampai lukanya benar-benar sembuh.”
Aiden tidak menolak lagi. Ia memakan rotinya dengan tangan kiri sambil memperhatikan Runa yang dengan hati-hati mengganti perban di tangan kanannya.
“Lenganku tidak akan pecah,” gumam Aiden yang membuat Runa menghentikan kegiatannya yang sedang membubuhkan obat merah di luka Aiden untuk bisa menatap pria itu. “Meski kau melakukannya agak kasar lenganku tidak akan pecah atau rusak. Tidak perlu selembut itu seolah lenganku terbuat dari kaca yang rapuh.”
“Aku hati-hati agar Tuan tidak perlu merasa sakit lagi,” ujar Runa seraya kembali mlanjutkan pekerjaannya. “Jangan bilang ini tidak sakit karena lukaku yang sangat kecil saja rasanya sakit sekali.”
“Kau bilang itu sama sekali tidak sakit.” Ucapan Aiden kembali membuat Runa menghentikan aktivitasnya. Dan gadis itu sadar jika dirinya sudah salah bicara saat melihat kerutan di kening Aiden yang tampak tidak senang saat berkata, “Apa ada luka yang lain selain di pelipismu? Apa itu sakit?”
“A-ah... Bukan! Bukan luka yang ini. Aku bicara lukaku yang dulu, Dulu aku pernah luka kecil sekali tapi rasanya sangat perih. Tapi sekarang sudah sembuh dan bekasnya juga tidak ada lagi,” sanggah Runa. “Kalau sekarang benar-benar sudah tidak apa-apa. Jadi Tuan tidak perlu khawatir.”
Aiden tidak mengatakan apa-apa lagi saat Runa kembali fokus mengobati lukanya. Ia diam-diam memperhatikan wajah Runa yang tampak sangat serius dengan pekerjaannya dan menyadari betapa muda dan rentannya gadis yang ada di hadapannya ini Aiden jadi merasa sangat sedih.
Ia ingin Runa tetap berada di sisinya. Menemaninya setiap hari seperti ini. Selalu ada di rumahnya kapanpun ia pulang dan menyambutnya dengan senyuman lebar seolah kepulangannya benar-benar dinantikan. Namun saat ingat kejadian kemarin, Aiden sadar jika ia tidak bisa menahan gadis ini untuk terus berada di sisinya.
“Sudah selesai!”
Aiden buru-buru mengalihkan perhatiannya sebelum Runa menangkap basah dirinya yang tengah memperhatikan gadis itu saat mendengar seruan Runa. Ia menunduk, menatap perban yang membalut lukanya dan keningnya langsung berkerut dalam melihat hasil pekerjaan Runa itu.
“Apa-apaan ini? Kenapa berantakan sekali?” tanya Aiden yang membuat Runa ikut mengerutkan keningnya.
“Apanya yang berantakan? Itu sudah rapi sekali!” Runa berkata tidak terima. Namun saat memperhatikan hasil karyanya itu lebih lama kerutan di keningnya perlahan memudar dan ia menatap Aiden dengan wajah polosnya saat berkata, “Setidaknya lukanya tertutup dengan sempurna. Tidak rapi tidak apa-apa. Yang penting lukanya tidak keliha‒ Ah~ Kenapa dibuka?”
“Kau tidak perlu memaksakan dirimu untuk melakukan apa yang tidak kau bisa. Aku kan tidak pernah menyuruhmu melakukan apa-apa di sini,” kata Aiden sambil membebat lukanya dengan perban yang meski hanya dilakukan dengan tangan kirinya tapi hasilnya jauh lebih rapi dari yang Runa lakukan. Membuat gadis itu diam-diam mengakui jika pengalaman itu memang hal yang sangat penting di dunia ini.
“Aku kan hanya merasa khawatir karena Tuan pergi begitu saja padahal tangannya luka parah begitu,” ujar Runa dengan nada menggerutu. Agak kesal karena Aiden justru menegurnya seperti ini padahal ia benar-benar sangat mengkhawatirkan pria itu kemarin.
“Kau masuk ke bus yang dipenuhi orang jahat hanya karena khawatir?”
“Aku tidak tahu jika di dalam busnya ada orang jahat! Aku masuk ke sana karena melihatmu masuk ke dalam bus itu.”
“Lalu jika aku masuk ke dalam kandang singa kau tetap akan mengikutiku tanpa memikirkan apakah di dalam sana ada singa yang akan memakanmu atau tidak?”
“Iya!” Runa menjawab dengan nada keras kepala yang membuat Aiden menatapnya tak percaya karena gais itu menjawab pertanyaan konyolnya bahkan tanpa perlu memikirkannya terlebih dahulu. “Mau ke kandang singa atau neraka sekali pun aku tidak masalah selama itu bersama Tuan!”
“Kau mulai bicara omong kosong, uh?”
“Aku sudah merasakan banyak penderitaan yang seperti di neraka selama ini dan aku selalui melaluinya sendirian. Tapi sekarang ada Tuan bersamaku yang berjanji untuk melindungiku. Aku...”
Runa tidak dapat menyelesaikan kalimatnya saat desakan yang menyesakkan dadanya membuatnya menggigit bibir bawahnya agar air matanya tidak jatuh. Namun karena tidak sanggup menahannya, Runa menundukkan kepalanya dan mulai menangis terisak-isak dengan bahu kecilnya yang berguncang-guncang.
“Aku tidak ingin sendirian lagi. Aku ingin terus bersama Tuan. Masuk ke kandang singa pun tidak masalah jika itu bersama Tuan.”
Tadinya Aiden bertekad untuk menyuruh Runa pergi, namun sekarang hatinya justru terasa terenyuh saat melihat gadis itu menangis karena tidak ingin berpisah dengannya.
Padahal selama ini Aiden selalu benci dengan orang tidak berguna yang suka merepotkan orang lain. Namun jika itu Runa, rasanya ia rela menjadikan dirinya sebagai sandaran bagi gadis itu.
“Kemarin itu kau membuatku rugi 7 milyar. Bagaimana kau akan mengganti semua uangku itu?”
Pertanyaan Aiden sontak membuat Runa menghentikan tangisannya dan gadis itu langsung mengangkat kepalanya dengan kedua matanya yang menatap pria itu dengan terkejut karena Aiden yang tiba-tiba membahas tentang uang 7 milyar.
“Aku... Aku akan bekerja,” kata Runa. Ia lalu menyingkap lengan piyamanya dan menunjuk lengan kirinya sambil menambahkan, “Tuan boleh mentatoku di sini. Aku akan jadi mafia dan akan mengabdikan seluruh hidupku untuk organisasi ini.”
Kini giliran Aiden yang dibuat melotot karena ucapan Runa yang tidak ia duga-duga itu. “Mengapa kau bisa berpikir untuk jadi mafia, uh? Memangnya kau tahu pekerjaan macam apa yang dilakukan oleh mafia? Kau tahu bagaimana sangat berbahayanya itu?!”
Aien kelihatan sangat tidak senang dengan ide itu dan hal tersebut membuat Runa jadi sedih lagi. “Aku hanya tidak ingin berpisah dengan Tuan. Kata Bibi Lily dan Tuan Felix, aku akan selamanya terjebak dalam organisasi dan tidak akan bisa pergi dari Tuan jika aku mentato tubuhku dan menjadi bagian dari organisasi mafia milik Tuan.”
Aiden menghela napas panjang. Sepertinya selain Felix, Bibi Lily juga harus dididik agar tidak bicara sembarangan di hadapan Runa yang ingin selalu ia jaga kepolosannya ini.
“Jika ada pekerjaan yang paling kubenci di dunia ini maka itu adalah menjadi mafia. Lalu mengapa kau justru ingin melakukan sesuatu yang sangat kubenci?”
Runa memiringkan kepalanya, merasa bingung karena mendengar perkataan seperti itu dari seseorang yang bekerja sebagai mafia. Bukan mafia biasa melainkan seorang ketua mafia.
“Kau harus hidup dengan baik. Tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik dan mandiri lalu menjalani hidup bebas dengan bahagia. Kau tidak akan bisa mendapatkan hidup seperti itu jika tumbuh di lingkungan mafia bersamaku.”
Runa tahu Aiden mengatakan hal tersebut karena memikirkan kebaikannya, namun rasanya tetap saja sedih saat berpikir jika ia harus pergi dari hidup Aiden.
“Kau tidak perlu mengganti uangku jika kau mau pergi sekarang dan‒”
“Aku akan menggantinya! Siapa yang bilang aku tidak akan membayarnya? Aku akan membayar hutangku yang 7 milyar itu sampai lunas!”
Aiden mengangkat sebelah alisnya, terlihat tidak percaya dengan apa yang Runa ucapkan padanya. Dan kedua matanya sontak terbelalak saat Runa mengucapkan sesuatu yang jauh lebih mengejutkan dari sebelumnya.
“Tapi karena aku tidak punya uang, aku akan mengganti hutangku dengan tubuhku. Tuan, kau akan membiarkanku untuk tetap bersamamu jika aku mau membayar hutangku dengan tubuhku, kan?”
**To Be Continued**